• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK: OPSI PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Penunjukan kawasan hutan

KAWASAN HUTAN

6 PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK: OPSI PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

Pendahuluan

Jaminan tenurial (tenurial security) dari kawasan tertentu yang ditetapkan menjadi kawasan hutan merupakan salah satu wujud pengakuan (Sirait et al. 2004; Nugraha 2013). Jaminan itu merupakan salah satu faktor penting dalam pengelolaan hutan (Contreras-Hermosilla & Fay 2006) di Indonesia. Akan tetapi, Pemerintah belum mampu mengelola dan menyediakan jaminan penguasaan dan pengelolaan itu (Efendi 2002; Contreras-Hermosilla & Fay 2006), bahkan kebijakan itu sejak awal berpotensi menimbulkan konflik (Nugraha 2013).

Kelembagaan yang berkembang dalam sistem tenurial di tingkat lokal adalah siapa yang pertama membuka lahan, maka dialah pemiliknya (Nugroho 2011), seperti juga temuan Saptomo (2004). Dalam konsep lokal, hubungan antara warga masyarakat tempatan dengan tanah ditentukan oleh riwayat penggarapan tanah secara turun temurun, pengakuan tokoh-tokoh adat, dan kesaksian orang lain. Kelembagaan lokal seperti ini tidak diakomodir dalam hukum positif negara termasuk pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat lokal. Pemenuhan bukti hak (tertulis dan tidak tertulis) seperti dijelaskan dalam P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 akan sulit sehingga mengakibatkan ketidakpastian tenurial (tenurial insecurity).

Oleh karena itu, perlu merumuskan bentuk penataan tenurial kawasan hutan yang akan dikukuhkan termasuk pengaturan keberadaan hak-hak masyarakat lokal serta menata peran para pihak yang terlibat dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Penelitian ini akan merumuskan bentuk penataannya, sehingga dua hal yang selama ini tidak berhasil diwujudkan yaitu kepastian hukum dan legitimasinya menemukan benang merahnya melalui perumusan opsi pengukuhan kawasan hutan yang berkualitas. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis konflik penguasaan lahan dan tipologi komunitas dalam kawasan hutan; (2)

memetakan sekumpulan hak (bundle of rights) dan peran PTB dalam

penyelenggaraan tata batas kawasan hutan; dan (3) merumuskan serangkaian tindakan pembaruan kebijakan pengukuhan kawasan hutan.

Metode Penelitian Lokasi penelitian

Untuk menggambarkan situasi tenurial kawasan hutan, penelitian ini mengambil lokus di HL Sei Tembesi, TN Tesso Nillo, dan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang.

Analisis data

Kerangka analisis menggunakan analisis sekumpulan hak (bundle of rights) dari Ostrom dan Schlager (1996); analisis tipologi komunitas (Safitri 2013); dan analisis konflik tenurial (Kartodihardjo et al. 2011). Analisis sekumpulan hak (bundle of rights) dilakukan dengan mengidentifikasi sekumpulan hak (bundle of rights) yang terdapat di 3 (tiga) lokasi, kemudian diklasifikasikan menjadi 5 (lima) hak (rights), yaitu: (1) hak melakukan akses (rights of access); (2) hak pemanfaatan (rights of

withdrawl); (3) hak pengelolaan (rights of management); (4) hak pembatasan (rights of exclusion); dan (5) hak pengalihan (rights of alienation). Analisis tipologi komunitas diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu: forest communities dan

forest dwellers/users. Sedangkan analisis konflik tenurial diklasifikasikan menjadi 4 (empat), yaitu: konflik tenurial berat, konflik tenurial ringan, masalah akses terhadap sumber daya hutan, dan masalah aktivitas haram. Klasifikasi atas sekumpulan hak (bundle of rights), tipologi komunitas dan tipologi konflik tenurial disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil dan Pembahasan Konflik penguasaan lahan kawasan hutan

Konflik penguasaan lahan kawasan hutan di Provinsi Riau disebabkan 3 (tiga) hal. Pertama, tata batas yang tidak mengungkap klaim secara transparan. Kedua, pembiaran terhadap mekanisme pengukuhan kawasan hutan yang tidak sesuai peraturan perundangan yang berlaku antara lain tata batas tidak diakhiri dengan penetapan. Ketiga, tata batas tidak memiliki pengakuan karena bukan merupakan target prioritas.

Proses tata batas yang tidak mengungkap klaim berbuah konflik

Setidaknya, seperti disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ketidaksamaan penunjukan di Provinsi Riau adalah babak awal terjadinya kontestasi. Perbedaan klaim negara dari penunjukan itu menimbulkan konflik. Ketidaksamaan itu menjadi sumber konflik. Dikaitkan dengan temuan Moore yang diacu Fuad dan Maskanah (2000), konflik klaim negara itu dapat diklasifikasikan menjadi konflik data, konflik struktural dan konflik kepentingan. Tata batas yang tidak mengungkap klaim secara transparan akan mengubah klaim menjadi konflik. Hal itu karena tata batas pasca pemerintahan kolonial tidak dilakukan secara persuasif dan tidak menghargai dan melibatkan hak-hak masyarakat lokal. Tata batas cenderung dilakukan sepihak untuk mengejar realisasi tujuan teknis dan administrasi. Seperti TN Tesso Nillo, jauh sebelum ditunjuk sebagai taman nasional telah ditemukan banyak klaim (Gambar 22), namun tidak diselesaikan sebelum dilakukan penandatanganan BATB dan peta hasil tata batas. BATB dan peta hasil tata batas TN Tesso Nillo tetap ditandatangani, walaupun persoalan klaim belum selesai. Informasi yang tertuang dalam BATB dan peta hasil tata batas menunjukkan seolah-olah tidak ada klaim. Saat dikonfirmasi dengan PTB dan petugas/juru ukur, mengapa fakta klaim tidak diungkap untuk diselesaikan?. Petikan wawancara berikut menjelaskan hal tersebut.

“jika klaim kami ungkap, itu berarti kami harus berhubungan dengan masyarakat. Padahal, kami sengaja menghindari mereka supaya tidak mengganggu pemasangan pal batas. Sejak awal di TN Tesso Nillo, masyarakat menolak pemancangan pal batas, sehingga kami harus sembunyi-sembunyi dan mencari cara-cara yang membuat masyarakat tidak curiga. Kami tidak mau mengembalikan anggaran yang telah kami terima, jadi sedapat mungkin kami lakukan pemasangan pal sesuai dengan jumlah anggaran yang kami terima. Sebenarnya, petugas dan PTB tau kalau di taman nasional ini banyak klaim” (JS, Oktober 2013).

“biasanya kami langsung menandatangani BATB dan peta hasil tata batas yang

sudah disiapkan BPKH tanpa menelaah lebih lanjut. Lagipula dalam BATB dan peta hasil tata batas tersebut biasanya tidak dijelaskan dan digambar klaim dari masyarakat, sehingga kami menganggap tidak ada klaim, walaupun kami sadar bahwa di taman nasional itu terdapat banyak klaim. Waktu rapat kami tidak diberikan waktu untuk menjelaskan, sehingga kami menurut saja menandatangani BATB dan peta hasil tata batas setelah ditandatangani ketua” (H, Oktober 2013) Dua petikan wawancara itu menegaskankan bahwa petugas/juru ukur tidak mengungkap klaim. Sementara di tingkat PTB, kontrol terhadap hasil tata batas tidak ada. Padahal, aturan telah mengamanatkan agar dilakukan peninjauan lapangan sebagai salah satu bagian dari pengawasan.

Lain dengan HL Sei Tembesi, masyarakat tidak melakukan klaim karena mereka faham bahwa tanah itu milik BP-Batam. Namun, karena masyarakat telah mengganti rugi dan ada juga yang membeli dari kepala lurah (khusus untuk pemukiman), akan melakukan perlawanan jika dipindahkan. Ketika dikonfirmasi dengan BP-Batam maupun Dinas KP2K kota Batam, masing-masing pihak memberikan informasi yang berbeda. BP-Batam mengatakan bahwa pengelolaan HL Sei Tembesi pasca tukar menukar adalah Kemenhut dan Dinas KP2K. Sedangkan Dinas KP2K mengatakan bahwa BP-Batam melupakan komitmennya memindahkan masyarakat setelah satu kali musim tanam sejak dilakukan penetapan. Sementara HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang, klaim tidak diungkap, bahkan masyarakat dibiarkan tidak faham maksud dan tujuan tata batas.

Sumber : Balai TN Tesso Nillo, WWF (2013)

Gambar 22 Klaim para pihak di TN Tesso Nillo

Pembiaran terhadap mekanisme yang salah berbuah konflik

Mekanisme pengukuhan kawasan hutan yang dimulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan hingga penetapan hampir tidak pernah tuntas. Hasil penelitian menunjukkan, hanya 16,63% mekanisme itu tuntas. Rata-rata tata batas berhenti

pada laporan BATB dan peta hasil tata batas (85,37%). Pada banyak kasus, bahkan tata batas berhenti pada tata batas definitif karena keterbatasan waktu dan BPKH tidak mengusulkan prosesnya pada tahun berikutnya. Tabel 2860 menunjukkan data itu. Selain proses itu, ada beberapa mekanisme yang tidak dilakukan antara lain ruang negosiasi (koordinasi), pengumuman hasil pemancangan batas sementara dan peninjauan lapangan. Mekanisme yang salah ini dibiarkan dan tidak diperbaiki dari waktu ke waktu. Penilaian kinerja BPKH berdasarkan realisasi anggaran membuktikan pembiaran mekanisme itu. BPKH lebih mengejar penyelesaian teknis dan administrasi dibandingkan rapat karena porsi anggarannya lebih besar. Saat ini, dengan semakin massifnya konflik akibat banyaknya klaim masyarakat, persoalan tata batas bukan lagi persoalan teknis dan administrasi melainkan telah menuju ke persoalan sosial. Tata batas memerlukan mediasi dan resolusi konflik, sementara kemampuan petugas/juru ukur hanya terbatas pada teknis pengukuran. Pembiaran terhadap mekanisme pengukuhan kawasan hutan yang salah ini akan menimbulkan konflik.

Tabel 28 Tata batas tahun 2013 yang belum ditandatangani PTB

No Fungsi dan nama kawasan hutan Panjang batas (km)

Luas (ha) Keterangan

1 HPT. Selat Morong 146,08 6.477,53 Belum rapat PTB

2 HPT. Mungkal 68,27 2.371,22 Belum rapat PTB

3 HPT. S. Kembung 112,64 4.182,08 Belum rapat PTB

4 HPT. Tanjung Dingul 64,14 2.079,07 Belum rapat PTB

5 HPT. S. Labu-S. Dakal-S. Meraut Besar

59,53 657,65 Belum rapat PTB 6 HPT. S. Akar - S. Bernas 100,23 2.652,70 Belum rapat PTB 7 HPT. S. Kurau – S. Palu Besar 43,08 1.912,58 Belum rapat PTB

8 HPT. S. Kasap 11,09 164,22 Belum rapat PTB

9 HPT. S. Baru 39,23 552,80 Belum rapat PTB

10 HPT. S. Belekop 24,00 895,50 Belum rapat PTB

11 HPT. S. Terus – Semukut 34,05 1.234,66 Belum rapat PTB 12 HPT. S. Cina – Tanjung Motong 58,06 1.556,69 Belum rapat PTB

13 HPT. S. Alur Panjang 12,56 310,00 Belum rapat PTB

14 HPT. Tanjung Kermak 21,00 575,07 Belum rapat PTB

Sumber : BPKH Wilayah XIX Pekanbaru, 2013

Realitas tujuan yang jauh dari legitimasi berbuah konflik

Proses pengukuhan kawasan hutan yang begitu panjang itu tidak berarti apabila belum ditetapkan. Hal ini sejalan dengan keputusan MK Nomor: 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012 tentang Pengujian Konstitusionalitas Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2000, dengan amar putusan yang memutuskan dua hal. Pertama, bahwa frasa ―ditunjuk dan atau‖ dalam Pasal 1 angka 3, UU No. 41/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kedua, meskipun Pasal 1 angka 3 dan pasal 81 UU No. 41/1999 menggunakan frasa ―ditunjuk dan atau ditetapkan‖, namun berlakunya untuk yang ―ditunjuk dan

60

Berdasarkan informasi dari BPKH, penyelesaian rapat untuk penandatanganan BATB dan peta hasil tata batas kawasan hutan tersebut belum dianggarkan pada tahun anggaran berikutnya (Y, Januari 2014). Akibatnya, hasil tata batas definitif tersebut mengambang, dan diprediksi akan mengulang sejarah pengukuhan kawasan hutan seperti yang terjadi sejak zaman Belanda.

atau ditetapkan‖ dalam Pasal 8161

tersebut tetap sah dan mengikat. Proses tata batas yang dilaksanakan selama ini masih jauh dari legitimasi.

Hak kepemilikan dan penguasaan sumber daya hutan

Bukti klaim yang diatur dalam P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 adalah: (1) pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial yang berdasarkan sejarah keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan; (2) pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dalam desa/kampung yang berdasarkan sejarah keberadaannya ada setelah penunjukan kawasan hutan dapat dikeluarkan dari kawasan hutan dengan kriteria: (a) telah ditetapkan dalam Perda; (b) tercatat pada statistik desa/kecamatan, dan (c) penduduk di atas 10 (sepuluh) kepala keluarga dan terdiri dari minimal 10 (sepuluh) rumah; dan (d) ketentuan tersebut tidak berlaku pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30%. Di tingkat lokal, bukti itu sulit dipenuhi, karena yang ada adalah siapa yang membuka lahan pertama kali, dialah sebagai pemiliknya (Nugroho 2011). Lalu, cerita atau sejarah, misalnya asal usul, silsilah, lokasi-lokasi keramat (Affif 2005) yang tidak memiliki bukti hukum positif. Dalam tata batas, seringkali fakta local institution tidak dikumpul dan dilaporkan, bahkan tidak diidentifikasi. Padahal, beberapa hal tersebut dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk merumuskan opsi penyelesaian hak-hak (klaim) pihak ketiga.

Dari sudut pandang teori hak kepemilikan (the theory of property rights) hak- hak masyarakat atas lahan dapat diketahui dari kumpulan hak-hak (bundle of rights) (Ostrom & Schlager 1996). Tujuannya untuk menggambarkan hak atas tanah yang didefinisikan sebagai tenurial dalam suatu obyek hak. Tenurial dalam hal ini, selain menyangkut penguasaan tanah oleh masyarakat yang dibuktikan oleh bukti hak, juga terkait dengan akses atas lahan itu. Teori akses lebih memfokuskan pada ―kemampuan‖ dibanding ―hak‖ seperti dalam teori kepemilikan, sehingga lebih menekankan secara luas relasi sosial yang dapat mendorong atau mencegah seseorang mengambil manfaat dari sumber daya tanpa membatasinya semata-mata pada kepemilikannya. Teori akses dipahami sebagai segala hal yang dimungkinkan bagi setiap orang melalui berbagai cara untuk mengambil manfaat dari sesuatu (Ribbot & Peluso 2003). Akses dalam teori ini lebih ditekankan pada kesatuan kekuasaan (bundle of power) yang berbeda dengan pemahaman kepemilikan yang lebih menekankan atas kesatuan hak (bundle of rights). Cakupan kekuasaan tersebut terbentuk dari unsur material, kultural, dan ekonomi politik yang terjalin dalam sebuah kesatuan dan jejaring kekuasaan yang mempengaruhi akses sumber daya.

Teori akses dari Ribbot dan Peluso (2003) mengatakan bahwa setiap pihak memiliki posisi yang berbeda terkait dengan sumber daya, tergantung pada bundle of power yang dimilikinya. Sebagian pihak mampu mengontrol akses atas sumber daya, sementara lainnya harus mempertahankan aksesnya melalui pihak yang mengontrolnya. Menggunakan teori akses ini dimungkinkan untuk memahami fenomena sebagian pihak yang mampu memanfaatkan sumber daya walaupun tidak memiliki hak untuk memanfaatkannya. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara teori akses dengan teori kepemilikan adalah jika teori

61Pasal 81 UU No. 41/1999 berbunyi : ―Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini‖.

kepemilikan menitikberatkan pada pemahaman atas klaim, maka teori akses menitikberatkan pada cara-cara seseorang mengambil manfaat atas sumber daya yang tidak hanya terbatas pada relasi kepemilikan sumber daya. Pada titik inilah teori akses maupun teori kepemilikan menunjukkan eksistensinya sebagai upaya memahami hak-hak (klaim) atas lahan. Sebelum membahas sekumpulan hak-hak (bundle of rights) lebih jauh, terlebih dahulu dijelaskan tipologi komunitas dan konflik tenurial di 3 (tiga) kelompok hutan.

Tipologi komunitas

Komunitas di sepanjang trayek maupun di dalam kawasan hutan disebut desa/kampung hutan (Safitri 2013). Menurutnya, ada dua kelompok komunitas.

Pertama, kelompok ―komunitas di lingkungan hutan‖ (forest communities). Forest communities merupakan kelompok orang yang hidup di dalam atau sekitar hutan serta memanfaatkan dan menggantungkan dirinya pada hutan, dan dalam waktu lama, lintas generasi, dan mempunyai kesadaran yang dibangun bersama (shared-collective awareness) sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok yang lain. Forest communities ini dapat namun tidak selalu adalah masyarakat hukum adat. Kedua, pemukim atau pengguna hutan (forest dwellers atau forest user). Forest dwellers/forest user adalah mereka yang secara individual berada di dalam dan di sekitar hutan dan memanfaatkan hutan pada periode tertentu biasanya lebih singkat, tanpa membangun norma bersama dan kesadaran bersama sebagai satu kelompok masyarakat. Motivasi utama biasanya adalah kepentingan ekonomi.

Pengetahuan komunitas sebagai forest communities dengan forestdwellers/forest user akan bermanfaat untuk menentukan bentuk penguatan tenurialnya. Jika forest communities memungkinkan diperkuat kepemilikannya, maka forest dwellers/forest

user lebih cenderung diperkuat aksesnya, namun tidak menutup kemungkinan

diperkuat kepemilikannya. Hal itu sangat tergantung pada penggalian data klaim dan kemauan politik serta kebijakan Pemerintah selaku penguasa sumber daya bahkan sebagai pemilik. Tipologi komunitas di TN Tesso Nillo, HL Sei Tembesi dan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang ditunjukkan Tabel 29. Ada perbedaan tipologi komunitas di 3 (tiga) lokasi itu. TN Tesso Nillo dan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang dominan memiliki tipologi forest communities. Sementara HL Sei Tembesi cenderung memiliki tipologi

forest dwellers/forest user, kecuali masyarakat yang sudah bermukim akan mengarah ke tipologi forest communities. Hal itu memberikan bukti bahwa klaim masyarakat di TN Tesso Nillo dan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang menuntut penguatan kepemilikan dan akses, sedangkan masyarakat di HL Sei Tembesi lebih dominan mengarah kepada penguatan akses, walaupun di sisi lain juga menginginkan penguatan kepemilikan (pemukiman).

Tabel 29 Tipologi komunitas di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan pada masing-masing kelompok hutan

Kelompok hutan (objek penelitian)

Definisi komunitas yang pada kelompok hutan

Kecenderungan komunitas

Tipologi komunitas Komunitas di lingkungan

hutan (forest communities)

Pemukim atau pengguna (forest dwellers/users) TN Tesso Nillo di sepanjang trayek

batas, bahkan sebagian berada di dalam kelompok hutan, terdapat masyarakat dan

lahan digunakan untuk berkebun baik individu, kelompok maupun dalam bentuk koperasi. ada individu yang

pada beberapa lokasi cenderung sebagai forest communities, forest communities

Kelompok hutan (objek penelitian)

Definisi komunitas yang pada kelompok hutan

Kecenderungan komunitas

Tipologi komunitas Komunitas di lingkungan

hutan (forest communities)

Pemukim atau pengguna (forest dwellers/users) beberapa wilayah desa

yang menggantungkan hidupnya pada hutan. beberapa masyarakat secara turun temurun telah mendiami wilayah itu dalam waktu yang lama, bahkan lintas generasi

lahan TN Tesso Nillo, banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kebun kelapa sawit, mengatasnamakan batin.

komunitas

teridentifikasi lengkap

mengklaim lahan yang relatif luas (berkisar 50- 100 ha)

banyak pendatang yang memanfaatkan lahan untuk berkebun kelapa sawit dengan alasan sudah memiliki surat keterangan tanah dari kepala desa komunitas teridentifikasi lengkap namun pada lokasi tertentu dapat sebagai forest dwellers/user

HL Sei Tembesi masyarakat yang bermukim memiliki surat keterangan tanah dari lurah

masyarakat yang berkebun, beternak maupun tempat produksi bata (home industry) relatif baru (di atas tahun 2000 an) tidak ada masyarakat yang mengklaim atau mengusahai lahan di atas 10 ha. kenderung sebagai forest dwellers/user, kecuali areal yang digunakan untuk pemukiman forest dwellers/user, khusus pemukiman cenderung forest communities HPT Pesemak DS dan HPT S. Setahun, S. Galang dan Seberang masyarakat mendiami wilayah secara turun temurun, namun tidak dapat dibuktikan secara tertulis. Masyarakat mendiami wilayah dalam bentuk pemukiman dan menggantungkan hidupnya pada hutan secara turun temurun (bakau dan sagu)

masyarakat yang baru mendiami wilayah yang akan ditata batas relatif sedikit lebih cenderung sebagai forest communities forest communities

Sumber: data diolah dari hasil wawancara dan observasi (2013) Tipologi konflik tenurial

Kartodihardjo et al. (2011) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) tipologi konflik tenurial yang dikelompokkan sebagai berikut:

1. Konflik tenurial berat: masalah ini dicirikan oleh adanya alas hak yang kuat dari masyarakat, baik secara hukum adat maupun hukum positif. Dalam banyak kasus masalah keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran juga menjadi penyebab bagi masalah tenurial berat ini;

2. Konflik tenurial ringan: masalah ini dicirikan oleh adanya penguasaan lahan yang dapat dibuktikan kelemahan alas haknya. Masalah ini umumnya timbul sebagai akibat kemiskinan atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk hidup layak, namun kepemilikan lahan masyarakat di luar kawasan hutan tidak mampu menopang kehidupannya;

3. Masalah akses terhadap sumber daya hutan: masalah ini dicirikan oleh adanya pemanfaatan sumber daya hutan tanpa adanya klaim penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Masalah akses ini biasanya memiliki bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan;

4. Masalah aktivitas haram: masalah ini dicirikan dengan penguasaan lahan dan/atau akses terhadap sumber daya hutan yang tidak memiliki alas hak yang

kuat atau tidak memiliki bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan pengelompokan itu, tipologi konflik tenurial 3 (tiga) kelompok hutan ditunjukkan Tabel 30. TN Tesso Nillo digolongkan konflik tenurial berat, karena ada alas hak yang kuat dari masyarakat (diterbitkan oleh kepala desa) dan banyak kasus keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran yang tidak ditindak padahal sudah diketahui sejak lama. Sebagian digolongkan masalah akses terhadap sumber daya hutan dengan bukti kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan, misalnya pekuburan dan sebagian lagi masalah aktivitas haram, karena penguasaan lahan dan/atau akses terhadap sumber daya hutan yang tidak memiliki alas hak yang kuat. Lalu, HL Sei Tembesi digolongkan konflik tenurial ringan, karena kepemilikan lahan masyarakat di luar kawasan hutan tidak mampu menopang kehidupannya. Kebutuhan pokok petani dengan mengusahai kawasan hutan semata-mata untuk hidup layak. Alas hak yang dimiliki lemah karena hanya dibuktikan oleh surat tebas (ganti rugi) secara turun temurun. Ada surat tanah dari lurah, namun hanya terbatas pada penggunaan lahan untuk pemukiman dalam jumlah yang relatif sedikit. Sebagian tipologi konflik tenurial HL Sei Tembesi adalah masalah akses terhadap sumber daya hutan karena pemanfaatannya tanpa adanya klaim penguasaan lahan dan sebagian lagi adalah masalah aktivitas haram karena penguasaan lahan dan/atau akses tidak memiliki alas hak yang kuat. Kemudian, HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Gelang dan Seberang lebih didominasi masalah akses terhadap sumber daya hutan. Pemanfaatan hutan (bakau dan sagu) tanpa adanya klaim penguasaan lahan di dalam kawasan hutan. Sedangkan pemukiman dapat digolongkan sebagai masalah aktivitas haram karena penguasaannya tidak memiliki alas hak kuat.

Tabel 30 Tipologi konflik tenurial pada 3 (tiga) kelompok hutan

Kelompok hutan

Tipologi konflik tenurial Konflik tenurial

berat

Konflik tenurial ringan

Masalah akses terhadap sumber daya hutan

Masalah aktivitas haram TN Tesso

Nillo

Ada alas hak yang kuat yang dikeluarkan oleh kepala desa Pembiaran pemanfaatan lahan untuk kebun sawit dan karet, bahkan pemukiman - Ada bekas pekuburan membuktikan kesejarahan yang secara rasional dapat dipertanggungjawab kan Kepemilikan berdasarkan adat secara turun temurun Penguasaan lahan untuk kebun sawit dan karet yang tidak memiliki alas hak yang kuat HL Sei Tembesi Khusus untuk pemukiman, masyarakat memiliki surat keterangan tanah dari lurah

Masyarakat yang berkebun, beternak dan digunakan sebagai tempat memproduksi batu bata memiliki surat ganti rugi (surat tebas) dari

Pemanfaatan lahan untuk berkebun, beternak dan tempat memproduksi batu bata untuk menopang kehidupannya Ada penguasaan lahan yang tidak memiliki alas hak yang kuat

Kelompok hutan

Tipologi konflik tenurial Konflik tenurial

berat

Konflik tenurial ringan

Masalah akses terhadap sumber daya hutan

Masalah aktivitas haram pemilik sebelumnya HPT Pesemak