• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPASTIAN HUKUM DAN PENGAKUAN PARA PIHAK HASIL PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Penunjukan kawasan hutan

KAWASAN HUTAN

3 KEPASTIAN HUKUM DAN PENGAKUAN PARA PIHAK HASIL PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Kepastian hukum diartikan sebagai norma hukum tertulis dari hukum positif (Wantu 2012), keabsahan (Marbun 2009) dan asas legalitas (Ridwan 2014). Namun, dalam situasi norma hukum tertulis tidak tersedia, maka perlu asas keadilan yang mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis (Wantu 2012) yang tidak lain adalah keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keabsahan adalah betul-betul orang yang dimaksud (Marbun 2009) atau pengakuan (legitimasi). Dalam pengukuhan kawasan hutan, selalu terbentur dengan bagaimana mengakui kepemilikan masyarakat yang secara turun temurun telah dimanfaatkan dan tidak dapat dibuktikan secara tertulis (Sirait et al. 2004; Contreras-Hermosilla & Fay 2006), mengandalkan cerita dan sejarah untuk melegitimasi kepemilikan dan penguasaan tanah (Affif 2005) dan aturan kepemilikan di tingkat lokal, siapa pembuka lahan pertama kali, dialah sebagai pemilik lahan (Saptomo 2004; Nugroho 2011). Selain itu, Pemerintah masih kesulitan dalam mengakomodir dan melengkapi bukti hak tertulis maupun bukti hak tidak tertulis seperti disebutkan dalam P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut- II/2013. Oleh karena itu, apa yang dikemukakan Wantu (2012) yang mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat sebagai ketentuan hukum yang tidak tertulis dapat digunakan untuk melegitimasi kawasan hutan.

Sesungguhnya, kepastian hukum dan legitimasi dapat ditempuh apabila diikuti pengelolaan dan pengawasan yang baik dari Pemerintah (Bromley 1992a), penguatan kapasitas masyarakat (Contreras-Hermosilla & Fay 2006; Ansoms et al. 2014), membangun kemitraan antara masyarakat dengan Pemerintah untuk memperbaiki rezim kepemilikan (Dev Roy et al. 2011), dan melibatkan institusi sosial yang ditumbuhkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat (Ostrom 1990; Campbell 2003; Ostrom 2003; Contreras-Hermosilla & Fay 2006). Munurut Rahmawati (2013), pengelolaan sumber daya alam berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan dengan penguasaan hutan berbasis tata kelola negara, karena tindakan negara didasarkan atas dualisme kepentingan, yaitu kelestarian hutan dan pemanfaatan hutan sesuai mekanisme pasar (Bryant & Bailey 2001).

Dengan demikian, diperlukan kemitraan antara negara dan masyarakat dalam pengukuhan kawasan hutan; melibatkan masyarakat dalam proses tata batas; dan memperbaiki rezim kepemilikan (tenurial) sebelum dilakukan pengukuhan. Oleh karena itu, beberapa hal perlu diketahui sebagaimana tujuan penelitian ini, yaitu: (1) menganalisis konflik sosial dibalik pencapaian kepastian hukum dan legitimasi kawasan hutan, (2) menganalisis ruang konflik pemaknaan legitimasi; dan (3) menganalisis faktor penghambat pencapaian legitimasi kawasan hutan. Dengan pengetahuan ini, maka kegagalan kebijakan (policy failure) dapat diperbaiki dan kepastian hukum dan pengakuan dapat diwujudkan.

Metode Penelitian

Lokasi penelitian

Untuk menjelaskan konflik sosial dibalik kepastian hukum dan legitimasi diambil lokus Taman Nasional (TN) Tesso Nillo di Kabupaten Pelalawan dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang di Kabupaten Kepulauan Meranti. Sedangkan untuk menjelaskan kesulitan pencapaian legitimasi, diambil lokus Hutan Lindung (HL) Sei Tembesi di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Pengambilan lokasi ini dimaksudkan untuk menganalisis persoalan kekuasaan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan di tingkat PTB, dan bagaimana fakta lapangan pasca penetapan dan sebelum dilakukan tata batas.

Analisis data

Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan strategi tipologi. Untuk memperbaiki implementasi pengukuhan kawasan hutan, maka temuan-temuan dalam penelitian ini dikaitkan dengan penyebab kegagalan kebijakan (policy failure) seperti disebutkan Helen Ingram & Dean Mann (1980) dalam Birkland (2001). Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil dan Pembahasan Tata Batas Versus Legalitas Kawasan Hutan

Tata batas sesuai dengan P.47/Menhut-II/2010 adalah tugas dan wewenang PTB31

yang dikoordinasikan BPKH. Tata batas telah dilakukan terhadap 85,37% (120 kelompok hutan) dari total 137 kelompok hutan (11.126,37 Km), namun yang ditetapkan baru 16,63% (± 561.428,74 Ha; 22 kelompok hutan; 1.850,67 Km). Artinya, capaian kepastian hukum hingga tahun 2013 baru mencapai 16,63%, sehingga ada gap antara tata batas dengan penetapan 68,74%. Sampai saat ini, penetapan kelompok hutan yang telah ditata batas (68,74%) itu belum prioritas dan belum ada mekanisme untuk penetapannya. Hal ini akibat program Pemerintah yang lebih fokus untuk percepatan tata batas (2010-2014) yang belum ditata batas (14,63%; 17 kelompok hutan). Di samping itu, kelengkapan dokumen tata batas (68,74%) juga sulit ditemukan. Padahal, Kemenhut melalui DitjenPlan membuka ruang penetapan jika dilengkapi bukti dokumen. Petikan wawancara berikut menjelaskan hal tersebut.

“sepanjang bukti dokumen hasil tata batas (teknis, yuridis dan administrasi) tersedia, maka Kementerian Kehutanan pasti menerbitkan SK Penetapan, karena beberapa pasal (Pasal 1 angka 38; Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3); dan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (6)) pada P. 44/Menhut-II/2012 memberi ruang penetapan kawasan hutan (K, Oktober 2013, Kepala Bidang Pengukuhan Wilayah

Sumatera)”.

31

Dalam peraturan tersebut pada Pasal (10) dan Pasal (11), PTB memiliki tugas: melakukan persiapan pelaksanaan penataan batas dan pekerjaan pelaksanaan di lapangan; memantau pekerjaan dan memeriksa hasil-hasil pelaksanaan pekerjaan tata batas di lapangan; mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan; memberi arahan kepada pelaksana dalam membuat trayek batas berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan (dan perairan) provinsi dan hasil inventarisasi hak-hak pihak ketiga; dan mengesahkan rencana trayek batas dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah rapat pembahasan trayek batas; sementara wewenangnya adalah menetapkan trayek batas kawasan hutan; menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan; menandatangani BATB dan peta hasil tata batas.

Ada tata batas tahun 2005 sepanjang 137,31 Km (5 kelompok hutan) yang ditetapkan tahun 200932 karena dokumennya lengkap membuktikan hal itu. Secara yuridis, P.44/Menhut-II/2012 membuka ruang penetapan dengan kondisi tata batas tersebut seperti dijelaskan pada Bab2.

Hal lain yang perlu diperhatikan saat melakukan penetapan seperti disebutkan dalam P.44/Menhut-II/2012 Pasal 1 dan Pasal 59 adalah persoalan klaim dan penyelesaiannya, hubungannya dengan legitimasi. Hal ini sejalan dengan Pasal 44 ayat (2) dan (3) yang mengatakan bahwa apabila masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan maka kawasan hutan tersebut dapat ditetapkan dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada di dalamnya untuk diselesaikan oleh PTB bersangkutan (ayat 2) dan lokasi-lokasi tertentu yang tidak dapat dilakukan tata batas secara fisik karena kondisi alam atau konflik dengan masyarakat atau kondisi keamanan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan menggunakan batas virtual yang digambarkan pada peta pemanfaatan citra dan pendekatan koordinat geografis (ayat 3). Dengan demikian, temuan KPK (2013) yaitu klaim verifikasi untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan menunjukkan kebenarannya. Penelitian ini menyarankan agar klaim verifikasi itu dilakukan pada kelompok hutan yang telah ditata batas dan belum ditetapkan, bukan menyeluruh seperti rekomendasi KPK (2013). Berdasarkan hal itu, penetapan akan meningkatkan kepastian hukum dan hukum itu dapat ditegakkan, sebab ketiadaan kepastian hukum dapat berdampak pada penegakan hukum (Syarief 2014).

Kepastian hukum sangat penting. Pasca keputusan MK Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 tentang Pengujian Konstitusionalitas Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2000, dengan amar putusan yang memutuskan dua hal. Pertama, bahwa frasa

―ditunjuk dan atau‖ dalam Pasal 1 angka 3, UU No. 41/1999 bertentangan dengan

UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua,

meskipun Pasal 1 angka 3 dan pasal 81 UU No. 41/1999 menggunakan frasa

―ditunjuk dan atau ditetapkan‖, namun berlakunya untuk yang ―ditunjuk dan atau ditetapkan‖ dalam Pasal 8133 tersebut tetap sah dan mengikat. Dengan kata lain, penentuan kawasan hutan tidak hanya sekedar penunjukan seperti dipraktekkan selama ini, tetapi juga harus diikuti dengan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.

Legalitas Versus Legitimasi Kawasan Hutan

Selain legalitas, pengukuhan juga menuntut legitimasi. Salah satu contoh pengukuhan yang memiliki legalitas, namun belum memiliki legitimasi adalah pengukuhan HL Sei Tembesi yang terletak di Kecamatan Sagulung dan Sei Beduk Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Proses pengukuhannya dilakukan ± 1 bulan sangat prestisius, mengingat proses pengukuhan kawasan hutan lainnya dilakukan bertahun-tahun, bahkan banyak yang tidak ditetapkan. HL Sei Tembesi adalah areal

32

Kawasan hutan yang ditetapkan tersebut antara lain: HPT P. Kijang sepanjang 38,07 Km (SK Penetapan Nomor: 728/Menhut-II/2009), HPT P. Pucung sepanjang 21,34 Km (SK Penetapan Nomor: 727/Menhut- II/2009), HPT P. Beting sepanjang 17,87 Km (SK Penetapan Nomor: 730/Menhut-II/2009), HPT. S. Kerapung sepanjang 22,03 Km (SK Penetapan Nomor: 726/Menhut-II/2009) dan HPT. P. Ruku sepanjang 38 Km (SK Penetapan Nomor: 725/Menhut-II/2009).

33Pasal 81 UU No. 41/1999 berbunyi : ―kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini‖

pengganti HP Baloi. Persetujuan tukar menukar HP Baloi untuk kepentingan

pengembangan landmark Kota Batam disetujui tahun 2005. Persetujuan itu

didasarkan atas hasil identifikasi Departemen Kehutanan (2002), pengkajian Tim Terpadu (2003), pengkajian Tim Pendalaman (2004), dengan mempertimbangkan kecukupan luas hutan Pulau Batam guna menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dari hutan serta keputusan rapat khusus Departemen Kehutanan tanggal 1 Oktober 2004. Dalam surat itu, Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam dibebani kewajiban untuk menjamin lahan pengganti yang tersedia di lokasi Sei Tembesi seluas ± 840 ha yang jelas statusnya, bebas dari hak-hak pihak lain atau bebas dari segala jenis pembebanan hak dan menjaga serta melindungi dari ancaman perambahan seperti rumah-rumah liar, perladangan liar, dan pengkavlingan lahan. Kewajiban itu dituangkan dalam jaminan Notaris.

Sampai tahun 2009 belum ada realisasi, sehingga perlu pengurusan perpanjangan persetujuan prinsip34. Perpanjangan persetujuan prinsip disetujui sesuai surat: S. 741/Menhut-VII/2009 tanggal 15 September 2009 seluas ± 850,50 Ha. Tindaklanjutnya (tanggal 29 September 2009) adalah penandatanganan berita acara tukar menukar kawasan hutan antara Kemenhut, Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam Nomor : BA.01/Menhut-VII/KUH/2009. Selanjutnya, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 624/Menhut-II/2009 tanggal 5 Oktober 2009 disetujuilah penunjukan areal pengganti dari Pemerintah Kota Batam dan BP-Batam seluas ± 850,50 Ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung. Berdasarkan penunjukan itu, DitjenPlan melalui surat Nomor : S.903/VII- KUH/2010 tanggal 24 Nopember 2010 memerintahkan Kepala BPKH melakukan tata batas HP Baloi dan Sei Tembesi setelah sebelumnya Kepala BPKH bersurat ke DitjenPlan melalui surat Nomor S.387/VII/BPKH XII-2/2010 tanggal 15 Nopember 2010, karena dari hasil pengukuran yang dilakukan BPKH Wilayah I Medan (sebelum tahun 2008, Provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah kerja BPKH Wilayah I Medan) terdapat areal yang belum clear and clean seluas ± 16,2 Ha di Sei Tembesi. DitjenPlan menyarankan agar areal yang belum clear and clean itu dikeluarkan dari usulan lahan pengganti. Berdasarkan saran itu, BPKH melakukan tata batas dengan membentuk Nota Kesepahaman Bersama (NKB) antara BP-Batam dengan BPKH yaitu kerjasama penataan kawasan hutan dengan Nomor : 25/PERJ- AG.4/11/2010, Nomor : S. 413/VII/BPKH XII-2/2010 tanggal 30 Nopember 2010 serta Surat Perjanjian Kerjasama No. 18/SPJ/UM/11/2010 dan No. S. 414/VII/BPKH XII-2/2010 tanggal 30 Nopember 2010. Selanjutnya, Kepala BPKH menugaskan petugas/juru ukur melakukan tata batas sesuai dengan SPT No. PT. 82/VII/BPKH XII-2/2010 tanggal 30 Nopember 2010 yang melibatkan Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau; Dinas KP2K Kota Batam, serta BP-Batam selama ± 18 hari sepanjang 27.518,75 m (27,5 Km).

Areal pengganti seharusnya clean and clear sesuai perjanjian yaitu bebas dari hak-hak pihak lain atau bebas dari segala jenis pembebanan hak dan menjaga serta melindungi dari ancaman perambahan seperti rumah-rumah liar, perladangan liar, dan pengkavlingan lahan. Faktanya tidak demikian. HL Sei Tembesi telah dijadikan masyarakat sebagai sumber penghidupan dengan memanfaatkan lahan untuk

34

Dalam Permenhut P. 32/Menhut-II/2010 yang telah diubah dengan Permenhut P.41/Menhut-II/2012 tentang tukar menukar kawasan hutan pada pasal 17 ayat (1) dijelaskan bahwa persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, artinya tahun 2009 persetujuan tukar menukar kawasan hutan HL Sei Tembesi telah berakhir dan harus dilakukan pengurusan kembali

berladang, berkebun, bercocok tanam, bahkan beternak. Hasil wawancara dengan masyarakat di HL Sei Tembesi menyebutkan bahwa masyarakat sudah lama memanfaatkan lahan tersebut, yang diperoleh melalui ganti rugi dengan masyarakat yang pertama kali membuka lahan di wilayah tersebut.

” kami sudah lama menanami lahan ini dan sumber penghidupan kami dari sini, jadi

kalau kami diusir dari sini perangpun jadilah, kami bercocok tanam disini membayar

juga” (R, Oktober 2013).

Gambar 11 menunjukkan kondisi eksisting sebagian areal HL Sei Tembesi yang ditukar menjadi kawasan hutan. Petugas/juru ukur mengetahui hal itu karena pal batas yang dipasang (sebagian besar) melewati lahan masyarakat (Gambar 12). Informasi itu juga diketahui kepala BPKH maupun BP-Batam, bahkan Dinas KP2K Kota Batam. Namun, instansi tersebut membiarkan karena dikhawatirkan dapat menggagalkan tata batas. Petikan wawancara berikut memperkuat pernyataan itu.

“kami paham dan tau bahwa sebagian besar areal yang ditata batas sudah

digunakan masyarakat. Beberapa pal batas kami pasang di ladang dan depan rumah mereka. Kami mendapat tekanan dari beberapa pejabat agar tidak menginformasikan hal itu, karena kalau kami informasikan bisa jadi tata batas akan

gagal. Kami hanya mengikuti instruksi atasan kami saja” (JS, Oktober 2013).

Gambar 11 Kondisi Eksisting HL Sei Tembesi saat ditetapkan menjadi hutan lidung

Selain pal batas melewati lahan masyarakat, pal batas juga melewati rumah penduduk (Gambar 13). Penduduk yang bermukim memiliki surat pembelian yang dikeluarkan oleh lurah (Gambar 14). Namun demikian, masyarakat sadar bahwa pemilik lahan adalah BP-Batam, sehingga masyarakat tidak menolak pemasangan pal batas, walaupun pal batas tepat di depan rumahnya. Petugas/juru ukur tidak menginformasikan maksud tata batas itu. Menurut pemahaman masyarakat, pal batas itu adalah batas tanah milik BP-Batam. Padahal, maksudnya adalah memastikan letak, batas dan status lahan yang akan ditetapkan menjadi hutan lindung. Selain itu, masyarakat tidak mengetahui bahwa setelah penetapan, hak kelola akan berubah dari BP-Batam kepada Kemenhut. Fakta itu membuktikan bahwa petugas/juru ukur membiarkan masyarakat tidak faham tujuan tata batas, termasuk konsekuensi hukum dari penggunaan kawasan hutan tanpa bukti hak kepemilikan yaitu perambah35.

Gambar 12 Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati lahan

yang diusahai masyarakat

Persoalan di lapangan diantaranya ada penduduk yang memanfaatkan areal untuk berkebun (perladangan liar), ada yang memanfaatkan untuk beternak, ada ijin mendirikan industri batu bata, bahkan ada rumah-rumah permanen, sesungguhnya diketahui PTB36, termasuk Kemenhut. Hal ini berbeda dengan perjanjian yang dijamin notaris bahwa areal pengganti harus bebas dari hak-hak pihak lain atau bebas dari segala jenis pembebanan hak dan menjaga serta melindungi dari ancaman

35

UU 41/1999 Pasal 50 ayat (2) mengatakan bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan; dan seterusnya. Apabila melakukan hal tersebut maka dapat dikenai Pasal78 ayat (1).

36

PTB Kota Batam dibentuk berdasarkan keputusan bersama antara Walikota Batam dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor : Kpts. 01/SKB/HK/3/2010, Nomor : 2/KA-KB/3/2010 tentang perubahan keputusan bersama Walikota Batam dan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam Nomor : Kpts 2-1/SKB/HK/III/2009, Nomor : 2/KA- KB/III/2009 tentang perpanjangan PTB Kota Batam.

perambahan seperti rumah-rumah liar, perladangan liar, dan pengkavlingan lahan. Walau demikian, proses penetapan tetap dilakukan.

PTB menandatangani BATB dan peta hasil tata batas tanggal 23 Desember 2010 yang menyatakan bahwa: (1) hasil pengukuran dan penataan batas sepanjang 27.518,75 m telah membentuk poligon tertutup (temugelang) dengan luas 838,80 Ha; (2) tata batas HL Sei Tembesi adalah areal pengganti kawasan HP Baloi yang akan dilepaskan; (3) dengan hasil penataan batas ini, tidak ada lagi bagian-bagian tanah yang dimasukkan dan atau dikeluarkan dalam/dari kawasan hutan; dan (4) tidak terdapat lagi tanah-tanah dan atau bangunan beserta tanam tumbuh terhadap mana pemilik tanah yang tanahnya berbatasan dengan kawasan hutan serta pernyataan dari para wakil-wakil penduduk/persekutuan hukum bahwa mereka mempunyai hak milik atau hak lainnya. Kemudian, Menteri Kehutanan menetapkan HL Sei Tembesi seluas 838,80 Ha (SK Nomor : SK. 724/Menhut-II/2010 tanggal 30 Desember 2010) sebagai hutan lindung.

Gambar 13 Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati rumah penduduk

Gambar 14 Surat pernyataan penguasaan tanah yang

Konflik Sosial di Balik Legalitas Kawasan Hutan

Konflik sosial ini telah terjadi sejak penunjukan. TGHK yang dilakukan secara makro, sepihak dan abai dari realitas kultural masyarakat lokal, merupakan fakta yang mengawali konflik itu. Program itu dipandang masyarakat sebagai bentuk manipulasi karena tidak melalui kesepakatan. Kesepakatan dalam program itu merupakan kesepakatan segelintir orang yang dilakukan dengan menggambarkan kawasan hutan secara makro. Akibatnya, lahirlah konflik vertikal antara masyarakat dengan Pemerintah dan konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat, bahkan antara masyarakat dengan pengusaha serta pihak lainnya37. Pada awalnya, ruang pencegahan konflik itu telah diatur oleh Pemerintah dengan terbitnya instruksi Mendagri Nomor : 15 Tahun 1988 tentang pedoman penyediaan tanah areal hutan dan tata guna hutan kemasyarakatan untuk pembangunan yang menginstruksikan kepada Gubernur untuk melakukan pendeteilan serta memisahkan antara hutan produksi yang dapat dikonversi dengan areal peruntukan lainnya. Namun hal itu tidak dilakukan, sehingga konflik terus tumbuh dari satu persoalan ke persoalan lainnya.

Konflik itu berlanjut saat dilakukan tata batas. Tata batas yang diawali dengan penyiapan trayek batas tidak pernah melibatkan masyarakat. Upaya kekuasaan untuk mengelabui masyarakat berlanjut dalam proses tata batas. Oleh karena itu, proses tata batas dapat dikatakan sebagai titik mulai konflik secara terbuka yang disertai pembiaran. Petugas/juru ukur faham ada klaim, namun tidak mengungkap klaim itu untuk mengamankan proses tata batas dan anggaran yang diterima. Tata batas dilakukan sepihak dan disepakati segelintir orang, sama halnya dengan TGHK. Hal itu memperlihatkan bahwa salah satu pihak mengambil posisi dan berpegang teguh pada otoritas dengan mendasarkan diri pada hak-hak yang disandangnya. Dalam hal ini, Pemerintah mengambil posisi yang kukuh bahwa proses tata batas jangan diketahui masyarakat. Posisi yang kukuh pada basis otoritas itu juga diperkuat dengan formulasi tujuan yang berusaha menguasai sumber daya alam (hutan) dengan cara meniadakan klaim penguasaan pihak lain yaitu masyarakat. Dalam situasi yang demikian itu, pelaksanaan tata batas dapat dikatakan mengabaikan aspek sosial. Cara pandang ini menempatkan tata batas sebagai alat/mekanisme merealisasikan tujuan yang represif. Hasilnya adalah hampir seluruh kawasan hutan di Provinsi Riau hingga kini tidak lepas dari konflik.

Seperti halnya TN Tesso Nillo, terlihat jelas bahwa tata batas hanya dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan anggaran dan menjamin luas TN Tesso Nillo. Saat dilakukan tata batas, petugas/juru ukur faham ada klaim, namun menghindari klaim termasuk pertanyaan masyarakat atas pelaksanaan tata batas. Petikan wawancara berikut memperkuat pernyataan tersebut.

37

Persoalan penunjukan kawasan hutan berdasarkan TGHK ini tidak hanya ditemui di Provinsi Riau, misalnya kawasan hutan Noge yang terletak di Kabupaten Tanaloran (Flores) berdasarkan hasil penelitian Maring (2010), juga menemukan bahwa program TGHK merupakan proses yang dilakukan dengan usaha

mengelabui masyarakat melalui perintisan ―jalan kuda‖ untuk tujuan pengontrolan yang berubah menjadi

mala petaka bagi masyarakat sejak tahun 1982. Langkah tersebut dipandang sebagai manipulasi dan hanya taktik mengelabui masyarakat. Setelah berhasil merintis jalan kuda, sejak tahun 1960 petugas kehutanan mulai mengusir masyarakat dari kampung-kampung di kawasan hutan. petugas kehutanan memukuli warga, merusak rumah, dan ternak milik warga. Bahkan, pada tahun 1971 petugas kehutanan melakukan pembakaran rumah, mengusir masyarakat, perampasan alat-alat pertanian, dan pemusnahan ternak. Akibat kekerasan tersebut, warga lari meninggalkan kampung mereka untuk menyelamatkan diri ke wilayah sekitarnya bahkan ada yang merantau ke Pulau Kalimantan dan Sulawesi.

“kami telah diberikan sejumlah anggaran untuk melaksanakan tata batas TN Tesso Nillo sepanjang 137 Km, maka kami harus mempertanggungjawabkan anggaran tersebut, dan kami berusaha melakukan tata batas walaupun tidak sepenuhnya dipasang pal di lapangan. Selain itu, kami juga tidak mau dibunuh oleh masyarakat, sehingga kami harus mencari alasan yang tepat untuk menghindari bertemu dengan

masyarakat yang memiliki klaim atas TN Tesso Nillo” (JS, Oktober 2013).

Menurut informasi masyarakat, tata batas hanya dilakukan di atas peta karena petugas/juru ukur takut diusir38. Namun demikian, PTB tetap menandatangani BATB dan peta hasil tata batas kecuali Kepala Desa Air Hitam. Hasil wawancara berikut menjelaskan hal tersebut.

“saya tidak mau menandatangani BATB dan peta hasil tata batas tersebut, karena petugas langsung menyodorkan untuk ditandatangani pada saat rapat, sementara masyarakat di desa kami sudah ada jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi taman nasional. Masyarakat di desa kami hanya menginginkan agar lahan yang dikuasai masyarakat dapat dikeluarkan dari TN Tesso Nillo. Masyarakat kami maksimal hanya memiliki lahan sekitar 5 ha, sementara masyarakat di desa lain ada yang memiliki lahan sampai puluhan bahkan ratusan Ha, tetapi tidak ditindak oleh

petugas kehutanan” (L, Nopember 2013).

Berbeda dengan tata batas HL Sei Tembesi, petugas tidak menghindari masyarakat, walaupun masyarakat memanfaatkan lahan untuk berkebun, beternak, membuat batu bata, bahkan bermukim. Masyarakat sadar bahwa kawasan itu adalah hutan lindung, namun karena masyarakat telah mengganti rugi dengan