• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Wilayah Kota Kudus 1. Letak dan Keadaan Geografis

Kudus adalah sebuah kota kecil yang berstatus Daerah Tingkat II/Kabupaten, dan terletak 51 Km sebelah Utara kota Semarang. Kudus terletak di Pantai Utara Jawa Tengah, selama berada di bawah penguasaan kolonial Belanda sampai tahun 1924, Kudus termasuk dalam Karesidenan Jepara-Rembang (Lance Castle, 1982 : 139). Letak kota Kudus sangat strategis, karena berbatasan dengan kota Jepara di sebelah Utara; kota Pati, Juwana, Rembang, Lasem, Blora dan Cepu di sebelah Timur; Kota Grobogan di sebelah Selatan; serta kota Demak dan Semarang di sebelah Barat. Luasnya 425,16 Km2 dan sampai tahun 1964 berpenduduk sekitar 395.202 jiwa (Solichin Salam, 1988 : 3).

Kota Kudus terletak di pantai Utara Jawa Tengah, dari Semarang berjarak 51 Km, dari Demak berjarak 25 Km, dari Jepara berjarak 38 Km, dan dari Pati berjarak 24 Km (Solichin Salam, 1983 : 7). Kudus merupakan Kabupaten kecil di Jawa Tengah yang terbagi dalam 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan Jati, Kecamatan Bae, Kecamatan Dawe, Kecamatan Undaan, Kecamatan Gebog, Kecamatan Kaliwungu, Kecamatan Jekulo, dan Kecamatan Mejobo (Aristasius Sugiya, 2001 : 126). Letaknya yang strategis antara jalur Semarang-Surabaya mengakibatkan Kudus mempunyai prospek bagus di bidang industri dan perdagangan.

Letak geografis Kudus yang strategis memudahkan hubungan arus lalu lintas dari wilayah Barat ke Timur Pulau Jawa, ataupun sebaliknya. Hal ini sangat mendukung perkembangan kota Kudus sebagai kota yang mengembangkan industri rokok kretek. Kendaraan distribusi hasil produksi rokok kretek maupun pengangkut bahan baku rokok kretek dapat dengan mudah menjangkau wilayah tujuan pendukung industri rokok kretek Kudus (Sofia, 1992 : 25).

Nama kota Kudus diberikan oleh Sunan Kudus, dari asal kata bahasa Arab : Al Quds atau Qudus yang berarti Suci. Nama itu diambil dari nama sebuah batu peringatan yang terletak di mihrab Masjid Menara Kudus, yang bertuliskan dalam huruf dan bahasa Arab. Batu tersebut konon dibawa oleh Sunan Kudus dari Baitul Makdis (Al Quds), sebagai oleh-oleh atau hadiah ketika beliau dahulu pergi haji dan kemudian singgah ke Baitul Makdis untuk memperdalam ilmu agamanya. Kota ini kemudian diberi nama “Kudus” oleh Sunan Ja’far Shadiq atau Sunan

Kudus.

Dengan diketemukannya bekas bangunan suci serta berbagai arca Hindu di daerah Kudus seperti : (1) bangunan Menara Kudus yang mirip dengan candi Hindu, (2) gapura sebagai pintu masuk ke kompleks makam Sunan Kudus, Menara Kudus, dan Masjid Menara Kudus yang bentuknya mirip candi bentar merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam (Solichin Salam, 1977 : 38). Di samping itu adanya legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat, dan dongeng-dongeng yang menyebutkan masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena dahulu Sunan Kudus pernah merasa dahaga kemudian ditolong seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Sebagai rasa terimakasih dan rasa hormat terhadap masyarakat yang baru memeluk Islam dengan keyakinan agama lama mereka yang mempercayai sapi sebagai binatang suci dan dimuliakan, maka Sunan Kudus mengkeramatkan hewan sapi untuk disembelih. Hal tersebut merupakan petunjuk atau indikator yang kuat bahwa daerah kota Kudus sebelum kedatangan Islam merupakan salah satu pusat agama

Hindu dan dipandang sebagai “Kota Suci” (Solichin Salam, 1988 : 6-7).

Kudus memiliki tata letak kota yang hampir sama dengan tata letak kota di Indonesia pada umumnya. Pusat kota atau alun-alun menjadi batas sebutan Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Masjid Agung berada di sebelah Barat alun-alun, pusat pemerintahan berada di sebelah Selatan alun-alun, dan pusat perekonomian berada di sebelah Timur alun-alun. Titik percabangan jalan raya yang mengitari pusat kota tersebut ada tujuh, maka sering disebut dengan simpang tujuh.

Ditilik dari segi histories, kota Kudus mulai tampil dalam panggung sejarah pada abad ke-16 Masehi yaitu ketika Sunan Kudus menyebarkan ajaran

agama Islam dan mendirikan Masjid Menara Kudus pada tahun 956 Hijriyah atau 1549 Masehi. Kota Kudus dikenal dalam sejarah masa silam maupun dewasa ini karena perkembangannya ke arah kemajuan. Selain nilai sejarah yang ditinggalkannya, perkembangan Kota Kudus dari tahun ke tahun hingga era global seperti sekarang ini terus berkembang dan mengalami kemajuan sesuai dengan tuntutan zaman. Sesungguhnya, Kudus dapat diberi julukan : Kota Wali, Kota Wisata, Kota Budaya, Kota Sejarah dan Kota Kretek (Solichin Salam, 1988 : 3).

Kudus merupakan sebuah kota tua yang mempunyai warisan budaya dan sejarah yang kaya. Dikatakan bersejarah karena di Kudus banyak peninggalan sejarah masa lampau, bangunan monumental yang unik dan spesifik. Kota Kudus memiliki sejarah masa lampau kewalian tempat penyebaran agama Islam oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria, sehingga Kudus mendapat julukan salah satu Kota Wali. Peninggalan bersejarah seperti Menara Kudus, Masjid Menara Kudus, Makam Sunan Kudus, Makam Sunan Muria, dan Museum Kretek merupakan bukti bahwa Kudus merupakan kota bersejarah. Kudus juga mencatat sejarah besar mengenai industri rokok kretek (Solichin Salam, 1988 : 3). Kudus juga telah melahirkan Raja Kretek sebagai pioneer wirausahawan pribumi. Perusahaan rokok kretek baik besar maupun kecil berhasil menopang kesejahteraan rakyat Kudus. Kudus mencapai tingkat kesejahteraaan tertinggi di Jawa Tengah yang ditopang dari industri rokok kretek yang telah lahir sejak tahun 1890. Perkembangan industri rokok kretek Kudus maju pesat, di mana industri rokok kretek ini mampu memberikan kontribusi ekonomi mencapai 40% terhadap pemerintah (Aristasius Sugiya, 2001 : 128).

Secara administratif, penggunaan tanah di Kudus dimanfaatkan sebagai : tempat tinggal, lahan pertanian, jalan, bangunan, dan lain-lain. Pada mulanya lahan pertanian di kota Kudus cukup luas dan dimanfaatkan untuk penanaman tanaman pangan. Sebagian besar penduduk Kudus bermatapencaharian sebagai petani dan pedagang. Seiring dengan perkembangan jaman, bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri di daerah pedesaan menyebabkan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Penduduk desa yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, memerlukan tanah untuk tempat tinggal dan

tempat menggantungkan hidup bagi perekonomian keluarga. Karena tanah pertanian semakin sempit, maka penduduk mencari penghasilan tambahan lain yang dapat menopang perekonomian keluarga. Masuknya industri di Kudus yaitu industri rokok kretek menarik para wanita dari desa-desa menjadi buruh industri rokok kretek tersebut (James C Scoot, 1983 : 115).

2. Kondisi Demografis Kudus

Pembahasan mengenai penduduk di wilayah Kudus tidak lepas dari kondisi geografis kota Kudus. Kudus memiliki kontur tanah datar dan berhawa panas (sejuk), sehingga lahan di kota Kudus cocok dimanfaatkan untuk penanaman tanaman pangan. Selain itu, pengaruh agama Islam di Kudus juga memungkinkan munculnya jiwa dagang masyarakat Kudus. Penduduk desa sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian dengan bertani tanaman pangan dan tebu. Penduduk di sekitar Kudus Kulon memanfaatkan pengaruh agama Islam dengan berdagang ke luar daerah Kudus. Penduduk memegang peranan penting dalam pembangunan, sesuai dengan potensi alam (pemanfaatan lahan) dan potensi sumber daya manusia daerah tersebut.

Penduduk Kudus terdiri dari berbagai macam etnis dan keturunan. Penduduk kota Kudus terdiri dari : orang pribumi, bangsa Arab, dan etnis Tionghoa. Sebagian besar penduduk Kudus memeluk agama Islam. Kaum Tionghoa sebagian besar tinggal di sekitar pusat kota, seperti di wilayah : Kramat, Panjunan, Wergu, Demaan. Orang-orang keturunan Arab sebagian tinggal di sekitar kompleks Sunan Kudus. Orang-orang pribumi menyebar ke seluruh penjuru kota Kudus. Kebanyakan dari penduduk Kudus dahulunya berprofesi sebagai pedagang, petani, perajin, atau petugas agama. Pedagang pergi membeli maupun menjual dagangannya, menjajakan dagangannya ke berbagai penjuru dan kembali ke daerah asalnya untuk berapa lama dan kemudian melakukan aktivitas dagangnya kembali. Perdagangan merupakan salah satu sumber utama kemakmuran kota Kudus sampai munculnya industri rokok kretek Kudus (Lance Castle, 1982 : 82-83). Penduduk Kudus juga mempunyai ciri dialek khas bahasa

Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang membedakan dengan daerah lain (Solichin Salam, 1984 : 3).

Perkembangan kota Kudus dari tahun 1900 sampai 1964, dilihat dari berbagai sisi kehidupan baik itu pembangunan fisik, kependudukan, maupun industri secara wajar mengalami masa pasang surut. Ada kalanya berada pada keberhasilan dan ada kalanya mengalami masa-masa suram. Sejarah kota Kudus dilihat dari garis dinamikanya menunjukkan ke arah kemajuan atau perkembangan sesuai dengan data yang diperoleh dari BPS tahun 1905-1961:

a. Tahun 1905 berpenduduk sebanyak 90.000 jiwa b. Tahun 1915 berpenduduk sebanyak 278.000 jiwa c. Tahun 1930 berpenduduk sebanyak 280.294 jiwa d. Tahun 1953 berpenduduk sebanyak 309.273 jiwa e. Tahun 1958 berpenduduk sebanyak 329.696 jiwa

f. Tahun 1961 berpenduduk sebanyak 373.598 jiwa (Solichin Salam, 1983 : 8).

Pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kudus (lihat atas) mengakibatkan seluruh aspek masyarakat maupun pemerintah berusaha mengupayakan suatu cara untuk bisa tetap menjamin kesejahteraan masyarakat secara merata. Perubahan dari satu sektor, nantinya akan mempengaruhi sektor-sektor lainnya. Pertumbuhan penduduk wanita secara nyata jumlahnya lebih banyak dibanding dengan jumlah pertumbuhan penduduk laki-laki. Untuk mengatasi pertambahan penduduk di wilayah Kudus dan semakin sempitnya lahan pertanian, maka diusahakan satu sektor di luar pertanian yaitu industri. Adanya industrialisasi, terutama industri rokok kretek Kudus membawa kemajuan yang berarti bagi kota Kudus. Di bidang industri, aneka perusahaan rokok kretek mulai dibangun dari usaha kecil. Tercatat 62 perusahaan rokok kretek berkembang di kota Kudus (Solichin Salam, 1983 : 8).

Keterkaitan antara pemenuhan kesejahteraan masyarakat dengan penyempitan lahan pertanian, mendorong sebagian penduduk wanita untuk bekerja dalam sektor industri rokok kretek Kudus. Buruh wanita lebih banyak dibutuhkan dalam industri rokok kretek Kudus, karena pengerjaan produksi rokok

kretek Kudus memerlukan kesabaran, ketelitian, keuletan, dan kerapian. Upah buruh wanita juga lebih murah jika dibandingkan dengan buruh pria. Industrialisasi mengakibatkan kesejahteraan keluarga dari buruh wanita lebih terjamin, daripada mereka hanya menggantungkan hidupnya dari hasil tani yang tidak memberikan harapan hidup secara pasti (Sofia, 1992 : 30).

Kondisi kota Kudus cukup luar biasa dalam beberapa hal. Hampir disepanjang jalan baik di kota maupun di pinggir kota dapat dijumpai pabrik rokok kretek baik besar maupun kecil. Bau saus campuran cengkeh dan tembakau mengisi lapisan udara di sepanjang jalan yang berderet gudang atau brak pabrik rokok kretek. Salah satu fenomena yang menarik di Kudus adalah pada waktu pagi-pagi buta wanita-wanita dari berbagai district di sekitar Kudus beramai-ramai memasuki pintu gerbang pabrik rokok kretek bagaikan arak-arakan semut. Kendaraan distribusi rokok kretek terlihat sering melintas menghantarkan kebutuhan konsumen. Pada sore hari mereka berbondong-bondong keluar dari brak pabrik rokok tempat mereka bekerja, dan menjalani kebiasaan para ibu-ibu yaitu berbelanja bahan makanan di depan pabrik yang telah siap dijajakan oleh para penjual insidental (Lance Castle, 1982 : 72).

Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, di mana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB (Produk Domestic Regional Bruto). Jiwa dan semangat wirausaha masyarakat Kudus diakui ulet, semboyan jigang (ngaji dagang) yang dimiliki masyarakat mengungkapkan karakter, bahwa dalam menjalankan usaha ekonomi juga menggunakan dasar ilmu agama. Kudus merupakan daerah yang dibentuk oleh Sunan Kudus dengan etos kerja yang baik. Sunan Kudus sendiri merupakan seorang pedagang. Bagi Sunan, orang saleh adalah orang yang menyeimbangkan niat dengan usaha, ibadah menjadi sumber energi dan pendorong gairah kerja. Masyarakat Kudus yang menyimpan jiwa dagang dan etos kerja tinggi mampu mandiri di bidang perekonomian. Etos kerja yang tinggi muncul akibat adanya berbagai tantangan dan harapan. Kerja keras yang tekun merupakan jawaban waktu terhadap kesuksesan pengusaha industri rokok kretek (Suharso, 1994 : 154-155).

Kudus tergolong unggul dalam bidang industri, pabrik gula terdapat di pinggir kota, pabrik kertas terdapat di berbagai penjuru, dan hampir di setiap jalan di kota Kudus rupanya terdapat pabrik kretek besar ataupun kecil. Orang-orang Kudus dahulunya memang terkenal dengan kehidupannya yang tidak jauh bergelut dengan perdagangan dan industri kecil. Pekerjaan sebagai pedagang menjadikan orang-orang Kudus terbiasa mengadakan usaha ke daerah-daerah lain untuk menguatkan jaringan distribusi hasil produksinya, termasuk rokok kretek. Selama abad ke-19 Kudus menjadi pusat sejenis perdagangan khas, pedagang menjajakan barang dagangannya ke berbagai penjuru, kembali ke kota Kudus sementara waktu, dan kemudian menjalani aktivitas berdagang kembali ke berbagai wilayah. Modal yang rendah, transaksi perdagangan minim, dan munculnya saingan pedagang Cina mengakibatkan pedagang pribumi harus pandai-pandai menyiasati persaingan perdagangan.

Potensi ekonomi Kabupaten Kudus terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta kondisi geografis yang mendukung menjadikan Kudus sebagai wilayah yang berpotensi tinggi mengembangkan sistem industri terutama industri rokok kretek. Untuk dapat memanfaatkannya maka diperlukan perencanaan, inovasi dari sumber daya manusianya, serta dukungan dari aspek ekonomi agar pengembangan kota Kudus sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sejak ditemukan rokok kretek Kudus dan berkembangnya industri rokok kretek Kudus, potensi ekonomi baik itu sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan di daerah Kudus serta sumber daya dari daerah luar penghasil bahan baku rokok kretek Kudus dapat dimanfaatkan dengan efektif.

B. Deskripsi Rokok Kretek 1. Pengertian Rokok Kretek

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dirajang. Nama rokok sendiri mulanya berasal

dari bahasa Spanyol “cigar”, “cigaret”, atau “cigarrel” artinya kebun. Rokok

dinamakan demikian karena tembakau yang dipakai untuk rokok ditanam sebagai tanaman pemeliharaan orang-orang berharta di Spanyol (Solichin Salam, 1983 : 13).

Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke-15 ketika bangsa Eropa Columbus beserta rombongannya menemukan benua Amerika untuk pertama kalinya mereka melihat penduduk asli orang Indian membungkus semacam rempah-rempah yang telah dikeringkan dengan potongan daun jagung kering, sehingga terbentuk gulungan silinder dan penggunaannya dibakar salah satu ujungnya serta menghisap asap dari ujung yang lain. Perbuatan seperti itu dipercaya dapat menimbulkan kenikmatan pada anggota tubuh, dapat membuat mereka mabuk, dan mengurangi kelelahan atau kepenatan (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 1). Kebiasaan menghisap tersebut sesungguhnya merupakan kebiasaan merokok yang sejak dulu telah mereka lakukan, walaupun belum diketahui kapan pastinya. Sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Orang-orang Eropa membawa pulang rokok ini dengan sebutan cigarro atau cerutu. Kebiasaan merokok kemudian mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa, terutama cerutu karena menghisap cerutu dianggap sebagai perlambangan kekayaan. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata (Arsip PPRK : Asal Mula Rokok).

Kalau cerutu dikenal dengan kemewahannya, maka rokok justru dikenal secara primitif oleh suku Indian. Bentuk rokok yakni tembakau yang dijejalkan dalam buluh atau batang tebu yang dikeringkan. Bentuk lainnya yaitu tembakau kering yang dimasukkan dalam batang gandum kering atau sejenis sayuran lain yang sudah dikeringkan. Rokok hanya dihisap oleh penduduk miskin yang kantongnya tipis, mereka bahkan memungut puntung cerutu milik orang kaya untuk dihisap. Kondisi menghisap cerutu sisa yang telah pendek tersebut disebut

oleh masyarakat umum sebagai “rokok si miskin” (Arsip PPRK : Asal Mula Rokok).

Abad 17 dari Amerika Selatan kebiasaan merokok menyebar ke berbagai negara di Eropa, seperti : Spanyol, Portugal, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Swiss, Turki, dan seluruh daratan Eropa. Kebiasaan merokok akhirnya masuk ke Turki dan saat itu pula kebiasaan merokok mulai masuk ke negara-negara Islam.

Di Indonesia kebiasaan merokok sulit diketahui kapan pastinya mulai berkembang. Bagi masyarakat Indonesia budaya merokok diperkirakan dimulai dengan budaya mengunyah sirih, injet dan gambir atau mengunyah buah pinang yang ada sejak dahulu kala warisan nenek moyang kita. Bahan baku rokok, tembakau bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Dimana Portugislah bangsa yang pertama kali memasukkan tembakau dan budaya merokok ke Indonesia. Dari orang jaman dahulu, tanaman tembakau dipakai untuk kepentingan pengobatan. Pada awal abad ke-17 merokok tembakau dan menghisap madat telah dikenal di Pulau Jawa. Pembesar-pembesar Jawa juga telah diketahui gemar mengkonsumsi rokok. Abad ke-18 merokok telah menjadi salah satu kebutuhan hidup primer kalangan masyarakat Jawa, tidak ubahnya dengan makan sirih. Hal ini dapat dideteksi dari besarnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Pekerjaan yang sangat sederhana tidak menghalangi mereka untuk menikmati hidup dalam ketentraman dan kenyamanan. Seorang bujangan bisa hidup dengan dua belas duit sehari, tanpa memikirkan makan makanan yang bergizi bagi tubuhnya. Jika dapat diumpamakan dua belas duit tadi digunakan untuk : tiga duit untuk membeli tembakau sebagai bahan merokok yang dibungkus dengan selembar kulit jagung kering/klobot, tiga duit untuk membeli nasi dan garam/tempe, enam duit untuk membeli beras (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 87).

Merokok tidak hanya merupakan kesenangan pribadi, namun juga menjadi hidangan penting yang disajikan kepada para tamu. Rokok dalam kepercayaan tradisional mempunyai arti sebagai barang dagangan sekaligus sebagai salah satu komponen upacara sesajen serta sebagai pelengkap berbagai macam kepentingan dan ditaruh di berbagai macam tempat. Rokok kadang juga

dipercaya sebagai salah satu alat pembayaran bagi jasa dukun di daerah pesisir utara Jawa (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 99-100).

Orang-orang Indonesia mempunyai cara tersendiri untuk membuat rokok sendiri yang akan dihisapnya. Cara yang digunakan amat sederhana, baik susunan maupun bentuknya. Pada umumnya tembakau dan campuran rempah digulung menggunakan daun jagung kering atau yang lebih biasa disebut klobot, kemudian digulung atau dilinting dengan bentuk lancip pada salah satu ujungnya, dan ujung untuk menghisap ditali menggunakan jinggo. Oleh sebab itu, rokok yang dibuat sendiri penduduk asli Indonesia pada awal penemuannya belum merupakan barang dagangan yang menarik (Solichin Salam, 1983 : 16).

Tahun 1880-an, setelah adanya usaha untuk mencampur tembakau dan rempah-rempah terbaik seperti cengkeh, bentuk kesederhanaan rokok mulai beralih ke arah barang yang lebih berarti dan menguntungkan untuk diperdagangkan. Pencampuran tembakau dan cengkeh oleh orang Indonesia merupakan penemuan rokok yang tergolong paling enak, paling tua, dan paling terkenal di berbagai penjuru. Rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, serta dibungkus dengan daun jagung kering terkenal dengan nama rokok kretek. Bunyi kretek-kretek akibat pembakaran cengkeh waktu rokok itu dihisap, menjadikan nama rokok tersebut terkenal dengan sebutan rokok kretek.

Pada umumnya rokok dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan ini dapat didasarkan atas : bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok.

Rokok berdasarkan bahan pembungkus.

a) Klobot : rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung. b) Kawung : rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren. c) Sigaret : rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas d) Cerutu : rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau (Solichin Salam, 1983 : 18).

Rokok berdasarkan bahan baku atau isi :

a) Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

b) Rokok Kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

c) Rokok Klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan menyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Solichin Salam, 1983 : 18).

Rokok berdasarkan proses pembuatannya :

a) Sigaret Kretek Tangan (SKT) : rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana.

b) Sigaret Kretek Mesin (SKM) : rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Hasil keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya, dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan telah dalam bentuk pak ataupun dalam bentuk pres (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 182). Rokok berdasarkan penggunaan filter :

a) Rokok Filter (RF) : rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

b) Rokok Non Filter (RNF) : rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus (www.demirtas.com : 11/3/09 ).

Rokok kretek pada umumnya diproduksi tanpa menggunakan filter seperti rokok-rokok lainnya. Minat rokok kretek adalah kecenderungan seseorang

terhadap rokok kretek yang menetap terhadap diri sendiri sehingga timbul kepuasan bagi individu tersebut. Dapat juga diartikan sebagai rangsangan terhadap sesuatu yang memberi pengaruh dalam diri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang terhadap minat rokok kretek adalah :

a) Rasa yang berbeda dengan rokok filter

b) Kemurnian pada komposisi rokok kretek dibandingkan dengan rokok filter yang memiliki komposisi cengkeh dan tembakaunya yang sedikit.

c) Faktor prestise yang didapat oleh individu yang mengkonsumsinya. d) Harga yang lebih mahal menjadikannya tingkat faktor yang cukup diperhatikan dan memberi kepuasan tersendiri bagi individu yang mengkonsumsi.

e) Individu tersebut tidak pernah mengkonsumsi rokok lain selain