• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penataan Tenurial Dan Peran Para Pihak Dalam Mewujudkan Legalitas Dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penataan Tenurial Dan Peran Para Pihak Dalam Mewujudkan Legalitas Dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara"

Copied!
211
0
0

Teks penuh

(1)

PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK

DALAM MEWUJUDKAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI

KAWASAN HUTAN NEGARA

PERNANDO SINABUTAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ‖PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK DALAM MEWUJUDKAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI KAWASAN HUTAN NEGARA‖ adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi atau Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Februari 2015

(4)
(5)

RINGKASAN

PERNANDO SINABUTAR. Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, dan DUDUNG DARUSMAN.

Karakteristik hutan negara sebagai common pool resources (CPRs) memerlukan pengaturan yang efektif agar memiliki kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan serta memiliki legitimasi. Di Indonesia, kepastian hukum dan legitimasi itu diperoleh melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang penyelenggaraannya diserahkan kepada Panitia Tata Batas (PTB). Sampai saat ini, proses itu masih memiliki kinerja rendah dan kurang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan opsi pengukuhan kawasan hutan yang mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas, yang dijabarkan menjadi tujuan khusus, yaitu: (1) menganalisis penyebab rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mencapai kepastian hukum (legalitas) dan faktor-faktor yang mengakibatkan hasil pengukuhan kawasan hutan belum memiliki legitimasi; (2) menganalisis kontestasi aktor yang terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan; dan (3) merumuskan opsi peningkatan kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mewujudkan kawasan hutan yang berkualitas.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja BPKH Wilayah XII Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan terlibat dan review dokumen. Narasumber penelitian adalah PTB ditambah dengan narasumber lain sebagai informan kunci yang ditentukan secara snowball. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan strategi tipologi menggunakan kerangka kerja IAD Ostrom (2005) yang didukung dengan analisis isi (content analysis) (Bungin 2001), analisis stakeholder (Reed et al 2009) dan analisis tumpang susun (overlay) peta penetapan kawasan hutan dengan peta tutupan lahan.

(6)

Kelembagaan pengukuhan kawasan hutan tidak terfasilitasi dengan baik karena ada dua kekuatan (power) tidak dalam kerangka menghasilkan tata batas yang berkualitas, namun lebih mengedepankan kepentingan. Dua kekuatan tersebut adalah ketua (Bupati) dengan kekuatan legitimate power dan coercive power dan BPKH dengan kekuatan legitimate power, expert power dan akses sumber daya lainnya (pembiayaan, teknologi dan informasi). Sementara unsur anggota lainnya (Dishut provinsi, Dishut kabupaten, unsur Bappeda, unsur BPN, camat dan kepala desa/kepala lurah) hanya berperan sebagai subjects (aktor marjinal) karena perannya telah diambil alih oleh Bupati yang memiliki kekuatan memaksa (power to coerce). Dalam kelembagaan pengukuhan kawasan hutan, kekuatan tersebut telah menyebabkan munculnya Conflict of Interest (CoI). Akibatnya, tata batas tidak linear dengan legalitas, bahkan dengan legitimasi.

Arena aksi menunjukkan bahwa telah terjadi situasi aksi yang memperlihatkan partisipan (Bupati dan BPKH) menggunakan sumber daya yang dimiliki (kuasa, anggaran, pengetahuan) secara penuh dan itu melampaui keseimbangan peran organisasi PTB yang dibentuk sehingga melemahkan peran anggota PTB lainnya. Kondisi demikian ini tidak memecahkan persoalan klaim lahan, sebaliknya cenderung berorientasi menyelesaikan masalah-masalah administrasi dan legalitas semata. Aturan main (rule of the game) antara lain P. 47/Menhut-II/2010 belum terbangun norma, nilai dan sanksi sehingga aturan tersebut minim tanggung jawab yang pada akhirnya memunculkan perilaku oportunistik. Aturan tersebut juga belum efektif mengarahkan PTB berinteraksi, sehingga membuka ruang tata batas dilakukan sepihak. Aturan main lainnya yaitu P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 yang secara tidak langsung mensyaratkan pemenuhan sekumpulan hak (bundle of rights) untuk menyelesaikan persoalan klaim sangat mustahil karena persoalan klaim dan hak-hak masyarakat lokal didominasi oleh bukti hak tidak tertulis berupa historis kultural kepemilikan dan pengakuan oleh institusi lokal (local institution) yaitu siapa yang pertama kali membuka lahan, maka dialah sebagai pemiliknya.

Beberapa temuan tersebut, pada akhirnya menyimpulkan bahwa kelembagaan pengukuhan kawasan hutan dengan kebijakan memberikan tugas dan kewenangan kepada PTB menyelesaikan kepastian hukum dan mengurusi legitimasi kawasan hutan diduga tidak akan efektif, bahkan cenderung akan gagal. Oleh karena itu, kelembagaan pengukuhan kawasan hutan memerlukan pembaharuan. Pembaharuan itu meliputi: (1) pemisahan tugas antara legalitas sebagai asas pembuktian hukum dan legitimasi sebagai pengakuan; (2) menghadirkan lembaga pengelola di tingkat tapak untuk mengurusi legitimasi; (3) memfasilitasi kekuatan (power) untuk menghindari

munculnya Conflict of Interest (COI); dan (4) memperbaiki kelembagaan pengukuhan

kawasan hutan dengan memperbaiki regulasi, nilai dan norma, budaya kognitif dan moral aktor yang terlibat seperti diutarakan oleh Scot (2001). Keberhasilan lembaga pengukuhan kawasan hutan untuk memastikan penguasaan dan kepemilikan hutan negara sebagai CPRs dapat diwujudkan apabila berhasil menata tenurial kawasan hutan yang akan dikukuhkan dan memperbaiki peran para pihak yang menyelenggarakan tata batas kawasan hutan.***

(7)

SUMMARY

PERNANDO SINABUTAR. Structuring Tenure and Role of the Parties in Realizing the Legality and Legitimacy of the State Forest Area. Suverpised by BRAMASTO NUGROHO, HARIADI KARTODIHARDJO, and DUDUNG DARUSMAN.

Characteristics of state forests as common pool resources (CPRs) requires effective arrangements to have ownership and control of legal certainty and legitimacy. In Indonesia, legal certainty and legitimacy gained through the process of strengthening of the forest area which operate submitted to the Committee of Boundary (PTB). Until now, the process still has a low performance and less qualified. This study aims to formulate forest area gazzetment option that may improve the performance, which are translated into specific objectives, namely: (1) analyze the reasons for poor performance in achieving forest area gazzetment of legality and the factors that lead to the results of the forest area gazzetment does not yet have legitimacy; (2) analyzing the contestation actor happens in the process of strengthening of forest areas; and (3) formulate improvement options forest area gazzetment performance forests in realizing quality forest.

The research was carried out in the region of Forest Centre for Area Stabilization (BPKH) Tanjungpinang Region XII. Data collected through in-depth interviews, participant observation and document review. Informant PTB research is coupled with other sources as specified in the key informant snowball. Qualitative data were analyzed by using the typology strategy IAD framework Ostrom (2005), which is supported by the content analysis (Bungin 2001), stakeholder analysis (Reed et al 2009) and analysis of overlaying determination map forest areas with land cover maps.

The results showed that the forest area gazzetment PTB working has been simplified to a mere legal issues that can be addressed only by a formal legalistic approach constructed by power. Institutional strengthening of forest area has not been able to bring the certainty of ownership and control of land at the site level so that people form their own institutions which are even more recognized local institutions, for example, buying and selling of land between the community and the issuance of a certificate of land ownership by the village chief/headman. PTB members involved do not reflect the collective action. Individuals involved in the strengthening of forest area does not have a high interest to ensure its success as the result of boundary has no implications and impact on the individual. In other words, decision-making in the strengthening of forest area has no impact on the individual. PTB organization is a technical organization, but given the mandatory to resolve social and political problems is a fallacy. Boundary activities is a matter of choice in the duties and functions of each of the parties involved, so that its success depends on incentives. Some of these things lead to further pursue the completion of the action PTB technical and administrative.

(8)

subjects (marginal actor) for his role has been taken over by the regent who has the power to force. In the institutional strengthening of the forest area, the force has led to the emergence of Conflict of Interest (CoI). As a result, the boundary is not linear with the legality, even with legitimacy.

Action arena action shows that there has been a situation of action that shows participants (Regent and BPKH) using available resources (power, budgetting, knowledge) in full and it goes beyond the balance of the role of PTB organization that was formed to weaken the role of the other PTB members. This condition does not resolve the issue of land claims, on the contrary tend to be oriented resolve administrative issues and legality. Rules of the game, among others, P. 47/Menhut-II/2010 has not been awakened norms, values and sanctions so that the rule is minimal responsibilities that ultimately gave rise to opportunistic behavior. The rules are also not effectively direct the PTB interact, so that the open space boundaries is done unilaterally. Other rules are P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013, which indirectly require compliance with a the bundle of rights o resolve the issue of claims is impossible because of the issue of the claims and the rights of local communities dominated by evidence unwritten rights of ownership in the form of cultural historical and recognition by local institutions that anyone who first cleared the land, then he as the owner.

Some of these findings, in the end concluded that the institutional strengthening of forest areas with a policy of duty and authority to PTB resolve the legitimacy of legal certainty and care of forest is predicted not to be effective, even likely to fail. Therefore, the institutional strengthening of forest area needs updating. Updates include: (1) separation of duties between legality and legitimacy of the legal burden of proof as an acknowledgment; (2) to present at the site level management agency to take care of legitimacy; (3) facilitate the power to avoid the appearance of Conflict of Interest (CoI); and (4) improve the institutional strengthening of forest area to improve the regulation, values and norms, cognitive and moral culture of the actors involved as expressed by Scot (2001). The success of the forest area gazzetment to ensure forest tenure as a state forest CPRs can be realized if successfully managing forest land tenure will be confirmed and improve the role of the party conducting forest boundaries.*** Keywords: forest area gazzetment, PTB, common pool resources, legality, and

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK

DALAM MEWUJUDKAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI

KAWASAN HUTAN NEGARA

PERNANDO SINABUTAR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Iin Ichwandi MSc.F

Staf Pengajar Divisi Kebijakan Kehutanan Departemen Manajemen Hutan

Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor 2. Myrna Asnawati Safitri, SH, MSi, Ph.D Direktur Eksekutif HUMA – EPISTEMA

Penguji pada Ujian Terbuka 1. Dr Ir Bambang Soepijanto, MM

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

2. Dr Tatang Tiryana, S. Hut, MSc

Staf Pengajar Divisi Perencanaan Kehutanan Departemen Manajemen Hutan

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga Disertasi dengan judul ‖Penataan Tenurial dan Peran Para Pihak dalam Mewujudkan Legalitas dan Legitimasi Kawasan Hutan Negara‖ ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan, sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir Bramasto Nugroho MS selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan pengetahuan kelembagaan untuk memahami kerangka berpikir karakteristik hutan negara sebagai CPRs; Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan pandangan kebijakan, bagaimana memahami konteks dan fakta, menuliskan dan memahami fakta dengan baik, dan memberikan motivasi dalam penulisan; dan Prof Dr Ir Dudung Darusman MA selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluruskan penulis agar berpijak pada tatanan dan norma yang benar dalam memahami fenomena di lapangan dan mengkaitkannya dengan konsep hingga tersusunnya Disertasi ini;

2. Dr. Ir. Iin Ichwandi M.Sc.F, Myrna Asnawati Safitri, SH, M. Si, Ph.D selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang memberikan pandangan lain yang menambah khazanah kebaruan dari penelitian ini;

3. Dr. Ir. Bambang Soepijanto MM dan Dr. Tatang Tiryana, S. Hut, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang juga memberikan masukan dan arahan lain yang juga konstruktif untuk memperbaiki Disertasi ini;

4. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB;

5. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya yang menjadi sponsor utama pendidikan dan penelitian selama menempuh S3 di IPB;

6. Rekan-rekan pegawai Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang sebagai Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan atas semangat dan bantuannya, terutama data dan informasi yang dibutuhkan penulis;

7. Seluruh pengelola Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor selama proses pendidikan penulis di IPB, terkhusus ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yaitu Prof Dr Ir Hardjanto MS yang membimbing penulis saat menyelesaikan program Sarjana di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, dan yang merekomendasikan penulis untuk melanjutkan ke jenjang S2 di Universitas Hasanuddin dan jenjang S3 di IPB;

(15)

hari, sehingga proses demi proses dapat kita lalui hingga Disertasi ini tersusun. Dinamika yang terjadi, baik suka maupun duka sejak proses perkuliahan hingga penyusunan Disertasi ini telah menambah rentetan sejarah dalam kehidupan keluarga kita yang tidak akan pernah kita lupakan, dan akan kita jadikan sebagai pemicu untuk menjadi yang terbaik di masa yang akan datang;

9. Keluarga Besar S. Sinabutar (+)/R. Turnip dan Letkol NES Turnip (+)/E.S. Manik yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun materil.

10.Teman-teman IPH angkatan 2009-2014 atas waktu untuk berdiskusi dan bertukar pendapat, khususnya angkatan 2011 atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini;

11.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu menyediakan data, informasi dan literatur selama pengumpulan data dan penyusunan Disertasi;

Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Tuhan yang Maha Esa selalu memberkati dan memelihara kita semua.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN iii

SUMMARY v

PRAKATA xii

DAFTAR ISI xv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

ISTILAH DAN SINGKATAN xx

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Kerangka Pemikiran 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Kebaruan (Novelty) 7

Metode Penelitian 9

Pendekatan penelitan 9

Lokasi dan waktu penelitian 10

Batasan penelitian 10

Data dan informasi yang dibutuhkan 10

Pengumpulan data dan penentuan narasumber 11

Validasi data 11

Analisis data 11

2 DINAMIKA PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

DI PROVINSI RIAU 12

Pendahuluan 12

Metode Penelitian 12

Hasil dan Pembahasan 13

Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan 13

Sejarah Pengukuhan Kawasan Hutan 16

Kinerja Pengukuhan Kawasan Hutan 19

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kinerja Pengukuhan

Kawasan Hutan dari Sisi Legalitas 26

Peta Masalah Pengukuhan Kawasan Hutan 38

Dinamika Kebijakan Sektor lain dalam Penggunaan Sumber Daya Hutan 40

Kegagalan Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan 42

Simpulan 44

3 PERSOALAN LEGALITAS DAN LEGITIMASI PENGUKUHAN

KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU 46

Pendahuluan 46

Metode Penelitian 47

Hasil dan Pembahasan 47

Tata Batas Versus Legalitas Kawasan Hutan 47

Legalitas Versus Legitimasi Kawasan Hutan 48

(18)

Konflik Sosial di Balik Legitimasi Kawasan Hutan 55

Ruang Pemaknaan Legitimasi Kawasan Hutan 57

Faktor Penghambat Pencapaian Legitimasi Kawasan Hutan 62 Perbaikan Implementasi Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan 64

Simpulan 66

4 KONTESTASI AKTOR DALAM PENGUKUHAN KAWASAN

HUTAN DI PROVINSI RIAU 67

Pendahuluan 67

Metode Penelitian 68

Hasil dan Pembahasan 69

Aktor dan Sumber Daya 69

Ruang Kekuasaan Bekerja 73

Ruang Kepentingan dan Negosiasi 75

Hubungan Kekuasaan, Kepentingan dan Pengaruh 77

Kontestasi Aktor 83

Simpulan 91

5 PERSOALAN PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DALAM

KERANGKA IAD OSTROM 92

Pendahuluan 92

Metode Penelitian 93

Hasil dan Pembahasan 93

Fakta Kinerja Pengukuhan Kawasan Hutan 93

Karakteristik Biofisik dan Material 95

Atribut Komunitas 96

Aturan yang digunakan (rules in use) 99

Arena Aksi 103

Pola Interaksi 108

Outcomes 108

Keterkaitan antara faktor eksternal dan internal 108

Simpulan 110

6 PENATAAN TENURIAL DAN PERAN PARA PIHAK: OPSI

PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN 112

Pendahuluan 112

Metode Penelitian 112

Hasil dan Pembahasan 113

Konflik Penguasaan Lahan Kawasan Hutan 113

Hak kepemilikan dan penguasaan sumber daya hutan 115

Peran PTB dalam pengukuhan kawasan hutan 127

Ruang tindak (measure space): menuju pembaharuan kebijakan 129

Simpulan 135

7 PEMBAHASAN UMUM 136

8 SIMPULAN, IMPLIKASI TEORI DAN KEBIJAKAN 142

Simpulan 142

Implikasi teori 144

Implikasi kebijakan 145

DAFTAR PUSTAKA 146

Peraturan Perundangan yang digunakan 153

LAMPIRAN 154

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK 14 Tabel 2 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarka Perda Nomor 10

tahun 1994 15

Tabel 3 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan rekomendasi tim

terpadu 15

Tabel 4 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas di

Provinsi Riau 20

Tabel 5 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan pengesahan hasil

tata batas di Provinsi Riau 21

Tabel 6 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil penetapan

kawasan hutan di Provinsi Riau 22

Tabel 7 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan

hutan di Provinsi Riau 25

Tabel 8 Persoalan teknis pemetaan yang menghambat pengesahan dan

penetapan kawasan hutan 32

Tabel 9 Temuan hasil pelaksanaan tata batas HPT P. Setahun, S. Galang dan

Seberang 35

Tabel 10 Kegagalan kebijakan (policy failure) pengukuhan kawasan hutan

di Provinsi Riau 43

Tabel 11 Konflik sosial di balik legalitas kawasan hutan 55 Tabel 12 Konflik sosial di balik legitimasi kawasan hutan 57 Tabel 13 Makna legitimasi para pihak (masyarakat, PTB dan instansi di luar

PTB 62

Tabel 14 Titik-titik perbaikan kebijakan pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau menuju legalitas dan legitimasi kawasan hutan 65 Tabel 15 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak 69 Tabel 16 Sumber daya PTB dalam penyelenggaraan tata batas TN Tesso Nillo70 Tabel 17 Sumber daya PTB pada HL Sei Tembesi dalam penyelenggaraan

tata batas 71

Tabel 18 Sumber daya PTB pada HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang dalam penyelenggaraan tata batas 72 Tabel 19 Ruang kepentingan yang terjadi pada masing-masing kewasan hutan 76 Tabel 20 Tingkat kepentingan PTB terhadap penyelenggaraan tata batas 78 Tabel 21 Tingkat pengaruh PTB terhadap penyelenggaraan tata batas 79 Tabel 22 Arena kontestasi kepentingan di tingkat penunjukan kawasan

hutan di Provinsi Riau 86

Tabel 23 Bentuk kontestasi yang terjadi dalam penyelenggaraan tata batas 88 Tabel 24 Data konflik dan tutupan lahan pada kawasan hutan yang telah

memiliki legalitas pada kawasan hutan dengan fungsi konservasi 93 Tabel 25 Konteks penggunaan tiga keputusan yang mempengaruhi

kebijakan pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau 95 Tabel 26 Peran PTB sesuai fakta dalam penyelenggaraan tata batas HPT

Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang 104 Tabel 27 Akses PTB terhadap pendanaan, tenaga kerja, pengetahuan dan

teknologi 107

(20)

Tabel 29 Tipologi komunitas di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan

hutan pada masing-masing kelompok hutan 117

Tabel 30 Tipologi konflik tenurial pada 3 (tiga) kelompok hutan 119 Tabel 31 Sekumpulan hak (bundle of rights) sumber daya hutan pada

masing-masing fungsi hutan berdasarkan kategori aktor 123 Tabel 32 Dominasi aksi (peran yang dilakukan) berdasarkan tugas PTB

sesuai dengan P. 47/Menhut-II/2010 127

Tabel 33 Dominasi aksi (peran yang dilakukan ) berdasarkan kewenangan

PTB sesuai dengan P. 47/Menhut-II/2010 128

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran tenurial dan peran para pihak dalam

mewujudkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan negara 9

Gambar 2 Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK, RTRWP dan

rekomendasi tim terpadu 16

Gambar 3 Sejarah pengukuhan kawasan hutan di Indonesia 17

Gambar 4 Hasil tata batas, pengesahan batas dan penetapan kawasan hutan di

Provinsi Riau sejak era register hingga era percepatan tata bata 24

Gambar 5 Peta perambahan di kawasan hutan TN Tesso Nillo 25

Gambar 6 Contoh perbedaan batas kawasan hutan antara peta trayek batas,

pemancangan batas sementara dan pemancangan batas definitif 28

Gambar 7 Contoh kawasan hutan yang hampir sama antara peta hasil tata batas

sementara dengan peta hasil tata batas definitif namun berbeda

dengan peta trayek batas 30

Gambar 8 Contoh batas kawasan hutan yang belum temugelang

(TN Tesso Nillo) 31

Gambar 9 Pemetaan masalah pengukuhan kawasan hutan pada tahap

penunjukan kawasan hutan di Provinsi Riau 39

Gambar 10 Dinamika konflik antar sektor dalam penggunaan lahan hutan 42

Gambar 11 Kondisi eksisting HL Sei Tembesi yang ditetapkan menjadi hutan

lindung 50

Gambar 12 Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati kebun masyarakat 51

Gambar 13 Pal batas HL Sei Tembesi yang melewati rumah penduduk 52

Gambar 14 Surat pernyataan penguasaan tanah yang dikeluarkan kepala lurah 52

Gambar 15 Lokasi pekuburan di Desa Air Hitam yang masuk pada wilayah

TN Tesso Nillo 60

Gambar 16 Diagram kepentingan dan pengaruh para pihak

(Reed et al 2009) 69

Gambar 17 Ruang negosiasi (titik koordinasi) dalam pengukuhan kawasan

hutan berdasarkan tahapannya 77

Gambar 18 Matrik kepentingan dan pengaruh unsur PTB 80

Gambar 19 Areal pengganti yang mengalami proses pelepasan kawasan hutan

di Provinsi Riau 94

Gambar 20 Keterkaitan antara aturan yang digunakan (rules in use) dengan

situasi aksi (adopsi dari Ostrom 2011) 100

Gambar 21 Perbaikan interaksi PTB dalam pengambilan keputusan 111

(21)

Gambar 23 Skema penataan tenurial sebagai opsi penyelesaian hak-hak pihak

ketiga berbasis hak 126

Gambar 24 Fakta, penyebab dan akibat peran PTB belum terimplementasi . 129

Gambar 25 Ruang tindak (measure space) pembaharuan kebijakan

pengukuhan kawasan hutan 132

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kelompok hutan dengan fungsi hutan konservasi yang telah ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau sampai

tahun 2013 154

Lampiran 2 Kelompok hutan dengan fungsi hutan lindung yang telah ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 156

Lampiran 3 Kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi terbatas yang telah ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 158

Lampiran 4 Kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi yang telah ditata batas, disahkan dan ditetapkan di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 163

Lampiran 5 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas, pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan dengan fungsi hutan konservasi di Provinsi Riau sampai tahun

2013 165

Lampiran 6 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas, pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan dengan fungsi hutan lindung di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 167

Lampiran 7 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas, pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi terbatas di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 169

Lampiran 8 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil tata batas, pengesahan dan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan dengan fungsi hutan produksi di Provinsi Riau

sampai tahun 2013 172

Lampiran 9 Fakta konflik dan tutupan lahan pada kawasan hutan yang telah memiliki legalitas pada kawasan hutan dengan gungsi hutan

produksi 174

Lampiran 10 Analisis isi (content analysis) peraturan PTB menggunakan konsep rules in use Ostrom et al. (2005) 176 Lampiran 11 Tupoksi unsur anggota PTB Kabupaten Kepulauan Meranti

Provinsi Riau 184

Lampiran 12 Desain penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan hasil tata batas yang telah dilakukan sejak era register hingga

(22)

ISTILAH DAN SINGKATAN

APL : Areal Penggunaan Lain

APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BATB : Berita Acara Tata Batas

BIPHUT : Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan BPKH : Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPN : Badan Pertanahan Nasional

BP-Batam : Badan Pengusahaan Batam, pengganti Otorita Batam CPRs : Common Pool Resources

DitjenPlan : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Dishut : Dinas Kehutanan

DPPTKH : Direktorat Pengukuhan Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan

GPS : Global Positioning System HGU : Hak Guna Usaha

HK : Sutan Konservasi HL : Hutan Lindung

HPK : Hutan Produksi yang dapat dikonversi HPT : Hutan Produksi Terbatas

IAD : Institution and Analysis Development

In : Memasukkan areal bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan IUPHHK-HT : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman IUPHHK-HA : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam

IUPHHK-RE : Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Kemenhut : Kementerian Kehutanan

KP2K : Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan KPH : Kesatuan Pengelolaan Hutan

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KSDA : Konservasi Sumber Daya Alam

Out : Mengeluarkan areal kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan

Perda : Peraturan Daerah PTB : Panitia Tata Batas

RTRWP : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RKTN : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional

RPPH : Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan SK : Surat Keputusan

SOP : Standar Operasional dan Prosedur TGHK : Tata Guna Hutan Kesepakatan TN : Taman Nasional

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Konflik tenurial dalam kawasan hutan negara (selanjutnya dalam penelitian ini disebut kawasan hutan) di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu1. Persoalan ini dipicu oleh ketidakpastian penguasaan atas tanah-tanah (tenurial insecurity)/sumber daya alam/wilayah kelola masyarakat (Kartodihardjo 2012, Fauzi 2012, Nugraha 2013). Selain itu, tumpang tindih klaim atas kawasan hutan diantaranya akibat legislasi dan kebijakan yang belum terimplementasi dengan optimal, pemberian ijin yang belum terkoordinasi dan juga belum diakuinya hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna hutan lainnya. Bromley (1992ª) mengungkap bahwa legitimasi kawasan hutan sebagai ―state property‖ yang tidak diikuti pengelolaan dan pengawasan yang baik dari Pemerintah, mengakibatkan rejim pengelolaannya cenderung ―non property‖ atau ―open access‖.

Kemunculan konflik tenurial juga diakibatkan oleh persoalan yang terkait dengan karakteristik hak-hak atas sumber daya hutan, antara lain hutan (terutama yang dikuasai negara) berada pada situasi kompetisi hak-hak (competing claims of ownership) terutama hak akses terhadap sumber daya hutan (Brown et al. 2002). FWI (2009) menambahkan bahwa persoalan itu dipicu oleh lemahnya tata kelola kehutanan (good forestry governance) yang digambarkan oleh ketimpangan struktur dan proses, lalu keragaman tafsir pengurusan dan pengelolaan hutan oleh para pemangku kepentingan, sehingga regulasi dan kebijakan Pemerintah belum mampu mengarahkan perilaku aktor untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari. Bahkan, Nugraha (2013) menegaskan bahwa kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan kepastian tenurial (tenurial security) sejak awal justru berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini tidak lain akibat ketimpangan struktur dan proses, termasuk ketimpangan kekuasaan, kewenangan, kerjasama dan konflik dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah terkait alokasi sumber daya hutan dan pengurusannya.

Dari sisi yuridis, munculnya konflik tenurial disebabkan oleh 2 (dua) hal.

Pertama, pengaturan untuk semua tanah termasuk kawasan hutan yang tumpang tindih dan penerapannya yang kurang konsisten (Sumardjono 2002; Contreras-Hermosilla & Fay 2006, Fauzi 2013; Nugraha 2013; Syarief 2014). Kedua, perbedaan pengetahuan dan pemahaman (Wijardjo et al. 2001) dan ketidaksamaan

1

(24)

penafsiran tentang isi dan batas-batasnya (Sodiki 1999; Limbong 2012). Dua hal itu menimbulkan konflik kewenangan dan kepentingan (Syarief 2014), konflik data (Wijardjo et al. 2001), konflik lahan (Awang 2013), konflik agraria (Fauzi 2013), dan pengkotakan peraturan perundang-undangan yang diterima sebagai sebuah kenyataan (taken for granted) (Sumardjono 2002). Seharusnya, pengaturan untuk semua tanah tunduk pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 19602 tentang Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) (Fauzi 2013; Susilo 2013). Namun pada rezim orde baru, terbit peraturan-peraturan di bidang sumber daya alam secara sektoral yang bertentangan dengan UUPA3 dan mempunyai posisi yang sama yang menjadikan tanah sebagai obyek. Perbedaan peraturan yang sektoral itu tidak hanya memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial peraturan itu tidak integratif (Supriyadi 2013). Beberapa persoalan ini membuktikan dilema pengurusan dan pengelolaan hutan negara sebagai CPRs.

Oleh karena itu, hutan negara memerlukan pengaturan yang efektif agar memiliki kepastian hukum kepemilikan dan penguasaan. Kepastian itu merupakan salah satu faktor penting dalam pengelolaan hutan di Indonesia (Contreras-Hermosilla & Fay 2006). Di Indonesia, kepastian itu diperoleh melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang dimulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan hingga penetapan (UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan (Pasal 12), PP 44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan (Pasal 15), dan P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan) dan penyelenggaraannya diwakilkan kepada Panitia Tata Batas (PTB). Salah satu tugas dan kewenangannya (P.47/Menhut-II/2010 tentang pembentukan PTB) adalah menentukan langkah-langkah penyelesaian hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Tugas dan kewenangan itu ditegaskan pula pada P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013 yang tidak hanya menentukan langkah-langkah penyelesaian, namun menyelesaikan hak-hak pihak ketiga (Pasal 23). Hal ini berarti pula bahwa tugas dan kewenangan PTB adalah mewujudkan legitimasi. Akan tetapi, Pemerintah belum mampu menyediakan kepastian kepemilikan dan penguasaan itu (Efendi 2002; Contreras-Hermosilla & Fay 2006), bahkan kebijakan itu sejak awal berpotensi menimbulkan konflik (Nugraha 2013). Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah

2

Dalam UU ini, ada lima prinsip pengaturan tanah, yaitu : Pertama, sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, negara berhak menguasai seluruh kekayaan alam dan berwenang untuk mengatur kekayaan itu untuk menyejahterakan rakyat, antara lain dengan mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; Kedua, negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari tumbuhnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem sewa dan gadai; Ketiga, negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat tanah bagi warga Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas; Keempat, tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar (absentee) atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan memeras; dan Kelima, negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk memberi kepastian hukum kepada petani pemilik tanah (Budi Harso, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cetakan ke-17. Jakarta: Djambatan, 2006, hal. 43-48)

3

(25)

belum berhasil mengimplementasikan kebijakan pengukuhan kawasan hutan. Kinerja kebijakan itu masih ―rendah‖4.

Perumusan masalah

Fakta menunjukkan bahwa dari luas kawasan hutan seluruh Indonesia yang statusnya sebagian besar baru ditunjuk (130,68 juta Ha)5 hingga tahun 2011 baru dilakukan pengukuhan kawasan hutan sekitar 14,24 juta hektar (12,63%), tidak termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi. Padahal, telah ditata batas 222.452 Km (74,67%) dari panjang batas 281.873 Km (130,68 juta Ha) (RKTN 2011-2030). Data empiris ini membuktikan bahwa pengukuhan kawasan hutan yang diharapkan mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas belum berhasil, bahkan telah gagal, padahal anggaran telah dikeluarkan ± Rp 4 Trilyun6. Artinya, ada Rp 3,49 Trilyun anggaran yang dikeluarkan itu belum berhasil menciptakan kawasan hutan yang berkepastian hukum. Di Provinsi Riau, baru dilakukan penetapan 1.850,67 Km (16,63%; 22 kelompok hutan), padahal telah ditata batas 9.499,02 Km (85,37%; 120 kelompok hutan) dari 11.126,35 Km berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)7.

Pertanyaannya adalah mengapa terjadi perbedaan antara penetapan dengan tata batas?. Berbagai persoalan yang mengakibatkannya adalah perbedaan pandang atas penunjukan kawasan hutan sebagai dasar pelaksanaan tata batas, tumpang tindih tenurial kawasan hutan yang dikukuhkan, peran para pihak yang belum tertata jelas, tumpang tindih aturan dan perundangan, belum selesainya penatabatasan kawasan hutan (belum temugelang), dan banyaknya tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adat/lokal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan8. Persoalan lainnya adalah tidak diakuinya status kepemilikan tanah masyarakat adat/lokal yang mayoritas tidak memiliki bukti kepemilikan formal (bukti hak tertulis); perbedaan peta wilayah antar instansi (tidak ada one map policy); serta tidak adanya pengakuan atas peta desa.

4 Pengertian ―rendah‖ dalam penelitian ini adalah tinggi dari sisi

legalitas (sampai pada tahap tata batas), namun tidak legitimate (faktanya adalah pelaksanaan tata batas sudah mencapai 85,37%, namun yang ditetapkan baru mencapai 16,63% dari total panjang batas kawasan hutan di Provinsi Riau.

5

Data luas kawasan hutan dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 : Hutan Konservasi seluas 26,82 juta Ha, Hutan Lindung seluas 28,86 juta Ha, Hutan Produksi seluas 32,60 juta Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 24,46 juta Ha dan Hutan Produksi yang dapat diKonversi seluas 17,94 juta Ha. Total Panjang Batas antar fungsi mencapai 281.873 Km. Sampai dengan tahun 2010, realisasi tata batas mencapai 74,67% atau sekitar 222.452 Km.

6

Ilustrasi perhitungan ini menggunakan standar kegiatan dan biaya (SKB) bidang planologi kehutanan tahun 2013 (Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor : P. 11/VII-SET/2012). Dengan mengasumsikan perkembangan nilai rupiah pada saat ini, maka biaya pelaksanaan tata batas kawasan hutan hingga penetapan kawasan hutan ± Rp 18.000.000 per Km (rinciannya: pemancangan batas sementara (datar/pegunungan/rawa) dengan asumsi termasuk didalamnya penyiapan trayek batas ± Rp 8.000.000/Km, pemancangan batas definitif (datar/pegunungan/rawa) ± Rp 10.000.000/Km dengan asumsi termasuk didalamnya biaya penetapan kawasan hutan). Biaya ini belum termasuk biaya supervisi pada setiap tahapan yang biasa dilakukan serta sarana dan prasarana (terutama peralatan apabila di sewa).

7

Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Kawasan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan adalah 4.288.957,82 Ha (11.126,35 Km), data tersebut bersumber dari Buku Rencana Pengukuhan Kawasan Hutan Wilayah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau Tahun 2012-2014 yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang tahun 2012

8

(26)

Sesungguhnya, kebijakan telah dimaksudkan untuk menghasilkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi (P.44/Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013) melalui kegiatan inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga di sepanjang trayek batas maupun di dalam kawasan hutan. Sayangnya, kegiatan itu belum eksplisit dirumuskan dalam tugas dan kewenangan PTB. Dalam aturan itu, salah satu tugasnya adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi hak-hak pihak-hak ketiga di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Sementara kewenangannya adalah menentukan langkah penyelesaian terhadap masalah-masalah terkait hak-hak atas lahan/tanah di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Sudah tepatkah peraturan yang membebankan legitimasi kepada PTB yang hanya diberikan ruang untuk menyelenggarakan tata batas satu kelompok hutan dalam satu tahun anggaran? Bagaimana implementasi aturan itu dalam mewujudkan legitimasi?.

Dari rentetan persoalan itu, dapat disimpulkan bahwa persoalan pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau cukup pelik dan sarat dengan persoalan institusi, sosial dan politik. Dari sisi sosial, pekerjaan tata batas dihadapkan pada klaim yang didominasi bukti hak tidak tertulis (Sirait et al. 2004: Contreras-Hermosilla & Fay 2006; Nugraha 2013) yang lebih mengandalkan cerita dan sejarah untuk melegitimasi kepemilikan dan penguasaan tanah (Affif 2005), dan siapa yang pertama membuka lahan, dialah pemiliknya (Saptomo 2004; Nugroho 2011). Dalam hukum positif, pengakuan keberadaan hak-hak masyarakat lokal seperti ini akan sulit. Dari sisi politik, dihadapkan pada penetapan Bupati sebagai ketua dan unsur anggota lainnya yang tunduk pada perintah Bupati telah mengabaikan profesionalisme. Sementara dari sisi institusi dihadapkan pada penilaian kinerja berdasarkan realisasi anggaran, lalu alokasi anggaran belum memperhatikan persoalan sosial lapangan, kemudian tidak ada sanksi yang diterapkan lembaga/organisasi dalam penegakan aturan main. Dalam hal ini, persoalan tata batas hanya menegaskan legalitas suatu areal, namun tidak linear dengan kuatnya legitimasi. Pertanyaannya, patutkah PTB diberikan mandat (mandatory) menyelesaiakan persoalan sosial dan politik di lapangan, sementara organisasi tersebut adalah organisasi teknis?. Beberapa pertanyaan penelitian yang diharapkan dapat mengungkap persoalan itu adalah:

1. Mengapa kinerja pengukuhan kawasan hutan masih rendah? dan mengapa

pengukuhan kawasan hutan belum mampu menghasilkan kawasan hutan yang memiliki legitimasi?

2. Bagaimana kontestasi aktor yang sesungguhnya terjadi dalam proses pengukuhan

kawasan hutan, apakah aktor yang berperan sejatinya dapat diandalkan untuk menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas?

3. Bagaimana opsi untuk meningkatkan kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mewujudkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi?

Kerangka pemikiran

(27)

tata batas dilakukan tanpa berorientasi pada kualitas. Para pihak bekerja tanpa kesepakatan sesuai aturan yang memayunginya. Selain itu, nilai-nilai dan norma untuk membatasi ruang geraknya dan pemahaman informasi tapak, bahkan sanksi tidak ada. Padahal, informasi tapak, atribut PTB dan payung hukum yang mengatur ruang geraknya dapat digunakan untuk mempengaruhi interaksi dalam pengambilan keputusan. Sayangnya, persoalan yang menghambat interaksi dan kesepakatan itu belum pernah diungkap sehingga proses penyelenggaraan tata batas belum mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkualitas.

Ruang pengetahuan untuk memahami dan menganalisis fenomena itu adalah bagian dari kerangka analisis institusi dan pengembangan (Institutional Analysis and Development, IAD) yang dikembangkan Ostrom (2005). Dalam penelitian ini disebut IAD framework dan diadopsi untuk memahami dan menganalisis fenomena pengukuhan kawasan hutan. IAD framework adalah peta konseptual multistrata yang dapat dikonseptualisasikan sebagai bahasa umum tentang bagaimana kondisi biofisik dan material, atribut komunitas, dan aturan yang digunakan akan mempengaruhi pengambilan keputusan, tindakan, dan hasil yang diharapkan (Ostrom 2005; Hardy and Koontz 2010; Ostrom 2011). Kerangka itu dapat mempermudah seorang analis kebijakan dalam mengevaluasi suatu kinerja apabila berhasil menemukan variabel-variabel yang terkait dengan variabel eksogen (exogenous variables) antara lain kondisi biofisik dan material (biophysical conditional), atribut komunitas (attribute community) dan aturan yang digunakan (rules in use) maupun variabel endogen (endogenous variables), yaitu situasi aksi (action situations) dan partisipan (participants) (Ostrom 2005; McGinnis 2011; Oakerson & Parks 2011; Ostrom 2011).

Adopsi IAD framework ditunjukkan Gambar 1 yang didukung dengan analisis isi (content analysis) (Bungin 2001), analisis stakeholder (Reed et al. 2009) dan analisis tumpang susun (overlay) peta penetapan kawasan hutan dengan peta tutupan lahan. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan kekuasaan bekerja, penelitian ini menggunakan konsep dari French dan Raven (1959) yang diacu Yukl (2005). Konsep itu digunakan untuk menunjukkan dominasi kuasa dan kepentingan dalam pengukuhan kawasan hutan. Selanjutnya, bagaimana kekuasaan dan pengetahuan itu dibangun disintesiskan dengan pemikiran Foucault tentang relasi antara Power and Knowledge. Foucauldian telah mengilhami analisis kebijakan kehutanan dalam 2 (dua) cara, yaitu melalui analisis ekologi politik pasca strukturalis dan melalui analisis wacana pasca positivistik (Winkel 2012) yang meneliti 39 makalah tentang kebijakan kehutanan yang menggunakan konsep Foucault. Beberapa konsep ini digunakan untuk membangun rekomendasi sebagai opsi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas pengukuhan kawasan hutan. Dengan demikian, kepastian kepemilikan dan penguasaan dapat terwujud, karena hal itu akan bermanfaat untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan (Frey and Rusch 2014), mendorong pengelolaan CPRs menjadi efektif (Kitamura and Clapp 2013), mendorong investasi pertanian serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan (Sivalai et al. 2012) dan meningkatkan efektifitas pengaturan hutan negara.

(28)

komunitas serta aturan yang digunakan (rules in use) pada interaksi tersebut. Persoalan pada arena aksi telah diawali oleh adanya perbedaan klaim atas wilayah tertentu menjadi hutan negara berdasarkan penunjukan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Pemerintah Daerah (Pemda). Selain itu, terdapat ketidakseimbangan informasi (asymetric information), perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman PTB, tidak adanya nilai-nilai maupun norma yang dibangun, aturan yang digunakan belum mampu mengarahkan PTB berinteraksi, serta belum tertatanya kepentingan, kebutuhan dan sudut pandang PTB. Keseluruhan hal ini telah memicu perbedaan dalam pengambilan keputusan yang pada titik tertentu dapat menjadi sumber konflik dan mengakibatkan ketidakjelasan sumber daya yang akan dikelola.

Kajian ini diawali dengan menjelaskan dinamika pengukuhan kawasan hutan. Lalu, menganalisis bentuk kekuasaan dan dominasi aktor berdasarkan kontestasinya untuk menjelaskan bagaimana aktor berinteraksi dalam pengambilan keputusan. Penataan tenurial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendefinisikan dan menjelaskan sekumpulan hak (bundle of rights), tipologi komunitas dan tipologi konflik tenurial sebagai bagian dari pengelompokan hak-hak atas tanah untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian hak-hak pihak ketiga, terutama hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis. Penataan peran para pihak dikaitkan dengan penguatan pengetahuan, kapasitas dan kemampuannya dalam memahami kebijakan pengukuhan kawasan hutan sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing unsur anggota. Kedua hal ini akan diintegrasikan dalam menetapkan ruang tindak (measure space) pembaharuan kebijakan pengukuhan kawasan hutan. Dengan demikian, apa yang disebutkan oleh Dunn (1994) bahwa kebijakan yang dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan solusinya di lapangan, dapat diwujudkan.

(29)

Tujuan penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah memformulasikan opsi pengukuhan kawasan hutan yang mampu menghasilkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi. Untuk mencapai tujuan itu, maka dijabarkan dalam tujuan-tujuan khusus, yaitu:

1. Menganalisis penyebab rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mencapai kepastian hukum (legalitas) dan faktor-faktor yang mengakibatkan hasil pengukuhan kawasan hutan belum memiliki legitimasi;

2. Menganalisis kontestasi aktor yang terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan;

3. Merumuskan opsi peningkatan kinerja pengukuhan kawasan hutan dalam mewujudkan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi.

Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Pada aras ilmu pengetahuan, penelitan ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengayaan metodologi penelitian yang menggunakan IAD framework yang dikembangkan oleh Ostrom (2005);

2. Pada aspek praktis dalam proses pengukuhan kawasan hutan, penelitian ini akan bermanfaat untuk : (a) mengemukakan fakta persoalan yang dihadapi dalam proses pengukuhan kawasan hutan; (b) mengungkap bagaimana persoalan yang terjadi pada arena aksi merupakan persoalan yang sesungguhnya mempengaruhi kinerja pengukuhan kawasan hutan; (c) membuktikan bahwa dengan menata tenurial dan peran para pihak serta kebijakan untuk memisahkan tugas mencapai legalitas dan memperkuat legitimasi dapat meningkatkan kualitas pengukuhan kawasan hutan.

3. Secara keseluruhan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya Kementerian Kehutanan khususnya Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan yang berorientasi pada pencapaian kawasan hutan yang berkepastian hukum dan memiliki legitimasi.

Kebaruan (Novelty)

(30)
(31)

Gambar 1. Kerangka pemikiran penataan tenurial dan peran para pihak dalam mewujudkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan negara

Metode penelitian

Pendekatan penelitian

Penelitian ini berupaya memahami persoalan sosial dan makna di balik fakta pengukuhan kawasan hutan khususnya penyelenggaraan tata batas. Dengan demikian pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif (Creswell 1994; Irawan 2007; Sugiyono 2010) dengan metode studi kasus (Yin 1996). Creswell (1994) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berupaya memahami persoalan sosial berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik secara

Kondisi Fisik/Material 2.Nilai dan norma yang

dimiliki PTB

Dinamika pengukuhan kawasan hutan dan upaya pencapaian legalitas dan legitimasi kawasan hutan

OPSI PENINGKATAN KINERJA PENGUKUHAN KAWASAN

(32)

lengkap. Sejalan dengan itu, Irawan (2007) juga menjelaskan bahwa tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami ―makna‖ (meaning) yang berada di balik fakta, dalam arti bahwa pemahaman yang mendalam (deep understanding, verstehen) terhadap suatu fenomena sosial adalah yang terpenting. Pemahaman makna dibalik fakta adalah menjelaskan fakta berdasarkan teori dan konsep sehingga secara teoritis lebih bisa dijelaskan bahkan digeneralisir. Pendekatan ini menempatkan fakta empiris sebagai dasar dalam membangun analisis.

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja BPKH Wilayah XII Tanjungpinang (Provinsi Riau dan Kepulauan Riau) sejak bulan Juni 2013 hingga Desember 2013. Penentuan lokasi didasarkan pada beberapa hal, yaitu; (1) sampai tahun 2013, belum pernah diputuskan hasil paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan TGHK; (2) Provinsi Riau pernah mengeluarkan Perda yang tidak disetujui oleh Kemenhut, namun diakui oleh daerah dan menjadi pedoman untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK); dan (3) kinerja pengukuhan kawasan hutan yang masih rendah.

Batasan penelitian

Penelitian ini dilakukan sampai dengan Desember 2013, sehingga beberapa hal perlu ditentukan sebagai batasan untuk menghindari kesalahan pengambilan kesimpulan dan rekomendasi serta mengkaitkan hasil penelitian ini dengan situasi yang berkembang dalam bidang pengukuhan kawasan hutan saat ini. Beberapa batasan tersebut antara lain: (1) peraturan perundangan yang digunakan adalah peraturan terkait dengan pengukuhan kawasan hutan yang diterbitkan oleh Pemerintah hingga Desember 2013; (2) kinerja pengukuhan kawasan hutan yang diteliti adalah kinerja pengukuhan kawasan hutan sampai dengan tahun 2013; (3) hal-hal yang berkembang sepanjang tahun 2014 dalam kebijakan pengukuhan kawasan hutan tetap disesuaikan dalam penelitian ini sepanjang tidak mengubah substansi penelitian; dan (4) tenurial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepemilikan dan penguasaan Pemerintah atas kawasan hutan (hutan negara) yang mengadopsi definisi Ellsworth (2002), dimana tenurial merupakan rejim kepemilikan dan penguasaan sebagai relasi dari tiga pihak, yaitu: seseorang yang memiliki berbagai bentuk hak, orang-orang yang dilarang untuk melanggar hak-hak tersebut dan pihak-hak ketiga (biasanya pemerintah atau pengadilan) yang menjamin hak-hak tersebut dan berkewajiban untuk melarang.

Data dan informasi yang dibutuhkan

(33)

Pengumpulan data dan penentuan narasumber

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview),

pengamatan terlibat dan review dokumen (Denzin 1989). Review dokumen dilakukan

untuk menelaah data yang telah ada, baik berupa dokumen kebijakan, makalah, hasil rapat, laporan penelitian dan laporan kegiatan. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap informan untuk menggali informasi. Sementara pengamatan terlibat dilakukan untuk memahami konteks secara langsung dari suatu

fenomena. Penentuan narasumber dilakukan dengan teknik snowball sampling yakni

mengikuti informasi dari informan sebelumnya untuk menentukan informan berikutnya (Sugiyono 2010) dan sebagian ditentukan secara sengaja (purposive), yaitu PTB. Informan terdiri dari 13 orang HL Sei Tembesi, 16 orang TN Tesso Nillo dan 12 orang di HPT Pesemak DS dan HPT P. Setahun, S. Galang dan Seberang. Informan tersebut terdiri dari Kemenhut, petugas/juru ukur, perguruan tinggi, LSM, konsultan, masyarakat dan pemegang ijin. Bungin (2006) mengemukakan tiga tahapan dalam penentuan informan dengan teknik snowball sampling, yaitu: (a) pemilihan responden awal, informan kunci yang terkait dengan fokus penelitian; (b) pemilihan responden lanjutan untuk memperluas deskripsi informasi dan melacak informasi yang mungkin ada; dan (c) menghentikan pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi.

Validasi data

Validasi atau pengujian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi sumber dan teknik (Sugiyono 2010). Triangulasi sumber yaitu menguji data yang diperoleh dari satu sumber (untuk dibandingkan) dengan data dari sumber yang lain. Triangulasi teknik dilakukan dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan dokumentasi. Selain itu, validasi atau pengujian keabsahan data dilakukan berdasarkan pengalaman peneliti.

Analisis data

(34)

2

DINAMIKA PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

DI PROVINSI RIAU

Pendahuluan

Karakteristik hutan negara sebagai CPRs adalah sumber daya yang besar dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga tidak mudah memilah pihak yang berhak dan tidak berhak (non excludable) dan pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi manfaat bagi orang lain (substractable). Biaya penegakan hak-haknya mahal, namun kemampuan sumber daya manusia dan pembiayaan Pemerintah rendah.

Selain itu, masyarakat memiliki hak yang sama untuk memanfaatkan (non

excludable), sehingga menimbulkan persaingan dalam pemanfaatannya, akibatnya terjadi konflik. Hal-hal itu, tidak lain adalah persoalan pengurusan dan pengelolaan kepemilikan hutan negara yang menuntut kepastian hukum dan legitimasi. Di Indonesia, proses menghasilkan kepastian hukum dan legitimasi dilakukan melalui pengukuhan kawasan hutan (PP 44/2004 (pasal 15) dan Permenhut 44/2012 jo. Permenhut 62/2013).

Proses pengukuhan itu tidak mudah (Sirait et al. 2004; Contreras-Hermosilla & Fay 2006; Nugraha 2013; Safitri 2013), apalagi prosesnya dibebankan kepada PTB dengan kapasitas sumber daya yang terbatas (sumber daya manusia, waktu dan anggaran). Hal tersebut terjadi di Provinsi Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau baru dilakukan sepanjang 1.850,67 Km (22 kelompok hutan) atau ± 561.428,74 Ha (16,63%) dari luas kawasan hutan di Provinsi Riau 4.288.957,82 Ha (11.126,35 Km)9, padahal telah ditata batas 9.499,02 Km

(85,37%; 120 kelompok hutan). Pertanyaannya adalah mengapa gap antara tata batas

dengan penetapan tinggi (68,74%)?, faktor-faktor apa yang mengakibatkannya?, mengapa penetapan tidak dilakukan?. Penelitian ini akan mengkaji hal tersebut dengan mengaitkannya dengan penyebab kegagalan kebijakan (policy failure) yang dikemukakan oleh Helen Ingram & Dean Mann (1980) seperti diacu Birkland (2001). Untuk menjelaskan hal tersebut, maka penelitian ini di awali dengan penjelasan sejarah pengelolaan dan pengukuhan kawasan hutan sekaligus kinerjanya, kemudian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan; lalu memetakan masalah pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Metode Penelitian

Lokasi penelitian

Lokus untuk menggambarkan dinamika pengukuhan kawasan hutan adalah Provinsi Riau yang akan menjelaskan sejarah pengukuhan kawasan hutan mulai dari sebelum penunjukan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) hingga tahun 2013.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan strategi tipologi. Untuk menggambarkan kegagalan implementasi pengukuhan kawasan

9

(35)

hutan, hasil analisis dikaitkan dengan penyebab kegagalan kebijakan (policy failure) seperti disebutkan Helen Ingram & Dean Mann (1980) dalam Birkland (2001). Beberapa indikator yang digunakan adalah: (1) ada alternatif yang lebih baik; (2) berubahnya situasi dan permasalahan; (3) ketidaksesuaian dengan kebijakan/aturan yang terkait; (4) masalah batas kewenangan politik; (5) harapan terlalu tinggi atas suatu kebijakan dan asumsi keberhasilannya tidak terpenuhi; (6) salah mengidentifikasi masalah (sebab akibat); (7) alat/mekanisme yang dipilih tidak efektif; (8) kurangnya dukungan elit daerah dan atau pelaksana lapangan (street bureaucracy) atau disebut ―strategic delay‖ (strategi penundaan implementasi); dan (9) kurang dukungan SDM dan dana.

Hasil dan Pembahasan

Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan

Di negara berkembang (termasuk Indonesia), tata kelola kehutanan yang berkembang saat ini dipengaruhi oleh pengelolaan hutan pada masa kolonial (Winkel 2012). Penelitiannya terhadap 39 makalah tentang kebijakan kehutanan yang menggunakan konsep Foucault menyimpulkan hal itu. Pengelolaan hutan yang dilakukan sejak zaman kolonial masih dipraktikkan hingga saat ini. Akan tetapi, penatabatasan berbeda jauh pada masa kolonial dibandingkan saat ini. Pada masa kolonial dilakukan secara persuasif dan dialogis, sedangkan pasca kolonial dilakukan secara sepihak dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Kawasan hutan pada masa kolonial disebut register. Lalu pasca kolonial didasarkan pada hasil penetapan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) yang lebih dikenal dengan TGHK10.

Disebut kesepakatan, karena mengatur ruang kehutanan berdasarkan kesepakatan dengan berbagai pihak terkait di Provinsi Riau. Kesepakatan itu kemudian ditunjuk sebagai dasar pengelolaan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Nomor: 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 tentang Penunjukan Kawasan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Riau sebagai Kawasan Hutan. Praktik sejarah politik penataan ruang kekuasaan dan kepemilikan negara dengan jalan pengambilalihan kawasan hutan beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (termasuk TGHK) kerap diiringi dengan usaha sistematis yang mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumber daya alam lain berbasis tanah (dari masyarakat lokal), yang kemudian mendorong negara untuk menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut (Peluso 2006). Akibatnya, masyarakat dirugikan oleh penguasaan sentralistik negara atas hutan (Blaikie 1985) dalam Peluso (2006). Luas kawasan hutan yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan itu adalah 8.598.757 Ha dengan rincian ditunjukkan Tabel 1.

10

(36)

Tabel 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan TGHK

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Hutan suaka alam dan hutan wisata 531.852,65 6,19

Hutan lindung 228.793,82 2,66

Hutan produksi tetap 1.605.762,78 18,67

Hutan produksi terbatas 1.815.949,74 21,12

Hutan produksi yang dapat dikonversi/peruntukan lain 4.277.964,39 49,75

Hutan mangrove/bakau 138.433,62 1,61

Jumlah 8.598.757,00 100,00

Sumber: Lampiran peta SK Nomor: 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986

Tabel 1 menunjukkan bahwa wilayah Provinsi Riau terbagi habis menjadi

kawasan hutan yang didominasi oleh hutan produksi yang dapat

dikonversi/peruntukan lain (49,75%). Penunjukan itu menuai banyak masalah karena mengabaikan hak banyak pihak, khususnya masyarakat lokal. Jika menilik temuan Clement dan Amezaga (2008), pengabaian hak masyarakat lokal dapat menggagalkan kebijakan. Walau demikian, persoalan ini tidak segera didetilkan dengan identifikasi lapangan. Padahal, dua tahun sejak penunjukan itu (tahun 1988), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan instruksi11 kepada seluruh Gubernur (kecuali DKI Jakarta Raya, Jawab Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogjakarta) untuk: (1) mengkoordinasikan penyediaan tanah untuk pembangunan bagi semua sektor yang memerlukan tanah dengan berpedoman kepada TGHK yang telah disahkan oleh Menteri yang membidangi urusan kehutanan; (2) melaksanakan koordinasi sebagaimana tersebut pada butir (1), dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tanah-tanah yang termasuk dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi agar terlebih dahulu direncanakan peruntukannya dan pemanfaatannya bagi segala sektor pembangunan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat; (b) apabila pada tanah-tanah tersebut pada butir (a) ternyata tidak sesuai peruntukannya atau pemanfaatannya untuk keperluan pembangunan sektor lain, maka masih dimungkinkan adanya tukar menukar dan atau relokasi fungsi; dan (3) membentuk tim teknis tetap dalam rangka pelaksanaan butir (2).

Namun demikian, instruksi itu tidak pernah diimplementasikan, sehingga dasar hukum penunjukan kawasan hutan hingga saat ini tetap menggunakan TGHK. Proses paduserasi baru dilakukan tahun 2009, melalui usulan Gubernur12 yaitu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Hal itu ditindaklanjuti Menteri Kehutanan dengan membentuk tim terpadu untuk melakukan penelitian atas usulan perubahan kawasan hutan dengan keputusan Nomor SK.410/Menhut-VII/2009 tanggal 7 Juli 2009 tentang susunan tim terpadu dalam rangka penelitian terhadap usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam review RTRWP Riau.

Perlu dijelaskan bahwa sebelum tahun 2009, yaitu tahun 1994 Pemerintah Provinsi Riau pernah mengeluarkan RTRWP melalui Perda Nomor 10 tahun 1994, yang membagi fungsi kawasan hutan seperti ditunjukkan Tabel 2. Perda itu diacu kabupaten untuk menyusun RTRWK, namun Kemenhut tidak mengakuinya.

11 Instruksi Mendagri Nomor : 15 Tahun 1988 Tentang Pedoman Penyediaan Tanah Areal Hutan Tata Guna

Hutan Kemasyarakatan untuk Pembangunan

12 Gubernur Riau menyampaikan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan melalui surat: (1)

(37)

Perbedaan produk hukum itu memicu persoalan lapangan13. Dalam hal ini, RTRWP berdasarkan Perda tidak berkekuatan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan acuan. Perbedaan itu juga memicu pemanfaatan lahan yang tidak terkontrol, misalnya areal ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) berada dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Hampir 30% IUPHHK-HT (1.661.431 Ha) berada dalam kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK)/peruntukan lain dan areal penggunaan lain (APL) tanpa proses perubahan fungsi dan peruntukan (Dishut Provinsi Riau, 2013). Selain itu, sebagian areal hak guna usaha (HGU) baik perorangan maupun badan usaha, areal transmigrasi dan pemukiman berada dalam kawasan hutan yang belum dilepaskan. Fenomena ini juga ditemui dalam pertambangan, yaitu pemegang ijin sudah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dan pembangunan sarana umum, meskipun ijin pinjam pakai belum diterbitkan.

Tabel 2 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1994

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Kawasan Hutan 4.454.985 51.81

Arahan pengembangan kawasan hutan 2.782.491 33,41

Kawasan lindung 161.823 1,88

Kawasan lindung gambut 830.235 9,66

Cagar alam/suaka alam/suaka margasatwa 570.412 6,63

Kawasan sekitar waduk/danau 20.024 0,23

Non Kawasan Hutan 4.143.772 48,19

Arahan pengembangan kawasan industri, perkebunan, pertanian, pertambagan, transmigrasi, kawasan yang diprioritaskan dan areal penggunaan lain

4.143.772 48,19

Jumlah 8.598.757,00 100,00

Sumber: Paparan Gubernur Riau pada temu diskusi potensi konflik penggunaan lahan tanggal 29 April 2013 di Jakarta

Perubahan yang significant terlihat pada APL jika dibandingkan dengan TGHK, akibat proses pelepasan HPK menjadi perkebunan, transmigrasi dan peruntukan lainnya. Perubahan didominasi perubahan peruntukan ± 3.544.242 Ha, perubahan fungsi ± 1.079.109 Ha dan penunjukan baru ± 53.793 Ha.

Tabel 3 Luas kawasan hutan di Provinsi Riau berdasarkan rekomendasi tim terpadu

Fungsi kawasan hutan Luas (Ha) %

Hutan konservasi 625.859 6,93

Hutan lindung 217.063 2,40

Hutan produksi terbatas 892.663 9,88

Hutan produksi 2.250.889 24,91

Hutan produksi yang dapat di konversi 425.173 4,70

Areal penggunaan lain 4.505.313 49,86

Tubuh air 119.749 1,33

Jumlah 9.036.710 100,00

Sumber: Rekomendasi tim terpadu Provinsi Riau (2012)

13

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang di BPN Provinsi Riau mengungkapkan: ―persoalan lahan di Provinsi Riau lebih diakibatkan oleh perbedaan penggunaan produk hukum atas kawasan hutan, dimana kabupaten lebih memilih Perda 10 tahun 1994 dibandingkan SK Menhut Nomor:173 tahun 1986, dan kami (BPN) merujuk pada RTRWK dalam mengeluarkan sertifikat tanah karena koordinasi yang kami lakukan adalah dengan dinas kehutanan kabupaten. Masalah penggunaan produk hukum yang berbeda ini telah

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penataan tenurial dan peran para pihak dalam mewujudkan legalitas dan legitimasi kawasan hutan negara
Gambar 2. Luas kawasan hutan berdasarkan TGHK, RTRWP  dan rekomendasi tim terpadu
Tabel 5 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan pengesahan hasil tata batas di Provinsi Riau
Tabel 6 Kinerja pengukuhan kawasan hutan berdasarkan hasil penetapan kawasan hutan di Provinsi Riau
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur produktif induk ikan cupang dan jenis pakan yang paling baik untuk produksi telur dan larvanya.. pe;ijaha; dila'kukan dengan

Maskulinisasi larva ikan cupang ( Betta splendens.) menggunakan madu alami 5 ml/L melalui metode perendaman selama 24 jam memberikan pengaruh nyata terhadap

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi pati biji alpukat yang berbeda memberikan pengaruh terhadap karakteristik yaitu meningkatkan

Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa rerata gain score hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen lebih tinggi dari siswa kelas kontrol. Uji beda terhadap rerata gain score

Menurut Nana Sudjana (2016, hlm. 77) skala adalah untuk mengukur nilai, sikap, minat dan perhatian, dll yang disusun dalam bentuk pertanyaan untuk dinilai oeh responden

Monitoring dan pengendalian pelaksanaan untuk mempermudah pelaksanaan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal di Jawa Barat, dilaksanakan

Selain hasil belajar siswa, internalisasi literasi sastra dilaksanakan melalui kegiatan memahami teks buku bacaan tentang wilayah di kota Madiun, dan menanggapi teks untuk

Metode penelitian bersifat deskriftif analitik dengan pendekatan Cross Sectional, dalam penelitian ini mengetahui gambaran tentang hubungan lahan praktek dan bimbingan klinik