• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTESTASI AKTOR DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

Penunjukan kawasan hutan

KAWASAN HUTAN

4 KONTESTASI AKTOR DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU

Pendahuluan

Proses pengukuhan kawasan hutan sejak awal telah melibatkan beberapa aktor (PTB)40 yang tentu memiliki beragam kepentingan, kebutuhan dan sudut pandang. Friedman dan Miles (2006) mengatakan bahwa kepentingan, kebutuhan, dan sudut pandang yang berbeda dari para aktor harus dapat dikelola dengan baik sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud. Setiap aktor memiliki kepentingan tersendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan terjadinya celah informasi (information gap) di antara aktor (Bryant & Bailey 2001; Hermans & Thiesen 2008). Adanya celah informasi itu dapat mempengaruhi aktor dalam mengambil keputusan.

Kepentingan dan pengaruh para aktor dapat dipahami dari perspektif para pelaku yang terlibat (Reed et al. 2009). Perbedaan kepentingan dan pengaruh akan membedakan aktor ke dalam 4 (empat) kuadran, yaitu pemain utama (key players), aktor marginal (subjects), aktor yang mampu mempengaruhi aktor lain (context setter) dan aktor pengganggu (crowd) yang disebut juga ―little need to consider‖. Pusat diskursus dalam kuadran ini terletak pada hubungan antara pemain utama yang selalu dominan terhadap aktor marginal yang selalu membutuhkan bantuan, sehingga terjadi tarik menarik kepentingan di antara aktor yang berkuasa dan aktor marginal. Dalam posisi tarik menarik tersebut, aktor marginal memiliki kemampuan untuk membangun aliansi strategis bersama aktor marginal lainnya ketika menemukan kepentingan yang sama (Reed et al. 2009). Perbedaan kepentingan dan pengaruh itu akan mengakibatkan kontestasi untuk menegosiasikan kepentingannya. Musapit (2011) menyebutkan bahwa kontestasi adalah proses yang bersifat dinamis dari para aktor yang beriteraksi dengan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya.

Demikian halnya dalam pengurusan dan pengelolaan hutan negara sebagai CPRs yang memiliki kelemahan antara lain biaya penegakan haknya yang mahal, sementara dana Pemerintah terbatas dan keputusan untuk memastikan hak kepemilikan dan penguasaannya dilakukan melalui perwakilan yaitu PTB. Pengambilan keputusan dengan perwakilan itu pasti dipengaruhi oleh perbedaan kepentingan dan pengaruh masing-masing pihak. Selama ini, proses itu tidak mudah (Sirait et al. 2001; Contreras-Hermosilla & Fay 2006; Nugraha 2013) termasuk di Provinsi Riau akibat perbedaan kepentingan dan pengaruh. Kekuatan untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keputusan yang diambil tidak lain adalah bentuk kekuasaan (power) yang dapat menghasilkan komitmen,

40

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 47/Menhut-II/2010 tentang Panitia Tata Batas (PTB), stakeholder yang terkait dalam proses pengukuhan kawasan hutan sampai pada pengesahan hasil tata batas adalah PTB dengan kewenangan sebagai berikut: (a). menetapkan trayek batas kawasan hutan; (b) menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan/tanah di dalam kawasan hutan; (c) menandatangani Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan Hutan dan Peta Tata Batas Kawasan Hutan; dan (d) mengesahkan hasil tata batas. Kewenangan ini selain dapat menyebabkan potensi terlanggarnya hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya hutan juga memungkinkan terjadinya pengambilan keputusan dalam PTB yang diskretif dan tidak rasional akibat tidak transparannya penatabatasan (KPK 2012).

kepatuhan dan perlawanan (Yukl 2005). Penelitian ini akan mengkaji kesulitan itu dari sudut pandang perbedaan kepentingan, pengaruh dan kekuasaan masing- masing aktor yang dinegosiasikan melalui kontestasi para pihak. Kasus pengukuhan kawasan hutan HL Sei Tembesi, TN Tesso Nillo serta HPT Pesemak DS, HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang dapat memberikan gambaran bagaimana dominasi kekuasaan, kepentingan, pengaruh dan pengetahuan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam mewujudkan kepastian hukum dan pengakuan. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis sumber daya kekuasaan, ruang kuasa pengetahuan, kepentingan dan negosiasi para pihak; (2) memetakan kekuasaan, kepentingan dan pengaruh yang terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan; dan (3) menganalisis ruang kontestasi aktor dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

Metode Penelitian Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah HL Sei Tembesi, TN Tesso Nillo serta HPT Pesemak DS, HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang. Untuk memetakan hubungan antara kepentingan dan pengaruh para pihak, maka ditentukan PTB di HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang.

Analisis data

Untuk memetakan hubungan antara kepentingan dan pengaruh para pihak digunakan analisis stakeholder dari Reed et al. (2009). Analisis tersebut dilakukan dengan cara: (1) melakukan identifikasi para pihak dan kepentingannya; (2) mengelompokkan dan mengkategorikan para pihak; dan (3) menyelidiki hubungan para pihak. Untuk menyelidiki hubungan para pihak, maka dibuat matriks yang menghubungkan antara pengaruh dan kepentingannya dalam penyelenggaraan tata batas melalui deskripsi pertanyaan yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor). Skoring menggunakan model yang dikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran data berjenjang lima yang ditunjukkan Tabel 15. Nilai skor dari lima pertanyaan dijumlahkan dan nilainya dipetakan ke dalam bentuk matriks kepentingan dan pengaruh (Gambar 16). Nilai kepentingan terdiri atas tingkat keterlibatan PTB, dukungan pembiayaan, prioritas tupoksi, manfaat yang diharapkan, dan tingkat ketergantungan hasil tata batas. Sedangkan nilai pengaruh terdiri atas tingkat kemampuan PTB, akses sumber daya, kapasitas PTB, dukungan aturan, dan jejaring kekuatan dan kerjasama.

Selanjutnya, secara deskriptif dijelaskan bagaimana keterlibatan para pihak dalam proses pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan kemampuannya untuk saling mempengaruhi berdasarkan kekuatan yang dimilikinya. Oleh karena itu, konsep pengaruh dari French dan Raven yang diacu Yukl (2005) akan digunakan. Konsep tersebut menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di antara para pihak yang terkait. Kemampuan mempengaruhi itu didefinisikan sebagai kekuasaan (power). Kekuasaan yang dimiliki para aktor dapat membentuk jaringan kekuasaan (web of power), sehingga dapat melemahkan posisi aktor yang satu terhadap yang lain. Posisi

aktor yang kuat akan menjadi ―pemain utama‖, sedangkan yang lemah akan menjadi ―pemain marginal‖ (Reed et al. 2009).

Tabel 15 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak

Skor Nilai Kriteria Definisi Operasional

Kepentingan para pihak 5 4 3 2 1 21-25 16-20 11-15 6-10 0-5 Sangat berkepentingan Berkepentingan Cukup berkepentingan Kurang berkepentingan Tidak berkepentingan

Keterlibatan PTB dalam penataan batas kawasan hutan (K1), dukungan pembiayaan (K2), prioritas kegiatan (K3), manfaat kegiatan (K4), dan tingkat ketergantungan hasil tata batas terkait dalam pengembangan institusi (K5)

Pengaruh para pihak 5 4 3 2 1 21-25 16-20 11-15 6-10 0-5 Sangat berpengaruh Berpengaruh Cukup berpengaruh Kurang berpengaruh Tidak berpengaruh

Kekuatan mempengaruhi pengambilan keputusan (P1), akses sumber daya (P2), kapasitas

organisasi/SDM penyelenggara tata batas (P3), dukungan peraturan (P4), dan jejaring kekuatan dan kerjasama yang dimiliki PTB (P5)

Gambar 16. Diagram kepentingan dan pengaruh para pihak (Reed et al. 2009)

Hasil dan Pembahasan Aktor dan Sumber Daya

Aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan tata batas adalah PTB. Salah satu kewenangan krusialnya adalah menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Dengan kewenangan itu, sesungguhnya mekanisme penyelesaian persoalan sosial lapangan dapat ditetapkan sejak awal. Namun mekanisme itu belum pernah disepakati. Persoalan tata batas oleh banyak pihak lebih didominasi oleh persoalan teknis dan administrasi, padahal tidak demikian. Hal itu dapat dilihat pada BATB dan peta hasil tata batas TN Tesso Nillo, HL Sei Tembesi (pada kelompok hutan ini bukan klaim, namun pemanfaatan lahan menjadi bukan hutan) serta HPT Pesemak

Key players Subjects

pengaruh/influence

Crowds Context setters

Kuadran I Kuadran III Kuadran II Kuadran IV kepentingan /interest

DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang. Dalam BATB tidak ditemukan ada klaim, padahal faktanya banyak. Informasi klaim secara tertulis hanya ditemukan pada BATB dan peta hasil tata batas HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang yaitu ada areal yang mengalami ―in‖ dan ―out‖.

Sumber daya merupakan alat/instrumen yang diorganisasikan untuk memperoleh atau mencapai tujuan-tujuan tertentu (Andrain 1992). Sumber daya tersebut antara lain sumber daya fisik, ekonomi, norma, personal dan keahlian yang secara keseluruhan terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah penggunaan sejumlah sumber daya (aset dan kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan dari orang lain. Sumber daya kekuasaan dan efek kepatuhan yang ditimbulkan akan sesuai dengan tipe masing-masing sumber daya. Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa pintu akses untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui beberapa hal, seperti penguasaan akan teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial.

Berdasarkan sumber daya akses seperti disebutkan Andrain (1992) dan Ribot dan Peluso (2003), maka identifikasi sumber daya yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan atas sumber daya kekuasaan, pengetahuan, informasi, teknologi dan biaya. Tabel 16 menunjukkan sumber daya PTB dalam penyelenggaraan tata batas TN Tesso Nillo. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa ketua memiliki kekuasaan yaitu legitimate power dan coercive power yang digunakan untuk memaksa (power to coerce) anggota lainnya41 agar menandatangani BATB maupun peta hasil tata batas, walaupun kepemilikan sumber daya (pengetahuan, informasi, teknologi dan biaya) tidak ada. Lalu BPKH memiliki hampir seluruh sumber daya, terutama pembiayaan, keahlian (expert power) yang digunakan untuk mendorong ketua melalui sekretaris agar menyetujui dan menandatangani BATB dan peta hasil tata batas. Sedangkan anggota lainnya tidak memiliki sumber daya dan kekuatan, sehingga menerima hasil tata batas yang dilakukan BPKH.

Tabel 16 Sumber daya PTB dalam penyelenggaraan tata batas TN Tesso Nillo

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

Bupati (Ketua) Legitimate power dan coercive power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi terbatas, hanya bersumber dari BPKH

Tidak ada Tidak ada

Dishutbun Tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi terbatas, hanya bersumber dari BPKH

Tidak ada Tidak ada

Anggota lainnya (Bappeda, BPN, Dinas Pertanian, Tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi terbatas, hanya bersumber dari BPKH

Tidak ada Tidak ada

41

Dalam praktik kekuasaan, kekuasaan muncul dalam bentuk relasional atau kekuasaan langsung, dan dalam bentuk kekuasaan tidak langsung atau kekuasaan struktural. Kekuasaan relasional adalah kemampuan mengorganisasikan sumber daya untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Kekuasaan struktural adalah kemampuan membentuk dan menentukan struktur yang dilakukan melalui berbagai regulasi untuk

mempengaruhi berlangsungnya kekuasaan (Damayanti, 2009). Mas‘oed (2003) mengatakan bahwa dalam

prakteknya, kekuasaan struktural ini jauh lebih sering dilakukan penguasa, misalnya (dalam struktur ekonomi pertanian) menentukan agenda wacana dalam masyarakat, merancang regulasi pasar, dan bagaimana aktor- aktor ekonomi bertindak, dan lain-lain.

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

Camat dan Kepala Desa) BPKH Legitimate power dan expert power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan relatif lebih baik Memiliki informasi, namun tidak mengungkap Ada Ada Balai TN Tesso Nillo (Sekretaris PTB) Tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan Pengetahuan kebijakan pengukuhan relatif lebih baik

Informasi terbatas, hanya bersumber dari BPKH

Tidak ada Tidak ada

Sumber : hasil pengolahan data lapangan (2013)

Selanjutnya, sumber daya PTB HL Sei Tembesi ditunjukkan Tabel 17. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa PTB memiliki pengetahuan dan informasi lapangan bahwa sebagian areal HL Sei Tembesi (± 50%) telah dimanfaatkan masyarakat. Namun, petugas/juru ukur mendapat tekanan agar tidak mengungkap fakta itu untuk menghindari kegagalan tata batas. Penghindaran ini terjadi karena areal yang akan ditukar yaitu HP Baloi sudah terlanjur digunakan untuk kepentingan lain. Selain itu, ijin prinsip persetujuan areal pengganti sudah hampir habis masa berlakunya. BP- Batam pada kasus ini memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan dan didukung ketua dengan kepemilikan legitimate power dan coercive power. Kuasa ini ada karena BP-Batam adalah pemilik lahan dan juga penyedia anggaran. Sayangnya, Kemenhut (penerima HL Sei Tembesi) tidak mempersoalan kondisi hutan yang tidak layak disebut sebagai hutan lindung. Walaupun BP-Batam menyebutkan bahwa masyarakat akan segera dipindahkan setelah satu musim tanam dengan memberikan sagu hati42, namun hingga tahun 2013 masyarakat masih memanfaatkan, bahkan jumlahnya bertambah.

Tabel 17 Sumber daya PTB pada HL Sei Tembesi dalam penyelenggaraan tata batas

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

Walikota Batam (Ketua) Legitimate power dan coercive power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi (fakta lapangan) terbatas

Tidak ada Tidak ada

BP-Batam (diwakili oleh 2 direktur dan Memiliki kekuatan (penyedia Pengetahuan kebijakan pengukuhan Memahami fakta, namun tidak

Tidak ada Ada

42

Sagu hati merupakan bentuk lain dari ganti rugi. Di Kota Batam tidak dikenal istilah ganti rugi karena pertama, seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan hak pengelolaannya kepada ketua otorita pengembangan daerah industri pulau Batam. Kedua, hak pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada ketua otorita pengembangan daerah industri Pulau Batam untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai Pasal 43 UUPA, dan menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan (Kepres 43 tahun 1973 Bab III Pasal 6 ayat (2)). Aturan ini mengatakan bahwa seluruh tanah dimiliki oleh BP Batam, sehingga masyarakat yang saat ini memanfaatkan HL Sei Tembesi bukanlah pemilik sehingga tidak perlu dilakukan ganti rugi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat yang saat ini memanfaatkan areal HL Sei Tembesi tidak seluruhnya mendapat sagu hati dari BP-Batam.

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

2 kepala kantor)

anggaran) terbatas mengungkap Dinas KP2K Tidak memiliki

kuasa untuk mempengaruhi keputusan Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Memahami fakta, namun tidak mengungkap

Tidak ada Tidak ada

Bappeko, Bappedalda, BPN Daerah dan BPN Kota, Camat dan Kepala Lurah Tidak memiliki kuasa untuk mempengaruhi keputusan Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Memahami fakta, namun tidak mengungkap

Tidak ada Tidak ada

BPKH Legitimate power dan expert power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan relatif lebih baik Mengetahui informasi (fakta lapangan), tidak mengungkap

Ada Tidak ada

Sumber : hasil pengolahan data lapangan (2013)

Berbeda halnya dengan sumber daya PTB di HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang (Tabel 18). Dominasi pengetahuan, informasi, teknologi dan biaya hanya dimiliki BPKH. Kalau pada TN Tesso Nillo maupun HL Sei Tembesi, seluruhnya faham dan mengetahui fakta lapangan, maka pada HPT Pesemak DS serta HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang, PTB tidak faham (kecuali Dishutbun) informasi lapangan. Walaupun BPKH telah menyebutkan ada

areal yang mengalami ―in‖ dan ―out‖ pada BATB dan peta hasil tata batas, namun tidak secara deteil dijelaskan. Petugas/juru ukur membiarkan masyarakat tidak faham maksud dan tujuan tata batas. Ada hal yang berbeda pada PTB Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang, yaitu peran/kekuatan sekretaris (Dishutbun kabupaten)43 untuk memaksa BPKH agar tata batas disesuaikan dengan usulan tata ruang. BPKH mengikuti penyesuaian itu saat pemancangan batas sementara dan batas definitif dengan menggunakan instrumen ―in‖ dan ―out‖, sehingga batas yang diukur berbeda dengan trayek batas.

Tabel 18 Sumber daya PTB pada HPT Pesemak DS serta HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang dalam penyelenggaraan tata batas

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

Bupati (Ketua) Legitimate power dan coercive power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi (fakta lapangan) tidak paham, sumber informasi dari sekretaris

Tidak ada Tidak ada

Dishutbun (Sekretaris)

Tidak memiliki kuasa untuk memastikan hasil tata batas, namun memiliki trust Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi (fakta lapangan) diperoleh berdasarkan informasi dari

Tidak ada Tidak ada

43

Kekuatan tersebut muncul karena sekretaris (Kepala Dishutbun) Kabupaten Kepulauan Meranti adalah bagian dari tim tata ruang (mengetahui setiap usulan kabupaten dalam rencana tata ruang yang disusun oleh tim terpadu). Selain itu, kepala dinas dimaksud memiliki latar belakang pendidikan kehutanan yang mampu memberikan informasi dan pengetahuan maksud tata batas kawasan hutan kepada ketua.

Aktor (PTB) kawasan

hutan

Sumber daya PTB

Kekuasaan Pengetahuan Informasi Teknologi Biaya

dari ketua atas pelaksanaan tata batas. Selain itu, memiliki kuasa untuk

menentukan dasar pelaksanaan tata batas yaitu usulan tata ruang BPKH Bappeda, BPN, Dinas Pertanian, Camat dan Kepala Desa Tidak memiliki kekuasaan untuk memastikan hasil tata batas, tergantung pada keputusan ketua Pengetahuan kebijakan pengukuhan terbatas Informasi (fakta lapangan) tidak paham dan tidak diketahui Tidak memiliki teknologi pengukuran Tidak ada BPKH Legitimate power dan expert power (Yukl 2005) Pengetahuan kebijakan pengukuhan relatif lebih baik Mengetahui informasi lapangan, namun tidak mengungkap Ada Ada

Sumber : hasil pengolahan data lapangan (2013)

Ruang Kekuasaan Bekerja

Kekuasaan yang berkerja pada proses tata batas bersifat tunggal. Pemerintah menempatkan diri sebagai pemegang otoritas atau pemilik kekuasaan dengan mengabaikan hak masyarakat dan sistem sosial yang ada di tingkat lokal. Dalam hal ini, Pemerintah menempatkan hasil tata batas sebagai tujuan utama, bukan pada bagaimana hasil tata batas itu memiliki kualitas. Cara pandang yang demikian ini disinyalir oleh Peluso (2006) bahwa Pemerintah mendefinisikan kekuasaannya atas hutan yang bersifat tunggal dengan menerapkan budaya kontrol atas manusia dan spesies hutannya. Contreras-Hermosilla dan Fay (2006) mengatakan bahwa lembaga negara hanya mampu mengklaim kewenangannnya, namun praktiknya tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas itu serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan dan pengelolaan yang dibutuhkan. Hal tersebut menjadi sumber konflik. Dove (1985) menjelaskan bahwa pengingkaran terhadap hak penguasaan dan kepemilikan berbasis masyarakat dan mengabaikan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal, menjadi sumber konflik/sengketa antara masyarakat yang tergantung pada sumber daya alam dan kebijakan negara.

Dalam penyelenggaraan tata batas, kekuasaan yang terjadi lebih kepada kekuasaan berdasarkan kedudukan (position power) 44. Hal ini terlihat dari dominasi kekuasaan Pemerintah yang diperankan BPKH, yaitu kewenangan formal sesuai tupoksinya untuk melaksanakan tata batas. Kekuasaan untuk memastikan batas tanpa didasari sanksi apabila tidak mengungkap klaim pihak ketiga (masyarakat) secara transparan, membuktikan bahwa BPKH memiliki power diantara anggota lainnya.

44

French dan Raven (1959) seperti dikutip Yukl (2005) menyebutkan bahwa kekuasaan dapat bersumber dari kedudukan (position power) dan bersumber dari pribadi. Kekuasaan yang bersumber dari kedudukan diperoleh melalui kewenangan yang sah/kewenangan formal (legitimate power), kontrol/penguasaan terhadap sumber daya dan imbalan-imbalan (reward power), kontrol terhadap hukum dan kapasitas untuk mencegah seseorang memperoleh imbalan yang diinginkan (coercive power), kontrol terhadap informasi, serta kontrol terhadap lingkungan fisik, eknologi, dan organisasi pekerjaan. Sementara kekuasaan pribadi bersumber dari keahlian, persahabatan dan kesetiaan serta karisma.

Power dimaksud terlihat jelas pada kasus tata batas HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang, antara lain: (1) tata batas disesuaikan dengan usulan tata ruang yang belum berkekuatan hukum tanpa persetujuan DitjenPlan dengan menggunakan instrumen ―in‖ dan ―out‖; (2) batas kawasan hutan ditetapkan sepihak menjadi batas luar, padahal sesungguhnya adalah batas fungsi (TGHK); (3)

persoalan ―in‖ seharusnya dilakukan pada areal bukan kawasan hutan, namun faktanya dilakukan pada areal kawasan hutan.

Makna lain dari fakta ini adalah BPKH tidak membuka ruang diskusi dan negosiasi dengan masyarakat untuk menghindari perlawanan (resistance)45. Padahal, masyarakat menginginkan ruang itu agar pemancangan batas dilakukan secara bersama-sama untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya. Petikan wawancara berikut menjelaskan hal tersebut.

“sesungguhnya kami tidak mengetahui bahwa tata batas sementara yang dilakukan oleh petugas/juru ukur adalah untuk menentukan batas kawasan hutan. Walaupun kami ikut menandatangani berita acara tata batas sementara, sesungguhnya karena bupati maupun camat sudah menandatangani, dengan argumen bahwa batas sementara tersebut dapat berubah pada saat batas definitif. Seharusnya, petugas tata batas bekerja sama dengan masyarakat (yang mengetahui batas-batas wilayah) dan meminta dampingan dari kami, sehingga akan tergambar mana batas yang sudah diusahai dan dimiliki oleh masyarakat dan batas kawasan hutan, kemudian dibahas secara bersama-sama dengan tim” (A, Nopember 2013).

Selain power itu, BPKH juga memiliki kekuasaan yang melekat pada tupoksinya

yang menurut Yukl (2005) adalah legitimate power (kewenangan formal yang sah). Terkait dengan tupoksi itu, penggunaan anggaran menjadi kewenangan BPKH. Kewenangan itulah yang dijadikan alat kuasa untuk mengatur tata batas. Power

lainnya adalah keahlian selaku pengukur batas yang didukung sarana dan prasarana pengukuran, oleh Yukl (2005) disebut kekuasaan keahlian (expert power).

Sementara itu, ketua (Bupati/Walikota) selain memiliki legitimate power juga memiliki kekuasaan memaksa yang disebut dengan coercive power yaitu kekuasaan yang dimiliki oleh agen/seseorang agar orang yang ditargetkan (yang dikuasai) patuh dan terhindar dari hukuman yang dipunyai oleh agen (Yukl 2005). Ketua dapat memaksa struktur di bawahnya untuk menandatangani BATB dan peta hasil tata batas. Sedangkan sekretaris (dinas yang membidangi kehutanan di kabupaten/kota) hanya memiliki kekuatan untuk memastikan rapat dan pertemuan lainnya serta menyampaikan informasi persetujuan ketua atas pelaksanaan tata batas. Informasi yang lengkap dan didukung oleh aturan yang berlaku serta fakta empiris yang kuat dapat menjadi kekuatan untuk meyakinkan ketua menyetujui hasil tata batas. Relasi kuasa antara BPKH dengan dinas yang membidangi kehutanan di kabupaten/kota harus saling mengisi dan saling mempercayai, sehingga tata batas berhasil. Kekuatan

informasi dan pengetahuan ini terlihat pada penyelenggaraan tata batasHPT Pesemak

DS dan HPT. P. Setahun, S. Galang dan Seberang. Sekretaris menyakinkan ketua bahwa kawasan hutan di Kabupaten Kepulauan Meranti harus memiliki legalitas, sehingga memiliki dasar hukum yang jelas dalam pengelolaannya baik untuk investasi maupun penegakan hukum. Tanpa itu, cenderung ―open acces‖, dimana sumber daya tidak terawasi dengan baik, karena tidak ada pengaturan. Akibatnya,

45

Hanya pada penandatanganan BATB dan peta hasil tata batas TN Tesso Nillo ada perlawanan dari Kepala