• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. GEREJA YANG BERDIALOG DENGAN

C. Tujuan Dialog Antara Gereja dengan Umat Beriman Lain

Untuk mendalami tujuan dari dialog antar umat beriman, penulis terinspirasi oleh tulisan Reuel L. Howe dalam bukunya “The Miracle of Dialogue” seperti yang disadur oleh Tom Wignyanta. Tujuan dialog yang dimaksud oleh Reuel L. Howe ini pertama-tama bukan merupakan tujuan dialog antar umat beriman tetapi lebih merupakan tujuan dialog pada umumnya. Namun tujuan dialog ini juga penting untuk dipahami dan dihayati oleh umat beriman

dalam melakukan dialog. Untuk itu, berikut ini penulis akan menjabarkan secara satu persatu mengenai tujuan dialog dari Reuel L. Howe sebagaimana disadur oleh Tom Wignyanta tersebut. Menurut Reuel L. Howe seperti yang disadur oleh Tom Wignyanta (1972: 68-78) menegaskan bahwa sekurang-kurangnya ada empat tujuan dialog yang sesungguhnya. Pertama, dialog bertujuan untuk menyalurkan informasi dan nilai-nilai di antara individu-individu atau kelompok; kedua, dialog membantu orang untuk mengambil suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan kebenaran yang dikemukakan; ketiga, dialog mengembalikan bentuk-bentuk kehidupan kepada vitalitas yang mula-mula melahirkannya; dan keempat, dialog membawa pribadi-pribadi kepada perwujudan diri sendiri.

Pertama, dialog bertujuan untuk menyalurkan informasi dan nilai-nilai di antara individu-individu atau kelompok. Dengan kata lain, yang utama dalam dialog adalah memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang telah terkumpul sebagai hasil studi dan pengalaman dari generasi-generasi manusia di masa lalu. Informasi dan nilai-nilai kehidupan manusia dapat diperoleh tidak hanya dari masa depan tetapi juga dapat diperoleh dari masa lalu sebab manusia selalu berjalan dalam sejarah kehidupan. Melalui dialog inilah segala informasi dapat berupa pengalaman, nilai-nilai dan ajaran iman dari tradisi atau agama tertentu disampaikan kepada generasi manusia masa kini. Nilai-nilai tradisi atau ajaran iman agama tertentu yang seharusnya digunakan sebagai pedoman hidup secara fleksibel sesuai dengan situasi jaman yang berkembang tetapi dalam kenyataan nilai-nilai atau ajaran iman itu dipandang sebagai sesuatu yang mutlak dan baku

sehingga tidak dapat diubah. Pola pikir yang demikian sangat dekat dengan pola pikir kaum fundamentalis radikal. Pola pikir seperti ini tentu sangat berbahaya karena manusia dituntut untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan situasi jaman dulu sehingga situasi masa kini dilihat sebagai suatu ancaman yang perlu dihindari atau jika mungkin dilawan dengan sekuat tenaga. Maka tidak heran jika dewasa ini sering terjadi berbagai tindakan kekerasan dan perpecahan yang mengatasnamakan agama. Melalui dialog, diharapkan segala informasi dan nilai-nilai dari masing-masing individu atau kelompok agama yang diterima itu dapat disalurkan dan diperkembangkan berdasarkan kaidah-kaidah yang ada, dengan demikian semua orang dapat saling belajar dan saling memperkaya demi perkembangan hidupnya di dunia.

Kedua, tujuan dialog ialah membantu orang untuk mengambil suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan kebenaran yang dikemukakan. Dalam dialog ini tujuan utamanya bukan untuk mencapai kesepakatan atau memaksakan pihak lain untuk mengikuti keinginan kita tetapi melainkan tujuan dari dialog ini adalah memberikan informasi dan nilai-nilai yang dimiliki dan membantu orang lain untuk berpikir secara bebas dalam mengambil suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hati nuraninya. Tidak peduli apakah keputusan pihak lain itu ya atau tidak karena keduanya sama pentingnya. Dalam dialog ini sikap yang berbeda-beda dari peserta dialog dihargai. Dialog seperti ini tidak ada soal kalah dan menang namun yang terpenting itu adalah tumbuhnya sikap saling pengertian yang obyektif dan kritis serta menumbuhkan kembali kesadaran dari dalam diri yang semula tertutup

oleh jurang pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada bentuk kejiwaan yang otentik bagi kedua belah pihak untuk mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati sesuai dengan kebebasan hati nuraninya. Meskipun demikian dalam kenyataannya bahwa dialog yang demikian sangat tidak mudah untuk dilaksanakannya, meskipun masih ada sedikit orang yang dapat melakukannya.

Ketiga, tujuan dialog adalah mengembalikan bentuk-bentuk kehidupan kepada vitalitas yang mula-mula melahirkannya. Hidup selalu menyatakan diri dalam bentuk tertentu. Dan tiap-tiap bentuk itu menjelaskan vitalitas yang telah melahirkannya. Vitalitas keyakinan, kepercayaan kepada Tuhan dalam diri manusia menghantar mereka pada suatu bentuk kehidupan yang dikenal dengan cinta kasih dalam kehidupan bersama. Dan agama, merupakan suatu lembaga atau organisasi yang dapat mengorganisir seluruh umat beriman untuk dapat hidup dan mengembangkan hidup imannya dengan baik dan tertib sesuai dengan kaidah-kaidah dalam agamanya. Eksistensi agama pada hakikatnya adalah baik karena mencita-citakan manusia yang bertaqwa, beriman dan hidup dalam kedamaian. Namun dalam kenyataan bahwa agama yang sebenarnya mengajarakan kebaikan bagi semua umatnya itu seringkali dijadikan alat oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi atau golongan sehingga mengakibatkan berbagai ketegangan atau konflik atas nama agama sehingga telah menghancurkan segala bentuk kehidupan bersama yang penuh dengan kedamaian, persaudaraan, kekeluargaan dan cinta kasih di antara umat beriman. Melalui dialog agama diharapkan bentuk kehidupan yang telah hancur akibat kekerasan dan berbagai konflik atas nama agama itu dapat dikembalikan kepada vitalitasnya semula.

Keempat, tujuan dialog adalah membawa pribadi-pribadi kepada perwujudan diri sendiri secara otentik. Manusia satu dengan yang lainnya adalah sama dan sederajat. Tidak ada manusia yang boleh berkuasa atas manusia yang lain meskipun manusia itu mempunyai kekuasaan atas dunia ciptaan, dan tidak ada batasan yang mengikatnya. Manusia ada karena adanya manusia lain. Ini adalah hakikat hidup manusia. Dalam kodratnya, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dan berharap disapa dan direspon. Lewat penyapaan dan respon di antara pribadi manusia dapat melahirkan kerjasama demi kepentingan hidup bersama. Dalam konteks kehidupan umat beriman hal inipun terjadi. Banyak kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok beragama yang memiliki identitas yang nampak, misalnya agama Islam, Katolik, Hindu, Budha dan lain-lain. Ini adalah sebuah realitas di mana manusia membutuhkan identitas di tengah-tengah situasi hidup bersama.

Sapaan dan respon menjadi cara berkomunikasi yang dapat dilakukan manusia. Sapaan dan respon disebut juga sebagai bentuk dialog. Melalui dialog umat yang satu dengan yang lain meskipun berbeda disapa dan direspon maka dengan demikian kehadiran mereka menjadi lebih dihargai dan dipandang sebagai sesama yang sederajat dengan dirinya. Dengan demikian, dialog sampai pada hakikatnya yang sejati yakni memanusiakan manusia dengan penuh cinta kasih. Jika hal ini terjadi dalam kehidupan bersama dalam dunia jaman ini, penulis yakin bahwa dunia ini akan menjadi lebih damai dan tidak mungkin lagi ada peperangan

yang menelan banyak korban jiwa. Akhirnya penulis sangat setuju dengan pandangan Howe yang disadur oleh Tom Wignyanta bahwa yang menjadi tujuan dialog antar umat beriman adalah mengembalikan bentuk-bentuk kehidupan yang telah dirusak kepada vitalitasnya semula yaitu perdamaian, kesejahteraan, persaudaraan, kerukunan dan sebagainya.

Melalui dialog yang sejati masing-masing pribadi yang beriman dapat mengalami sebuah peristiwa religius yang mengindikasikan secara tidak langsung bahwa mereka mengalami suatu perubahan yang disertai sikap respek terhadap agama lain. Hal ini juga ditegaskan kembali oleh Muhamad Wahyuni Nafis (1998: 96) mengenai pandangan Swidler bahwa tujuan dari dialog adalah untuk belajar dan dengan demikian menjadi berubah. Dalam proses dialog itu, peserta dialog belajar lebih dan lebih lagi sehingga dapat meningkatkan pemahaman intelektual dan pandangannya tentang partnernya, dengan demikian dapat menghilangkan pemahaman keliru yang sebelumnya dimiliki tentang partnernya. Dalam dialog, peserta dialog saling belajar mengenai apa yang dimiliki oleh partnernya, perbedaan-perbedaannya, menjembatani antipati dan kesalahpahaman, agar dalam hidup bersama kita menjadi lebih dekat, merasakan dan bertindak dalam basis hidup bersama. Dalam konteks penulisan skripsi ini, tujuan dialog antar umat beriman adalah membina kesadaran umat Katolik untuk meningkatkan dialog dengan umat beriman lain dalam masyarakat plural. Untuk itu, berdasarkan uraian mengenai tujuan dialog dengan umat beriman lain di atas tersebut, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dialog antar umat beriman dalam masyarakat plural adalah kesediaan dan keterbukaan dari dalam diri umat Katolik

untuk terus belajar dalam meningkatkan pemahaman intelektual dan pandangannya melalui kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain, dengan demikian dapat membawa suatu perubahan sikap dan pemahaman yang baru dalam diri secara utuh dan mendalam akan umat beriman lain, yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan suatu tindakan atau aksi demi terwujudnya kerukunan, perdamaian, persaudaraan, persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama di tengah dunia. Hal ini dapat terwujud jika adanya keterbukaan dalam diri setiap orang untuk berdialog dan bekerjasama dengan orang lain. Untuk itu salah satu cara yang dapat dilakukan Gereja adalah terus meningkatkan kesadaran bagi umat Katolik untuk menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain dalam kehidupan bersama.