• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. GEREJA YANG BERDIALOG DENGAN

A. Hakikat Dialog dalam Tugas Perutusan Gereja

3. Dialog sebagai Usaha Bersama Mewujudkan Kerajaan Allah 41

Dialog merupakan salah satu wujud konkret partisipasi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah. Maksud Kerajaan Allah ini dijelaskan secara rinci dalam Redemptoris Missioart. 12 yaitu bahwa Kerajaan Allah merupakan wujud keselamatan yang sudah dipersiapkan oleh Allah dalam Perjanjian Lama, dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus, serta diberikan kepada semua orang oleh Gereja, yang berkarya dan berdoa demi perwujudannya secara sempurna dan pasti. Kerajaan Allah itu sudah dimulai oleh Kristus dalam sejarah hidup manusia.

Kerajaan Allah bukanlah realitas eksklusif yang hanya merangkul orang-orang tertentu saja melainkan Kerajaan Allah itu diperuntukkan bagi semua manusia. Semua orang dipanggil untuk menjadi anggota Kerajaan Allah. Keselamatan yang dihadirkan oleh Kerajaan Allah merangkum sekaligus dimensi-dimensi rohani dan jasmani kehidupan manusia. Kenyataan yang demikian ini juga telah ditunjukkan oleh Yesus Kristus sendiri selama Ia dalam berkarya, mengampuni dan menyembuhkan semua manusia di dunia. Kerajaan Allah juga telah mengubah hubungan antar manusia. Apabila orang mulai saling mencintai, mengampuni, dan melayani satu sama lain, maka Kerajaan Allah tumbuh di antara mereka. Karena itu, hakekat dari Kerajaan Allah adalah suatu persekutuan di antara semua umat manusia satu dengan lain dan persekutuan antara manusia dengan Allah. Semuanya itu akan diraih apabila semua orang hidup berdampingan dan menjalin hubungan yang dialogis antara satu sama lain.

Dengan demikian Kerajaan Allah menjadi wawasan misioner Gereja. Eksistensi Gereja pertama-tama untuk mengabdi Kerajaan Allah dan melayani manusia. Atas dasar inilah Gereja perlu menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain dan dengan siapapun yang beritikad baik untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keadilan, kasih, perdamaian, pengabdian dan sebagainya dalam hidup bersama (Gal 5:22-23). Dalam dialog tema-tema Kerajaan Allah telah membangkitkan pemikiran-pemikiran yang baru bahwa arti keselamatan tidak lagi disempitkan pada peranan Gereja dengan segala kebijakan pastoralnya, tetapi lebih pada partisipasi seluruh umat manusia untuk secara bersama-sama berjuang membangun Kerajaan Allah yang dapat membawa keselamatan bagi semua manusia.

B. Pengertian Dialog Antar Umat Beriman

Hendropuspito (1983: 172) menegaskan bahwa kata dialog berasal dari kata Yunani dia-logos yang berarti bicara antara dua pihak atau dwiwicara. Hendropuspito juga mendefenisikan dialog adalah percakapan antara dua orang atau lebih dalam mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Lebih lanjut dialog berarti pula pergaulan antar pribadi-pribadi yang saling memberikan diri dan berusaha mengenal pihak lain sebagaimana adanya. Florent K. Pake (1989: 34) berpendapat bahwa dialog adalah percakapan. Percakapan terjadi antara dua orang atau lebih yang ikut ambil bagian di dalamnya. Dikatakan dalam dialog itu hadir beberapa orang, hadir pribadi-pribadi manusia yang berlandasakan keterbukaan, saling menghargai, saling menerima satu sama lain.

Muhammad Wahyuni Nafis (1998: 96) menekankan kembali pemikiran Swidler yang mengartikan dialog sebagai perbincangan dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah saling belajar antar peserta sehingga masing-masing peserta dapat mengubah pandangannya dan mengikat pengalaman religiusnya. Kemampuan untuk belajar sesuatu yang baru merupakan kunci dialog. Dialog yang menjembatani jurang di antara umat beriman tidak tergantung kepada persetujuan berdasarkan pemikiran yang umum, melainkan kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan adalah hal yang dapat dipelajari.

Mega Hidayati (2008: 54) menegaskan kembali pandangan Gadamer bahwa dialog merupakan percakapan yang dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk saling memahami. Dalam dialog itu bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat di dalamnya, dan merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin atau dipimpin. Pemimpin di sini berarti mereka yang mengontrol percakapan, sehingga memungkinkan percakapan direkayasa dan hasilnya dapat diketahui sebelum percakapan berlangsung.

Freire (1985: 73) mendefinisikan dialog sebagai suatu bentuk perjumpaan di antara sesama manusia dengan perantaraan dunia, dalam rangka menamai dunia. Manusia yang hadir dalam dialog adalah sesama manusia, yang mengakui orang lain sebagai sesamanya dan sama dengan dirinya. Dengan demikian perjumpaan antara sesama manusia harus berdasarkan cinta yang mendalam kepada kehidupan, kepada dunia, dan manusia. Dialog juga menuntut adanya kerendahan hati dan keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia yang secara

manusiawi mampu menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dialog yang sejati juga perlu adanya pemikiran yang kritis atau refleksi mendalam tentang kelanjutan dan perubahan realitas yang dihadapi manusia menuju humanisasinya. Dialog itu tidak hanya menggunakan pemikiran kritis tetapi juga harus mampu melahirkan dan menghasilkan pemikiran kritis dan efektif.

Armada Riyanto (2010: 194) menegaskan kembali pengertian dialog menurut dokumen Dialogue Proclamation art. 9 yang mendefenisikan dialog terdiri dari tiga macam arti dialog. Yang pertama, dalam tingkat manusia sehari-hari, sebagai komunikasi timbal balik. Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan, atau menjalin persatuan. Yang kedua, lebih berkaitan dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat dialogis. Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan orang lain. Yang ketiga, merupakan arti khusus, sekaligus yang dimaksudkan dalam pembahasan ini. Dialog merupakan hubungan antar agama yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam relasi dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan, juga termasuk di dalamnya kesaksian dan pendalaman keyakinan keagamaan masing-masing.

Armada Riyanto (2010: 191) juga menekankan pemikiran Paus Yohanes Paulus II bahwa dialog dalam level paling mendalam yang pada prinsipnya adalah

dialog keselamatan. Dialog keselamatan ialah dialog yang terus menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami tanda-tanda Allah dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan merupakan sharing keselamatan. Dalam dialog ini, mereka yang terlibat di dalamnya diajak untuk saling membagikan pengalaman keselamatannya.

Setelah membaca pandangan para ahli dan pandangan Gereja tentang dialog, maka penulis memahami bahwa dialog adalah suatu percakapan atau komunikasi antara dua orang atau lebih di mana tidak hanya diadakan pertukaran pikiran, nilai dan pengalaman iman yang dimiliki oleh masing-masing peserta dialog, melainkan lebih dari itu di mana dalam dialog diharapkan adanya suatu perubahan dalam diri peserta dialog yang dilandasi oleh semangat cinta kasih dan persaudaraan sejati untuk berjuang bersama sesamanya dalam rangka mengubah dunia ke arah yang lebih baik dan bermanfaat di mana Allah meraja di dalamnya, sehingga semua orang dapat mengalami cinta kasih dan keselamatan dari Allah tanpa terkecuali.