• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkuman Hasil Pembahasan

Bagian ini bertujuan untuk merangkum hasil pembahasan berdasarkan uraian sebelumnya yang cenderung memberi penjelasan secara parsial. Melalui pembahasan ini diharapkan hasil penelitian mengenai dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi ini dapat dijelaskan secara komprehensif. Pertama, terkait dengan hasil estimasi dengan metode statis dan dinamis, estimasi dengan metode panel dinamis lebih konsisten dengan landasan teoritis dan hasil pengujian kausalitas granger. Berkenaan dengan pendekatan spasial dan non spasial dinamis, meskipun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun pendekatan non spasial dinamis lebih dapat menjelaskan dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi dibanding dengan metode spasial dinamis. Berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan untuk menjelaskan dinamika inflasi Indonesia pada penelitian ini merujuk pada estimasi yang diberikan oleh metode non spasial.

Kedua, dilihat dari besarnya koefisien dari pergerakan nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama dibanding koefisien penyesuaian suku bunga dan penyesuaian gaji pegawai pemerintah mengindikasikan pengaruh sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi volatilitas inflasi dibandingkan sisi permintaan. Hasil ini konsisten dengan output gap yang tidak berperan secara signifikan dalam pembentukan inflasi di Indonesia pada tataran provinsi dan sesuai pula dengan hasil kajian Solikin (2007) yang menyatakan hal yang sama, yaitu shock dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibandingkan shock yang berasal sisi permintaan.

Ketiga, selain fenomena moneter, inflasi di Indonesia juga merupakan fenomena fiskal. Hal ini bisa dilihat dari pengaruh pengaruh signifikan dari

penyesuaian harga BBM sebagai administred prices dan penyesuaian gaji PNS/ TNI/POLRI dalam memengaruhi dinamika inflasi di Indonesia. Fenomena ini merupakan temuan utama dalam penelitian ini mengingat dalam kajian sebelumnya, baik pada level nasional maupun regional ASEAN, belum pernah disinggung mengenai hal ini. Khusus untuk studi kasus Indonesia dengan pendekatan regional pada tataran provinsi, fenomena ini merupakan hal baru. Fenomena ini sesungguhnya pernah diungkap oleh Sims (1994) yang menyatakan bahwa fenomena ini dimungkinkan terjadi pada negara-negara yang menggunakan sistemfiat money.

Ilustrasi dari inflasi sebagai fenomena fiskal salah satunya berasal dari kebijakan fiskal ekspansioner seperti ditunjukkan pada Gambar 5 (bab II). Terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner dalam tataran provinsi ini terkait erat dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang diawali adanya transfer keuangan dari pemerintah pusat ke ke pemerintah daerah. Melalui transfer keuangan tersebut, pemerintah daerah leluasa untuk membelanjakan pengeluarannya, terutama untuk belanja pengawai yang masih merupakan porsi terbesar dalam belanja daerah. Peningkatan belanja pegawai tersebut kemudian akan mendorong konsumsi sehingga akan menyebabkan peningkatan pada permintaan agregat.

Sedikit berbeda dengan mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner melalui peningkatan belanja pegawai pemerintah, proses penyesuaian harga BBM bekerja lewat dua jalur transmisi, yaitu mekanisme kenaikan biaya produksi mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner yang memengaruhi konsumsi, karena pemerintah mengklaim bahwa pengurangan subsidi BBM dialihkan ke subsidi dalam bentuk lainnya seperti transfer bantuan langsung ke rumah tangga dan transfer- transfer dalam bentuk lainnya ke seluruh daerah di Indonesia. Akibat proses pengalihan subsidi tersebut, tidak terjadi mekanisme kebijakan fiskal kontraksioner, bahkan sebaliknya terjadi kebijakan fiskal ekspansioner karena menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi. Kondisi ini tidak saja terjadi secara agregat pada level nasional, namun juga terjadi pada tataran provinsi di seluruh Indonesia. Mekanisme penyesuaian harga BBM seperti telah diuraikan sebelumnya dari sisi permintaan agregat sebagai bagian kebijakan fiskal ekspansioner diilustrasikan

oleh Gambar 5 (bab II), sementara dari sisi penawaran agregat, ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II).

Terakhir, adanya pengaruh signifikan dari perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan serta pengaruh signifikan dari penyesuaian harga BBM merupakan bukti bahwa inflasi tidak hanya permasalahan pada sektor moneter, tetapi juga merupakan permasalahan pada sektor riil. Bukti empiris ini menguatkan pendapat Atmadja (1999) yang menyatakan bahwa permasalahan pada sektor riil ini terkait erat dengan adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) di Indonesia, sebagai konsekuensi terjadinya kesenjangan antara penyesuaian dari faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat. Ilustrasi dari inflasi sebagai permasalahan sektor riil dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II). Gambar tersebut menceritakan bagaimana dampak penyesuaian harga BBM serta dampak terhambatnya distribusi barang dan jasa sebagai akibat infrastruktur yang buruk. Mekanisme ini dapat menyebabkan kenaikan biaya akibat dorongan biaya produksi sebagai akibat adanya kenaikan biaya transportasi.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan merujuk pada tujuan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Dinamika inflasi Indonesia dipengaruhi oleh variabel-variabel non kebijakan seperti, inersia inflasi, pergerakan nilai tukar dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan pengaruh positif terhadap volatilitas inflasi, sebaliknya kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh negatif, sementara inflasi inersia memberikan peran yang besar terhadap pembentukan inflasi.

2. Volatilitas inflasi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa variabel kebijakan antara lain, penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian BI rate. Penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI yang merupakan kebijakan pemerintah pusat dapat memicu terjadinya peningkatan inflasi karena berpengaruh positif terhadap volatilitas inflasi, sementara penyesuaian BI rate sebagai instrumen kebijakan moneter memberi pengaruh negatif volatilitas inflasi dan dapat menjadi salah satu opsi untuk menurunkan volatilitas maupun tingkat inflasi.

Beberapa temuan penting dari penelitian dengan pendekatan pada tataran provinsi ini yang berbeda dibanding kajian sebelumnya adalah output gap tidak memberi pengaruh signifikan terhadap inflasi sementara beberapa kajian yang menggunakan pendekatan pada level nasional menyatakan hal sebaliknya. Hasil penelitian lainnya yang merupakan temuan baru dibanding kajian sebelumnya adalah penyesuaian gaji pegawai pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberi pengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi di Indonesia. Lebih lanjut, temuan utama dari penelitian ini adalah inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena moneter tetapi juga fenomena fiskal.