• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pemasaran Rokok Kretek Industri Rokok Kretek Kudus awal Dekade 1900-an Dekade 1900-an

1. Sistem Pemasaran Rokok Kretek Kudus awal Dekade 1900-an

Laku tidaknya suatu produk, tidak hanya bergantung pada kualitas produk tersebut tetapi juga ditentukan oleh strategi pemasaran yang diterapkan agar dapat menjaring konsumennya. Dalam perkembangan industri rokok kretek Kudus,

tercatat bahwa Nitisemito sebagai pelopor sistem pemasaran modern industri rokok kretek di Kudus. Perkembangan perusahaannya kian maju karena Nitisemito mengadakan sistem promosi berhadiah sejak 1930. Pada setiap bungkus rokok kretek Bal Tiga di belakangnya diberi keterangan : setiap bungkus rokok kretek harus disimpan setelah mencapai jumlah tertentu dapat ditukar dengan hadiah menarik. Hadiahnya, antara lain : sepeda, arloji, gelas, piring, T-shirt. Semua barang hadiah diberi cap rokok kretek Bal Tiga. Untuk menunjang promosi ini perusahaan mempunyai bus khusus yang berkeliling dari kota ke kota yang lain untuk membawa contoh-contoh hadiah. Bus ini dibuat khusus dengan kaca lebar, hadiah digantungkan dalam jendela kaca tersebut sehingga dapat terlihat dengan jelas benda promosi itu dari luar. Selain itu, orang-orang dapat menukarkan hadiah di bus tersebut (Arsip foto dan benda-benda promosi milik perusahaan Bal Tiga di Museum Kretek Kudus).

Setiap ada pekan raya, pasar malam, Sekatenan, rokok kretek cap Bal Tiga membuka stand dengan mempergunakan sistem hadiah atau loterij. Hadiahnya bahkan kadang berupa mobil sedan baru dan hadiah lain yang menarik. Penjualan ketika mengikuti pasar malam bisa mencapai 500.000 batang habis (Solichin Salam, 1983 : 26).

Sistem hadiah dapat diberlakukan karena : (1) jika pembelian melalui agen tentu ada korting bila membeli dalam jumlah banyak, (2) jika rokok kretek dijual eceran berarti ada extra profit, (3) dan dari keuntungan yang diperoleh inilah dipergunakan sebagai hadiah oleh pabrik rokok kretek Bal Tiga (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Setiap tahun diadakan pasar malam di Surabaya (Jaarmarkt), Solo (Sekatenan), dan di Semarang pabrik rokok kretek Nitisemito selalu ikut serta membuat stand untuk mempromosikan dan menjual rokok kreteknya. Selain itu, sistem periklanan melalui reklame juga telah dilakukan oleh perusahaan rokok kretek milik Nitisemito. Di Jakarta dan Bandung rokok kretek Bal Tiga menyebarkan selebaran melalui udara dengan menyewa pesawat jenis Fokker baling-baling seharga 150-200 Gulden. Untuk menarik perhatian pembeli

digunakan banyak taktik. Rokok menggunakan jinggo hijau diganti menjadi jinggo merah (Solichin Salam, 1983 : 26).

Sandiwara keliling juga dibentuk dalam rangka menjalankan promosi. Sandiwara keliling biasanya mendatangkan lakon terkenal. Industri rokok kretek sebagai sponsor, ikut membentangkan spanduk atau reklame promosi perusahaan rokok kretek. Penonton sandiwara keliling biasanya tidak dipungut biaya karcis, cukup dengan menukar bekas pembungkus rokok kretek Bal Tiga Nitisemito untuk dapat menyaksikan sandiwara keliling tersebut (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Ketika tahun 1937 rokok kretek Bal Tiga mendirikan R.V.K ”Radio Vereniging Koedoes”. Sekalipun zender radio ini tidak boleh secara resmi

digunakan sebagai reklame pabrik. Tapi setiap siaran disebutkan radio Bal Tiga Kudus maka dengan sendirinya rokok Bal Tiga dikenal dimana-mana (Solichin Salam, 1983 : 26).

Pemasaran rokok kretek melalui berbagai pedagang perantara, antar lain : asongan, kaki lima, toko kelontong, pedagang keliling sebagai media promosi, setiap ada pameran di berbagai daerah selalu mendirikan stand rokok kretek, media penyebaran melalui kumpul-kumpul para pesepeda ontel, ngopi-ngopi, malalui seni (pementasan drama, musik, teatrical) (Arsip foto Propinsi Jawa Tengah : promosi pabrik Bal Tiga Nitisemitos).

Pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus masa 1900-an berkembang dikalangan para agen, warung, pedagang asongan. Masa 1920-an, disetiap kampung/desa ataupun dikota sudah terdapat banyak penjual rokok. Di kota khususnya penjual rokok tersebar di berbagai penjuru, mulai dari kios-kios kecil penjual rokok, warung penjual barang kelontong, sampai kedai nasi dimana biasanya para konsumen rokok sering membeli rokok sebatang sebagai pelengkap setelah makan nasi.

Pemasaran rokok kretek Kudus tidak hanya terbatas di wilayah pulau Jawa saja, tapi sampai keluar Jawa. Pada masa jayanya rokok kretek milik Nitisemito, hampir tersebar ke seluruh Jawa bahkan sampai Lampung. Berdasarkan kondisi geografis, adat istiadat, dan minat, setiap daerah pemasaran rokok kretek Kudus

memiliki perbedaan permintaan konsumsi rokok kretek. Pemasaran rokok klobot di daerah Jawa Barat sepi, karena masyarakat Jawa Barat tidak menyukai rokok yang dibungkus dengan daun jagung kering (klobot masih asing) dan mereka lebih menyukai daun kawung. Masyarakat Jawa Barat lebih menyukai sigaret kretek karena telah terbiasa menghisap rokok putih yang diproduksi daerah tersebut. Untuk daerah Jawa Tengah, daya beli masyarakat terhadap rokok klobot dan rokok kretek seimbang. Rokok klobot telah membudaya di masyarakat lingkungan keraton sampai pedesaan. Rokok kretek biasanya digemari masyarakat daerah perkotaan. Untuk pasaran Jawa Timur masyarakatnya menyukai jenis rokok keras, seperti : rokok siong, rokok klembak, rokok klobot. Konsumen rokok kretek untuk daerah Jawa Timur hanya terbatas bagi yang berusia muda dan tinggal di daerah perkotaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Pemasaran rokok kretek di Pulau Sumatra karena sebagian masyarakatnya terdiri atas transmigran dari Pulau Jawa, maka hampir sama dengan minat rokok kretek terutama Jawa Barat. Daerah pemasarannya terbatas sekitar propinsi Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Lampung. Hal ini tidak jauh beda dengan wilayah pemasaran di Kalimantan dan Nusa Tenggara (Arsip Propinsi Jawa Tengah : surat permintaan dan tembusan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito).

Ramai tidaknya pasaran hasil produksi rokok kretek Kudus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

(1) Musim

Konsumen rokok kretek Kudus yang masa itu para petani mempengaruhi ramai tidaknya pasaran rokok kretek Kudus. Adanya musim dalam dunia pertanian sangat mempengaruhi ramai tidaknya pemasaran produksi rokok kretek Kudus. Kalau musim sesudah panen, pemasaran rokok kretek Kudus sangat ramai. Kantong para petani setelah panenan juga masih tebal. Bila musim hujan tiba pemasaran rokok kretek Kudus menjadi sepi. Banyak petani musim hujan kembali bekerja ke sawah. Bila musim tandur seperti itu,

kebanyakan petani lebih senang membuat rokok kretek sendiri atau tingwe karena biayanya lebih murah.

(2) Bulan Besar

Pada bulan Besar banyak masyarakat yang menyelenggarakan pesta sunatan dan perkawinan. Rokok kretek sangat dibutuhkan sebagai suguhan bagi para tamu undangan dan orang-ornag yang membantu dalam penyelenggaraan hajat tersebut (Wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Selama perkembangannya 1970-an, pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus tidak hanya terbatas dalam negeri dan baru meluas ke berbagai negara (Amen Budiman & Onghokham : 1987, 196). Sistem pemasaran hasil produksi rokok kretek Kudus dari perusahaan ke perantara adalah dengan mengangkat agen-agen penjualan di berbagai daerah. Agen-agen tersebut bertanggung jawab terhadap kelancaran penjualan rokok kretek. Agen perusahaan rokok kretek diangkat langsung oleh pengusaha rokok kretek. Agen-agen dalam memperoleh hasil produksi rokok kretek tidak langsung dari pusat, tapi harus melalui Tempat Pemasaran Rokok (TPR). Kalau daerah tempat agen berada tidak ada TPR maka agen dapat memperoleh rokok langsung dari pusat.

TPR didirikan oleh pengusaha rokok kretek dengan tujuan untuk memudahkan pengontrolan pemasaran di daerah-daerah yang jauh dari pusat perusahaan. TPR diberi wewenang penuh oleh perusahaan rokok kretek untuk mengangkaat pegawai, membeli alat inventaris, dan mengatur jalannya pemasaran dengan mengkoordinir agen-agen di wilayah kekuasaannya. TPR diberi komisi 2% oleh perusahaan dari rokok kretek yang terjual. Sedangkan, agen mendapat komisi langsung dari perusahaan rokok kretek.

Kunci keberhasilan pemasaran rokok kretek terletak pada kecakapan pegawai TPR dan agen perusahaan. Peran agen dan TPR diberbagai daerah amat penting bagi kelangsungan perusahaan. TPR dan agen dapat menjatuhkan perusahaan rokok kretek dengan menjual hasil produksi yang telah rusak ke pasaran bebas. Hubungan baik antara perusahaan rokok kretek, TPR, dan agen

harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi kejatuhan perusahaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Pada dasarnya, pemasangan iklan dan promosi perusahaan rokok kretek terutama perusahaan besar sangat efektif dilakukan dan akan semakin berkembang berkat adanya penyebarluasan dari satu orang ke orang lain secara lisan. Pembicaraan demi pembicaraan dimana rokok kretek tersebut terkenal di suatu daerah secara tidak langsung akan menyebarluaskan kualitas rokok kretek dan merk rokok kretek secara lisan akan menarik konsumen satu ke konsumen yang lain (Lance Castle, 1982 : 47).

F. Perubahan Manajemen Industri Rokok Kretek Kudus Dekade 1920-an 1. Latar Belakang Masuknya Golongan Tionghoa dalam

Industri Rokok Kretek Kudus

Pada awalnya industri rokok kretek di Kudus berada di tangan pengusaha pribumi dan mengalami kemajuan yang pesat. Banyak para pengusaha memperoleh keuntungan yang berlimpah, prospek usaha yang ditawarkan industri rokok kretek Kudus sangat bagus. Nasib baik para pengusaha pabrik kretek pribumi pada waktu itu memunculkan kepercayaan orang untuk beradu nasib di bidang industri rokok kretek. Keberhasilan pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut menarik golongan lain di luar pribumi yaitu etnis Tionghoa untuk beradu nasib pada industri rokok kretek. Akibat kesulitan fiskal (baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan), kesukaran untuk mendapatkan cengkeh yang sebagian besar didatangkan dari daerah luar, serta persaingan dengan pusat-pusat produksi rokok kretek di luar wilayah Kudus menjadi penyebab kegagalan pabrik kecil milik pengusaha pribumi dan menguntungkan munculnya perusahaan bermodal besar. Dalam waktu yang relatif singkat, pengusaha pabrik kretek Tionghoa berusaha mengikuti jejak keberhasilan pengusaha kretek pribumi. (Charles A Coppel : 1994, 39).

Golongan Tionghoa dengan kelebihannya, mengikuti jejak pengusaha pribumi dalam industri rokok kretek tersebut. Di Kudus, kelompok Tionghoa

menunjukkan keunggulan dalam usahanya ketimbang pribumi. Masyarakat keturunan Tionghoa di Kudus yang mempunyai modal, tidak mau kalah terhadap masyarakat pribumi Kudus dalam mendirikan perusahaan rokok kretek. Keuntungan golongan Tionghoa yang telah terkenal dengan stereotip kemapanan manajemen ekonominya membawa mereka melesat bagaikan roket dalam berbagai bidang ekonomi. Selain itu, sejak pemerintahan kolonial dalam struktur sosial mereka ditempatkan pada golongan kedua yang memungkinkan mereka menjadi kekuatan ekonomi dominan. Etnis Tionghoa dengan kekhasannya yang cenderung mengeksklusifkan diri, memandang rendah golongan pribumi asli, hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri khususnya kepentingan ekonomi (Charles A Coppel : 1994, 39).

Pada masa kolonial jelas masyarakat digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) golongan priyayi atau pegawai, seperti : guru, dokter, dsb; (2) golongan pedagang; (3) golongan wong cilik, termasuk buruh, pelayan rumah tangga, dsb. Golongan orang Cina merupakan saatu golongan berbeda dalam fungsi ekonomi sama dengan wong dagang, tetapi secara kultural perbedaannya sangat menyolok (Lance Castle, 1982 : 88).

Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang dirasa cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil.

Munculnya industri rokok kretek milik Tionghoa mengakibatkan industri rokok kretek pribumi di Kudus mengalami kemunduran. Sebaliknya pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus berhasil memperkuat posisinya. Kebanyakan diantara mereka berhasil membangun pabrik-pabrik yang lebih besar daripada setiap pabrik milik pribumi yang pernah dibangun sebelumnya. Permodalan yang dimiliki pengusaha Tionghoapun lebih besar daripada milik pengusaha pribumi.

Dalam bidang perdagangan dan perusahaan, pribumi harus menghadapi kekuatan usaha Tionghoa yang lebih banyak jumlahnya dan berkedudukan kuat. Kelompok Tionghoa banyak menarik keuntungan dari sistem kolonial, ketika itu di Kudus pesaing usahanya adalah kelompok pengusaha pribumi terutama dalam persaingan pembuatan rokok kretek spesialisasi Kudus.

2. Kerusuhan 1918 di Kudus

Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil.

Pada tahun 1918, persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Korban berjatuhan di antara kedua belah pihak, sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Sekitar 50 rumah dihancurkan, 8 orang Tionghoa dibunuh dan sebagian besar mati karena dibakar, kira-kira 2000 orang Tionghoa di Kudus melarikan diri ke Semarang. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menindak para perusuhnya. Dua orang perusuh meninggal dan 60 lainnya luka-luka. Sejumlah 75 orang ditangkap dan diinterogasi, kemudian 61 orang dijatuhi hukuman 9 bulan sampai 15 tahun. Laporan dari kedua pihak pribumi dan Tionghoa mengenai penyebab perusuhan sangat kontras. Laporan dari pihak pribumi mengatakan bahwa perusuhan terjadi karena orang Tionghoa memancing kemarahan karena membawa naga arak-arakan mereka melewati masjid Sunan ketika masjid dalam proses renovasi dan cara-cara Tionghoa lain yang dianggap pribumi menghina Nabi dan agama Islam. Selain itu alasan dari pihak Tionghoa, bahwa munculnya industri rokok kretek Tionghoa diduga memancing huru-hara karena pengusaha rokok kretek pribumi mengalami kerugian besar dalam pengusaha rokok kretek Tionghoa. Laporan dari pihak Tionghoa tersebut

menduga keras perusuhan tersebut didalangi oleh pengusaha rokok kretek pribumi (Lance Castle, 1982 : 103-104).

Pengusaha-pengusaha pribumi yang dicurigai berperan terhadap aksi tersebut diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kondisi tersebut semakin memperburuk kedudukan pengusaha kretek pribumi yang telah kalang kabut dibuat karena kekuatan pengusaha pabrik kretek Tionghoa, hingga harus mengalami kemunduran. Berlawanan dengan kondisi pengusaha kretek pribumi, pengusaha kretek Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek Kudus akibat peristiwa tersebut (Lance Castle : 1982, 103).

Terjadi ketidakseimbangan antara jumlah pengusaha dan jenis usaha yang dimiliki antara pribumi dan Tionghoa dalam industri rokok kretek Kudus. Pengusaha rokok kretek pribumi yang jumlahnya banyak memiliki perusahaan kecil dan menengah. Sedangkan pengusaha Tionghoa yang jumlahnya sedikit mempunyai perusahaan besar.

Perusahaan rokok kretek Kudus milik pribumi tidak mampu menyaingi perusahaan Tionghoa dalam kemajuan perusahaannya. Generasi muda pribumi jauh berbeda dengan golongan Tionghoa. Generasi muda pribumi tidak penah dibimbing dalam teknik perdagangan sesuai dengan tuntutan pasar yang semakin kompleks. Modal yang dimiliki pribumi masih kecil. Ketika pengusaha pribumi mencapai keberhasilan, mereka lebih memilih memboroskan harta merek auntuk kepentingan prestise semata (Marcell Bonneff, 1983 : 242).

Bagi golongan Tionghoa, semangat pembaharuan mereka tinggi. Kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan keadaan terkontrol berkat kemampuan mengelola keuangannya. Hubungan kekerabatan amat solid, kekerabatan secara turun-temurun bila ada saudaranya yang kesusahan maka akan saling bantu (Marcel Bonneff, 1983 : 243).

Keunggulan yang dimiliki golongan Tionghoa dan ketertarikan melihat keberhasilan golongan pribumi menarik mereka untuk ikut beradu nasib dalam industri rokok kretek Kudus.

2. Lahir dan Berkembangnya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Tionghoa Perusahaan rokok kretek pertama milik Tionghoa tahun 1930 yang didirikan di Pati adalah pabrik rokok kretek Minak Djinggo milik Tionghoa Kho Djie Siong. Kho Djie Siong lahir di Kudus tahun 1910. Kho Djie Siong adalah anak seorang pedagang keliling Cina. Ketika usianya 15 tahun, Kho Djie Siong sudah bekerja kepada orang tuanya. Kho Djie Siong adalah pemuda cerdas terbukti usaha ayahnya maju pesat ketika Kho Djie Siong ikut mengelola usaha ayahnya. Namun, usahan ayah Kho Djie Siong mengalami ganjalan karena usahanya tertangkap oleh polisi rahasia Belanda yang mencium ketidakberesan toko yang dimilikinya (toko candu ilegal). Usaha toko milik keluarga Kho Djie Siong kemudian ditutup dan kekayaannya disita oleh Belanda (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Pada masa-masa itu Kho Djie Siong menganggur, dan akhirnya berkenalan dengan Karmaen yang pada waktu itu bekerja di perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik mertuanya Nitisemito. Kho Djie Siong dan Karmaen adalah teman lama, ketika mereka masih sama-sama sekolah di HIS Semarang. Melihat nasib sahabat lamanya yang tak menentu, Karmaen mengajaknya untuk ikut bekerja di perusahaan rokok kretek Nitisemito (http://bluedayax.multiply.com/journal/item : 13/3/2009).

Pekerjaan pertamanya di perusahaan rokok kretek Bal Tiga adalah sebagai petugas pengontrol pemasaran rokok kretek di berbagai daerah di seluruh Jawa. Pekerjaan tersebut dikerjakan dengan tekun dan jujur selama 2 tahun. Ketekunan Kho Djie Siong membuatnya diangkat sebagai agen perusahaan rokok kretek di daerah Pati. Jabatan kepercayaan ini digunakan, Kho Djie Siong sebagai titik tolaknya untuk menjalin kerjasama dengan sesama rekannya agen di seluruh Jawa Tengah untuk berusaha mendatangkan tembakau dan cengkih untuk dijual kepada perusahaan rokok kretek Bal Tiga melalui Karmaen.

Jabatan yang dipegang Kho Djie Siong sebagai agen secara resmi, merangkap pedagang tembakau di perusahaan rokok kretek Bal Tiga dan hubungannya semakin baik dengan Karmaen menumbuhkan keinginan untuk membunjuk Karmaen agar mau memberi bocoran mengenai seluk beluk

pembuatan rokok kretek beserta sistem pemasarannya. Rahasia berupa keterangan dari Karmaen diketahui oleh Nitisemito, yang berakibat dipecatnya Kho Djie Siong oleh Nitisemito (http://bluedayax.multiply.com/journal/item : 13/3/2009).

Tahun 1929, Kho Djie Siong memutuskan kembali ke Pati untuk membuka kembali usaha ayahnya. Atas saran dari rekan-rekan agen rokok kretek Bal Tiga, Kho Djie Siong diminta untuk mencoba membuat perusahaan rokok kretek di daerah Pati dengan bekal rahasia pembuatan rokok kretek Bal Tiga yang telah diperoleh Kho Djie Siong dari Karmaen.

Akhirnya, perusahaan rokok kretek Kho Djie Siong berdiri 1930 di Pati yang diberi cap Minak Jinggo. Berdasar dari kesenangannya terhadap satriya dari Blambangan Minakjinggo dan asal daerah istrinya dari Blambangan, maka Kho Djie Siong memberikan label Minak Jinggo pada produksi rokok kreteknya. Jenis produksi rokok klobot dengan cap : Auto Sedan, Kimar, Cabang (Trisula). Jumlah tenaga kerjanya baru sekitar 50 orang. Pemasarannya masih terbatas ke daerah : Jawa Tengah dan Jawa Barat (Solichin Salam, 1983 : 33).

Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo dipindah ke Kudus jalan A.B.C (jalan dondong), karena tenaga kerja susah didapat di daerah Pati. Selain memproduksi rokok klobot, usahanya mulai memproduksi rokok jenis sigaret kretek. Masyarakatnya lebih tertarik untuk bekerja membatik, upah buruh cukup tinggi, biaya transportasi mahal. Alasan tersebut dipilih untuk memindah perusahaan rokok kretek Minak Jinggo ke Kudus untuk menghindari kerugian yang makin besar pada perusahaan yang baru saja berdiri (Solichin Salam, 1983 : 33).

Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Bal Tiga mengalami perselisihan mengenai rencana penghibahan perusahaan rokok kretek kepada Sumadji Nitisemito, putra ke-empat Nitisemito yang ditentang oleh Karmaen menantu Nitisemito yang telah banyak memberikan sumbangsih. Kondisi yang memanas dalam tubuh intern keluarga Nitisemito ini, dimanfaatkan oleh Kho Djie Siong untuk memproduksi rokok kretek Minak Jinggo sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan stok rokok kretek Bal Tiga yang produksinya semakin menurun. Politik Kho Djie Siong memanfaatkan kondisi berhasil dengan baik, berkat

dukungan Karmaen dan dukungan sebagian rekan-rekan Kho Djie Siong yang masih menjadi agen rokok kretek Bal Tiga. Rokok kretek Minak Jinggo dengan cepat menguasai pasaran karena harganya lebih murah dan rasanya sama dengan rokok kretek Bal Tiga. Rahasia sistem pencampuran tembakau dan cengkeh diperoleh dari Karmaen, dengan alasan agar perusahaan rokok kretek Bal Tiga tidak jatuh ke tangan Sumadji. Karmaen adalah seorang yang ahli pula mencampur bahan tembakau dan cengkeh di perusahaan rokok kretek Bal Tiga selain Nitisemito (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).

Tahun 1935, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo pindah lokasi di Jalan Nganguk No.11 Kudus. Sampai tahun 1940, pemasaran hasil produksi rokok kretek Bal Tiga mendapat saingan rokok kretek Minak Jinggo. Tahun 1940, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo mengalami perkembangan pesat, dan mengeluarkan produksi baru yang dikenal dengan nama Nojorono. Tahun 1960, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo terus berkembang menjadi salah satu perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus. Pemasaran rokok klobotnya melingkupi pulau Jawa, bahkan luar Jawa (Solichin Salam, 1983 : 34).

3. Ambruknya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Pribumi ”Bal Tiga”

Pasang surut dalam dunia industri rokok kretek merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam industri rokok kretek Kudus baik pribumi maupun Tionghoa. Khusus untuk perusahaan rokok kretek Bal Tiga konflik keluarga sangat mencolok. Ketika masa kolonial Hindia Belanda, akibat perselisihan hebat akhirnya diketahui bahwa perusahaan rokok kretek Bal Tiga memiliki pembukuan ganda. Hal ini sebenarnya dikatakan sudah lazim dikalangan pengusaha rokok kretek baik pribumi maupun non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menuduh perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito ini belum membayar pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah kolonial. Rumah dan mobil Nitisemito disita. Kebaikan hati penguasa kolonial, melihat jasa Nitisemito yang telah banyak membayar pajak kepada pemerintah sehingga sangat membantu keuangan pemerintah, maka perusahaan rokok kretek Bal Tiga diperbolehkan beroperasi kembali. Keputusan penguasa ini diambil dengan persetujuan dan pertimbangan

bahwa apabila pabrik diberikan kelonggaran beroperasi maka hutang pajak yang