• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar dari deklarasi nostra aetate sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran berdialog dengan umat beriman lain melalui katekese - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Belajar dari deklarasi nostra aetate sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran berdialog dengan umat beriman lain melalui katekese - USD Repository"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

BELAJAR DARI DEKLARASINOSTRA AETATESEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN BERDIALOG DENGAN UMAT BERIMAN LAIN MELALUI KATEKESE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Dominikus Dance

NIM: 091124003

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tua, kakak, adik, dan semua keluargaku serta sahabat-sahabatku yang telah memberikan dukungan semangat

(5)

v MOTTO

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah

murid-muridKu, yaitu jikalau kamu saling mengasihi”.

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “BELAJAR DARI DEKLARASI NOSTRA AETATE SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN

BERDIALOG DENGAN UMAT BERIMAN LAIN MELALUI

KATEKESE”.Judul skripsi ini dipilih berdasarkan keprihatinan penulis terhadap situasi masyarakat dunia dewasa ini yang sangat rentan terjadi konflik karena adanya pluralitas. Kenyataan menunjukkan bahwa pluralitas itu sering menimbulkan berbagai ketegangan dan kekerasan jika tidak ditangani secara bijak. Berbagai ketegangan dan kekerasan yang terjadi selama ini hanya dapat diredam jika semua orang mau bergandengan tangan untuk terlibat aktif dalam berdialog dan berkerjasama guna memperjuangkan terwujudnya suatu dunia baru di mana nilai-nilai Kerajaan Allah ada di dalamnya. Bertitik tolak dari kenyataan itu, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan kesadaran umat supaya semakin terlibat aktif dalam membangun dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran umat untuk berdialog dengan umat beriman lain. Permasalahan tersebut diolah dengan menggunakan studi pustaka guna memperoleh pemikiran-pemikiran untuk dipahami dan direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan pokok yang dapat dipergunakan sebagai dasar bagi umat dalam memahami dan menghayati pentingnya membangun dialog dengan umat beriman lain.

Dokumen deklarasi Nostra Aetate merupakan salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang menjadi tonggak sejarah dan dasar bagi Gereja Katolik dalam langkahnya membangun dialog dengan umat beriman lain. Dialog dengan umat beriman lain ini ditegaskan dalam deklarasi Nostra Aetate bahwa Gereja secara resmi mengakui adanya tata keselamatan dan rahmat pada agama dan kepercayaan lain. Oleh karena itu, Gereja mendorong seluruh umatnya untuk menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain. Pandangan positif Gereja terhadap umat beriman lain ini bukan tanpa persoalan karena di satu pihak Gereja harus mewartakan Kerajaan Allah kepada semua orang, tetapi di lain pihak Gereja juga harus membangun dialog dengan umat beriman lain. Bertitik tolak dari persoalan tersebut maka dijelaskan juga mengenai peranan dialog dengan umat beriman lain sebagai tugas perutusan Gereja untuk mewujudkan imannya. Dialog dengan umat beriman lain merupakan suatu gerakan atau aksi bersama untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah bagi kehidupan bersama.

(9)

ix

ABSTRACT

This thesis entitled "LEARNING FROM THE DECLARATION OF NOSTRA AETATE AS AN EFFORT TO INCREASE AWARENESS ON DIALOGUE WITH OTHER BELIEVERS THROUGH CATECHESIS”. The title of this thesis selected was based on the concerns with the situation of the world today that is very vulnerable to conflict because of the plurality. The fact is that it often creates a plurality of tensions and violence if not being handled wisely. The tensions and violence that can only be eliminated if everyone would join hands to have dialogue and cooperation in the fight for the creation of a new world in which the values of the Kingdom of God are in it. Based on that fact, this thesis is intended to help to increase the understanding and awareness of the people to be more actively involved in a dialogue and a cooperation with other believers through catechesis.

A key issue in this thesis is how to increase the awareness of the people to promote dialogue with other believers. Those problems were analyzed by the use of library study to obtain ideas to be understood and reflected, and also to obtain the main ideas that can be used as a basis for the people to understand and appreciate the importance of establishing a dialogue with other believers.

Nostra Aetate Declaration is one of the documents of Vatican II Council that became a milestone and the basis for the Catholic Church in a stride to establish a dialogue with other believers. The dialogue with other believers is emphasized in the declaration Nostra Aetate that the Church officially recognizes the existence of salvation and graces found in other religions and beliefs. Therefore, the Church encourages the whole community to build a network and a dialogue with other believers. This positive view of the Church towards other believers is not without problems because on the one hand the Church must proclaim the Kingdom of God to all people, but on the other hand the Church should establish a dialogue with other believers. Based on these issues as well as it needs to explain the role of dialogue with other believers as the Church's mission to bring faith. Dialogues with other believers is a movement or collective action to fight for the values of the Kingdom of God to the common life.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul BELAJAR DARI DEKLARASI NOSTRA AETATE SEBAGAI UPAYA

UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN BERDIALOG DENGAN

UMAT BERIMAN LAIN MELALUI KATEKESE.

Skripsi ini lahir dari pengalaman dan refleksi penulis atas berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah bangsa Indonesia yang majemuk ini. Berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi selama ini menimbulkan berbagai persoalan dan kesenjangan dalam kehidupan bersama antar umat beriman. Konflik dan kekerasan yang semakin merajalela ini hanya dapat diredam apabila semua umat beriman mau bergandengan tangan untuk berjuang bersama dalam mengusahakan terwujudnya kerukunan dalam hidup bersama. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan kesadaran umat agar semakin lebih terbuka dan terlibat aktif lagi dalam menjalin dialog dengan umat beriman lain di tengah kehidupan bersama. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(11)

xi

kesempatan ini penulis dengan tulus hati menghaturkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed. selaku Kaprodi IPPAK dan sekaligus dosen pembimbing utama yang selalu memberikan perhatian, meluangkan waktu untuk mendampingi dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. C. Putranta, SJ. Selaku dosen penguji II yang telah bersedia membaca, memberikan kritik dan masukan serta mendampingi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

3. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M.Hum. selaku dosen penguji III yang telah bersedia membaca, memberikan kritik dan masukan, serta mendampingi penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini.

4. Seluruh staff dosen dan karyawan Prodi IPPAK yang telah mendidik, dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan studi di Prodi IPPAK-USD dengan baik.

5. Bapak, mama, kakak, adik dan semua keluarga yang selalu memberikan semangat, dukungan moral dan material serta doa bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.

(12)
(13)

xiii

BAB II. DEKLARASINOSTRA AETATETENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN UMAT BERIMAN LAIN ... 11

A. Sejarah DeklarasiNostra Aetate... 12

1. Latar Belakang Lahirnya DeklarasiNostra Aetate... 13

2. Naskah A: Deklarasi Tentang Orang Yahudi ... 14

3. Naskah B: Sikap Gereja Katolik Terhadap Orang-Orang Bukan Kristiani, Terutama Yahudi ... 15

(14)

xiv

Terhadap Agama-Agama Non-Kristiani ... 18

6. Naskah E: Deklarasi Tentang Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristiani ... 20

B. Tujuan DeklarasiNostra Aetate ... 20

C. Struktur dan Isi DeklarasiNostra Aetate... 24

1. Struktur DeklarasiNostra Aetate... 25

2. Isi DeklarasiNostra Aetate... 26

a. Gereja Katolik Menghargai Segala Yang Baik dan Suci dalam Agama-Agama ... 27

b. Sikap Gereja Terhadap Islam ... 28

c. Dialog Dengan Umat Yahudi ... 30

D. Tanggapan Atas Sikap Gereja Terhadap Umat Beriman Lain dalam DeklarasiNostra Aetate ... 31

BAB III. GEREJA YANG BERDIALOG DENGAN UMAT BERIMAN LAIN ... 37

A. Hakikat Dialog dalam Tugas Perutusan Gereja ... 38

1. Dialog sebagai Wujud Kesaksian Perutusan Gereja ... 38

2. Dialog sebagai Bagian Evangelisasi ... 40

3. Dialog sebagai Usaha Bersama Mewujudkan Kerajaan Allah 41 B. Pengertian Dialog Antar Umat Beriman ... 42

C. Tujuan Dialog Antara Gereja dengan Umat Beriman Lain ... 45

D. Syarat-Syarat Dialog dengan Umat Beriman Lain ... 51

E. Hambatan-Hambatan Dialog dengan Umat Beriman Lain ... 58

F. Bentuk-Bentuk Dialog dengan Umat Beriman Lain ... 60

1. Dialog Kehidupan ... 60

2. Dialog Karya ... 62

3. Dialog Pandangan Teologis ... 63

4. Dialog Pengalaman Keagamaan (Dialog Pengalaman Iman) . 64 BAB IV. KATEKESE SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENINGKATKAN DIALOG ANTAR UMAT BERIMAN ... 65

A. Gambaran Umum Katekese ... 66

(15)

xv

2. Tujuan Katekese ... 68

B. Katekese ModelShared Christian PraxisSebagai Salah Satu Upaya Meningkatkan Dialog Antar Umat Beriman ... 70

1. Tiga Elemen ModelShared Christian Praxis ... 71

a. Shared ... 71

b. Christian ... 71

c. Praxis ... 72

2. Tujuan Katekese ModelShared Christian Praxis ... 72

3. Langkah-Langkah Katekese ModelShared Christian Praxis. 73 a. Langkah I (Pertama) : Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual ... 73

b. Langkah II (Kedua) : Refleksi Kritis atau Sharing Pengalaman Hidup Faktual ... 73

c. Langkah III (Ketiga) : Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau ... 74

d. Langkah IV (Keempat) : Interpretasi/Tafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 75

e. Langkah V (Kelima) : Keterlibatan Baru demi Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini ... 75

C. Usulan Program Katekese ModelShared Christian Praxis Untuk Meningkatkan Dialog Antar Umat Beriman ... 76

1. Latar Belakang ... 76

2. Alasan Diadakannya Kegiatan Katekese Model Shared Christian Praxis ... 79

3. Tujuan Kegiatan Pendampingan ... 80

4. Pemilihan Materi ... 81

5. Matriks Usulan Program Katekese ... 84

6. Contoh Persiapan Program Katekese bagi Umat di Lingkungan Warung Pring Ganjuran dengan Menggunakan Katekese ModelShared Christian Praxis ... 90

BAB V. PENUTUP ... 108

A. Kesimpulan ... 108

(16)

xvi

DAFTAR PUSTAKA ... 112

LAMPIRAN ... 115

Lampiran 1: Teks Lagu Pembukaan ... (1)

Lampiran 2: Teks Cerita“Cinta dan Persahabatan”... (2)

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DCG: Directorium Catechisticum Generale, Direktorium Kateketik Umum yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci para Klerus, 11 April 1971

DP: Dialogue and Proclamation, Dokumen Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa dan Sekretariat untuk Dialog Antar Umat Beriman, 19 Mei 1991.

(18)

xviii

RM: Redemptoris Missio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

AG: Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965

LG: Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 21 November 1964.

C. Singkatan Lain Art : Artikel

FABC :Federation of Asian Bishop’s Conferences Hal. : Halaman

KU : Katekese Umat

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia MAWI : Majelis Agung Waligereja

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia Prodi : Program Studi

PUSPAS : Pusat Pastoral PUSKAT : Pusat Kateketik

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara yang majemuk. Dikatakan majemuk karena Negara Indonesia memiliki berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, ras, termasuk juga keanekaragaman agama. Kemajemukan Bangsa Indonesia ini merupakan suatu sumber kekayaan yang patut dibanggakan oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai warga negara yang satu yaitu negara Republik Indonesia. Dengan keanekaragaman suku, budaya dan agama, orang dapat saling belajar satu dengan yang lainnya, dengan demikian dapat saling memperkaya. Namun di balik itu juga, kemajemukan merupakan suatu tantangan karena rentan terjadi konflik apabila ditangani secara tidak arif. Kekhawatiran bahwa kemajemukan sangat rentan terjadinya konflik, maka sejak mempersiapkan proklamasi kemerdekaan bangsa, para founding fathersmerumuskan dalam suatu landasan dasar ideologi dan falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945, sebagai landasan dasar pemersatu seluruh bangsa Indonesia. Selain itu juga telah dicanangkan Tri Kerukunan, yaitu Kerukunan Antar Umat Beragama, Kerukunan Intern Umat Beragama dan Kerukunan Antar Umat Beragama dengan Pemerintah (Yewangoe, 2002: 26-28).

(20)

Perbedaan ajaran, tidak saja dengan mereka yang beriman lain tetapi juga dengan mereka yang seiman, mudah menjadi alasan kekerasan dan konflik antar umat beriman seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, penyerangan terhadap kelompok Ahmadyiah, Sunni dan Syiah di Situbondo dan beberapa daerah lainnya (Yewangoe, 2002: 28). Selain beberapa konflik tersebut, masih ada konflik lainnya yaitu munculnya perda-perda tentang syariat Islam di beberapa daerah seperti Tasikmalaya dan Cianjur dan juga fundamentalis-fundamentalis baru dalam suatu agama yang sangat fanatik dan radikal.

Dalam semua peristiwa kekerasan dan konflik antar umat beriman itu, anehnya tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah sebagai lembaga tertinggi, tetapi malahan kelompok-kelompok pelaku kekerasan itu sengaja dibiarkan ataupun didiamkan saja sehingga dengan demikian kelompok-kelompok ini semakin berani dan gencar untuk melakukan kekerasan dalam memaksakan kehendaknya (FPUB, 2008: 12-18). Konflik-konflik antar umat beriman maupun antar internal umat beriman yang merebak ini mengakibatkan hilangnya rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana terdapat dalam rumusan dasar ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan landasan pemersatu bangsa. Dalam hal ini juga, Krispurwana Cahyadi (2011: 69) menegaskan pandangan Paus Yohanes Paulus II sebagai berikut:

(21)

semakin tumbuh. Oleh karena itu, dialog baginya merupakan langkah penting agar rekonsiliasi dan pemulihan kehidupan bersama dapat dibangun.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa pluralitas masyarakat dapat mengakibatkan terjadinya konflik dan perpecahan yang sulit untuk dihindarkan dalam hidup bersama di tengah masyarakat. Konflik dan perpecahan ini hanya dapat terhindarkan, jika semua orang memiliki keinginan dan kesediaan yang sama dari dalam dirinya untuk menjalin kerjasama dan dialog guna mengusahakan terwujudnya suatu dunia baru yang lebih baik di mana nilai-nilai Kerajaan Allah semakin ditegakkan di tengah hidup bersama.

(22)

Pluralitas agama di Indonesia yang ditandai dengan munculnya berbagai ketegangan dan konflik antar umat beriman ini juga menjadi tantangan dan keprihatinan Gereja Katolik di Indonesia untuk membuka diri dalam membangun sikap dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain. Gereja dipanggil dan diutus untuk memberikan sumbangan dan peranannya di tengah kehidupan bersama di dunia. Oleh karena itu, Gereja perlu membangun dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain dalam memerangi berbagai tindakan diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di dunia demi terciptanya kesatuan dan kerukunan dalam hidup bersama di dunia. Usaha Gereja Katolik dalam membangun dialog dengan umat beriman lain ini ditegaskan dalam Konsili Vatikan II terutama dalam deklarasiNostra Aetate.

(23)

Deklarasi Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban historis dan teologis sikap dialogis Gereja terhadap agama-agama lain, sebab dokumen ini semacam evaluasi tentang sikap Gereja di masa lampau terhadap agama-agama lain. Melalui deklarasi Nostra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu memandang positif agama-agama lain guna menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain. Sedangkan pertanggungjawaban teologis yang dimaksudkan adalah pandangan positif Gereja mengenai kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang tanpa kecuali. Karena itu Gereja merasa terpanggil untuk berdialog dan bekerjasama dengan umat beriman lain untuk memajukan persatuan dan kasih di antara umat manusia (Armada Riyanto, 1995: 53).

(24)

Mewujudkan dialog dengan umat beriman lain dalam hidup bersama di tengah masyarakat plural seperti sekarang ini merupakan salah satu bagian dari tugas perutusan Gereja dalam menciptakan masyarakat yang rukun, damai, adil dan sejahtera. Maka sehubungan dengan itu, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan reflektif kritis guna memberi harapan baru, sehingga dapat membantu meningkatkan kesadaran umat Kristiani supaya semakin terbuka dan terlibat aktif untuk berdialog dengan umat beriman lain dalam hidup bersama di tengah masyarakat. Untuk itu penulis memberi gambaran bagaimana pentingnya membangun sikap dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain melalui katekese bagi umat beriman.

(25)

untuk semakin terbuka dan terlibat aktif dalam membangun dialog dengan umat beriman lain. Sehubungan dengan itu, penulis mengambil judul dari skripsi ini, sebagai berikut: BELAJAR DARI DEKLARASI NOSTRA AETATE

SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN

BERDIALOG DENGAN UMAT BERIMAN LAIN MELALUI KATEKESE.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut :

1. Menurut deklarasi Nostra Aetate bagaimana hubungan Gereja dengan umat beriman lain?

2. Bagaimana pandangan Gereja tentang dialog dengan umat beriman lain? 3. Bagaimana katekese dapat membantu meningkatkan kesadaran berdialog

dengan umat beriman lain?

C. Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :

1. Menggambarkan pandangan Gereja dalam deklarasi Nostra Aetate tentang hubungan Gereja dengan umat beriman lain.

(26)

pemahaman umat agar semakin lebih terbuka dan terlibat aktif dalam membangun dialog dengan umat beriman lain.

3. Memaparkan gambaran katekese yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran umat dalam berdialog dengan umat beriman lain.

D. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi umat Kristiani mengenai pandangan Gereja dalam deklarasi Nostra Aetate tentang hubungan Gereja dengan umat beriman lain.

2. Memberikan pemahaman baru bagi umat Kristiani bahwa dialog dengan umat beriman lain merupakan tugas perutusan Gereja, misi pewartaan Injil dan sebagai usaha membangun Kerajaan Allah.

3. Memberikan inspirasi bagi para katekis dan guru agama dalam mengembangkan program katekese yang membangun dialog sehingga dapat meningkatkan kesadaran umat untuk semakin terbuka dan terlibat aktif dalam berdialog dengan umat beriman lain.

E. Metode Penulisan

(27)

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang penulis pilih adalah “Belajar dari Deklarasi Nostra Aetate Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kesadaran Berdialog Dengan Umat Beriman Lain Melalui Katekese”. Skripsi ini dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut:

Bab I menguraikan mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II membahas deklarasi Nostra Aetate tentang hubungan Gereja dengan umat beriman lain yang meliputi: sejarah lahirnya deklarasiNostra Aetate, tujuan deklarasi Nostra Aetate, struktur dan isi deklarasi Nostra Aetate serta tanggapan atas sikap Gereja terhadap umat beriman lain dalam deklarasi Nostra Aetate.

Bab III menggambarkan mengenai hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja, pengertian dialog, tujuan dialog, syarat-syarat dialog, hambatan-hambatan dialog dan bentuk-bentuk dialog dengan umat beriman lain.

(28)

dengan umat beriman lain. Bagian ini meliputi latar belakang, alasan diadakannya kegiatan katekese modelShared Christian Praxis, tujuan kegiatan pendampingan, pemilihan materi, matriks program katekese dan contoh persiapan katekese dengan mengunakan modelShared Christian Praxis.

(29)

BAB II

DEKLARASINOSTRA AETATETENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN UMAT BERIMAN LAIN

Deklarasi Nostra Aetate merupakan salah satu dokumen resmi Konsili Vatikan II yang secara khusus membahas mengenai hubungan Gereja Katolik dengan umat beriman lain. Deklarasi Nostra Aetate ini lahir melalui perjuangan dan pergulatan Gereja yang sangat panjang dan berat untuk sampai pada pengakuan adanya nilai-nilai positif yang terdapat pada agama dan kepercayaan lain. Pengakuan adanya nilai-nilai positif yang terdapat pada agama dan kepercayaan lain tersebut menuntut Gereja perlu untuk memperbaharui hubungannya dengan umat beriman lain.

(30)

terpanggil untuk memajukan persatuan dan kasih di antara umat manusia dengan menjalin kerjasama dan dialog bersama umat beriman lain (Armada Riyanto, 1995: 53).

Berdasarkan deklarasi Nostra Aetate kita akan melihat bagaimana pandangan Gereja mengenai hubungannya dengan umat beriman lain. Untuk itu dalam bab II ini penulis menjelaskan beberapa hal yaitu antara lain: sejarah lahirnya deklarasi Nostra Aetate, tujuan deklarasi Nostra Aetate, struktur dan isi deklarasiNostra Aetate serta tanggapan atas sikap Gereja terhadap umat beriman lain dalam deklarasiNostra Aetate.

A. Sejarah DeklarasiNostra Aetate

(31)

tentang sikap Gereja terhadap agama-agama non Kristiani dan kelima, Naskah E yang berisi deklarasi tentang sikap Gereja terhadap agama-agama bukan Kristiani.

1. Latar Belakang Lahirnya DeklarasiNostra Aetate

Pada masa Adolf Hitler menjabat sebagai pemimpin Partai Nazi di Jerman, bangsa Yahudi mengalami penganiayaan yang sangat kejam (1933-1945). Kenangan buruk atas gelombang anti-semitisme tersebut mendesak bangsa Yahudi untuk memohon kepada Sri Paus Yohanes XXIII agar Gereja berusaha memperbaiki pendapat umum mengenai deicidium (pembunuh Tuhan) yang dituduhkan kepada bangsa Yahudi (Ratzinger, 1970: 95).

(32)

ungkapan-ungkapan anti Kristen. Oleh karena itu, baik Gereja maupun bangsa Yahudi saling berjanji untuk mengakhiri intoleransi dan memperbaiki tulisan masing-masing.

Menanggapi permohonan delegasi Yahudi tersebut, pada tahun 1960 Paus Yohanes XXIII memberi perintah kepada Kardinal Bea selaku ketua sekretariat Ekumenisme yang didirikan pada tanggal 5 Januari 1960 untuk menyusun suatu pernyataan tentang sikap Gereja terhadap Yahudi (Bakker, 1972: 12).

2. Naskah A: Deklarasi Tentang Orang Yahudi

(33)

3. Naskah B : Sikap Gereja Katolik Terhadap Orang-Orang Bukan Kristiani, Terutama Yahudi

Pada sidang umum bulan November tahun 1963, Naskah A direvisi dan menjadi bab IV dari Unitatis Redintegratio. Soal deicidium tidak dimuat lagi. Atas usul beberapa Kardinal bahwa agama-agama lain juga perlu diperhatikan, dengan demikian keluarlah Naskah B dengan judul “Sikap Gereja Katolik terhadap orang bukan Kristiani, terutama Yahudi”.

Naskah B juga menimbulkan reaksi perlawanan dari para uskup Arab. Mereka tidak menyetujui Yahudi dimasukkan dalam dekrit tentang Ekumenisme, karena bagi mereka bahwa ekumenisme merupakan rekonsiliasi antara orang-orang yang sudah dibaptis dalam nama Kristus. Hal ini berarti orang-orang Yahudi tidak perlu diikutsertakan dalam ekumenisme, karena kalau orang Yahudi diikutsertakan tentunya dapat menyinggung umat dari Gereja Protestan dan Ortodoks, karena penggabungan itu berarti mereka setingkat dengan orang Yahudi, padahal Yahudi menolak Kristus sebagai Al-Masih. Selain itu juga, akan menghambat usaha ekumenis.

(34)

Selama penundaan pembahasan Naskah B, pada tanggal 6 Januari 1964, Paus Paulus VI berkunjung ke daerah Palestina dan mengadakan pertemuan dengan para pemuka umat Islam di sana. Kemudian di dalam amanat Paskahnya tanggal 29 Maret 1964, beliau memuji nilai rohani semua agama. Pada tanggal 19 Mei 1964 didirikan Sekretariat bagi umat non Kristen serta pada tanggal 6 Agustus 1964 Paus Paulus VI mengeluarkanEnsiklik Ecclesiam Suam yang isinya antara lain mengatakan bahwa Gereja mempunyai kerinduan yang besar untuk berdialog dengan agama-agama lain, terutama Islam. Semua itu dilakukan demi memperlancar persoalan Naskah B serta menetralisir persoalan yang terjadi di Timur Tengah (Bakker, 1972: 13).

4. Naskah C : Deklarasi Tentang Orang Yahudi dan Orang Bukan Yahudi Meskipun tekanan dari pemerintah Islam Arab yang dialamatkan ke Vatikan semakin besar, namun Sekretariat Ekumenisme tidak mau mengendurkan semangatnya. Pada tanggal 24 Februari sampai 4 Maret 1964, diadakan sidang pleno yang menghasilkan naskah baru.

(35)

Pada tanggal 25 September 1964, Kardinal Bea memperkenalkan Naskah C kepada sidang. Ia menjelaskan bahwa Gereja tidak selayaknya hanya berdiam diri terhadap bangsa Yahudi karena Yesus dan para rasul sendiri mencintai bangsa Yahudi.

Komisi Koordinasi memberi beberapa catatan atas Naskah C. Catatan itu antara lain, meminta agar di dalam Naskah C dimuat suatu ajakan kepada umat Katolik untuk tidak menyebut bangsa Yahudi sebagai bangsa yang terkutuk, serta harapan eskatologis Gereja akan kesatuaannya dengan Israel hendaknya ditampilkan dalam naskah itu. Catatan tersebut disalahmengerti oleh Rabbi Yoshua Hecsel. Ia menilai pernyataan tersebut sebagai paksaan halus terhadap bangsa Israel untuk menerima iman Katolik. Uskup Agung Heeman dari Westminster memberikan suatu penjelasan. Namun bagi dia sendiri munculnya kesalahpahaman dari pihak Yahudi merupakan alasan yang memadai untuk melepaskan catatan dari Komisi Koordinasi atas Naskah C.

(36)

Sementara itu, pihak Islam Arab semakin mencurigai Konsili. Komisi Tinggi Arab untuk masalah Palestina mengutus delegasinya ke Vatikan untuk menyampaikan protes melawan usaha yang sedang dikerjakan konsili. Mereka mendesak konsili agar segera menentukan sikapnya terhadap konflik Israel-Palestina.

Karena gelombang protes banyak bermunculan, maka Sekretariat Ekumenisme mengadakan sidang pada 9 Oktober 1964. Pada kesempatan itu, Kardinal Bea membacakan sepucuk surat dari Uskup Felici, sekretariat konsili yang isinya meminta agar Naskah C ditinjau kembali dan mengusulkan agar dimasukkan ke dalam skema tentang Gereja. Komisi Teologis yang menangani dokumen tentang Gereja tidak menerima anjuran tersebut (Bakker, 1976: 14).

5. Naskah D : Deklarasi Tentang Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Non-Kristiani

Akhirnya diusulkan supaya Naskah C dijadikan naskah yang berdiri sendiri. Usul tersebut diterima oleh sidang dan sejak saat itu Naskah C tidak lagi ditangani oleh Sekretariat Ekumenisme, melainkan oleh panitia khusus. Mereka mengolah Naskah C menjadi suatu naskah baru, yaitu naskah D dengan nama: “ Deklarasi Tentang Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Non-Kristiani ”. Soal bangsa Yahudi tidak lagi mendapat penekanan khusus. Pernyataan sikap Gereja terhadap bangsa Yahudi dipersatukan dengan teologi yang luas tentang agama-agama di dunia pada umumnya.

(37)

kepada sidang konsili pada tanggal 18 November 1964. Pemunggutan suara secara perorangan dilaksanakan pada tanggal 20 November 1964. Sebagian besar bapa konsili menerima naskah itu.

Kendati deklarasi tentang sikap Gereja terhadap bangsa Yahudi mendapat kerangka baru, namun pihak Islam-Arab tetap menampakkan reaksi-reaksi yang tidak bersahabat. Majelis ‘Ala Shu’un Arrabyyatum (berpusat di Cairo) mengutus delegasinya ke Roma untuk memprotes pembebasan bangsa Yahudi dari tuduhan deicidium. Radio Damaskus pada tanggal 18 November 1964 memaklumkan jihad melawan Naskah D. Surat kabar-surat kabar Arab menuliskan bahwa Konsili Vatikan II sama dengan Yudas II yang telah menjual Yesus, bukan dengan 30 keping perak melainkan dengan dolar-dolar Amerika. Demonstrasi melawan Gereja terjadi di Damaskus. Sejumlah perkampungan Kristen di Allepo dilempari granat oleh kelompok “Persahabatan Islam”. Muncul juga ancaman untuk menutup sekolah-sekolah Katolik di Timur Tengah. Setelah mengetahui kejadian tersebut Mgr. Willebrans, berkunjung ke Timur Tengah dan menyimpulkan bahwa umat Katolik di sana sungguh-sungguh berada dalam bahaya.

(38)

Theotokos (Bunda Allah) bagi Maria tidak dapat dibenarkan lagi (Bakker, 1976: 14).

6. Naskah E : Deklarasi Tentang Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristiani

Sesuai dengan hasil sidang tanggal 20 Mei 1964 bahwa Naskah D diterima namun masih perlu penyempurnaan, maka dalam sidang keempat konsili, Naskah D mengalami beberapa perubahan. Pada saat berlangsungnya sidang ke IV, aksi protes terhadap konsili yang terjadi di luar sidang sudah mereda. Rumusan terakhir yaitu Naskah E diajukan pada tanggal 15 Oktober 1965 dengan judul: “Deklarasi Tentang Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristiani”. Deklarasi ini berdiri sendiri, tidak dimuat atau dilampirkan pada naskah-naskah lain seperti diusulkan terdahulu. Dari hasil pemungutan suara diperoleh data, ada 2221 orang menyatakan setuju, 38 orang menyatakan tidak setuju sedangkan hanya 2 orang menyatakan abstain.

Pada tanggal 28 Oktober 1965, deklarasi itu ditetapkan secara resmi dengan diberi nama Nostra Aetate, yang diambil dari dua kata pertama dari deklarasi tersebut yaitu dari kata nostra dan aetate yang artinya “Zaman Kita” (Bakker, 1976: 15).

B. Tujuan DeklarasiNostra Aetate

(39)

mengenal tujuan dari deklarasi Nostra Aetate itu sendiri, kita perlu mengenali terlebih dahulu tujuan pokok diadakannya Konsili Vatikan II.

Tujuan pokok dari Konsili Vatikan II adalahAggiornamento. Maksud dari Aggiornamento adalah suatu usaha pembaharuan Gereja sesuai dengan perkembangan zaman agar Gereja mampu memberikan kesaksian secara otentik mengenai kasih dan kebenaran Allah. Oleh karena itu, pembaharuan Gereja harus didasari oleh semangat yang berasal dari sumber kasih dan kebenaran sejati yaitu Yesus Kristus. Secara implisit, tujuan tersebut dirumuskan oleh dekrit Presbyterorum Ordinisartikel 12:“Untuk mencapai tujuan pastoral: pembaharuan intern Gereja, pewartaan Injil di seluruh bumi, serta dialog dengan dunia dewasa ini” (Jacobs, 1987: 11).

(40)

Bidang kedua adalah pewartaan Injil ke seluruh dunia. Inipun dimaksudkan tidak hanya suatu peningkatan semangat untuk mewartakan Injil, melainkan juga suatu perubahan yang cukup radikal atas paham tentang misi. Misi merupakan sifat hakiki Gereja, maka kegiatan misi dilihat seluruhnya dalam kerangka pandangan baru terhadap Gereja. Unsur-unsur pokok kegiatan misi adalah pewartaan Injil dan pembentukan Gereja setempat. Kedua unsur itu berhubungan langsung, sebab tanggapan terhadap pewartaan Injil adalah iman dan iman membangkitkan komunikasi iman, itu berarti pembentukan Gereja (Jacobs, 1987: 11-12).

Bidang ketiga adalah dialog dengan dunia modern. Gereja menampilkan diri secara berbeda tidak hanya di hadapan agama-agama lain, melainkan juga di hadapan dunia modern dewasa ini. Bertolak pada perubahan pandangan terhadap dirinya sendiri, Gereja juga mempunyai pandangan yang lain terhadap dunia, baik yang bersifat sakral maupun sekuler (Jacobs, 1987: 11-12).

(41)

peranan apa yang harus dilakukan oleh Gereja jika di sekitarnya hidup dan berkembang umat beriman lain yang menjanjikan keselamatan bagi para pemeluknya. Pemahaman atas tempat dan peranan Gereja di tengah umat beriman lain akan memperbaharui pemahaman Gereja sendiri mengenai bagaimana tugasnya dalam mewartakan Injil di tengah umat beriman lain? NA art. 2 memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar, yang ada dalam agama-agama lain walaupun sungguh berbeda dengan apa yang diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang juga dapat memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang. Namun Gereja juga tidak henti-hentinya untuk tetap mewartakan dan wajib mewartakan Kristus yakni jalan kebenaran dan hidup (Yoh 14: 6). Oleh karena itu, Nostra Aetate menganjurkan supaya tugas mewartakan Injil ini dilakukan melalui dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain secara lebih bijaksana dan penuh kasih dengan mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan nilai-nilai sosio budaya yang terdapat dalam agama lain demi mewujudkan persatuan dan kasih antar semua manusia dan antar bangsa (Hardawiryana, 1991: 26).

(42)

dalam hidup bersama di tengah dunia demi kepentingan seluruh umat manusia tanpa terkecuali yang merupakan cita-cita dan tujuan dari semua umat beragama.

Berdasarkan uraian di atas tersebut maka secara eksplisit tujuan dari deklarasi Nostra Aetate adalah memajukan kesatuan dan cinta kasih antar manusia, maupun antar bangsa di seluruh dunia yang merupakan tugas panggilan Gereja. Kesadaran akan tugas panggilannya tersebut, Gereja secara lebih cermat meninjau kembali mengenai sikapnya terhadap umat lain. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam artikel kedua Nostra Aetate bahwa Gereja Katolik tidak menolak segala apapun yang baik dan benar yang terdapat pada agama-agama lain. Gereja juga menghargai nilai-nilai keselamatan yang terdapat pada agama-agama lain. Oleh karena itu Gereja perlu menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain, untuk bersama-sama berjuang dalam membangun dunia demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bagi antar manusia maupun antar bangsa dalam hidup bersama di dunia (Hardawiryana, 1991: 26).

C. Struktur dan Isi DeklarasiNostra Aetate

(43)

Allah untuk menyelamatkan semua orang tanpa terkecuali. Karena itu, Gereja merasa terpanggil untuk memajukan persatuan dan kasih di antara umat manusia. Gereja melihat bahwa bangsa-bangsa telah menyadari diri sebagai suatu masyarakat yang sedang bergerak dan mempunyai tujuan akhir sama dan satu, yakni Allah (Armada Riyanto, 1995: 53).

Deklarasi Nostra Aetate yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II ini tidak panjang seperti dokumen yang lainnya, melainkan dokumen ini sangat pendek karena hanya terdiri dari lima artikel saja. Oleh karena itu untuk memudahkan kita dalam memahami dokumen deklarasi Nostra Aetate ini, maka penulis akan menggambarkan terlebih dahulu mengenai struktur dan isi dokumen deklarasi Nostra Aetatetersebut.

1. Struktur DeklarasiNostra Aetate

Struktur berarti susunan yang memberi petunjuk bagi kita untuk dapat mempelajari sesuatu. Dalam hal ini kita akan melihat struktur yang terdapat dalam deklarasiNostra Aetate. Telah dikatakan bahwa dokumen deklarasiNostra Aetate ini tidak panjang karena hanya terdiri dari lima artikel saja yaitu sebagai berikut: a. Artikel pertama ini mengungkapan alasan historis dan teologis pembaharuan

pandangan Gereja terhadap situasi dewasa ini yang menonjolkan pluralisme agama di satu pihak dan persatuan bangsa dan manusia menjadi satu masyarakat di lain pihak.

(44)

c. Artikel ketiga menegaskan pernyataan sikap Gereja terhadap Islam d. Artikel keempat menegaskan pernyataan dialog dengan umat Yahudi.

e. Artikel kelima merupakan artikel penutup dari dokumen Nostra Aetate. Artikel kelima ini menutup dengan menegaskan semacam kriteria perihal menjalani hidup beragama. Dalam artikel kelima dikatakan bahwa “yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah” (1 Yoh 4: 8). Dengan demikian kriteria menjalankan hidup beragama menemukan kesempurnaannya dalam kesaksian hidup nyata, yaitu mengasihi sesamanya.

Artikel satu dan lima menjadi semacam bingkai atas pandangan atau suatu penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan yang ditampilkan oleh umat beriman lain, baik itu kepercayaan atas kekuasaan gaib dari bangsa-bangsa, Hinduisme, dan Buddhisme (art 2), Islam (art 3), dan Yahudi (art 4). Ketiga artikel ini dapat dikatakan sebagai dasar dialog Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. Ketiga artikel ini juga menjadi isi pokok deklarasi Nostra Aetate mengenai sikap dialogis Gereja dengan agama-agama bukan Kristen. Untuk itu ketiga artikel tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bagian berikutnya yaitu isi deklarasiNostra Aetate(Armada Riyanto, 2010: 109-110).

2. Isi DeklarasiNostra Aetate

(45)

a. Gereja Katolik Menghargai Segala Yang Baik dan Suci Dalam Agama-Agama

Sebutan agama-agama yang dimaksud Nostra Aetate artikel 2 sekurang-kurangnya ada tiga yaitu, Pengakuan terhadap yang Maha Tinggi, Hinduisme dan Budhisme. Nostra Aetate artikel 2 juga menyebut agama-agama lain di seluruh dunia. Artikel ini hendak menyapa semua agama, kecuali Islam dan Yahudi yang disebut sendiri dalam artikel berikutnya. Gereja memandang dengan penghargaan yang tulus cara bertindak dan cara hidup, peraturan dan ajaran mereka yang kendati dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan dianjurkan Gereja, namun tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangi semua orang.

Kepercayaan terhadap yang Mahatinggi (semacam Aliran Kepercayaan atau Kebatinan) menanamkan ke dalam hidup penganutnya perasaan keagamaan yang mendalam. Mereka berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar atas rahasia yang tersembunyi dalam hidup manusia, sebagaimana juga dicari oleh semua agama. Hinduisme diakui memantulkan cahaya kebenaran. Mereka berusaha mencari pembebasan dari kecemasan hidup melalui bentuk-bentuk matiraga atau meditasi yang mendalam atau dengan berpaling kepada Allah dan melakukan perbuatan cinta kasih. Budhisme mengakui bahwa secara mendasar dunia yang fana ini tidak memadai. Karena itu, mereka berusaha meraih pencerahan yang lebih tinggi. Sementara itu agama-agama lain di seluruh dunia memberikan ajaran, peraturan hidup dan ibadat suci.

(46)

kerjasama dan dialog dengan saudara-saudara beriman lain demi mengembangkan dan memajukan harta kekayaan rohani, moral dan nilai-nilai sosial-budaya yang terdapat pada mereka tersebut (Armada Riyanto, 2010: 111-112)

Konsili Vatikan II dalam Deklarasi Nostra Aetate menambahkan bahwa Gereja tiada henti-hentinya untuk terus mendorong para putera puterinya tetap mewartakan dan wajib mewartakan Kristus yang adalah “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14: 6). Sebab dalam Kristus, manusia medapatkan kepenuhan hidup dan iman, serta di dalam Kristus pula, Allah mendamaikan semua manusia dengan diri-Nya (bdk 2 Korintus 5: 18-19).

b. Sikap Gereja Terhadap Islam

Nostra Aetate artikel 3 menegaskan pernyataan bahwa Gereja Katolik secara resmi mengungkapkan penghargaannya kepada umat Islam “yang menyembah Allah yang Maha Esa, yang hidup dan berdiri pada zat-Nya sendiri, yang Mahamurah dan Mahakuasa, Pencipta langit dan yang berfirman kepada manusia”. Dengan demikian, sikap dialogis Gereja terhadap Islam bertumpu di atas iman akan Allah yang sama, karena itu Gereja mengajak umat Islam untuk berkembang dalam mencari Allah dan belajar melihat tanda-tanda kehadiran Allah yang penuh rahasia dalam sesama (Armada Riyanto, 1995: 55).

(47)

Islam (bagian 1-5). Sedangkan bagian kedua mengenai himbauan untuk berdialog yang menyangkut dua dimensi yaitu sejarah dan masa depan (bagian 6). Keenam hal tersebut yaitu pertama, Nostra Aetate mengangkat faham ketuhanan dalam Islam. Terhadap umat Islam Gereja memandang dengan penghargaan besar bahwa umat Islam sebagai yang menyembah Allah satu-satunya, yang mahamurah dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang berfirman kepada manusia. Kedua, Nostra Aetate memuat tentang konsepsi iman Islam. Umat Islam berusaha untuk menyerahkan diri dengan ikhlas dan sepenuh hati kepada hukum-hukum Allah yang tersembunyi, seperti Ibrahim, iman Islam yang secara suka rela menggabungkan dirinya, menyerahkan diri kepada Allah. Ketiga, Nostra Aetate menyajikan Kristologi Islam. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, namun menghormatiNya sebagai Nabi. Keempat, Nostra Aetate menggambarkan Eskatologi Islam. Umat Islam juga menantikan hari pengadilan yaitu Allah akan membangkitkan semua orang serta memberikan pembalasan kepada tiap orang sesuai dengan amal perbuatan masing-masing. Kelima, Nostra Aetate menyoroti ahlak dan ibadat Islam. Mereka juga menghargai kehidupan yang berlandaskan moral, dan mengabdi Allah terutama dalam doa, memberikan sedekah dan berpuasa. Keenam, Nostra Aetate berisi ajakan untuk berdialog dengan kaum Muslim (Bakker, 1976: 58-79).

(48)

keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian dan kemerdekaan bagi seluruh umat manusia.

Kedua pernyaataan ini dapat dipandang sebagai evaluasi Gereja mengenai hubungannya dengan Islam. Hal ini bertitik tolak pada sejarah masa lampau yang diwarnai dengan timbulnya pertikaian dan permusuhan antara orang Kristen dengan Islam. Selain evaluasi, pernyataan Konsili menampilkan sikap maju. Konsili mengajak umat beriman lain secara bersama-sama membina saling pengertian secara tulus, serta berusaha untuk berjuang bersama-sama memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral, kebebasan, dan perdamaian. Dalam artikel 3 ini, Konsili tidak menandaskan secara jelas tentang perlunya pewartaan kabar gembira sebagaimana dibawa oleh Yesus Kristus. Barangkali ini sudah diandaikan dalam dialog dan kerjasama dengan umat Islam. Melalui dialog dan kerjasama, Gereja telah mewartakan kabar gembira Yesus Kristus kepada uamt beriman lain (Armada Riyanto, 1995: 55-56).

c. Dialog Dengan Umat Yahudi

(49)

menyesalkan kebencian, penganiayaan, penindasan dan segala bentuk ungkapan-ungkapan anti semitisme yang diarahkan kepada orang Yahudi. Biarpun pemimpin umat Yahudi dengan para penganutnya telah terlibat dalam kematian Yesus (Bdk. Yoh 19: 6).

Umat Yahudi merupakan umat yang menjadi perantaraan Gereja dalam menerima wahyu Perjanjian Lama. Umat Yahudi dan Gereja telah menyimpan warisan spiritual yang kaya. Oleh karena itu, Konsili ingin memupuk dan menganjurkan saling pengertian dan saling penghargaan satu sama lain dalam dialog persaudaraan. Wujud dialog persaudaraan itu ditampilkan dalam wujud studi Kitab Suci dan Teologi. Terhadap umat Yahudi, Gereja menekankan bahwa Kristus rela menderita, menjalani kematian dengan cinta kasih yang sangat besar, agar semua orang diselamatkan. Gereja berkewajiban mewartakan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus sebagai tanda cinta kasih Allah yang universal.

Pandangan Nostra Aetate terhadap umat Yahudi dalam artikel 4 ini menandakan bahwa Gereja membuka pintu selebar-lebarnya menuju hubungan dialogis yang lebih mendalam dengan umat Yahudi (Armada Riyanto, 1995: 56-57).

D. Tanggapan Atas Sikap Gerja Terhadap Umat Beriman Lain Dalam DeklarasiNostra Aetate

(50)

masyarakat dunia yang hidup di tengah dunia. Kesadaran akan keberadaannya di tengah dunia yang terus berkembang, mendorong Gereja agar memperbaharui diri sesuai dengan perkembangan zaman tersebut. Oleh karena itu, salah satu pembaharuan Gereja yaitu mengenai hubungan Gereja Katolik dengan umat beriman lain yang tercetus dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang Nostra Aetate. Berikut ini adalah tanggapan penulis atas dokumen deklarasi Nostra Aetatemengenai pembaharuan sikap Gereja terhadap umat beriman lain.

Pertama-tama harus diakui bahwa deklarasi Nostra Aetate dalam Konsili Vatikan II ini telah menghembuskan angin segar mengenai pembaharuan sikap Gereja terhadap umat beriman lain di mana dalam Konsili Vatikan II itu, Gereja tanpa ragu memandang nilai-nilai positif yang terdapat pada umat beriman lain. Pandangan positif Gereja terhadap umat beriman lain ini bertolak dari prinsip bahwa semua orang diselamatkan. Oleh karena itu Gereja telah memberikan suatu penafsiran baru yang sangat radikal atas ajaranextra ecclesiam nulla salus.

(51)

melainkan ungkapan ini hanya bersifat internal bagi kalangan umat Kristen itu sendiri yang menjadi semacam pagar bagi kesatuan dan kesatuan umat Kristen yang pada masa itu sangat memprihatikan. Namun pada perkembangan selanjutnya, penafsiran atas ungkapan tersebut meluas, yakni bahwa di luar iman kepada Kristus atau di luar Gereja tidak ada keselamatan, sehingga Gereja tenggelam dalam salah penafsiran akan ungkapan tersebut yang menjerumuskan Gereja pada sikap eksklusif selama berabad-abad sebelum menjelang Konsili Vatikan II (Armada Riyanto, 1995: 25-26).

Setelah Konsili Vatikan II, pandangan mengenai keselamatan partikularis (keselamatan hanya untuk Gereja Katolik) dihapus oleh Gereja. Selanjutnya Gereja memperbaharui diri dengan menampilkan ajaran baru yang mengatakan bahwa Allah memanggil semua orang untuk diselamatkan. Hal ini menjadi nyata dalam deklarasi Nostra Aetate, di mana dalam dokumen Nostra Aetateini Gereja secara resmi mengakui dan menghormati nilai-nilai keselamatan yang disajikan oleh setiap agama dan kepercayaan lain. Gereja juga mengagumi pengalaman religius umat beriman lain.

(52)

diilhamkan oleh urgensi yang besar, yaitu demi membela kesatuan umat manusia sebagai tanggung jawab semua agama.

Pernyataan Gereja dalam Konsili Vatikan II tentang relasinya dengan umat beriman lain merupakan tugas perutusan Gereja dalam mewartakan kerajaan Allah, yakni demi memajukan kesatuan, kasih, kerukunan dan perdamaian antar umat manusia dan antar semua bangsa. Oleh karena itu Gereja dengan tindakan dialog dan kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik untuk bersama-sama berjuang melawan berbagai tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dapat merusak persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama di dunia.

(53)

Gereja untuk menjalin dialog dan kerjasama dengan umat beriman lain demi terjalinnya kerjasama antar semua orang untuk membangun dunia yang adil, rukun dan damai (Bakker, 1976: 80-81).

Dalam Konsili Vatikan II, Gereja untuk pertama kalinya dalam sejarah mengakui peran agama-agama lain juga sebagai jalan keselamatan. Gereja mengakui bahwa dalam agama-agama lain juga terjalin relasi antara manusia dengan Allah. Namun persoalan mengenai keselamatan umat beriman lain ini, Konsili belum menyinggung secara lebih mendalam. Persoalan ini akhirnya berkisar pada pertanyaan-pertanyaan apakah peranan agama-agama lain dalam keselamatan manusia? Apakah kedudukan agama-agama lain dalam rencana keselamatan ilahi? Sejauh mana agama-agama lain merupakan jalan keselamatan? Bagaimana pelaksanaan konkrit dari rencana Tuhan mengenai keselamatan universal (1Tim 2:4). Atas pertanyaan-pertanyaan itu belum ada jawaban yang jelas dan pasti dari Konsili Vatikan II sehingga persoalan keselamatan mengenai agama-agama lain itu dibiarkan tetap terbuka oleh Konsili Vatikan II.

(54)

perlu berdialog dengan umat beriman lain bukan untuk mempertobatkannya mereka (Bakker, 1976: 86).

Terlepas dari persoalan tersebut, deklarasi Nostra Aetate dapat dikatakan sebagai fundamen paling jelas bagi Gereja Katolik untuk menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain dalam kehidupan bersama di tengah dunia untuk memajukan kasih, perdamian dan kesatuan antar semua umat manusia dan juga antar semua bangsa. Dari deklarasi Nostra Aetate mengalir usaha-usaha konkret tindakan dialogis Gereja dengan umat beriman lain. Karena merupakan fundamen, maka ungkapan-ungkapannya sangat mendasar dan belum menyentuh problem yang rinci mengenai dialog dengan umat beriman lain. Oleh karena itu, deklarasi Nostra Aetate perlu didalami dan disesuaikan dengan konteks dialog yang akan dilaksanakan oleh Gereja setempat (Gereja partikular), termasuk juga Gereja Indonesia.

(55)

BAB III

GEREJA YANG BERDIALOG DENGAN UMAT BERIMAN LAIN

Dunia dewasa ini semakin menampakkan kemajemukan. Kemajemukan dunia ini merupakan suatu peluang bagi seluruh umat manusia untuk saling memperkaya dan saling belajar satu sama lainnya. Namun dalam kenyataan kemajemukan ini justru menimbulkan konflik yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat manusia dalam hidup bersama di tengah dunia. Oleh karena itu, salah satu cara untuk dapat memupuk persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama di tengah dunia, umat manusia perlu menjalin dialog dan kerjasama secara bersama-sama untuk memperjuangkan persatuan dan kesatuan antar umat manusia dan antar bangsa.

(56)

kehilangan atau kekurangan alasan yang mendesak untuk melakukan tugas perutusan dalam mewartakan keselamatan. Apabila Gereja terlibat dalam dialog, bagaimana konsekuensinya dalam tugas perutusannya untuk mewartakan kerajaan Allah kepada semua manusia dan semua bangsa? Apa hubungan dialog dan tugas perutusan? Atau bagaimana tempat dialog dalam keseluruhan tugas perutusan Gereja? Berkaitan dengan hal itu, uraian berikut ini mencoba menjelaskan secara sistematis mengenai persoalan tersebut. Selain itu, dalam bab III ini juga akan diuraikan mengenai hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja, pengertian dialog, tujuan dialog, syarat-syarat dialog, hambatan-hambatan dialog dan bentuk-bentuk dialog dengan umat beriman lain.

A. Hakikat Dialog dalam Tugas Perutusan Gereja

Untuk memahami hakikat dialog, penulis terinspirasi oleh tulisan A. Ligoy dalam majalah rohani mengenai Gereja Indonesia dan Dialog Antaragama. Ligoy (1997: 131-132) menyatakan bahwa hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja dipandang sebagai wujud kesaksian perutusan Gereja, sebagai bagian Evangelisasi dan sebagai usaha bersama umat beriman lain dalam membangun Kerajaan Allah. Hakikat dialog dalam tugas perutusan Gereja ini akan diuraikan satu persatu.

1. Dialog sebagai Wujud Kesaksian Perutusan Gereja

(57)

sejarah keselamatan manusia (bdk. AG 9). Bentuk pertama dari tugas perutusan adalah kesaksian. Kesaksian hidup merupakan suatu jalan utama dalam merealisasikan karya perutusan Gereja.

(58)

2. Dialog sebagai bagian Evangelisasi

Armada Riyanto (2010: 195) menegaskan kembali pandangan Redemptoris Missio, art. 55 mengatakan bahwa dialog antaragama merupakan bagian dari misi penginjilan Gereja serta menjadi salah satu pengungkapan misi penginjilan Gereja. Dialog sebagai misi penginjilan Gereja ini tidak bertentangan dengan tugas perutusan Gereja apabila dialog dipahami sebagai sarana dan metode untuk saling memperkaya dan saling mengenal di antara umat beriman satu sama lainnya.

Penegasan Redemptoris Missio di atas ini tidak dapat dikatakan bahwa telah menganjurkan untuk memanfaatkan dialog sebagai sarana dan metode dari misi penginjilan Gereja, melainkan penegasan Redemptoris Missio ini hendak mengatakan bahwa meskipun di dalam dialog tersebut adanya unsur misioner, namun dialog itu tidak bertentangan dengan tugas perutusan Gereja karena dialog dengan umat beriman itu sebagai metode dan saran untuk saling memperkaya dan saling mengenal satu dengan yang lainnya.

(59)

3. Dialog sebagai Usaha Bersama Mewujudkan Kerajaan Allah

Dialog merupakan salah satu wujud konkret partisipasi Gereja dalam membangun Kerajaan Allah. Maksud Kerajaan Allah ini dijelaskan secara rinci dalam Redemptoris Missioart. 12 yaitu bahwa Kerajaan Allah merupakan wujud keselamatan yang sudah dipersiapkan oleh Allah dalam Perjanjian Lama, dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus, serta diberikan kepada semua orang oleh Gereja, yang berkarya dan berdoa demi perwujudannya secara sempurna dan pasti. Kerajaan Allah itu sudah dimulai oleh Kristus dalam sejarah hidup manusia.

(60)

Dengan demikian Kerajaan Allah menjadi wawasan misioner Gereja. Eksistensi Gereja pertama-tama untuk mengabdi Kerajaan Allah dan melayani manusia. Atas dasar inilah Gereja perlu menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain dan dengan siapapun yang beritikad baik untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keadilan, kasih, perdamaian, pengabdian dan sebagainya dalam hidup bersama (Gal 5:22-23). Dalam dialog tema-tema Kerajaan Allah telah membangkitkan pemikiran-pemikiran yang baru bahwa arti keselamatan tidak lagi disempitkan pada peranan Gereja dengan segala kebijakan pastoralnya, tetapi lebih pada partisipasi seluruh umat manusia untuk secara bersama-sama berjuang membangun Kerajaan Allah yang dapat membawa keselamatan bagi semua manusia.

B. Pengertian Dialog Antar Umat Beriman

(61)

Muhammad Wahyuni Nafis (1998: 96) menekankan kembali pemikiran Swidler yang mengartikan dialog sebagai perbincangan dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah saling belajar antar peserta sehingga masing-masing peserta dapat mengubah pandangannya dan mengikat pengalaman religiusnya. Kemampuan untuk belajar sesuatu yang baru merupakan kunci dialog. Dialog yang menjembatani jurang di antara umat beriman tidak tergantung kepada persetujuan berdasarkan pemikiran yang umum, melainkan kesadaran bahwa perbedaan-perbedaan adalah hal yang dapat dipelajari.

Mega Hidayati (2008: 54) menegaskan kembali pandangan Gadamer bahwa dialog merupakan percakapan yang dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk saling memahami. Dalam dialog itu bukan sesuatu yang kita ciptakan tetapi kita terlibat di dalamnya, dan merupakan percakapan fundamental di mana tidak ada yang memimpin atau dipimpin. Pemimpin di sini berarti mereka yang mengontrol percakapan, sehingga memungkinkan percakapan direkayasa dan hasilnya dapat diketahui sebelum percakapan berlangsung.

(62)

manusiawi mampu menciptakan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi manusia dan dunia. Dialog yang sejati juga perlu adanya pemikiran yang kritis atau refleksi mendalam tentang kelanjutan dan perubahan realitas yang dihadapi manusia menuju humanisasinya. Dialog itu tidak hanya menggunakan pemikiran kritis tetapi juga harus mampu melahirkan dan menghasilkan pemikiran kritis dan efektif.

Armada Riyanto (2010: 194) menegaskan kembali pengertian dialog menurut dokumen Dialogue Proclamation art. 9 yang mendefenisikan dialog terdiri dari tiga macam arti dialog. Yang pertama, dalam tingkat manusia sehari-hari, sebagai komunikasi timbal balik. Tujuan komunikasi ini dapat berupa sekedar saling tukar informasi, atau untuk meraih kesepakatan, atau menjalin persatuan. Yang kedua, lebih berkaitan dengan tugas evangelisasi yang harus dijalankan dalam semangat dialogis. Dialog dalam arti ini dipahami sebagai sikap hormat, penuh persahabatan, ramah, terbuka, suka mendengarkan orang lain. Yang ketiga, merupakan arti khusus, sekaligus yang dimaksudkan dalam pembahasan ini. Dialog merupakan hubungan antar agama yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam relasi dengan pribadi-pribadi dan umat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaran dan hormat terhadap kebebasan, juga termasuk di dalamnya kesaksian dan pendalaman keyakinan keagamaan masing-masing.

(63)

dialog keselamatan. Dialog keselamatan ialah dialog yang terus menerus berusaha menemukan, memperjelas, dan memahami tanda-tanda Allah dalam persatuan manusia sepanjang masa. Dialog keselamatan merupakan sharing keselamatan. Dalam dialog ini, mereka yang terlibat di dalamnya diajak untuk saling membagikan pengalaman keselamatannya.

Setelah membaca pandangan para ahli dan pandangan Gereja tentang dialog, maka penulis memahami bahwa dialog adalah suatu percakapan atau komunikasi antara dua orang atau lebih di mana tidak hanya diadakan pertukaran pikiran, nilai dan pengalaman iman yang dimiliki oleh masing-masing peserta dialog, melainkan lebih dari itu di mana dalam dialog diharapkan adanya suatu perubahan dalam diri peserta dialog yang dilandasi oleh semangat cinta kasih dan persaudaraan sejati untuk berjuang bersama sesamanya dalam rangka mengubah dunia ke arah yang lebih baik dan bermanfaat di mana Allah meraja di dalamnya, sehingga semua orang dapat mengalami cinta kasih dan keselamatan dari Allah tanpa terkecuali.

C. Tujuan Dialog Antara Gereja Dengan Umat Beriman Lain

(64)

dalam melakukan dialog. Untuk itu, berikut ini penulis akan menjabarkan secara satu persatu mengenai tujuan dialog dari Reuel L. Howe sebagaimana disadur oleh Tom Wignyanta tersebut. Menurut Reuel L. Howe seperti yang disadur oleh Tom Wignyanta (1972: 68-78) menegaskan bahwa sekurang-kurangnya ada empat tujuan dialog yang sesungguhnya. Pertama, dialog bertujuan untuk menyalurkan informasi dan nilai-nilai di antara individu-individu atau kelompok; kedua, dialog membantu orang untuk mengambil suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hubungannya dengan kebenaran yang dikemukakan; ketiga, dialog mengembalikan bentuk-bentuk kehidupan kepada vitalitas yang mula-mula melahirkannya; dan keempat, dialog membawa pribadi-pribadi kepada perwujudan diri sendiri.

(65)

sehingga tidak dapat diubah. Pola pikir yang demikian sangat dekat dengan pola pikir kaum fundamentalis radikal. Pola pikir seperti ini tentu sangat berbahaya karena manusia dituntut untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan situasi jaman dulu sehingga situasi masa kini dilihat sebagai suatu ancaman yang perlu dihindari atau jika mungkin dilawan dengan sekuat tenaga. Maka tidak heran jika dewasa ini sering terjadi berbagai tindakan kekerasan dan perpecahan yang mengatasnamakan agama. Melalui dialog, diharapkan segala informasi dan nilai-nilai dari masing-masing individu atau kelompok agama yang diterima itu dapat disalurkan dan diperkembangkan berdasarkan kaidah-kaidah yang ada, dengan demikian semua orang dapat saling belajar dan saling memperkaya demi perkembangan hidupnya di dunia.

(66)

oleh jurang pemisah karena tiadanya saling pengertian kepada bentuk kejiwaan yang otentik bagi kedua belah pihak untuk mengembangkan diri sendiri sebagai pribadi yang sejati sesuai dengan kebebasan hati nuraninya. Meskipun demikian dalam kenyataannya bahwa dialog yang demikian sangat tidak mudah untuk dilaksanakannya, meskipun masih ada sedikit orang yang dapat melakukannya.

(67)

Keempat, tujuan dialog adalah membawa pribadi-pribadi kepada perwujudan diri sendiri secara otentik. Manusia satu dengan yang lainnya adalah sama dan sederajat. Tidak ada manusia yang boleh berkuasa atas manusia yang lain meskipun manusia itu mempunyai kekuasaan atas dunia ciptaan, dan tidak ada batasan yang mengikatnya. Manusia ada karena adanya manusia lain. Ini adalah hakikat hidup manusia. Dalam kodratnya, manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain, itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dan berharap disapa dan direspon. Lewat penyapaan dan respon di antara pribadi manusia dapat melahirkan kerjasama demi kepentingan hidup bersama. Dalam konteks kehidupan umat beriman hal inipun terjadi. Banyak kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok beragama yang memiliki identitas yang nampak, misalnya agama Islam, Katolik, Hindu, Budha dan lain-lain. Ini adalah sebuah realitas di mana manusia membutuhkan identitas di tengah-tengah situasi hidup bersama.

(68)

yang menelan banyak korban jiwa. Akhirnya penulis sangat setuju dengan pandangan Howe yang disadur oleh Tom Wignyanta bahwa yang menjadi tujuan dialog antar umat beriman adalah mengembalikan bentuk-bentuk kehidupan yang telah dirusak kepada vitalitasnya semula yaitu perdamaian, kesejahteraan, persaudaraan, kerukunan dan sebagainya.

(69)

untuk terus belajar dalam meningkatkan pemahaman intelektual dan pandangannya melalui kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain, dengan demikian dapat membawa suatu perubahan sikap dan pemahaman yang baru dalam diri secara utuh dan mendalam akan umat beriman lain, yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan suatu tindakan atau aksi demi terwujudnya kerukunan, perdamaian, persaudaraan, persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama di tengah dunia. Hal ini dapat terwujud jika adanya keterbukaan dalam diri setiap orang untuk berdialog dan bekerjasama dengan orang lain. Untuk itu salah satu cara yang dapat dilakukan Gereja adalah terus meningkatkan kesadaran bagi umat Katolik untuk menjalin kerjasama dan dialog dengan umat beriman lain dalam kehidupan bersama.

D. Syarat-Syarat Dialog dengan Umat Beriman Lain

Menurut Armada Riyanto ( 1995: 114-115) dialog dengan umat beriman lain bukanlah suatu komunikasi yang tanpa syarat. Tidak dapat dipungkiri bahwa dialog dengan umat beriman lain merupakan kenyataan yang tidak gampang diwujudkan. Dialog dengan umat beriman lain menuntut syarat khusus. Maka berikut ini akan diuraikan syarat-syarat dialog dengan umat beragama lain:

1. Dialog Meminta Keseimbangan Sikap

(70)

kecenderungan untuk mengkritik, sekalipun itu didukung dengan kutipan-kutipan dari Kitab Sucinya atau berdasar wahyu tertulis. Kehendak dan cita-cita bersama untuk terlibat dalam pencapaian kebenaran dan kesediaan untuk membiarkan diri dibentuk dan dikembangkan dalam perjumpaan, merupakan syarat dalam dialog. Aneka kecenderungan yang menganggap diri paling benar haruslah dicegah dan ditinggalkan dengan penuh kerendahan hati.

2. Dialog Meminta Kemantapan Iman dan Menolak Indiferentisme

Dialog dengan umat beriman lain tidak mungkin dijalankan dalam kerapuhan dan keragu-raguan mengenai imannya. Dialog sejati tidak memperlemahkan iman, melainkan memperdalam iman para peserta dialog. Peserta dialog akan semakin menyadari identitasnya sebagai penganut agama yang telah diimaninya. Bagi orang Katolik, memupuk keterbukaan dan membiarkan diri mereka diuji, mereka akan dapat mengumpulkan buah-buah dari dialog dengan umat beragama lain. Mereka akan menemukan karya Allah melalui Yesus Kristus di dalam RohNya yang terus dilaksanakan bagi seluruh umat manusia di dunia. Iman mereka akan mendapatkan dimensi baru pada saat mereka menemukan kehadiran yang aktif dari misteri Yesus Kristus di luar batas-batas Gereja yang kelihatan dari diri umat beragama lain.

(71)

tuntutan-tuntutan imannya, juga menampilkan sikap menggampangkan sekaligus menyederhanakan pandangan tentang agama-agama sebagai sama saja semuanya. Sikap acuh tak acuh dan memandang semua agama sebagai sama saja merupakan sikap yang naif dan justru sangat merugikan iman orang yang bersangkutan.

3. Dialog Tidak Menghendaki Teologi Universal

Gereja tidak menghendaki usaha-usaha menguniversalkan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog. Gereja justru menilai bahwa keunikan teologi setiap agama yang terlibat dalam dialog (dialog Teologi), bila dipertahankan dan diperkembangkan akan sangat memperkaya satu sama lain. Gereja tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama, sebab itu dapat membawa pada kecenderungan sikap indiferent karena sikap indiferent pada prinsipnya adalah sikap memandang semua agama saja, biarpun dikatakan dalam pemahaman teologis yang kompleks. Namun di lain pihak, Gereja juga tidak menghendaki keanekaragaman pandangan teologis dari agama-agama menjadi sumber pemecah belah kesatuan umat manusia. Kesatuan umat manusia tidak bisa dikorbankan demi alasan kepentingan agama.

Freire (1985: 74-80) juga memamparkan bahwa suatu dialog yang ideal haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya rasa cinta

(72)

laku keberanian, bukan ketakutan, maka cinta adalah pemihakan kepada orang lain. Dalam hal dialog antar umat beriman ini diharapkan cinta yang dapat membawa pemihakan kepada kepentingan bersama semua orang tanpa terkecuali. Cinta harus membawa pada kebahagian bersama bukan membawa pada kematian dan perusakan. Cinta tidak sentimental dan tidak boleh dijadikan sebagai alat manipulasi. Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan berikutnya. Jika saya tidak mencinta dunia, saya tidak mencintai kehidupan, jika saya tidak mencintai sesama manusia, saya tidak dapat memasuki dialog.

(73)

melampaui segala hal dan mencintai sesama sebagaimana kita mencintai diri sendiri.

2. Adanya Kerendahan Hati

Dialog sebagai perjumpaan antar sesama manusia yang dibebani tugas bersama untuk belajar dan berbuat. Dialog antar umat beriman yang sejati tidak akan terwujud bila para pelaku dialog tidak memiliki sikap kerendahan hati untuk mau belajar dari orang lain. Dalam dialog antar umat beriman, peserta dialog harus memandang lawan bicaranya sama dan sederajat dengannya, sebagai teman yang memiliki hak yang sama untuk ikut menyumbangkan pandangannya demi perkembangan hidup bersama bukan memandang partner dialognya sebagai lawan yang harus dikalahkan atau memandang partnernya sebagai musuh yang ingin menyerang pandangannya sehingga berusaha dengan sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa dirinyalah yang memiliki pandangan yang lebih bernilai atau paling benar dari orang lain. Sebab dalam dialog agama itu yang terpenting bukan soal kalah dan menang dan juga tidak ada soal orang-orang yang paling bijak dan orang-orang yang bodoh tetapi yang terpenting dan utama adalah orang-orang yang mau terus mencoba dan terus belajar lebih dan lebih lagi dari apa yang sudah dimiliki dan diketahuinya.

3. Adanya kepercayaan

Referensi

Dokumen terkait

Pelayanan kasus emergensi maternal dan neonatal dasar (PONED) di Puskesmas dan Pelayanan kasus emergensi maternal dan neonatal komprehensif (PONEK) di rumah sakit harus

Tujuan penelitian ini adalah membangun aplikasi berbasis web menggunakan bahasa pemrograman PHP (Personal Home Page) untuk mendapatkan komponen-komponen pasut dan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbaikan pembelajaran Siklus I yang menitik beratkan pada kegiatan guru dan siswa yaitu dengan penerapan teori Van Hiele dalam

bahwa perlu segera melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara terhadap perusahaan milik negara yang berada

Animasi adalah ilusi gerak dalam sebuah film atau video yang terdiri dari serangkaian frame tunggal (gambar diam) yang menunjukkan perubahan pada posisi dari subjek yang

Sehingga dari peran project manager sebagai change agent dapat disimpulkan bahwa project manager harus mampu mengambil kebijakan untuk melakukan perubahan dalam proyek, antara

Tesis dengan judul “PENGARUH PSIKOTERAPI REALITAS TERHADAP KADAR KORTISOL DAN TINGKAT DEPRESI PASIEN KANKER SERVIKS STADIUM LANJUT” ini disusun untuk memenuhi

Dari uraian definisi di atas maka yang penulis maksud Peran Pengawas Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar dalam Penjaminan Mutu Pendidikan Islam di kabupaten