• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA‟

B. Ditonton dan Menonton Infotainment

B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis JPY

Perdebatan selanjutnya dalam sub bab ini saya mendudukkan infotainment dari fungsi media yang utama yaitu menyampaikan informasi. Sebagaimana pada sub bab sebelumnya, pada sub bab ini tidak lain adalah hasil dari wawancara dengan aktivis JPY perihal infotainment dengan fungsinya media penyampai

berita. Infotainment yang dalam sejarahnya berawal dari media cetak (lihat bab dua) untuk memberikan informasi kemudian beralih ke media baru; televisi.

Ajang ngrumpi yang disajikan stasiun-stasiun televisi tidak lain adalah infotainment. Ajang ngrumpi tersebut pun juga bukan sebatas gosip, tetapi

ngrumpi tersebut sudah dipakai media sebagai berita, dan layaknya berita, gosip pun menyebar ke semua audiens. Pada saat seperti ini maka gosip, melalui media, sudah tidak lagi dinilai sebagai berita jurnalisme, tetapi sebagai tontonan dan informasi. Audiens yang sudah percaya dengan infotainment akan memakainya bahwa mereka sedang menerima berita. Komentar salah Ani Himawati, aktivis JPY yang terbiasa menonton infotainment, misalnya;

Awalnya dulu, di keluarga kami selalu ada majalah. Jadi „Gadis‟, „Femina‟, segala macam. Dan itu kan selalu menampilkan hal-hal itu tho. Maksud saya model. Jadi sejak kecil, saya apal semua model. Model majalah, model kalender. Jadi saya tahu betul, o, Gladis Suwandi itu dulu gadis sampul. Karena saya punya majalahnya. Krisdayanti itu juga gadis sampul juara tiga. Karena pas dia pemilihan gadis sampul saya punya majalahnya juga sehingga tahu. Awalnya saya sangat menyukai hal-hal begitu. Saya menyukai tentang fashion. Gaya hidup. Saya menyukai tentang gaya hidup. Jadi majalah saya sangat suka. Kemudian ketika ada televisi, ternyata ada infotainment. Jadi ya saya senang. Ya kadang seperti kebodohan, tapi saya tetap terhibur. Begitu bangun tidur, saya langsung minta dicarikan infotainment. Gosip dong yang dicari. Karena saya kayak kenal dengan artis-artis itu dan mengikuti perjalanannya”.

Komentar di atas sangat jelas bagaimana Ani mulai menggeser kesenangannya dari membaca berita di media cetak ke media tontonan. Ia seakan tidak peduli suatu berita itu datang dari suatu persoalan atau apakah sesuatu itu layak menjadi berita. Ia tidak peduli bahwa infotainment tersebut fakta atau kenyataan yang dapat dicari kebenaran di belakangnya. Atau mempertanyakan kembali bagaimana pengumpulan fakta ini berlangsung dan terjadi.

Ani adalah salah seorang yang dengan tegas bagaimana ia mengonsumsi infotainment;

“Pagi itu pasti. Sambil memasak, dsb. Siang dan sore kalau tidak punya

pekerjaan. Kayak kemarin di rumah, saya juga menonton infotainment. Mbak saya yang nomer dua sampai bilang, ngapain nonton infotainment. Jadi saya itu suka menonton infotainment, tapi tidak hapal jamnya kapan saja. Kadang untung-untungan saja. Tapi saya mencari karena memang tidak hapal jam tayangnya. Mbak saya suka bilang, tidak kreatif menonton infotainment. Tapi saya bilang, lha saya pingin tahu nih. Pokoknya begitu

menonton televisi, saya akan menonton infotainment”.

Dari komentar tersebut nampak bahwa bentuk informasi dalam infotainment sudah tidak lagi penting apa yang sedang di informasikan pada audiens, tetapi bagaimana infotainment itu menghibur. Sajian-sajian yang dihadirkan dalam infotainment, sebagai bagian dari informasi publik pada kenyataannya menghilangkan arti penting dari jurnalisme. Di mana bagian-bagian penting dari jurnalisme sendiri tidak digunakan di dalamnya. Kisah Chiko dan Bella yang tiba-tiba muncul di hadapan para audiens hanya dengan informasi berita „ganti pasangan baru‟ misalnya, adalah buah bagaimana infotainment menjadi ajang sensasi. Ia bisa saja berangkat dari fakta atau realitas, namun infotainment bagian dari rekonstruksi realitas sosial tidak dapat ditinggalkan.

Catatan jurnalis di belakangnya yang berusaha menggambarkan peristiwa sesuai dengan realitas sosial, memang tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Jurnalis akan bekerja berdasarkan hasil pengumpulan fakta, tetapi kenyataan lain bagaimana infotainment disampaikan dengan cara-caranya sendiri adalah bagian di mana pada kenyataannya sendiri ia berlawanan dengan prinsip-prinsip berita. Berita bukanlah realitas sosial tetapi merupakan penanda dari realitas. Oleh karena

itu berita tentang peristiwa yang sama belum tentu disajikan dengan cara yang sama. Seandainya sebuah realitas sosial memiliki empat muka, maka yang diungkap jurnalis mungkin hanya dua muka saja (Abrar, 1995: 3). Menurut Walter

Lippman “berita bukanlah cermin kondisi sosial, tetapi laporan tentang salah satu aspek yang telah menonjolkannya sendiri” (McQuail, 1992: 190).

Definisi yang longgar seperti di atas akan semakin bisa dipahami manakala seorang jurnalis mengindahkan beberapa hal sebagai berikut: tidak memihak, kecuali memihak kebenaran; berimbang; adil, jujur dan terbuka; tidak melanggar asas praduga tak bersalah; tidak memengaruhi jalannya persidangan suatu perkara; mengutamakan ketepatan dan kecepatan; ringkas, jelas dan dapat dipercaya; bebas dan bertanggungjawab; tidak mencampuradukkan fakta dan pendapat pribadi (Wahyudi, 1996: 3).

Perdebatan mengenai apakah infotainment bagian dari dunia jurnalistik atau tidak, Veven Sp Wardhana memberikan keberimbangan dalam menilai infotainment. Ia menyatakan;

“Dalam kenyataan, infotainment tak bisa dianggap sia-sia terutama dari sisi pembelajaran untuk publik dan dunia media itu sendiri. Dari sisi cara kerja media, main gedor mobil narasumber agar narasumber tak semata bungkam atau sedikit buka suara sebatas off the record -karena tuntutan pernyataan dalam jurnalisme infotainment, sesungguhnya juga dilakukan oleh media mainstream alias arus-utama umumnya, yakni sebatas memuat pernyataan [salah satu pihak belaka] tanpa sama sekali merujuk pada kenyataan sesungguhnya.”4

4

Veven SP Wardhana, Pelajaran Jurnalistik dari Infotainment, 18 Maret 2008. bahkan menurutnya infotainment bisa menjadi semacam jurnalisme alternatif, yang tak semata berburu perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke hal-hal lain yang merupakan kepentingan publik.

Veven secara bijak menyatakan bahwa dalam situasi tertentu infotainment telah memberikan pembelajaran kepada publik dan media. Perilaku „brutal‟ para

awak infotainment juga sering dipraktikkan oleh mereka yang menganggap

dirinya para jurnalis „sejati‟.

Sisi lain bahwa infotainment yang menjadi bagaian dari ajang ngurmpi

aktivis JPY bersama kontradiksi di dalamnya membawa pada pandangan sinis;

...Orang sudah lama tidak masuk ke teve, karena ingin tenar lagi, maka dia sengaja membuat berita tentang dirinya. Tapi kalau memang ingin membuat infotainment menjadi tontonan yang baik, maka pertama adalah hostnya. Jangan membuat kata-kata yang mengarah ke fitnah-fitnah

gitulah. Pemilihan kata penting di situ. Juga penampilan host”.5

Meskipun demikian, kritik tersebut seakan berada di ruang hampa. Keanyataan lain bahwa pada satu sisi infotainment masih dapat dinikmati tidaklah dapat dibantah. Infotainment seakan berada pada ruang kedap suara yang dari luar audiens tidak dapat meneriakkan suaranya meski mereka sendiri yang harus menikmati infotainment itu sendiri.