• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. GEREJA YANG BERDIALOG DENGAN

D. Syarat-Syarat Dialog dengan Umat Beriman Lain

Menurut Armada Riyanto ( 1995: 114-115) dialog dengan umat beriman lain bukanlah suatu komunikasi yang tanpa syarat. Tidak dapat dipungkiri bahwa dialog dengan umat beriman lain merupakan kenyataan yang tidak gampang diwujudkan. Dialog dengan umat beriman lain menuntut syarat khusus. Maka berikut ini akan diuraikan syarat-syarat dialog dengan umat beragama lain:

1. Dialog Meminta Keseimbangan Sikap

Dialog menuntut keseimbangan sikap dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka harus bersikap jujur, terbuka, mau mendengarkan, saling menghargai, tidak egois dan tidak berprasangka perihal perbedaan-perbedaan yang muncul. Dialog dengan umat beragama lain juga hendaknya dihindarkan

kecenderungan untuk mengkritik, sekalipun itu didukung dengan kutipan-kutipan dari Kitab Sucinya atau berdasar wahyu tertulis. Kehendak dan cita-cita bersama untuk terlibat dalam pencapaian kebenaran dan kesediaan untuk membiarkan diri dibentuk dan dikembangkan dalam perjumpaan, merupakan syarat dalam dialog. Aneka kecenderungan yang menganggap diri paling benar haruslah dicegah dan ditinggalkan dengan penuh kerendahan hati.

2. Dialog Meminta Kemantapan Iman dan Menolak Indiferentisme

Dialog dengan umat beriman lain tidak mungkin dijalankan dalam kerapuhan dan keragu-raguan mengenai imannya. Dialog sejati tidak memperlemahkan iman, melainkan memperdalam iman para peserta dialog. Peserta dialog akan semakin menyadari identitasnya sebagai penganut agama yang telah diimaninya. Bagi orang Katolik, memupuk keterbukaan dan membiarkan diri mereka diuji, mereka akan dapat mengumpulkan buah-buah dari dialog dengan umat beragama lain. Mereka akan menemukan karya Allah melalui Yesus Kristus di dalam RohNya yang terus dilaksanakan bagi seluruh umat manusia di dunia. Iman mereka akan mendapatkan dimensi baru pada saat mereka menemukan kehadiran yang aktif dari misteri Yesus Kristus di luar batas-batas Gereja yang kelihatan dari diri umat beragama lain.

Dialog dengan umat beriman lain yang perlu diusahakan selain pandangan terbuka dan positif terhadap umat beriman lain tetapi juga harus menghindarkan dan membuang sikap-sikap indiferentisme. Indiferentisme harus dicegah, sebab pandangan ini selain mengantar kepada sikap acuh tak acuh mengenai

tuntutan-tuntutan imannya, juga menampilkan sikap menggampangkan sekaligus menyederhanakan pandangan tentang agama-agama sebagai sama saja semuanya. Sikap acuh tak acuh dan memandang semua agama sebagai sama saja merupakan sikap yang naif dan justru sangat merugikan iman orang yang bersangkutan.

3. Dialog Tidak Menghendaki Teologi Universal

Gereja tidak menghendaki usaha-usaha menguniversalkan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog. Gereja justru menilai bahwa keunikan teologi setiap agama yang terlibat dalam dialog (dialog Teologi), bila dipertahankan dan diperkembangkan akan sangat memperkaya satu sama lain. Gereja tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama, sebab itu dapat membawa pada kecenderungan sikap indiferent karena sikap indiferent pada prinsipnya adalah sikap memandang semua agama saja, biarpun dikatakan dalam pemahaman teologis yang kompleks. Namun di lain pihak, Gereja juga tidak menghendaki keanekaragaman pandangan teologis dari agama-agama menjadi sumber pemecah belah kesatuan umat manusia. Kesatuan umat manusia tidak bisa dikorbankan demi alasan kepentingan agama.

Freire (1985: 74-80) juga memamparkan bahwa suatu dialog yang ideal haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya rasa cinta

Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia. Cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog, serta dialog itu sendiri (Freire, 1985: 74). Karena cinta merupakan suatu

laku keberanian, bukan ketakutan, maka cinta adalah pemihakan kepada orang lain. Dalam hal dialog antar umat beriman ini diharapkan cinta yang dapat membawa pemihakan kepada kepentingan bersama semua orang tanpa terkecuali. Cinta harus membawa pada kebahagian bersama bukan membawa pada kematian dan perusakan. Cinta tidak sentimental dan tidak boleh dijadikan sebagai alat manipulasi. Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan berikutnya. Jika saya tidak mencinta dunia, saya tidak mencintai kehidupan, jika saya tidak mencintai sesama manusia, saya tidak dapat memasuki dialog.

Laku (2011: 140-141) menekan kembali pemikiran Pannikar menyatakan bahwa suatu dialog akan menjadi dialog sesungguhnya bila peserta dialog memahami sesamanya sebagaimana dia memahami dirinya sendiri, mengenal partner dialog bukan sebagai obyek, melainkan sebagai aku (alter ego), yaitu diriku sendiri yang lain. Dialog bisa terjadi bila para peserta dialog saling terbuka, tulus dan jujur dalam berkomunikasi, berusaha untuk saling mengenal dan mencintai partner dialognya sebagai dirinya sendiri. Dialog dapat berjalan dengan baik bila melihat yang lainnya bukan sebagai yang ekstrinsik, atau yang kebetulan semata, tetapi melainkan sebagai partner yang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk secara bersama-sama berusaha menemukan kebenaran karena kita bukanlah sebuah pribadi yang dapat berdiri sendiri atau individu yang otonom. Dialog antar umat beriman bukan semata-mata suatu kegiatan akademis atau intelektual, tetapi suatu tindakan rohani yang melibatkan iman, harapan dan kasih. Oleh karena itu, dialog harus dimaknai sebagai suatu sikap religius yaitu mencintai Allah

melampaui segala hal dan mencintai sesama sebagaimana kita mencintai diri sendiri.

2. Adanya Kerendahan Hati

Dialog sebagai perjumpaan antar sesama manusia yang dibebani tugas bersama untuk belajar dan berbuat. Dialog antar umat beriman yang sejati tidak akan terwujud bila para pelaku dialog tidak memiliki sikap kerendahan hati untuk mau belajar dari orang lain. Dalam dialog antar umat beriman, peserta dialog harus memandang lawan bicaranya sama dan sederajat dengannya, sebagai teman yang memiliki hak yang sama untuk ikut menyumbangkan pandangannya demi perkembangan hidup bersama bukan memandang partner dialognya sebagai lawan yang harus dikalahkan atau memandang partnernya sebagai musuh yang ingin menyerang pandangannya sehingga berusaha dengan sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang memiliki pandangan yang lebih bernilai atau paling benar dari orang lain. Sebab dalam dialog agama itu yang terpenting bukan soal kalah dan menang dan juga tidak ada soal orang-orang yang paling bijak dan orang-orang yang bodoh tetapi yang terpenting dan utama adalah orang-orang yang mau terus mencoba dan terus belajar lebih dan lebih lagi dari apa yang sudah dimiliki dan diketahuinya.

3. Adanya kepercayaan

Dialog harus mendasarkan diri pada cinta, kerendahan hati dan keyakinan maka dialog akan menjadi sebuah bentuk hubungan horizontal di mana sikap

saling mempercayai di antara pelaku dialog merupakan suatu konsekuensi yang dapat masuk akal. Dialog antar umat beriman menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog. Manusia dialogis percaya pada orang lain bahkan sebelum ia bertatap muka dengannya. Tanpa adanya kepercayaan terhadap sesama manusia, dialog hanyalah sebuah omong kosong semata. Cinta palsu, kerendahan hati palsu dan keyakinan yang lemah terhadap diri manusia tidak akan membuahkan rasa saling percaya. Kepercayaan bergantung kepada kenyataan di mana suatu pihak menunjukkan kepada pihak lain tujuannya yang murni dan konkret. Hal ini tidak akan terjadi bila kata-kata peserta dialog tidak sejalan dengan tindakannya.

4. Adanya Harapan

Harapan berakar pada ketidaksempurnaan manusia, di mana mereka secara terus menerus melakukan usaha pencarian. Pencarian hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain. Adanya dehumanisasi sebagai akibat tatanan tidak adil bukan merupakan sebab untuk berputus asa, tetapi justru untuk berharap, yang menumbuhkan usaha terus menerus untuk mencapai kemanusiaan sejati. Jika para peserta dialog tidak mengharapkan apa-apa sebagai hasil dialog mereka, maka perjumpaan itu akan menjadi sesuatu yang kosong, hampa, birokratis dan menjemukan.

5. Melibatkan Pemikiran Kritis

Dialog sejati akan terwujud jika melibatkan pemikiran-pemikiran kritis yang melihat suatu hubungan yang tidak terpisahkan antara manusia dan dunia, yang memandang realitas sebagai proses perubahan, tidak memisahkan dirinya dari tindakan, tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah keduniawian, dan tanpa gentar untuk menghadapi resiko. Pemikiran kritis yang dimaksudkan di sini adalah cara pandang dari peserta dialog untuk kritis melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat dan berani untuk secara bersama-sama berjuang memperbaharui realitas kehidupan ke arah yang lebih baik untuk kehidupan bersama. Laku (2011: 138-141) menegaskan kembali pemikiran Panikkar yang mengatakan bahwa agar dialog antar umat beriman dapat menjadi suatu dialog yang berhasil dan sungguh menjadi suatu dialog yang sejati apabila dialog itu dimulai dengan mempertanyakan ajaran atau agama diri sendiri dan relativitas kepercayaan-kepercayaannya, dengan bersedia menerima berbagai tantangan perubahan, pertobatan dan berbagai resiko tergugatnya pola-pola tradisional yang menjadi dasar keyakinannya. Dalam dialog antar umat beriman, peserta dialog diharapkan untuk masuk ke kedalaman dirinya sendiri, merefleksikan, dan mengoreksi serta mengkritik ajaran dan tradisi agamanya sendiri sekaligus menyiapkan tempat yang semestinya bagi yang lainnya untuk masuk dan menyelam ke dasar dirinya secara terbuka untuk dapat mengetahui dan menemukan suatu kebenaran bagi dirinya baik itu kebenaran akan agamanya yang masih tersembunyi maupun agama yang lainnya. Dialog antar umat beriman mengajak kita untuk merefleksikan secara mendalam akan agama dan

kepercayaan diri sendiri, dan menjumpai sesama dalam diri kita sendiri sehingga kita semakin mengenal diri kita sendiri melalui yang lainnya, dan melihat yang lainnya bukan lagi sebagai orang lain tetapi melainkan sebagai sesama, dengan demikian secara bersama-sama untuk saling bergandengan tangan dalam mengupayakan suatu perubahan dan pembaharuan bagi manusia dan dunia ke arah yang lebih baik bagi kesejahteraan hidup bersama.