• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTILAH DAN SINGKATAN APL : Areal Penggunaan Lain

OPSI PENINGKATAN KINERJA PENGUKUHAN KAWASAN

2 DINAMIKA PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

Pendahuluan

Karakteristik hutan negara sebagai CPRs adalah sumber daya yang besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga tidak mudah memilah pihak yang berhak dan tidak berhak (non excludable) dan pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi manfaat bagi orang lain (substractable). Biaya penegakan hak-haknya mahal, namun kemampuan sumber daya manusia dan pembiayaan Pemerintah rendah.

Selain itu, masyarakat memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan (non

excludable), sehingga menimbulkan persaingan dalam pemanfaatannya, akibatnya terjadi konflik. Hal-hal itu, tidak lain adalah persoalan pengurusan dan pengelolaan kepemilikan hutan negara yang menuntut kepastian hukum dan legitimasi. Di Indonesia, proses menghasilkan kepastian hukum dan legitimasi dilakukan melalui pengukuhan kawasan hutan (PP 44/2004 (pasal 15) dan Permenhut 44/2012 jo. Permenhut 62/2013).

Proses pengukuhan itu tidak mudah (Sirait et al. 2004; Contreras-Hermosilla & Fay 2006; Nugraha 2013; Safitri 2013), apalagi prosesnya dibebankan kepada PTB dengan kapasitas sumber daya yang terbatas (sumber daya manusia, waktu dan anggaran). Hal tersebut terjadi di Provinsi Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau baru dilakukan sepanjang 1.850,67 Km (22 kelompok hutan) atau ± 561.428,74 Ha (16,63%) dari luas kawasan hutan di Provinsi Riau 4.288.957,82 Ha (11.126,35 Km)9, padahal telah ditata batas 9.499,02 Km

(85,37%; 120 kelompok hutan). Pertanyaannya adalah mengapa gap antara tata batas

dengan penetapan tinggi (68,74%)?, faktor-faktor apa yang mengakibatkannya?, mengapa penetapan tidak dilakukan?. Penelitian ini akan mengkaji hal tersebut dengan mengaitkannya dengan penyebab kegagalan kebijakan (policy failure) yang dikemukakan oleh Helen Ingram & Dean Mann (1980) seperti diacu Birkland (2001). Untuk menjelaskan hal tersebut, maka penelitian ini di awali dengan penjelasan sejarah pengelolaan dan pengukuhan kawasan hutan sekaligus kinerjanya, kemudian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan; lalu memetakan masalah pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Metode Penelitian Lokasi penelitian

Lokus untuk menggambarkan dinamika pengukuhan kawasan hutan adalah Provinsi Riau yang akan menjelaskan sejarah pengukuhan kawasan hutan mulai dari sebelum penunjukan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) hingga tahun 2013.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan strategi tipologi. Untuk menggambarkan kegagalan implementasi pengukuhan kawasan

9

hutan, hasil analisis dikaitkan dengan penyebab kegagalan kebijakan (policy failure) seperti disebutkan Helen Ingram & Dean Mann (1980) dalam Birkland (2001). Beberapa indikator yang digunakan adalah: (1) ada alternatif yang lebih baik; (2) berubahnya situasi dan permasalahan; (3) ketidaksesuaian dengan kebijakan/aturan yang terkait; (4) masalah batas kewenangan politik; (5) harapan terlalu tinggi atas suatu kebijakan dan asumsi keberhasilannya tidak terpenuhi; (6) salah mengidentifikasi masalah (sebab akibat); (7) alat/mekanisme yang dipilih tidak efektif; (8) kurangnya dukungan elit daerah dan atau pelaksana lapangan (street bureaucracy) atau disebut ―strategic delay‖ (strategi penundaan implementasi); dan (9) kurang dukungan SDM dan dana.

Hasil dan Pembahasan Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan

Di negara berkembang (termasuk Indonesia), tata kelola kehutanan yang berkembang saat ini dipengaruhi oleh pengelolaan hutan pada masa kolonial (Winkel 2012). Penelitiannya terhadap 39 makalah tentang kebijakan kehutanan yang menggunakan konsep Foucault menyimpulkan hal itu. Pengelolaan hutan yang dilakukan sejak zaman kolonial masih dipraktikkan hingga saat ini. Akan tetapi, penatabatasan berbeda jauh pada masa kolonial dibandingkan saat ini. Pada masa kolonial dilakukan secara persuasif dan dialogis, sedangkan pasca kolonial dilakukan secara sepihak dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Kawasan hutan pada masa kolonial disebut register. Lalu pasca kolonial didasarkan pada hasil penetapan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) yang lebih dikenal dengan TGHK10.

Disebut kesepakatan, karena mengatur ruang kehutanan berdasarkan kesepakatan dengan berbagai pihak terkait di Provinsi Riau. Kesepakatan itu kemudian ditunjuk sebagai dasar pengelolaan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Nomor: 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Kawasan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan. Praktik sejarah politik penataan ruang kekuasaan dan kepemilikan negara dengan jalan pengambilalihan kawasan hutan beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (termasuk TGHK) kerap diiringi dengan usaha sistematis yang mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumber daya alam lain berbasis tanah (dari masyarakat lokal), yang kemudian mendorong negara untuk menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana- sarana produksi tersebut (Peluso 2006). Akibatnya, masyarakat dirugikan oleh penguasaan sentralistik negara atas hutan (Blaikie 1985) dalam Peluso (2006). Luas kawasan hutan yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan itu adalah 8.598.757 Ha dengan rincian ditunjukkan Tabel 1.

10

Peta TGHK merupakan suatu beschikking karena memiliki dasar hukum berupa SK Menteri, sehingga memiliki kekuatan hukum yang bersifat konkrit, individual dan final. Sesuai UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara (terakhir kali dirubah dengan UU No. 51 tahun 2009): ―…..suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”

Tabel 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Hutan suaka alam dan hutan wisata 531.852,65 6,19

Hutan lindung 228.793,82 2,66

Hutan produksi tetap 1.605.762,78 18,67

Hutan produksi terbatas 1.815.949,74 21,12

Hutan produksi yang dapat dikonversi/peruntukan lain 4.277.964,39 49,75

Hutan mangrove/bakau 138.433,62 1,61

Jumlah 8.598.757,00 100,00

Sumber: Lampiran peta SK Nomor: 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986

Tabel 1 menunjukkan bahwa wilayah Provinsi Riau terbagi habis menjadi

kawasan hutan yang didominasi oleh hutan produksi yang dapat

dikonversi/peruntukan lain (49,75%). Penunjukan itu menuai banyak masalah karena mengabaikan hak banyak pihak, khususnya masyarakat lokal. Jika menilik temuan Clement dan Amezaga (2008), pengabaian hak masyarakat lokal dapat menggagalkan kebijakan. Walau demikian, persoalan ini tidak segera didetilkan dengan identifikasi lapangan. Padahal, dua tahun sejak penunjukan itu (tahun 1988), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan instruksi11 kepada seluruh Gubernur (kecuali DKI Jakarta Raya, Jawab Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogjakarta) untuk: (1) mengkoordinasikan penyediaan tanah untuk pembangunan bagi semua sektor yang memerlukan tanah dengan berpedoman kepada TGHK yang telah disahkan oleh Menteri yang membidangi urusan kehutanan; (2) melaksanakan koordinasi sebagaimana tersebut pada butir (1), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tanah-tanah yang termasuk dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi agar terlebih dahulu direncanakan peruntukannya dan pemanfaatannya bagi segala sektor pembangunan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat; (b) apabila pada tanah-tanah tersebut pada butir (a) ternyata tidak sesuai peruntukannya atau pemanfaatannya untuk keperluan pembangunan sektor lain, maka masih dimungkinkan adanya tukar menukar dan atau relokasi fungsi; dan (3) membentuk tim teknis tetap dalam rangka pelaksanaan butir (2).

Namun demikian, instruksi itu tidak pernah diimplementasikan, sehingga dasar hukum penunjukan kawasan hutan hingga saat ini tetap menggunakan TGHK. Proses paduserasi baru dilakukan tahun 2009, melalui usulan Gubernur12 yaitu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Hal itu ditindaklanjuti Menteri Kehutanan dengan membentuk tim terpadu untuk melakukan penelitian atas usulan perubahan kawasan hutan dengan keputusan Nomor SK.410/Menhut-VII/2009 tanggal 7 Juli 2009 tentang susunan tim terpadu dalam rangka penelitian terhadap usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam review RTRWP Riau.

Perlu dijelaskan bahwa sebelum tahun 2009, yaitu tahun 1994 Pemerintah Provinsi Riau pernah mengeluarkan RTRWP melalui Perda Nomor 10 tahun 1994, yang membagi fungsi kawasan hutan seperti ditunjukkan Tabel 2. Perda itu diacu kabupaten untuk menyusun RTRWK, namun Kemenhut tidak mengakuinya.

11 Instruksi Mendagri Nomor : 15 Tahun 1988 Tentang Pedoman Penyediaan Tanah Areal Hutan Tata Guna

Hutan Kemasyarakatan untuk Pembangunan

12 Gubernur Riau menyampaikan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui surat: (1)

Nomor 050/Bappeda/56.10 Tanggal 27 April 2009; (2) Nomor 050/Bappeda/65.27.a Tanggal 30 November 2009; (3) Nomor 050/Bappeda/76.03 Tanggal 09 Februari 2010; dan (4) Nomor 050/Bappeda/15.03 Tanggal 07 Februari 2012; dengan luas usulan, yaitu: (a) perubahan peruntukan seluas ± 3.544.683 ha; (b) perubahan fungsi seluas ± 1.089.047 ha; dan (c) penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan ± 52.398 ha

Perbedaan produk hukum itu memicu persoalan lapangan13. Dalam hal ini, RTRWP berdasarkan Perda tidak berkekuatan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Perbedaan itu juga memicu pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol, misalnya areal ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) berada dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hampir 30% IUPHHK-HT (1.661.431 Ha) berada dalam kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)/peruntukan lain dan areal penggunaan lain (APL) tanpa proses perubahan fungsi dan peruntukan (Dishut Provinsi Riau, 2013). Selain itu, sebagian areal hak guna usaha (HGU) baik perorangan maupun badan usaha, areal transmigrasi dan pemukiman berada dalam kawasan hutan yang belum dilepaskan. Fenomena ini juga ditemui dalam pertambangan, yaitu pemegang ijin sudah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dan pembangunan sarana umum, meskipun ijin pinjam pakai belum diterbitkan.

Tabel 2 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1994

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Kawasan Hutan 4.454.985 51.81

Arahan pengembangan kawasan hutan 2.782.491 33,41

Kawasan lindung 161.823 1,88

Kawasan lindung gambut 830.235 9,66

Cagar alam/suaka alam/suaka margasatwa 570.412 6,63

Kawasan sekitar waduk/danau 20.024 0,23

Non Kawasan Hutan 4.143.772 48,19

Arahan pengembangan kawasan industri, perkebunan, pertanian, pertambagan, transmigrasi, kawasan yang diprioritaskan dan areal penggunaan lain

4.143.772 48,19

Jumlah 8.598.757,00 100,00

Sumber: Paparan Gubernur Riau pada temu diskusi potensi konflik penggunaan lahan tanggal 29 April 2013 di Jakarta

Perubahan yang significant terlihat pada APL jika dibandingkan dengan TGHK, akibat proses pelepasan HPK menjadi perkebunan, transmigrasi dan peruntukan lainnya. Perubahan didominasi perubahan peruntukan ± 3.544.242 Ha, perubahan fungsi ± 1.079.109 Ha dan penunjukan baru ± 53.793 Ha.

Tabel 3 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan rekomendasi tim terpadu

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Hutan konservasi 625.859 6,93

Hutan lindung 217.063 2,40

Hutan produksi terbatas 892.663 9,88

Hutan produksi 2.250.889 24,91

Hutan produksi yang dapat di konversi 425.173 4,70

Areal penggunaan lain 4.505.313 49,86

Tubuh air 119.749 1,33

Jumlah 9.036.710 100,00

Sumber: Rekomendasi tim terpadu Provinsi Riau (2012)

13

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang di BPN Provinsi Riau mengungkapkan: ―persoalan lahan di Provinsi Riau lebih diakibatkan oleh perbedaan penggunaan produk hukum atas kawasan hutan, dimana kabupaten lebih memilih Perda 10 tahun 1994 dibandingkan SK Menhut Nomor:173 tahun 1986, dan kami (BPN) merujuk pada RTRWK dalam mengeluarkan sertifikat tanah karena koordinasi yang kami lakukan adalah dengan dinas kehutanan kabupaten. Masalah penggunaan produk hukum yang berbeda ini telah

Perbandingan luas kawasan hutan pada 3 (tiga) dasar hukum itu (TGHK, RTRWP dan rekomendasi tim terpadu) ditunjukkan Gambar 2. Perubahan yang cukup significant adalah perubahan dari HPK menjadi APL.

Gambar 2. Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK, RTRWP dan rekomendasi tim terpadu

Sejarah Pengukuhan Kawasan Hutan

Sejarah pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau, tidak terlepas dari sejarah pengelolaannya. Pengukuhan kawasan hutan sudah dilakukan sejak era register hingga saat ini dengan berbagai dinamikanya. Untuk mempermudah pembahasan, sejarah itu dibagi dalam lima era, yaitu:

(1) sebelum tahun 1986 disebut era pengukuhan kawasan hutan sebelum TGHK. Proses tata batas pada era ini menginduk pada organisasi Kemenhut dan di daerah dilaksanakan oleh Balai Inventarisasi dan Pengukuran Hutan (Biphut)/Sub Biphut yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Tata Guna Hutan Kementerian Kehutanan;

(2) tahun 1986 sampai dengan tahun 2000 disebut era pengukuhan kawasan hutan setelah TGHK sampai otonomi daerah. Proses tata batas masih menginduk pada organisasi Kemenhut dan di daerah dilaksanakan Biphut/Sub Biphut; (3) tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 disebut era pengukuhan kawasan hutan

desentralistik. Pada era ini dilakukan penyerahan tata batas ke daerah kecuali kawasan hutan dengan fungsi hutan konservasi. Pergantian struktur organisasi dari Biphut/Sub Biphut menjadi Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) terjadi pada era ini;

(4) tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 disebut era pengukuhan kawasan hutan berdasarkan review tata ruang yang dilakukan secara sentralistik. Proses tata Hutan Produksi Tetap HPK/ Peruntukan Lain Hutan Mangrove Hutan Produksi Terbatas Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Konservasi TGHK 1986 RTRWP 1994 Rekomendasi Tim Terpadu 2012

batas ditarik kembali ke Pusat pada era ini. Struktur organisasi yang melakukan tata batas di daerah dikoordinasikan oleh BPKH;

(5) tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 disebut era percepatan tata batas yang dilakukan secara sentralistik. Struktur organisasi yang melakukan tata batas di daerah dikoordinasikan oleh BPKH.

Di Indonesia, sejarah pengukuhan kawasan hutan itu dimulai dari era register zaman kolonial, TGHK, paduserasi antara TGHK dengan RTRWP, penunjukan kawasan hutan hingga usulan perubahan kawasan hutan dalam RTRWP seperti ditunjukkan Gambar 3.

Gambar 3 Sejarah pengukuhan kawasan hutan di Indonesia

Era sebelum TGHK (<1986)

Pada era ini dilakukan tata batas 989,69 Km (8,90%; 14 kelompok hutan) dan yang disahkan hanya 63,15 Km (0,57%; 1 kelompok hutan), sementara penetapan belum ada.

Era setelahTGHK sampai otonomi daerah (19862000)

Tata batas dilakukan Pemerintah melalui Sub Biphut yang dikoordinir Biphut. Sub Biphut melakukan tata batas untuk satu provinsi tertentu dan menginduk pada Biphut yang mengkoordinir beberapa provinsi. Untuk Provinsi Riau dilakukan Sub Biphut Pekanbaru yang dikoordinir Biphut Wilayah I Medan. Tata batas selama era ini mencapai 7.496,96 Km dari total kawasan hutan 11.126,35 Km atau sekitar 67,38% (81 kelompok hutan). Dari total itu, telah dilakukan pengesahan 6.559,84 Km (58,96%; 54 kelompok hutan) dan ditetapkan 1.713,36 Km (15,40%; 17 kelompok hutan).

Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Sub Biphut yang fokus melakukan tata batas adalah bukti bahwa kawasan hutan yang ditata batas pada era ini cukup tinggi. Apabila dilihat dari fungsi kawasan hutannya, dominasi tata batas terdapat pada kawasan hutan dengan fungsi produksi baik hutan produksi terbatas maupun hutan produksi tetap yaitu 5.910,20 Km (78,83%), sehingga ada ketimpangan tata batas antara hutan produksi dengan hutan konservasi maupun hutan lindung. Situasi ini merupakan dampak dari kewajiban HPH melakukan tata batas. Makna dari fakta itu adalah tata batas (khususnya hutan konservasi dan hutan lindung) bukan merupakan target prioritas Kemenhut saat itu. Kenyataan ini juga didukung

Hutan Register Zaman Kolonial Belanda (UU No. 5/1967) < 1986 TGHK UU No. 5/1967 dan UU No. 5/1990 1986-1992 Paduserasi TGHK-RTRWP UU No. 5/1967, UU No.5/1990, UU No. 24/1992 1992-1999 Penunjukan Kawasan Hutan UU No. 41/1999 UU No. 5/1990 UU No. 24/1992 1999-2007 Usulan Perubahan RTRWP/K UU No. 41/1999 UU No. 5/1990 UU No. 26/2007 > 2007

oleh fakta bahwa kawasan hutan yang ditetapkan (15,40%) sebagian besar (759,81 Km atau sekitar 39,92%) areal pengganti (hutan produksi).

Berakhirnya era ini ditandai pembubaran Sub Biphut. Pembubaran itu tidak diikuti pengamanan aset negara, antara lain: Berita Acara Tata Batas (BATB) maupun peta hasil tata batas. Hal ini membuktikan sifat kepemilikan negara bahwa semua pihak akan berlomba-lomba menggunakannya, namun tidak semuanya bertanggung jawab untuk menjaganya. BATB dan peta hasil tata batas yang hilang14 sebanyak 16,01% atau 1.790,83 Km. Selain itu, beberapa aset negara lainnya antara lain sarana dan prasarana pengukuran (theodolit, meja gambar, kompas dan lain-lain), peta tematik, bahkan SDM yang sudah dilatih menjadi juru ukur juga hilang.

Era desentralistik (20002007)

Pasca pembubaran Sub Biphut, tata batas diserahkan ke daerah kecuali hutan konservasi. Konsekuensinya, Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab melakukan tata batas (hutan lindung dan hutan produksi). Hal tersebut tidak berdampak pada kinerja tata batas15. Tata batas pada era ini hanya 260,40 Km (2,34%; 10 kelompok hutan), itupun 137,31 Km (50,45%) adalah tata batas HPT yang pembiayaannya dari Kemenhut. Pengesahan batas 304,69 Km (2,74%; 8 kelompok hutan) diantaranya 129,30 Km (HL. Bukit Batabuh) hasil tata batas era sebelumnya. Sedangkan penetapan belum ada.

Era review tata ruang (20072010)

PP 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat (3)), bidang kehutanan (pengukuhan kawasan hutan) termasuk dalam urusan Pemerintah yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan Pemerintah, bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, dapat16: (a) menyelenggarakan sendiri; (b) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi; atau (c) menugaskan sebagian urusan Pemerintah tersebut kepada Pemerintah Daerah

14 Beberapa BATB kawasan hutan dan peta hasil tata batas yang hilang diantaranya Cagar Alam Pulau

Berkey (Kabupaten Rokan Hilir), Taman Wisata Alam Buluh Cina (Kabupaten Kampar, peta tidak ditemukan), PLG. Sebanga (Kabupaten Bengkalis), Hutan Lindung (HL) Sungai Rokan (Kabupaten Rokan Hulu), HL Tasik Air Putih (Kabupaten Bengkalis), HL. Tasik Nambus (Kabupaten Bengkalis), HL. Tasik Penyagun (Kabupaten Bengkalis), Hutan Produksi Terbatas (HPT) Sebanga I (Kabupaten Rokan Hilir dan Bengkalis), HPT. Sungai Melibur/Pulau Padang (Kabupaten Bengkalis), HPT. Sungai Kurau (Kabupaten Bengkalis), HPT. Sungai Kurau-Sungai Lukit (Kabupaten Bengkalis), HPT. Sungai Bengkalis, HPT. Sungai Siliong, HPT. Sungai Mengkikit, HPT. Sungai Air Tawar/Tebing Tinggi, HPT. Sungai Tohor/Pulau Rangsang, HPT. Sungai Penyagun, HPT. Sungai Pialan, HPT. Tanjung Pauh, HPT. Sungai Bunut, HPT. Sungai Pasir Ringgit, HPT. Sungai Teras/Bukit Kapur, HPT. Sungai Pejangki, HPT. Pulau Mendol, HPT. Kelemantan, HPT. Pulau Baru, HP. Bukit Batu, HP. Rangau Tamaluku, HP. Ujung Tanjung, HP. Sungai Siak Kecil, HP. Sorek I, II, dan III, HP. Sebanga II dan HP. Siak.

15

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau (Z,Oktober 2013) menyebutkan bahwa kegiatan tata batas pasca penyerahan tersebut tidak merupakan program prioritas daerah (dalam hal penyiapan anggaran), karena Pemerintah pusat tidak serta merta menyerahkan kewenangan kepada Pemerintah daerah untuk pengelolaan hutan dalam hal pemberian ijin pemanfaatan maupun penggunaan

kawasan hutan tersebut. ―Untuk apa kami melakukan tata batas, toh ijin untuk memanfaatkan maupun

menggunakan kawasan hutan tersebut selalu kewenangan dari Pemerintah pusat. Seharusnya, ketika daerah sudah mengeluarkan anggaran untuk tata batas terutama hutan dengan fungsi HPT maupun HP, Pemerintah daerah juga diberikan kewenangan untuk mengelola kawasan hutan tersebut, namun faktanya tidak

demikian‖. 16

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan azas tugas pembantuan. PP itu mengembalikan penataan batas ke pusat.

Pengukuhan kawasan hutan di era ini tidak terlepas dari undang-undang yang mengatur tata ruang wilayah provinsi yaitu UU No. 26 tahun 2007. Tata batas di era ini hanya 59,53 Km (0,53%; 2 kelompok hutan) dan yang disahkan tidak ada, sedangkan penetapan ada 5 (lima) kelompok hutan (137,31 Km; 1,23%) hasil pengesahan era sebelumnya. Tata batas 0,53% itu tidak terlepas dari pertentangan penggunaan penunjukan kawasan hutan sebagai dasar pelaksanaan tata batas. Pemerintah Provinsi Riau pada era ini mulai melakukan proses paduserasi antara TGHK dengan RTRWP yang dilaksanakan tim terpadu.

Era percepatan tata batas kawasan hutan (20102014)

Era ini masih ditandai pertentangan penggunaan dasar hukum penunjukan kawasan hutan17 antara TGHK dengan usulan tim tata ruang (tim terpadu). Di sisi lain, Kemenhut dan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (DitjenPlan) mendorong percepatan tata batas (Renstra Kemenhut 2010-2014 dan Renstra DitjenPlan 2010-2014). Namun, tidak diimbangi penegasan penggunaan dasar hukum penunjukan kawasan hutan dalam melakukan tata batas. Akibatnya, masing-masing pihak mempertahankan kebenaran hukum yang digunakan. Walau demikian, tata batas tetap dilaksanakan. Selama tahun 2010 sampai 2013, BPKH melakukan tata batas 692,44 Km (6,22%; 13 kelompok hutan), disahkan 59,53 Km (0,54%; 2 kelompok hutan) dan belum ada yang ditetapkan.

Kinerja Pengukuhan Kawasan Hutan

Kinerja pengukuhan kawasan hutan dilihat dari kepastian hukum dan pengakuan. Kinerja kepastian hukum dilihat dari panjang tata batas, pengesahan batas dan penetapan kawasan hutan. Sedangkan pengakuan (legitimasi) dilihat dari seberapa kuat kawasan hutan itu diakui dengan indikator tidak ada perubahan tutupan lahan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan serta konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa legitimasi belum tercapai. Hal itu dibuktikan terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi bukan kawasan hutan (perkebunan, pertambangan, semak belukar dan tanah terbuka). Selain itu, konflik terus meningkat, ditandai oleh perambahan, tumpang tindih penguasaan, tumpang tindih perijinan, ataupun tumpang tindih pemanfaatan.

Kinerja dari sisi tata batas ditunjukkan Tabel 4, yaitu 9.499,02 Km (85,37%), disahkan 6.987,21 Km (62,80%), dan ditetapkan 1.850,67 Km (16,63%) atau ± 561.428,74 Ha (22 kelompok hutan) dan di dalamnya 759,81 Km (39,92%) merupakan areal pengganti18. Dengan kata lain, capaian kepastian hukum baru dilakukan terhadap 16 kelompok hutan (1.090,86 Km; 9,80%). Tabel 4 menunjukkan hasil tata batas berturut-turut 989,69 Km (8,90%) pada era sebelum TGHK (<1986);

7.496,96 Km (67,38%) era setelah TGHK dan sebelum otonomi daerah (1986–2000);

260,40 Km (2,34%) era desentralistik (2000–2007); 59,53 Km (0,54%) era review

tata ruang (2007–2010); dan 692.44 Km (6,22%) pada era percepatan tata batas

17 Sampai pada era ini terdapat tiga dasar hukum yang dipertentangkan sebagai basis pelaksanaan tata batas

kawasan hutan, yaitu: SK Menhut Nomor 173 tahun 1986, Perda Nomor 10 tahun 1994 dan usulan Tim Tata Ruang yang dibentuk oleh Gubernur Provinsi Riau.

18

Areal pengganti merupakan areal yang bukan kawasan hutan ditetapkan menjadi kawasan hutan akibat proses tukar menukar kawasan hutan sebagaimana Peraturan Menteri Kehutanan yang tertuang dalam P.41/Menhut-II/2012 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tentang tukar menukar kawasan hutan.

kawasan hutan (2010–2014). Hal ini menegaskan bahwa tata batas lebih banyak dilakukan pada era setelah TGHK sampai sebelum otonomi daerah (1986–2000). Penyebabnya, yaitu: (1) Sub Biphut sebagai pelaksana tata batas memiliki tupoksi yang fokus melaksanakan tata batas; (2) dasar hukum penunjukan lebih jelas, walaupun tahun 1994 dikeluarkan Perda Nomor 10, namun Kemenhut menegaskan bahwa tata batas harus mengacu TGHK, dan tata batas dikendalikan oleh Pemerintah; (3) persoalan konflik relatif rendah dibandingkan era otonomi daerah; dan (4) pada era ini, banyak ijin HPH diterbitkan dan wajib melakukan tata batas (5.910,20 Km atau 78,83%).

Tabel 4 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan tata batas di Provinsi Riau

Era Pengukuhan Kawasan Hutan

Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas Hutan konservasi (Km/%) Hutan lindung (Km/%) Hutan produksi terbatas (Km/%) Hutan produksi (Km/%) Era sebelum TGHK (<1986) 446,07 (32,71) 307,81 (25,27) 195,00 (3,90) 40,81 (2,13) Era setelah TGHK sampai otonomi daerah (1986-2000) 707,89 (51,91) 878,87 (72,15) 4.048,01 (80,99) 1.862,19 (97,05) Era desentralistik (2000-2007) 37,86 (2,78) 31,50 (2,59) 175,21 (3,51) 15,83 (0,82) Era review tata ruang

(2007-2010)

59,53 (4,37) - - -

Era percepatan tata batas (2010-2014)*

112,38 (8,24) - 580,06 (11,61) -

Jumlah 1.363,73 (100) 1.218,18 (100) 4.998,28 (100) 1.918,83 (100) Sumber: Diolah dari data BPKH Wilayah XII Tanjungpinang (2013)

*belum memasukkan seluruh tata batas tahun 2013

Tahun 2003 (era desentralistik), Kemenhut mengeluarkan Surat Edaran Nomor 404/Menhut-II/2003 tanggal 10 Juli 200319 hal penegasan pedoman kawasan hutan pada TGHK bagi daerah yang belum memiliki penunjukan kembali termasuk Provinsi Riau. Hal itu tidak berdampak pada tata batas. Tata batas di era desentralistik (2000–2007) hanya 260,40 Km (2,34%). Selain itu, kewenangan tata batas yang diserahkan ke daerah dalam bentuk desentralisasi