• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuadran IV; merupakan unsur anggota yang memiliki kepentingan yang rendah dan juga memiliki pengaruh yang rendah yang disebut dengan ― little

Penunjukan kawasan hutan

KAWASAN HUTAN

4. Kuadran IV; merupakan unsur anggota yang memiliki kepentingan yang rendah dan juga memiliki pengaruh yang rendah yang disebut dengan ― little

need to consider‖. Tidak ada unsur anggota dalam posisi ini, membuktikan bahwa tata batas itu sangat penting, hanya belum berhasil memberikan kepastian hukum dan pengakuan hingga saat ini. Individu yang tidak termasuk dalam unsur PTB misalnya pertambangan, perhubungan, perikanan, pertanian, perkebunan dan perindustrian yang mungkin saat ini dikategorikan sebagai crowds, perlu dipertimbangkan karena sektor itu perlu dilibatkan. Sektor ini dapat membentuk aliansi dengan unsur anggota lainnya mendukung perubahan untuk kemajuan lembaga atau organisasi. DFID (2003) & Nugroho (2008) menyebutnya sebagai change agent yaitu individu atau kelompok yang menjalani pelaksanaan atau melaksanakan perubahan dalam suatu lembaga atau organisasi.

Matriks kepentingan dan pengaruh unsur anggota ini dapat berubah tipenya sepanjang waktu dan dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan (Reed et al. 2009). Matriks kepentingan dan pengaruh unsur PTB seperti Gambar 20 dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana dominasi BPKH dalam pelaksanaan tata batas, sehingga memberikan peluang untuk melakukan tata batas secara sepihak. Selain itu, pengguna/masyarakat selaku penerima dampak tata

batas, bahkan ornop/akademisi/pers/institusi lokal lainnya dapat diberikan peran sebagai pengontrol dan penyeimbang kebenaran fakta klaim. Posisi lain yang selama ini belum dilibatkan yaitu pertambangan, perhubungan, perikanan, pertanian, perkebunan dan perindustrian perlu dilibatkan.

Kontestasi Aktor

Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para aktor yang beriteraksi dengan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya (Musapit 2011). Kontestasi juga diartikan sebagai hubungan-hubungan kekuatan yang saling mendukung, bersaing, berusaha, berjuang dan terkadang menghancurkan dengan strategi perlawanan (resistance), negosiasi dan akomodasi. Kontestasi terkait dengan relasi kuasa. Ketika relasi kuasa bekerja, akan ada pertarungan dan pergumulan antar pelaku untuk meraih keuntungan sesuai kepentingannya masing-masing. Bourdieau (1977) mengatakan bahwa dalam medan sosial yang terdiri dari banyak pelaku dengan segala habitus yang dimilikinya, akan terdapat perjuangan secara terus menerus untuk saling unggul atau sekedar bertahan. Untuk unggul dan bertahan, mereka berstrategi atau melakukan kiat-kiat dengan menggunakan sumber daya atau modal individu. Foucault dalam Patton (1987:234) juga mengungkapkan bahwa dalam relasi antar kelompok tersebut, para pelaku akan saling berebut, bersaing, mengendalikan dan mempengaruhi dan hal ini akan berdampak terhadap adanya posisi masing-masing pelaku. Artinya, akan ada posisi yang berbeda dari setiap pelaku, ada yang menang dalam arti berpengaruh atau mendominasi dan dipengaruhi atau didominasi. Hal ini sekaligus menginformasikan bahwa dalam relasi selalu bersifat tidak setara.

Ketika mengkaji relasi kuasa, setidaknya ada dua pertanyaan yang menjadi titik awal untuk mengetahui kontestasi aktor. Pertama, sebuah relasi antar pelaku akan mengandalkan adanya hubungan untuk (saling) mempengaruhi, karena itu pertanyaannya adalah siapa mempengaruhi siapa. Hal ini berkaitan dengan siapa berposisi sebagai apa, apakah berada dalam posisi mempengaruhi atau dipengaruhi. Kedua, jika pelaku memiliki pengaruh apakah itu bersifat konstan dalam setiap waktu dan dalam semua bidang?. Pertanyaan ini perlu dikemukakan karena hubungan antar pelaku, setidaknya dalam perspektif Foucault (Patton 1987:234), selalu berlangsung secara tidak setara atau ketidaksetaraan dalam relasi kuasa sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam relasi kuasa yang tidak setara tersebutlah dimungkinkan terjadinya dominasi. Kelompok dominan memiliki kemampuan memaksakan, mempengaruhi, dan melakukan pembatasan pada level pikiran maupun perilaku orang atau kelompok lain dan yang terdominasi tunduk.

Namun, perspektif ini berbeda dengan perpektif Foucault, bahwa dominasi kuasa merupakan karakter kuasa yang tersebar dan berubah-ubah dalam arti dilakukan dan dialami oleh semua pelaku dan terdapat dalam berbagai aspek serta bersifat dinamis. Artinya pada saat tertentu dalam aspek tertentu bisa saja satu pihak yang mempengaruhi pihak lain, namun di waktu dan atau dalam aspek yang lain lebih banyak dipengaruhi oleh pihak lain. Karakter kuasa yang dinamis dan tersebar itu tentunya berpengaruh kepada sifat dominasi. Dengan kata lain, dominasi itu juga bersifat dinamis, berubah-ubah dan tidak konstan yang cenderung menghegemonik sebagaimana dalam perspektif Gramsci. Dalam proses tata batas, relasi kuasa berlangsung tidak setara dan cenderung konstan. Ada

kelompok dominan (ketua dan BPKH) yang mempengaruhi unsur anggota lainnya untuk menandatangani BATB dan peta hasil tata batas. PTB sesungguhnya memiliki karakter kuasa yang dinamis sebagaimana perspektif Foucault karena memiliki kekuatan sesuai tupoksi masing-masing, namun dalam prakteknya tupoksi itu tidak dimanfaatkan, yang terjadi justru BPKH mendominasi tata batas. BPKH diidentikkan sebagai pelaku yang memiliki pengaruh yang bersifat konstan dan berlangsung secara terus menerus karena memiliki keunggulan yang dapat diandalkan untuk mempengaruhi keputusan, yaitu kepemilikan akses terhadap sumber daya (kekuasaan, pengetahuan, informasi, teknologi dan pembiayaan). Aktor lain adalah ketua yang memiliki akses kekuasaan (legitimate power dan coercive power), sehingga memiliki kekuatan memaksa (power to coerce) unsur anggota PTB menandatangani BATB dan peta hasil tata batas. Walaupun masih ada sekretaris (kadishut) di kabupaten yang berperan memberikan informasi untuk meyakinkan ketua, namun keputusan tetap kewenangannya. Dominasi kekuasaan ini telah menafikan ruang negosiasi (titik koordinasi) dalam kebijakan pengukuhan kawasan hutan.

Selain kekuasaan dan kepentingan, pengetahuan juga mempengaruhi dominasi BPKH. Mensitir pendapat Gibson, McKean dan Ostrom dalam bukunya People and Forest (2000) dalam Awang (2006) mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan hutan tidak dapat dilakukan pada tingkat operasional karena perbedaan pengetahuan terhadap suatu hal. Perbedaan pengetahuan kebijakan pengukuhan kawasan hutan adalah antara Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, BPKH selaku pelaksana kebijakan, PTB selaku penyelenggara tata batas serta entitas masyarakat selaku penerima dampak kebijakan. Kebijakan selalu bersifat topdown, elitis dan seragam (Nugraha 2013). Pemerintah selalu memaksakan pengetahuannya kepada masyarakat dan biasanya masyarakat mengikuti pengetahuan tersebut karena tidak ada pilihan. Foucault melihat bahwa kekuasaan itu berkaitan erat dengan pengetahuan karena kekuasaan memproduksi pengetahuan. Ia mengatakan bahwa kekuasaan bukannya sekedar mendorong dan menerapkan pengetahuan tetapi menciptakan pengetahuan itu sendiri sebab pengetahuan itu berguna bagi kekuasaan (Foucault 1977 dalam Dosi 2012).

Apa yang disebut Foucault dalam konteks tata batas telah menunjukkan kebenarannya. Kekuasaan dan pengetahuan berkaitan erat. Dominasi pengetahuan mengakibatkan menguatnya kekuasaan BPKH untuk melakukan tata batas secara sepihak. Kekuasaan dan pengetahuan ini digunakan untuk menyingkirkan hak-hak masyarakat lokal karena petugas/juru ukur tidak berupaya mengungkap klaim. Tata batas oleh sebagian orang diartikan sebagai upaya Pemerintah mengklaim wilayah tertentu menjadi hutan negara tanpa mengakomodir hak-hak masyarakat lokal. Padahal, konstruksi pengetahuan tersebut tidaklah demikian. Hal ini dianalogikan Awang (2006) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa pengetahuan negara menyatakan secara tegas bahwa kawasan hutan lindung adalah milik negara, maka semua kekayaan yang ada di dalam hutan lindung merupakan kuasa negara untuk memanfaatkannya. Kebijakan itu mengatakan bahwa hutan lindung tidak boleh dimanfaatkan secara terbuka oleh manusia. Uraian ini menjelaskan perubahan cara pandang pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang didominasi oleh pengetahuan yang bersumber dari Pemerintah dan masyarakat dipaksa untuk mengikuti pengetahuan tersebut melalui serangkaian pernyataan, peraturan perundangan, kebijakan dan jaring-jaring kerja

kelembagaan mulai dari instansi pusat sampai daerah. Padahal masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan sesungguhnya tidak begitu memerlukan kebijakan itu karena interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung secara turun temurun. Masyarakat memiliki pengetahuan sendiri tentang batas-batas wilayah kelola hutan yang sering berbeda dengan dominasi pengetahuan Pemerintah.

Potret dominasi kekuasaan, kepentingan, pengaruh dan pengetahuan itu menggambarkan bentuk kontestasi aktor dalam proses pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau. Tiga hal yang menjadi sumber kontestasi yang saling mengkait dalam proses tersebut, adalah: Pertama, kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan hutan sebagai dasar pelaksanaan tata batas. Kedua, kontestasi kepentingan di tingkat penyelenggaraan tata batas hingga penetapan kawasan hutan. Ketiga, kontestasi kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya (kepentingan lapisan operasional).

Kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan penunjukan kawasan hutan

Bentuk kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan penunjukan kawasan hutan adalah negosiasi dan akomodasi. Negosiasi ditunjukkan oleh penggunaan dasar penunjukan kawasan hutan oleh daerah dengan Kemehut antara TGHK dengan RTRWP, bahkan usulan tim tata ruang. Sedangkan akomodasi ditunjukkan BPKH dengan mengakomodir usulan tim tata ruang yang belum berkekuatan hukum. Tahun 1986, kawasan hutan di Provinsi Riau mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) yang lebih dikenal dengan TGHK. Disebut kesepakatan, karena mengatur ruang kehutanan berdasarkan kesepakatan dengan segelintir pihak, lalu ditunjuk sebagai dasar pengelolaan kawasan hutan. Lalu tata batas dilakukan dan selalu menuai konflik akibat perbedaan kepentingan. Kemenhut yang diwakili BPKH dan berperan mengkoordinasikan kegiatan tata batas selalu berbenturan dengan pengelola (dinas kehutanan di provinsi/kabupaten) maupun masyarakat. Sampai tahun 1994, tata batas masih jauh dari konflik (antara pemerintah) karena masih menggunakan dasar penunjukan yang sama yaitu TGHK. Walau demikian, tata batas tidak serta merta diikuti penetapan. Terbitnya Perda Nomor 10 tahun 1994 berdampak pada terhambatnya proses tata batas. Perda itu diterbitkan gubernur dan diadopsi seluruh kabupaten/kota menyusun RTRWK. Sampai saat ini, Kemenhut tidak mengakui perda itu. Daerah (kabupaten/kota) bahkan provinsi mengembalikan tata batas sesuai Perda, sedangkan BPKH menggunakan TGHK. Kontestasi pasca Perda berimplikasi pada capaian tata batas. Tata batas pasca perda hingga tahun 2008 adalah 3.633,70 Km (38,25%; 52 kelompok hutan), tetapi 1.375,42 Km (14,48%; 17 kelompok hutan) melanjutkan tata batas sebelum Perda. Dengan kata lain, tata batas hanya 2.258,28 Km (23,77%; 35 kelompok hutan) dan didominasi hutan produksi (pemegang ijin).

Di sisi lain, perbedaan penggunaan penunjukan kawasan hutan, selain menghambat proses tata batas juga menimbulkan konflik di tingkat struktural. Seluruh instansi terkait kehutanan (kecuali Biphut/Sub Biphut) menggunakan perda sebagai dasar pengelolaan ruang. Akibatnya, banyak sertifikat yang dikeluarkan BPN dan tidak ada kuasa dari Kemenhut untuk membatalkan. Institusi BPN, kecamatan bahkan kepala desa/lurah tidak patuh pada instruksi Kemenhut agar pengelolaan hutan kembali ke TGHK, karena tidak ada penegasan berupa payung hukum. Petikan wawancara dengan pejabat di BPN Provinsi Riau (H, Oktober 2013) memperkuat hal tersebut.

“persoalan lahan di seluruh kabupaten di Provinsi Riau lebih diakibatkan oleh

perbedaan penggunaan produk hukum atas kawasan hutan, dimana kabupaten lebih memilih menggunakan Perda 10 tahun 1994 dibanding dengan SK Menhut Nomor:173 tahun 1986, dan kami (BPN) merujuk pada RTRWK dalam mengeluarkan sertifikat tanah, dan kami selalu koordinasi dengan dinas kehutanan kabupaten. Masalah penggunaan produk hukum yang berbeda inilah yang memicu banyaknya

tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan”

Edaran Kemenhut baru keluar tahun 2003 (Nomor 404/Menhut-II/2003 tanggal 10 Juli 2003) yang isinya antara lain menyebutkan bahwa: (1) bagi setiap provinsi yang belum ada Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK, maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang TGHK; dan (2) bagi provinsi yang telah ada Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK, maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada keputusan Menteri Kehutanan tentang hasil paduserasi antara TGHK dan RTRWP. Keluarnya surat edaran itu dinilai banyak pihak terlambat karena pasca penggunaan Perda dan otonomi daerah telah menimbulkan pendudukan kawasan hutan secara massif.

Tahun 2009, Pemprov Riau melakukan pemaduserasian kawasan hutan dengan dibentuknya tim tata ruang yang bekerja dengan tim terpadu yang dibentuk Kemenhut. Pertentangan kembali muncul pada periode ini. Provinsi dan kabupaten sepakat agar tata batas disesuaikan dengan usulan tata ruang, dan menolak jika BPKH menggunakan TGHK. Hal ini menjadi dilematis bagi BPKH. Di satu sisi, DitjenPlan mengembalikan tata batas ke TGHK dan mengalokasikan anggaran yang cukup besar. Di sisi lain, daerah menolak TGHK. Untuk mengakomodir kepentingan itu, BPKH menyusun trayek batas sesuai TGHK, lalu pemancangan batas sementara dan definitif dilakukan sesuai usulan tim tata ruang kabupaten dengan menggunakan instrumen ―in‖ dan ―out‖. Bahkan, tidak jarang hasil pemancangan batas sementara justru disesuaikan dari hasil pemancangan batas definitif untuk mengakomodir kepentingan daerah (proses terbalik). Sayangnya, persoalan ―out‖ tidak dilampiri bukti hak. Evaluasi DPPTKH, hasil tata batas itu tidak diakui dan dikembalikan ke BPKH untuk diperbaiki dan hingga saat ini belum diperbaiki karena BPKH kesulitan mengumpulkan bukti hak. Beberapa hal tersebut menunjukkan arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan hutan seperti ditunjukkan Tabel 22.

Tabel 22 Arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan hutan di Provinsi Riau

Aktor/PTB

Arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan hutan SK. Menhut No. 173

tahun 1986 (TGHK)

Perda Nomor 10 tahun 1994 (RTRWP)

SK 410/2009 (usulan tim tata ruang)

Bupati Sepakat sebelum tahun

1994, setelahnya tidak sepakat, cenderung menolak tata batas untuk kepentingan investasi

Sepakat. Sepakat apabila batas sesuai usulan tim tata ruang

Kepala Dishut Provinsi dan Kabupaten

Sepakat sebelum tahun 1994, setelahnya tidak sepakat. Menolak tata batas karena kondisi

Sepakat. Sepakat apabila tata batas sesuai usulan tim tata ruang

Aktor/PTB

Arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan hutan SK. Menhut No. 173

tahun 1986 (TGHK)

Perda Nomor 10 tahun 1994 (RTRWP)

SK 410/2009 (usulan tim tata ruang)

tidak sesuai dengan penunjukan

Bappeda Kabupaten Mengikuti keputusan Bupati

Sepakat, karena memiliki pengakuan dari seluruh instansi di kabupaten, perencanaan wilayah lebih jelas Mengikuti keputusan Bupati BPKH Sepakat dengan TGHK (kepentingan sesuai aturan)

Tidak sepakat, karena legalitasnya tidak diakui Kemenhut, tata batas terhambat

Menggunakan TGHK pada trayek batas. Pemancangan batas sementara dan definitif mengikuti usulan tim tata ruang dengan instrumen ―in‖ dan

out‖. BPN Kabupaten Mengikuti keputusan

Bupati Sepakat, banyak sertifikat diterbitkan berdasarkan perda Mengikuti keputusan Bupati

Camat Mengikuti keputusan

Bupati

Sepakat, sesuai dengan kondisi wilayah Mengikuti keputusan Bupati Kepala Desa/Kepala Lurah Mengikuti keputusan Bupati

Sepakat, banyak surat keterangan tanah yang diterbitkan

Mengikuti keputusan Bupati

Sumber : hasil olahan data penelitian (2013)

Kontestasi kepentingan di tingkat penyelenggaraan tata batas

Bentuk kontestasi kepentingan di tingkat penyelenggaraan tata batas adalah negosiasi. Negosiasi dilakukan untuk mencapai target tata batas sesuai kinerja BPKH. Bentuk kontestasi dipengaruhi oleh posisi, kepentingan, tupoksi, sumber daya serta tujuan tata batas. Seperti halnya HL Sei Tembesi, kontestasinya bersepakat dengan bentuk negosiasi. Fakta lapangan difahami bahwa kawasan hutan itu telah diusahai masyarakat. Akibat keterlanjuran penggunaan HP Baloi yang ditukar, maka semua pihak bersepakat untuk menetapkan kawasan hutan. Kesepakatan itu ternyata tidak menyelesaikan persoalan sosial lapangan. Demikian juga TN Tesso Nillo, PTB faham dan mengetahui banyak klaim, tetapi tidak menyelesaikan klaim itu. Sedangkan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang, PTB tidak faham fakta lapangan karena BPKH tidak mengungkap. Sampai saat ini, TN Tesso Nillo dan HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang belum ditetapkan.

Kontestasi kepentingan pada penyelenggaraan tata batas bukan untuk menghasilkan tata batas yang berkualitas, namun untuk melegalkan kepentingan masing-masing pihak. Ruang negosiasi (koordinasi) tidak berfungsi bahkan tidak ada. Tata batas dilakukan tanpa melibatkan PTB, sebaliknya juga PTB tidak mau terlibat, karena menurut mereka tata batas adalah tugas BPKH. Di satu sisi, hal itu adalah keuntungan bagi BPKH karena akan lebih mudah melakukan tata batas. Namun, di sisi lain kualitas tata batas akan rendah dan tidak informatif. Masyarakat tidak dapat bernegosiasi, pada hal ruang itu ada yaitu pengumuman hasil pemancangan batas sementara. Bentuk kontestasi ditingkat penyelenggaraan tata batas ditunjukkan Tabel 23.

Tabel 23 Bentuk kontestasi dalam penyelenggaraan tata batas

No Kategori Pemeran/aktor Bentuk kontestasi

1 Penetapan kawasan hutan

Menteri Kehutanan

Menyetujui penetapan kawasan hutan sesuai kebenaran data dan informasi BATB dan peta hasil tata batas pengusul; memiliki kuasa menolak/tidak menyetujui; berkepentingan agar kawasan hutan memiliki legalitas dan legitimasi

2 Pendorong penandatanganan BATB dan peta hasil

Bupati, BPKH, Dinas Kehutanan Kabupaten

Legitimate power dan coercive power

(ketua) digunakan untuk memaksa (power to coerce); Legitimate power, expert power

dan akses sumber daya (BPKH) digunakan untuk meyakinkan ketua dan unsur anggota PTB lainnya; Dishut kabupaten memiliki kekuatan untuk meyakinkan ketua dengan menjelaskan informasi tata batas; dan kontestan berkepentingan agar hasil tata batas ditandatangani.

3 Pemilik sumber daya BPKH Akses sumber daya sebagai kekuatan untuk mendorong penandatanganan BATB dan peta hasil tata batas melalui ketua; tata batas untuk capaian kinerja institusi dan realisasi anggaran.

4 Struktural/pengikut Bappeda, BPN, Camat, Kepala Desa/Kepala Lurah

Tidak memiliki kekuatan menolak hasil tata batas, mengikuti arahan dari Bupati, sehingga kontestasi yang dimiliki cenderung sebagai pengikut.

5 Penerima dampak tata batas

Masyarakat (para pihak)

Tidak memiliki kekuatan menolak hasil tata batas; ada yang menerima (HL Sei

Tembesi) dan ada yang

menolak/melakukan perlawanan (TN Tesso Nillo), serta ada juga yang tidak melakukan apa-apa, walaupun tidak menerima (HPT Pesemak DS dan HPT S. Setahun, S. Galang dan Seberang)

Sumber : hasil pengolahan data penelitian (2013)

Kontestasi kepentingan di tingkat pemanfatan sumber daya (operasional)

Bentuk kontestasi kepentingan di tingkat pemanfaatan sumber daya (operasional) adalah perlawanan (resistance). Hal ini terjadi karena pemaknaan yang berbeda dari para pihak. Ada unsur anggota PTB memaknai kawasan hutan yang telah ditata batas akan membatasi pemanfaatan oleh masyarakat dan cenderung meniadakan pemanfaatan masyarakat atas manfaat hutan itu. Namun ada juga yang memaknai bahwa tata batas tidak mengurangi akses masyarakat atas manfaat hutan sepanjang fungsi hutan dijaga. Hal ini tergantung dari kepentingan pengelola. Untuk hutan produksi, terjadi transfer hak pengelolaan kepada perusahaan dalam bentuk IUPHHK-HT, IUPHHK-HA, IUPHHK-RE atau pinjam pakai. Dalam hal transfer hak kepada pemegang izin, hak-hak masyarakat akan diselesaikan pemegang izin. Faktanya, tidak demikian karena penyelesaian hak-hak masyarakat selalu diserahkan ke PTB. Untuk hutan lindung dan hutan konservasi, yang bertanggung jawab adalah instansi pengelola, seperti disebutkan Pasal 40 ayat (1) dan (3) P.44/Menhut-II/2012 maupun Perdirjen Planologi Kehutanan P. 6/VII-Kuh/2011 pada Lampiran VIE (1 dan 2) yang menyebutkan bahwa BATB dan peta lampirannya diserahkan kepada instansi pengelola, dan

instansi pengelola bertanggung jawab melaksanakan pemeliharaan dan pengamanan batas kawasan hutan.

Sesungguhnya, kontestasi kepentingan ini tidak perlu terjadi karena pemanfaatan sumber daya di tingkat operasional sudah diatur. Masyarakat lokal dimungkinkan memanfaatkan sumber daya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat. Petikan wawancara berikut menjelaskan manfaat tata batas bagi pengelola terkait dengan akses pasca tata batas.

“bagi kami, tata batas berguna untuk membatasi mana kawasan hutan dan mana yang bukan, soal manfaat kawasan hutan pasca tata batas yang melibatkan masyarakat telah diatur oleh Pemerintah misalnya dengan hutan desa, hutan kemasyarakatan, maupun hutan tanaman rakyat. Bagi kami, tata batas tidak mengurangi akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Yang terjadi selama ini, masyarakat tidak faham. Oleh karena itu, ke depan hal ini harus disosialisasikan, supaya masyarakat faham. Selain itu, perlu ditegaskan juga bahwa masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan, namun pemilik tetap negara” (MM, Nopember 2013).

Walaupun ada peluang itu, namun implementasinya masih sulit50, karena selain prosesnya panjang, masyarakat juga dibebani dalam beberapa hal, misalnya pengurusan rekomendasi dari Bupati, pengurusan izin prinsip maupun tata batas. Temuan Nugroho (2011) mengatakan bahwa kebijakan pemberian hak atas lahan untuk membangun hutan tanaman di hutan produksi dengan skema hutan tanaman rakyat diramalkan tidak efektif. Penyebabnya adalah, selain transfer hak yang bersifat sementara (temporary transfer of rights) juga pengaturannya kaku dengan kewajiban yang mirip dengan perusahaan besar. Pada kasus lain, ada pengelola yang menggunakan BATB dan peta hasil tata batas untuk menyingkirkan masyarakat dari kawasan hutan. Padahal, masyarakat telah menggantungkan hidupnya pada hutan secara turun temurun. Seperti halnya di HL Sei Tembesi maupun TN Tesso Nillo, masyarakat dipandang sebagai illegal user karena masyarakat tidak memiliki bukti hak. Penggalan wawancara berikut bermakna demikian.

“saya ini kalau ditanya soal surat-surat (sertifikat tanah ataupun surat keterangan tanah), yah pasti tidak punya, wong saya ini sudah membayar ganti rugi koq. Saya menghidupi keluarga dari kebun ini, dan sudah bertahun-tahun saya tinggal disini, jadi kalau kami diusir dari sini, perangpun jadilah, saya akan berjuang mati-matian. Apakah mereka memikirkan nasib kami, kalau kami diusir dari sini?. Setau saya, hutan itu ada pohon-pohonnya, apalagi namanya hutan lindung, tapi ini lain, tidak ada pohonnya koq disebut hutan lindung?, semua udah kebun dan tanah kosong” (K, petani HL Sei Tembesi, Nopember 2013).

Hal itu senada dengan penuturan masyarakat di TN Tesso Nillo, yang disebut illegal user pada tanah yang menurut mereka adalah miliknya, karena mereka