• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori 1.Ilmu Kimia

Pada hakikatnya, IPA atau ilmu pengetahuan alam terdiri atas produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA juga dipandang sebagai proses, produk, dan prosedur. IPA sebagai proses merupakan kegiatan ilmiah yang mampu menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Kemudian, IPA sebagai produk merupakan hasil dari proses yang berupa transfer pengetahuan ketika proses pembelajaran di sekolah atau di luar sekolah. Lalu, IPA sebagai prosedur atau pada umumnya disebut metode ilmiah (scientific method) ialah metodologi atau cara yang digunakan untuk meneliti atau menemukan suatu pengetahuan baru (Trianto, 2010).

Ilmu kimia adalah bagian dari ilmu pengetahuan alam (Natural Science) yang mempelajari materi (matter) sebagai objek. Deskripsi tentang materi dikembangkan pada ilmu kimia, khususnya kemungkinan perubahnnya menjadi benda lain secara permanen serta energy yang terlibat dalam perubahan termaksud (Sukarna, 2003).

Ilmu kimia meliputi dua hal, yaitu kimia sebagai produk dan proses. Kimia sebagai produk ialah sekumpulan pengetahuan yang terdiri dari fakta-fakta, konsep, dan prinsip-prinsip kimia. Sedangkan kimia sebagai proses adalah segala kegiatan yang dilakukan dan sikap-sikap yang dimiliki para ilmuwan untuk menghasilkan

10

produk kimia. Setiap proses yang dilakukan oleh ilmuwan untuk menghsilkan sebuah produk menandakan para ilmuwan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yang disebut keterampilan proses sains (Dahar, 1986).

Tujuan guru mengajarkan ilmu kimia adalah untuk mengembangkan pengetahuan anak tentang kimia, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses sains, serta sikap-sikap ilmiah seperti sikap kritis, sikap teliti, sikap ingin tahu, dan lain-lain (Dahar, 1986).

Materi pelajaran kimia bukan hanya sekedar membutuhkan pemahaman serta penguasaan suatu konsep, melainkan peserta didik dituntut untuk aktif bersama guru menerapkan ilmu kimia ke dalam pengembangan diri. Peserta didik juga perlu melakukan kegiatan praktikum, karena ilmu kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaiman gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat. Oleh karena itu, pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara lagsung melalui pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (Suyanti, 2010).

2. Model discovery Learning

Pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning) merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan kontruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan. Ide pembelajaran penemuan (discovery learning) muncul dari keinginan untuk memberi rasa senang kepada anak/peserta didik dalam

11

“menemukan” sesuatu oleh mereka sendiri, dengan mengikuti jejak para ilmuwan (Suprihatiningrum, 2014).

Discovery learning merupakan suatu rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan kemampuan peserta didik secara maksimal untuk menyelidiki pengetahuan secara sistematis, kritis, dan logis. Sehingga, peserta didik dapat menemukan pengetahuan sendiri, menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik, dan menghasilkan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan perilaku peserta didik (Hanafiah & Suhana, 2012). Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan peserta didik untuk mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan suatu prinsip secara mandiri (Hosnan, 2014). Selain itu, model discovery learning lebih menekankan pada penemuan konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui oleh peserta didik dan masalah yang dikaji oleh peserta didik bisa saja direkayasa oleh guru (Saefuddin & Ika, 2015).

Dalam pembelajaran dengan model discovery learning dapat digunakan beberapa strategi. Strategi-strategi yang dimaksud adalah:

a. Strategi induktif

Strategi induktif menghendaki kemampuan mengiduksi dan melihat pola atas dasar data yang diamati. Strategi ini dibagi menjadi dua bagian, yakni data atau contoh khusus dan generalisasi atau kesimpulan. Data atau contoh khusus merupakan jalan untuk menemukan suatu kesimpulan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bukti. Dalam mengambil kesimpulan pada strategi induktif selalu mengandung risiko,

12

apakah kesimpulan tersebut benar atau salah. Oleh karena itu, penggunaan kata “mungkin” atau “barangkali” akan mengurangi risiko yang terjadi.

b. Strategi deduktif

Strategi ini memiliki peran penting dalam hal pembuktian, karena berisi argumen yang saling berkaitan. Peserta didik dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep yang belum ia ketahui sebelumnya dengan strategi deduktif. Strategi ini juga mengendaki kemampuan melakukan deduksi yang logis atas dasar pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (Hosnan, 2014).

Belajar penemuan (discovery learning) dibedakan menjadi dua, yaitu penemuan bebas (free discovery) dan penemuan terpadu/terpimpin (guided discovery). Dalam pelaksanaannya, guided discovery lebih sering diterapkan oleh guru, karena dengan petunjuk guru peserta didik akan bekerja lebih terarah dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Guru akan memberikan arahan yang berupa prosedur kerja, sehingga peserta didik dapat menemukan suatu pengetahuan secara mandiri. Dalam merencanakan dan menyiapkan kegiatan guided discovery peserta didik melibatkan tangan (hands-on) dan pikiran (minds-on) dalam setiap kegiatannya (Suprihatiningrum, 2014).

Petunjuk dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran penemuan terbimbing (guided discovery learning) yaitu menentukan tujuan yang akan dipelajari oleh peserta didik, memilih metode yang sesuai dengan kegiatan penemuan, menentukan lembar pengamatan data untuk peserta didik, menyiapkan alat dan bahan secara lengkap, menentukan dengan cermat apakah peserta didik akan bekerja secara

13

individu atau secara berkelompok yang terdiri dari 2-5 peserta didik, dan mencoba terlebih dahulu kegiatan yang akan dikerjakan oleh peserta didik untuk mengetahui kesulitan yang mungkin timbul atau kemungkinan untuk modifikasi (Suprihatiningrum, 2014).

Guided discovery learning merupakan pendekatan yang dilakukan oleh guru untuk menyajikan contoh dari topik tertentu dan membimbing peserta didik agar dapat memahami topik yang akan ia pelajari. Model ini efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi peserta didik dalam memahami topik yang mereka palajari secara mendalam (Eggen & Kauchak, 2012). Pembelajaran dengan model Guided discovery learning membantu peserta didik memperoleh pengetahuan yang unik secara mandiri. Melalui guided discovery learning, peserta didik secara perlahan akan belajar bagaimana mengorganisir dan melakukan penelitian. Salah satu hasil yang terbaik dari guided discovery learning ialah meningkatkan daya ingat peserta didik menjadi lebih baik (Carin & Sund, 1989).

Tujuan dari model discovery learning ialah mengembangkan potensi intelektual peserta didik, sehingga peserta didik yang awal mulanya lambat dalam menangkap suatu konsep akan menjadi lebih mudah dalam menangkap suatu konsep, serta ingatan peserta didik menjadi lebih tahan lama. Hal tersebut dikarenakan peserta didik dilibatkan secara langsung dalam proses menemukan suatu konsep. Selain itu peserta didik juga dilibatkan secara aktif dengan mendengarkan, berbicara, membaca, melihat, dan berfikir, sehingga akan tercipta student centered dibandingkan teacher centered (Suprihatiningrum, 2014). Model discovery learning akan mendorong

14

peserta didik untuk berfikir dan merumuskan hipotesis sendiri (Saefuddin & Ika, 2015). Jerome Bruner menyatakan terdapat kelebihan dari model discovery yaitu peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan, peserta didik akan memahami konsep-konsep dasar dan ide-ide lebih baik, membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru, mendorong peserta didik untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesis sendiri (Sholeh, 2014).

Model discovery learning memiliki tahap penyajian atau sintaks yang berupa stimulasi/pemberian rangsangan, pernyataan/identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verifikasi, dan generalisasi (Ratumanan, 2015). Uraian dari sintkas model discovery learning sebagai berikut:

1) Stimulasi/pemberian rangsangan

Peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan masalah, teka-teki, atau kontradiksi/pertentangan. Sehingga, peserta didik akan tertantang untuk mengembangkan permasalahan tersebut.

2) Pernyataan/identifikasi masalah

Peserta didik diberi kesempatan untuk mengidentifikasi masalah yang relevan dengan materi pembalajaran. Setelah peserta didik dapat mengidentifikasi masalah, peserta didik merumuskan masalah dalam bentuk hipotesis.

15 3) Pengumpulan data

Peserta didik melakukan penelusuran dan pencarian dengan melakukan prosedur kerja tertentu untuk mengumpulkan informasi yang relevan untuk membuktikaan hipotesis yang telah dibuat.

4) Pengolahan data

Peserta didik mengolah data dan informasi yang diperoleh. Kemudian data tersebut direduksi, diklasifikasikan, daitabulasi, dan dianalisis. Data yang diolah peserta didik dapat diperoleh dari wawancara, observasi, dan sebagainya (Abidin, 2014).

5) Verifikasi

Peserta didik melakukan pemeriksaan hasil pengolahan data secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Kemudian, temuan alternative peserta didik dihubungkan dengan hasil pengolahan data (Abidin, 2014).

6) Generalisasi

Peserta didik menarik kesimpulan yang disesuaikan dengan hasil verifikasi. Kesimpulan yang diperoleh dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan menyesuaikan hasil verifikasi (Abidin, 2014).

Model discovery learning yang digunakan dalam penelitian ini adalah guided discovery learning. Sintaks yang digunakan meliputi stimulasi, identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verifikasi, dan generalisasi.

16 3. Peranan guru dalam model discovery learning

Guru memegang peran penting dalam setiap proses pembelajaran yang berlangsung. Selama ini guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan di kelas. Sehingga mengakibatkan guru menjadi lebih dominan saat di kelas, peserta didik pun diposisikan sebagai objek bukan sebagai subjek belajar. Peserta didik hanya lebih pasif, tugas peserta ddidik hanya duduk sembari mendengarkan penjelasan guru, mencatat dan mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh guru (Ratumanan, 2015).

Pada Kurikulum 2013 edisi revisi, guru tidak lagi menjadi pusat perhatian peserta didik. Namun, guru memiliki peran sabagai fasilitator, sehingga guru hanya membimbing peserta didik ketika ia diperlukan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Guru sebagai fasilitator ialah guru yang memberikan fasilitas belajar bagi peserta didik agar peserta didik dapat mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Peserta didik akan diberi kesempatan lebih besar oleh guru untuk memperoleh pengalaman belajar sebagai subjek belajar, tidak hanya sebagai pendengar, melainkan peserta didik dapat mengonstruksi pengetahuannya dari hasil aktivitas, interaksi, dan negosiasi di kelas (Ratumanan, 2015). Pada penelitian ini, guru berperan sebagai fasilitator. Sehingga pada saat penelitian, guru hanya mendampingi peserta didik dan membimbing peserta didik ketika ia diperlukan.

Pada model discovery learning peran guru lebih banyak memberikan fasilitas peserta didik untuk menemukan suatu konsep. Peran guru dimulai dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran, media, dan sumber belajar yang diperlukan,

17

melakukan pendampingan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran. Dalam penggunaan model discovery learning terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan pada proses pembelajarannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan guru yaitu:

a. Tidak semua materi dapat menggunakan model discovery learning, sehingga guru harus menyesuaikan materi yang akan disampaikan dengan model pembelajaran yang akan digunakan.

b. Guru mendorong peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara mandiri (Ratumanan, 2015).

4. Model Kooperatif

Model kooperatif adalah model pembelajaran yang membagi peserta didik dalam beberapa kelompok, dimana peserta didik saling bekerjasama dalam satu kelompok untuk memecahkan masalah (Hartono, 2013). Pembelajaran kooperatif termasuk dalam teori konstruktivis. Peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami konsep jika mereka saling berdiskusi dengan temannya secara rutin.

Penggunaan model kooperatif membutuhkan kelompok-kelompok kecil terdiri dari 4-6 peserta yang sederajat tapi heterogen (kemampuan, jenis kelamin, suku/ras) agar terciptanya rasa saling membutuhkan satu sama lain (Trianto, 2013). Model kooperatif bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial (Suprijono, 2011).

Terdapat enam langkah utama dalam model pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah dalam model kooperatif sebagai berikut (Trianto, 2013):

18

a. Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik

Peserta didik diberi penjelasan tujuan peserta didik terlebih dahulu. Hal ini penting dilakukan karena peserta didik harus memahami prosedur dan aturan dalam pembelajaran yang akan dilakukan (Suprijono, 2011). Kemudian, guru juga perlu memberikan motivasi kepada peserta didik, agar peserta didik tertarik dengan penyampaian materi guru.

b. Menyajikan informasi

Guru menyampaikan informasi yang berkaitan dengan materi pelajaran (Suprijono, 2011). Tahap ini sangat penting dalam kegiatan pembalajaran, karena informasi yang disajikan mampu menambah pengetahuan bagi peserta didik.

c. Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok kooperatif

Pada tahap ini kekacauan kemungkinan dapat terjadi, karena perpindahan penyampaian informasi oleh guru menuju pembagian kelompok (Suprijono, 2011). Kekacauan yang tidak diinginkan ialah ketergantungan salah satu anggota kelompok, sehingga tugas kelompok hanya dikerjakan oleh beberapa peserta didik saja. Kemudian, tidak terciptanya diskusi yang baik, sehingga tugas kelompok menjdai terbengkalai. Oleh karena itu, guru perlu menjelaskan aturan dalam kelompok, agar kekacauan yang tidak diinginkan tidak dapat terjadi.

d. Membimbing kelompok belajar dan belajar

Guru perlu mendampingi setiap kelompok, agar peserta didik tidak merasa bingung dalam mengerjakan tugas. Selain itu, guru memberikan petunjuk ataupun

19

arahan agar peserta didik tidak salah dalam mengerjakan tugas maupun memecahkan suatu masalah (Suprijono, 2011).

e. Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil diskusi kelompok yang dapat berupa presentasi hasil kerja maupun mengumpulkan tugas kepada guru (Trianto, 2013). Evaluasi disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang dibuat oleh guru (Suprijono, 2011).

f. Memberi penghargaan.

Guru memberikan penghargaan kepada individu peserta didik maupun kelompok (Trianto, 2013). Penghargaan tidak hanya memberikan hadiah, namun pemberian pujian juga termasuk dalam memberikan penghargaan.

5. Keterampilan Proses Sains

Keterampilan proses sains merupakan keterampilan ilmiah yang terarah (baik kognititf maupun psikomotor) untuk menemukan suatu konsep dan untuk mengembangkan konsep yang telah didapatkan sebelumnya (Trianto, 2010). Keterampilan proses mampu membekali peserta didik untuk berpikir logis dan sistematis dalam meghadapi suatu masalah (Suprihatiningrum, 2014). Keterampilan proses sains digunakan para ilmuwan untuk dapat memecahkan suatu permasalahan dunia sains, dimulai dari memahami masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, membuktikan hipotesis, mengumpulkan data serta merumuskan kesimpulan (Heru & Richie, 2015).

Keterampilan proses sains peserta didik akan lebih terbentuk jika proses pembelajaran dilakukan secara berulang-ulang. Peserta didik akan terampil dalam

20

melaksanakan percobaan apabila peserta didik memiliki peluang untuk melakukannya sendiri secara terus menerus. Sehingga, keterampilan proses sains peserta didik perlu dilatih secara terus menerus. Melatih keterampilan proses sains pada peserta didik merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan keberhasilan belajar peserta didik secara optimal. Peserta didik akan merasa lebih mudah memahami, menghayati, mempelajari suatu materi, dan mengingat dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, motivasi peserta didik akan meningkat, karena peserta didik berperan secara aktif dalam proses pembelajaran (Trianto, 2010).

Menurut Moh Uzer Usman dan Lilis Setiawati (1993), kemampuan yang dikembangkan dalam keterampilan proses sains adalah pengamatan, menggolongkan (mengklasifikasikan), menafsirkan (menginterpretasikan), meramalkan, menerapkan (aplikasi), merencanakan penelitian, dan mengomunikasikan.

Menurut Ratna Wilis Dahar (1986), keterampilan proses sains di pendidikan kimia terdiri dari 8 keterampilan, yaitu mengamati, menafsirkan pengamatan, meramalkan, menggunakan alat dan bahan, menerapkan konsep, merencanakan percobaan/penelitian, mengomunikasikan, dan mengajukan pertanyaan.

Keterampilan proses sains terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu keterampilan proses sains dasar (basic science process skill) dan keterampilan proses sains terintergrasi (intergrated science process skill). Keterampilan proses sains dasar terdiri dari observasi, komunikasi, klasifikasi, prediksi, infersi, dan mengukur. Sedangkan keterampilan proses sains terintegrasi yaitu mengidentifikasi variabel, menyusun tabel data dan grafik, menggambarkan hubungan antara variabel,

21

memperoleh dan pengolahan data, menganalisis penyelidikan, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel operasional, merancang penyelidikan dan eksperimen (Trianto, 2010).

Upaya dalam memperoleh keberhasilan belajar yang optimal yaitu dengan megembangkan keterampilan proses sains. Keterampilan proses memungkinkan peserta didik untuk memperoleh keberhasilan belajar yang optimal. Dengan keterampilan proses yang dilatihkan, peserta didik akan lebih mudah menguasai dan memahami materi pelajaran karena peserta didik belajar dengan berbuat (learning by doing). Selain itu, juga bertujuan untuk memotivasi belajar peserta didik untuk senantiasa aktif dalam proses pembelajaran dan melatih peserta didik untuk berpikir logis dalam memecahkan masalah (Suprihatiningrum, 2014). Dengan mengembangkan keterampilan proses sains, peserta didik akan menemukan dan mengembangkan fakta dan konsep dengan sendirinya, serta mengembangkan sikap ilmiah yang dimiliki peserta didik (Trianto, 2010).

Penerapan keterampilan proses sains dalam proses pembelajaran mampu mengembangkan kepribadian peserta didik, terutama pada sikap ilmiahnya. Agar kepribadian peserta didik dapat dikembangkan, keterampilan proses sains perlu dilakukan secara berkala. Keterampilan peserta didik dalam merumuskan masalah, mengajukan pertanyaan, melakukan percobaan, melakukan pengukuran, mengolah data, dan menarik kesimpulan tidak dapat diperoleh jika tidak dilakukan secara berkala. Dengan penerapan secara berkala diharapkan peserta didik dapat memahami

22

sains secara lebih mendalam dan dapat diingat dalam jangka waktu yang lama (Trianto, 2010).

Secara umum, Keterampilan proses sains mengacu pada proses kognitif atau proses berpikir (Sheeba, 2013). Keterampilan Proses Sains yang diamati dalam penelitian ini merupakan keterampilan proses yang termasuk dalam keterampilan kognitif (keterampilan proses sains yang berhubungan dengan proses berpikir). Sehingga, indikator keterampilan proses sains yang digunakan yaitu :

a. Observasi

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan indera-indera peserta didik. Peserta didik akan mengamati melalui pengelihatan, pendengaran, pengecapan,

perabaan, dan pembauan (Trianto, 2010). Observasi terdiri dari dua tipe yaitu

kualitatif dan kuantitatif. Observasi kualitatif berupa menggambarkan, sedangkan observasi kuantitatif berupa perhitungan (Bailer, dkk, 2006).

b. Komunikasi

Keterampilan peserta didik dalam mengungkapkan kata-kata dalam bentuk

tulisan, gambar demonstrasi, atau grafik dengan bahasa yang komunikatif (Trianto,

2010). Tidak hanya mengungkapkan dalam bentuk lisan, komunikasi juga dapat

diungkapkan dengan tulisan yang berupa penyusunan laporan kegiatan secara

sistematis, dan mampu menyampaikan hasil kegiatan yang telah dilakukan dengan menggunakan bahasa yang baik dan tepat (Dahar, 1986).

23

c. Klasifikasi

Klasifikasi merupakan keterampilan yang berupa mengelompokkan objek

pengamatan berdasarkan sifat-sifatnya (Trianto, 2010). Klasifikasi dapat berupa

mengidentifikasi suatu sifat secara umum dan mengelompokkan beberapa benda berdasarkan karakteristiknya (Sani, 2016).

d. Prediksi

Prediksi merupakan keterampilan yang berupa meramalkan hasil-hasil yang

mungkin terjadi dari suatu percobaan. Peramalan tersebut dapat diperoleh dari

pengamatan dan inferensi sebelumnya (Trianto, 2010). Peserta didik mengolah pola-pola berdasarkan hasil pengamatannya untuk menemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamatinya.

e. Inferensi

Inferensi merupakan kesimpulan sementara yang sering dilakukan oleh ilmuwan setiap melakukan penelitian. Perilaku dari keterampilan inferensi meliputi mengaitkan pengamatan dengan pengalaman atau pengetahuan sebelumnya dan

mengajukan penjelasan untuk melaksanakan pengamatan (Trianto, 2010).

f. Mengorganisasikan data dan tabel

Keterampilan ini berupa menyajikan data ke dalam bentuk tabel dan mengorganisasikan informasi yang diperoleh dari percobaan. Dengan demikian, data yang diperoleh dapat dimaknai dengan mudah.

24

g. Menganalisis data

Agar peserta didik data mudah dipahami, peserta didik perlu mencatat setiap pengamatan secara terpisah. Kemudian, menghubungkan pengamatan terpisah secara tepat agar dapat menemukan suatu pola dalam satu seri pengamatan, sehingga peserta didik dapat mengambil kesimpulan (Dahar, 1986).

h. Merancang eksperimen

Peserta didik harus mengetahui alat dan bahan yang sesuai dalam melaksanakan kegiatan praktikum, dapat menentukan variabel-variabel yang dibuat tetap dan berubah, dapat menentukan apa yang akan diamati, diukur atau ditulis, dapat menentukan langkah kerja, dan dapat menentukan cara pengolahan hasil pengamatan (Dahar, 1986). Tugas peserta didik ialah merancang percobaan atau investigasi sesuai tujuan percobaan atau pertanyaan yang diajukan (Sani, 2016).

6. Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit

Larutan adalah campuran homogen yang terdiri atas sebuah zat pelarut dan satu atau lebih zat terlarut. Berdasarkan daya hantar listriknya, larutan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu larutan elektrolit dan larutan non-elektrolit. Larutan elektrolit adalah suatu senyawa yang bila dilarutkan dalam pelarut (misalnya air) akan menghasilkan larutan yang dapat menghantarkan arus listrik (Bird, 1987). Contoh dari larutan elektrolit adalah NaCl, HCl, asam cuka, dll. Sedangkan, Larutan non-elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus listrik. Contoh dari larutan non-elektrolit adalah CH4, C12H22O11, CO, CH3COCH3, dll (Sastrohamidjojo, 2008).

25

Air yang murni tidak akan menghantarkan listrik. Tetapi jika zat yang bersifat asam, basa, maupun garam telah dilarutkan di dalamnya, larutan yang dihasilkan akan mampu menghantarkan arus listrik (Bird, 1987). Secara sederhana, kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan listrik dapat diuji dengan alat uji elektrolit. Alat uji elektrolit tersebut terdiri atas sebuah bejana yang dihubungkan dengan dua buah elektrode. Elektrode-elektrode tersebut dihubungkan pada sumber listrik. Jika larutan elektrolit dimasukkan ke dalam bejana, lampu akan menyala. Sedangkan jika larutan nonelektrolit yang dimasukkan, lampu tidak akan menyala. Arus listrik dalam larutan elektrolit dihantarkan oleh migrasi partikel-partikel bermuatan (McMurry, 2010). Selain ditandai dengan menyalanya lampu, pada larutan elektrolit juga terdapat perubahan-perubahan kimia yang dapat diamati yaitu timbulnya gelembung-gelembung gas. Ditinjau dari jenis ikatannya, larutan elektrolit dapat berupa senyawa ion dan senyawa kovalen polar. Senyawa ion berupa larutan elektrolit yang dapat menghantarkan arus listrik, sedangkan senyawa kovalen ada yang merupakan elektrolit kuat, elektrolit lemah, dan non-elektrolit.

Untuk menyatakan seberapa kuatnya suatu senyawa kimia terionisasi menjadi bersifat elektrolit perlu digunakan suatu besaran atau ukuran tetentu. Besaran yang digunakan adalah persen disosiasi. Persen disosiasi dapat ditentukan dengan pengukuran daya hantar listrik dan pengukuran terhadapa penurunan titik beku (Sastrohamidjojo, 2008). Berdasarkan daya hantar listriknya, elektrolit dibagi menjadi dua yaitu:

26 1. Elektrolit kuat

Larutan elektrolit kuat memberikan daya hantar listrik yang baik. Larutan elektrolit kuat merupakan senyawa yang terionisasi secara sempurna ketika dilarutkan ke dalam air (McMurry, 2010). Contoh larutan elektrolit kuat adalah HCl, NaOH, NaCl, KCN, BaSO4 (Sastrohamidjojo, 2008).

2. Elektrolit lemah

Larutan elektrolit lemah memberikan daya hantar listrik kecil. Larutan elektrolit lemah merupakan senyawa yang terionisasi sebagian ketika dilarutkan ke dalam air (McMurry, 2010). Contoh larutan elektrolit lemah adalah CH3COOH, HgCl2, HCN, NH4OH, C6H5NH2 (Sastrohamidjojo, 2008).