• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perumusan Masalah

Mengingat banyaknya faktor yang mungkin akan memengaruhi inflasi di Indonesia, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seperti pengaruh dari faktor moneter atau non monenter, tentu tidak mudah untuk menjelaskan perilaku inflasi berdasarkan salah satu pendekatan saja. Hal inilah yang kemudian mendasari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi di Indonesia dengan berbagai pendekatan, baik merujuk pada landasan teoritis yang sudah baku maupun mengacu pada beberapa kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Dari berbagai pendekatan tersebut, diharapkan gambaran

menyeluruh tentang perilaku inflasi akan terlihat dengan lebih jelas.

Berbagai studi mengenai perilaku inflasi telah banyak dilakukan di banyak negara dimana umumnya menggunakan pendekatan ekonometrik untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan seberapa besar dari pengaruhnya terhadap inflasi. Terkait dengan penelitian di Indonesia, setidaknya terdapat penelitian mengenai inflasi yang telah dilakukan oleh Solikin (2004, 2007) yang mengangkat masalah keberadaan kurva Phillips dan karakteristik tekanan inflasi di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dibatasi hanya melihat inflasi Indonesia pada level nasional saja dan tidak banyak yang melihat dinamika inflasi dalam perspektif regional, yaitu antar provinsi.

Penelitian mengenai inflasi dalam perspektif regional dan terkait dengan Indonesia dilakukan oleh Habermeieret al. (2009) yang meneliti tentang tekanan inflasi dan opsi kebijakan moneter dalam perspektif antar regional dengan studi kasusemerging and developing countries. Penelitian lainnya mengenai bagaimana pergerakan nilai tukar memengaruhi tingkat inflasi di beberapa negara Asia yang terkena dampak krisis mata uang Asia demikian parah yaitu Indonesia, Filipina, Korea Selatan dan Thailand. Sayangnya, penelitian mengenai inflasi ini juga

masih pada level agregat dan tidak menjelaskan dinamika inflasi antar provinsi di Indonesia, hanya menjelaskan keterbandingan antar negara atau kelompok negara (Prasertnukul et al., 2010). Penelitian khusus mengenai dinamika inflasi antar provinsi salah satunya dilaksanakan di China untuk melihat bagaimana proses terjadinya perbedaan dalam pembentukan inflasi antar provinsi di negara yang mengalami perubahan sistem ekonomi tersebut (Mehrotra et al., 2007). Kajian lainnya mengenai inflasi regional dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional, yaitu pada tataran provinsi.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dinamika inflasi coba dijelaskan dengan hubungan kurva Phillips, namun model yang digunakan bukan model tradisional yang menyatakan adanya trade off antara inflasi dan tingkat pengangguran melainkan menggunakan model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) yang menunjukkan terjadinya tarik ulur antara inflasi dan kesenjangan output. Kesenjangan output tersebut didefinisikan sebagai perbedaan antara output aktual dan output potensial. Sebelumnya, penganut paham Real Business Cycle (RBC) juga menggunakan pendekatan kesenjangan output namun dengan asumsi flexible price. Sementara model hubungan kurva Phillips NKPC diperkenalkan oleh penganut New Keynesian untuk menjawab adanya rigiditas harga dan upah yang terjadi di dunia nyata, mengingat adanya guncangan pada sisi permintaan atau penawaran tidak serta merta direspon secara langsung oleh price setter atau wage setter (Romer, 2006). Kondisi ini setidaknya mirip dengan keadaan di Indonesia dimana terdapat beberapa komoditi yang penentuan harganya diatur oleh pemerintah (administred prices).

Selainadministred prices, kontrak upah juga sering mengacu pada regulasi tingkat upah minimum regional yang disahkan oleh pemerintah daerah sehingga besarnya upah cenderung tidak berubah dalam kurun waktu setahun misalnya. Implikasinya baik harga maupun tingkat upah cenderung mengikuti teori dari Calvo mengenai stagerring prices and wages, yaitu dalam jangka pendek uang tidak bersifat netral, karena terjadi rigiditas baik harga maupun upah (Solikin dan Sugema, 2004). Penelitian mengenai keberadaan kurva Phillips di Indonesia dilakukan oleh Solikin (2004) menyatakan bahwa untuk level nasional, kurva

tersebut memang eksis dan berubah sering dengan perubahan struktur perekonomian di Indonesia.

Selain dijelaskan dengan kurva Phillips, penelitian mengenai perilaku inflasi berdasarkan karakteristik sumber tekanan terhadap inflasi juga sering dilakukan dengan pendekatan strukural VAR (SVAR). Melalui pendekatan ini, sumber-sumber tekanan terhadap inflasi didekomposisi menjadi beberapa jalur transmisi berdasarkan landasan teori mengenai faktor-faktor yang memengaruhi harga secara agregat. Jalur transmisi utama yang memengaruhi perubahan harga secara agregat atau menyebabkan inflasi dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu berasal dari guncangan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Pendekatan SVAR yang digunakan ini pertama kali dikenalkan oleh Bayoumi dan Eichengreen (1992) dengan pendekatan bivariate SVAR. Melalui pendekatan sederhana ini, kedua peneliti tersebut dapat menjelaskan bagaimana pengaruh guncangan menurut sumbernya terhadap harga dan output.

Setelah era Bayoumi dan Eichengreen (1992), penggunaan SVAR untuk meneliti pengaruh guncangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap harga dan output terus berkembang dengan tidak hanya terbatas menggunakan dua variabel saja. Adapun sumber guncangan yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran kemudian didekomposisi menjadi beberapa variabel untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari setiap variabel masing-masing terhadap harga dan output. Penelitian Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di Indonesia dengan pendekatan SVAR dengan menggunakan lima variabel berdasarkan dekomposisi Cholesky menyatakan bahwa pengaruh guncangan dari sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibanding guncangan dari sisi permintaan.

Penjelasan mengenai pengaruh suatu variabel tertentu terhadap inflasi lebih lanjut seperti exchange rate pass-through (ERPT), dilakukan dengan melakukan perluasan dari model kurva Phillips seperti dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2002); Edwards (2006); Prasertnukul et al. (2010) dan Beirne (2009). Penelitian lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh suatu variabel atau beberapa variabel terhadap inflasi tanpa menggunakan kurva Phillips setidaknya dilakukan Al-Nasseret al. (2009) dan Kwonet al. (2009).

Merunut dari penjelasan sebelumnya, meski terlihat adanya keterkaitan yang kuat dengan jumlah uang beredar terutama pada saat inflasi cukup tinggi, namun hal tersebut bukan berarti inflasi adalah murni sebagai sebagai fenomena moneter. Pendapat ini tentunya dilandasi atas kenyataan dari paparan sebelumnya bahwa sektor riil diduga juga ikut berperan dalam memicu terjadinya inflasi, sebagai konsekuensi terjadinya perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Oleh karenanya, akan menjadi kajian yang menarik untuk melihat penyebab inflasi, tidak hanya dari sisi moneter saja tetapi juga dari sudut pandang sektor riil. khususnya pada level provinsi. Selanjutnya, kedua sisi tersebut pada prinsipnya dapat dipilah menjadi variabel-variabel kebijakan dan non kebijakan yang berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Kajian ini akan lebih menarik jika dilakukan pada level provinsi, mengingat masih sedikit sekali penelitian tentang inflasi pada tataran provinsi di Indonesia, terlebih dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan variabel kebijakan dan non kebijakan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaruh variabel-variabel kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia ?