• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AKTIVIS PEREMPUAN

A. Kritis Bukan Berarti Anti: Posisi Menonton Infotainment JPY

A.2. Penonton Ironi Infotainment

Kategori berikutnya adalah kategori penonton ironi. Kategori penonton ironi memiliki kecenderungan untuk menikmati infotainment dan mengikuti isu-isu yang ada di dalamnya, meski disatu sisi mereka tidak sepenuhnya setuju dengan yang mereka saksikan. Mereka penasaran dengan apa yang di sampaikan infotainment namun tidak sepenuhnya setuju. Mereka umumnya menikmati beberapa isi namun pada sisi lain mereka sangat tidak menyukainya.

Dalam wawancara Ipe sempat menyatakan bahwa tayangan infotainment penuh dengan hal negatif dan cenderung membicarakan hal yang tidak penting sehingga menonton infotainment sama saja menonton hal yang sia-sia, oleh karenanya ia sering merasa sakit hati bila menonton tayangan mengenai perceraian atau perselingkuhan artis atau hal yang berkaitan persoalan privat seseorang. Hal privat menurut Ipe tidak layak dikonsumsi massa. Namun dilain pihak Ipe mengatakan menikmati berita-berita infotainment yang berhubungan dengan kesuksesan dan yang merekam aktivitas sang artis setiap hari. Menurutnya berita yang menceritakan aktivitas sang artis cukup memberi nilai positif karena

memberi semangat. Seperti penjelasannya berikut ini;

Kalau itu diungkapkan oleh tokoh-tokoh atau artis yang cukup bagus, mungkin ada manfaatnya. Misalnya kayak modelnya Agnes Monica. Menurutku statement dia tentang bagaimana strategi mem-planning, kemudia n merancang aktifitasnya itu cukup menarik. Kalau lainnya, apa yang menarik ya. Aku itu lebih suka pada artis yang semangat. Seperti Agnes, Santi, yang tidak lebay. Semangat hidupnya itu menjadi inspirasi bagi banyak orang”.

Kebetulan ketika penulis sedang melakukan observasi dan nonton bareng pada Sabtu, 4 Juli 2009 pukul 10.50 WIB di kamar kos Ipe, ia sedang menonton tayangan infotainment dengan mengerjakan laporan kantornya. Pada saat itu infotainment yang kami tonton adalah tayangan SILET yang tayang di stasiun televisi RCTI Senin-Sabtu pukul 11.00 WIB. Artis yang sedang diberitakan ketika itu adalah Chiko Jeriko dan Laudya Cinthya Bella. Dalam tayangan infotainment itu, diberitakan pasangan muda tersebut saling memberikan dukungan meski mereka berbeda keyakinan dalam memeluk agama. Chiko yang sedang merayakan hari kelahirannya diberi doa oleh sang pacar Bella dari Mekkah yang baru saja menyelesaikan ibadah Umroh. Diceritakan pula Bella bersama mantan pacarnya artis Raffi Ahmad secara bersama-sama berangkat Umroh tanpa di dampingi pasangan terbaru mereka masing-masing. Meskipun begitu narasi dalam infotainment SILET tersebut mengatakan keadaan ini bukannya makin merenggangkan jalinan kasih antara Chiko dengan Bella justru yang terjadi sebaliknya, mereka sangat yakin dalam membina hubungan meski tidak dapat beribadah bersama-sama.

Kembali pada tanggapan Ipe ketika berita tentang Chiko-Bella diberitakan di SILET, Ipe menyatakan ketidaksukaannya terhadap hal yang berhubungan

dengan privasi sang artis. Kemudian ia mengatakan; ”Kan sponsor kali, makanya berangkatnya bersama. Itu kan strategi agen umrohnya itu, hehehe”.

Namun begitu penulis menanyakan kembali ”sebenarnya berita apa yang

membuat Ipe suka menonton infotainment?” Ia lalu menjawab tayangan artis dengan segala aktivitasnya. Kenyataan yang tampak adalah bahwa suatu tayangan infotainment dapat membuat Ipe bertahan lama di depan infotainment jika berita tersebut tidak membuka aib seorang artis. Hal ini tampak saat Ipe menikmati tentang Bella dan Raffi yang sedang melaksanakan umroh; di dalamnya juga diperlihatkan saat sedang umroh, bersama siapa sampai sekembalinya di tanah air dan mereka melakukan apa selepas beribadah umroh.

Ipe menolak berita-berita tertentu, tapi di sisi lain ia menikmati apa yang disampaikan infotainment. Di sinilah Ipe terlihat melakukan rekonsilisasi antara ideologi budaya massa dengan pengalaman menikmati tayangan infotainment. Secara bersamaan Ipe memadukan kedua hal yaitu membenci dengan mengatakan tidak suka hal yang privat disodorkan ke ranah publik, namun sekaligus merasa mendapatkan semangat bila menonton aktivitas sang artis di dalam tayangan infotainment. Hal ini adalah ciri apa yang disebut Ien Ang The Ironical Viewing Attitude. Seperti dalam surat no 29 dan 36 yang dikirimkan oleh para informan Ien Ang berikut ini:

My feeling are mostly very superior, such as: what a lot of idiots. And I can laugh at it. Often too I find it oversentimental. One thing in its favour: it‟s never dull” (surat 29).9

“As you may notice I watch it a lot, and (you may find this sounds a bit

9

Perasaan Saya lebih banyak sangat superior, seperti: banyak idiot. Dan Saya dapat tertawa saat itu. Sering juga Saya merasa lebih sentimental. Satu hal yang mendukung: itu tidak pernah membosankan.

big-headed) I find it amusing precisely because it‟s so ghastly (if you know what I mean)” (surat 36).10

Lebih lanjut Ien Ang juga menuliskan seseorang dapat dikategorikan menempati posisi Ironis apabila,

The ironic viewing attitude makes a reconcilitiation possible between the rules of the ideology of mass culture („I must find Dallas bad‟) and the experiencing of pleasure („I find Dallas amusing because it‟s so bad‟)”11

(408).

Sejalan yang diutarakan oleh Ien Ang di atas dalam pengakuannya Ipe juga sangat memahami bahwa infotainment adalah bagian dari bisnis televisi dengan mengandalkan sensasi yang dapat mencuri perhatian penonton. Infotainment, melalui berita sensasinya, diharapkan mampu menaikan rating dan memperlihatkan hasil akhir pada keuntungan finansial. Sehingga hal yang biasa disebut privat dan harus ditutupi ketika dibuka ke ranah publik menjadi populer dan digandrungi.

Penonton yang dapat dikategorikan ironis selanjutnya adalah Ani Himawati. Hal ini terlihat dalam statement-nya ketika mengatakan bahwa ia memahami dengan pasti bahwa yang ia nikmati dalam infotainment adalah hal remeh-temeh dan sangat privat, namun karena sangat remeh-temeh itulah ia menjadi penikmat setia tayangan tersebut. Ungkapnya;

10

Sebagaimana kamu perhatikan Saya menonton banyak, dan (kamu mungkin mendapatkan ini terdengar sedikit lebih besar) Saya mendapatkan persis karena ini begitu menakutkan (bila kamu mengesrti apa yang Saya maksud).

11

Penonton ironis membuat rekonsiliasi yang memungkinkan antara peraturan dari ideology budaya massa („Saya harus melihat Dallas buruk‟) dan pengalaman dari kesenangan („Saya melihat Dallas karena itu begitu buruk‟).

Pagi itu pasti. Sambil memasak, dan sebagainya. Siang dan sore kalau tidak punya pekerjaan. Kayak kemarin di rumah, saya juga menonton infotainment. Mbak saya yang nomer dua sampai bilang, ngapain nonton infotainment. Jadi saya itu suka menonton infotainment, tapi tidak hapal jamnya kapan saja. Kadang untung-untungan saja. Tapi saya mencari karena memang tidak hapal jam tayangnya. Mbak saya suka bilang, tidak kreatif menonton infotainment. Tapi saya bilang, lha saya pingin tahu nih. Pokoknya begitu menonton televisi, saya akan menonton infotainment”.

Kalimat yang paling dapat menegaskan posisi ironi Ani Himawati adalah ketika ia mengutarakan alasan tetap menonton infotainment meski sang kakak

mengejek dirinya, “…. Lha saya pingin tahu nih…”. Alasan ini mengisyaratkan

meski dicibir orang lain, Ani tidak perlu mengganti ke saluran lain. Ani bahkan seakan tidak peduli, bahwa infotainment, seperti dikatakan KPI12 sebagai tayangan non-faktual dan tidak memenuhi kepentingan publik. Kenikmatan menghadapi infotainment bagi Ani tidaklah berbanding lurus dengan suara-suara di sekitarnya. Bagaimanpun Ani adalah menjadi bagian dari dirinya sendiri atas pilihannya menikmati infotainment; di mana kesadaran akan makna ia sendiri yang menentukan.

Hal ini sejalan dengan yang diutarakan Ien Ang pada hal 409 ketika mengonmentari surat 24 yang dituliskan oleh salah satu informannya:

The ironic viewing attitude places the viewer in position to get the better, in a sense, of Dallas, to be above it, And this way, as a ‟serious, intelligent feminist‟, she can allow herself to experience pleasure in Dallas. She says in fact: ‟of course Dallas is mass culture and therefore bad, but precisely because I am so well aware of that I can really enjoy watching it and poke fun at it‟.13

12

Komisi Penyiaran Indonesia

13

Penonton dengan sikap yang ironis menempati penonton pada posisi untuk mendapatkan yang lebih baik, pada perasaan, tentang Dallas, untuk lebih tinggi dari itu. Dan cara seperti ini, sebagai serius, feminis yang pintar, dia dapat memperbolehkan dia sendiri untuk menikmati pengalaman yang menyenangkan di Dallas. Dia berkata pada kenyataannya: „tentu saja Dallas adalah budaya massa dan oleh karenanya buruk, tapi secara pasti karena Saya sangat paham atas apa yang Saya tonton dan bersenang-senang dengan itu.

Sejalan dengan Ani, penonton ironi berikutnya ditempati oleh Yanti, ia

berpendapat bahwa infotainment sering terlihat “keblabasan” atau dalam bahasa

Indonesia dapat diartikan melanggar aturan-aturan tertentu, seperti terlihat dalam pendapatnya berikut ini: ”Lha liputannya katanya jurnalis. Tapi pas penayangannya jadi ga memenuhi unsur jurnalis lagi”. Mempertanyakan hak infotaiment dalam mengorek berita dari sang artis juga hal yang diutarakan oleh

Yanti: ”Ngapain kayak gini yang di ungkit-ungkit. Kan sosok yang ditayangin juga punya hak. Asas praduga tak bersalahnya jadi hilang dong?”.

Namun di lain pihak Yanti juga terlihat menikmati bagaimana infotainment memberitakan selebriti yang mengeluarkan album musik terbaru mereka. Menurut penulis statement yang paling menarik dari wawancara dengan Yanti adalah berikut ini:

Kadang, ada berita yang menggelitik itu (aku) langsung melihat. Tapi kalau tidak, kadang juga hanya mendengar saja sambil membaca. Kalau beritanya sudah tidak layak, artinya sebenarnya itu bukan konsumsi publik, maka tidak lagi menontonnya. Karena kasihan juga si artis itu. Kadang, infotainment juga tidak mengandung kebenaran mutlak”.

Maksud berita yang menggelitik bagi Yanti adalah apabila ada berita artis sedang promo album atau mengeluarkan karya film membuatnya tertarik menonton infotainment. Melalui penjelasannya, Yanti kemudian memberikan

argumen bahwa infotaiment berisi hal yang sangat „ringan‟ dan persoalan yang

sebenarnya tidak jelas asal-usulnya. Pertanyaannya kemudian adalah kalau memang berita dalam infotainment berisi hal yang tidak memuat kaidah

jurnalistik, dan mengandung persolan yang tidak jelas, namun mengapa masih

saja Yanti “menikmati” berita-berita seputar artis/band yang mengeluarkan album atau film terbaru mereka.

Kenikmatan Yanti di hadapan infotainment tampak ketika saya sedang melakukan menonton bersama sebuah infotainment pada Selasa, 7 Juli 2009 di sekretariat PSB. Waktu itu jam menunjukkan pukul 11.15 WIB di mana Infotainment INSERT di Trans TV sedang tayang. Sesekali Yanti, keluar masuk ruangan karena harus bertemu dengan staf PSB di ruangan lain dan kemudian ia meneruskan menonton infotainment. INSERT pada saat itu menayangkan berita mengenai pemakaman sang Raja Pop Michael Jackson, dengan penuh perhatian Yanti terlihat menonton berita tersebut dengan seksama, menurut pengakuannya kemudian ia ternyata cukup menyukai sosok Michael Jackson tersebut. Kemudian berita beralih pada cerita artis Dinda Kanya Dewi yang baru saja mengalami kecelakaan ketika mengendarai mobil pribadinya. Berbeda dengan berita sebelumnya, mengenai Dinda Kanya Dewi ini Yanti terlihat tidak antusias dalam menonton dan mengomentari berita tersebut.

Yanti tidak menampik bahwa masyarakat/kelompok dampingannya, tempat di mana ia memberikan advokasi, sangat gemar menonton hal-hal yang mudah dicerna dari infotainment.

Itu tontonan mereka iya. Salah satu tontonan mereka. Sinetron dan infotainment itu hiburan bagi mereka. Tidak mau kan memikir yang susah, seperti berita. Kadangkala, kita bisa masuk ke mereka dengan berita itu”.

Pada saat ini lah, sesungguhnya sebuah ironi terjadi pada Yanti. Ironi di mana ia sendiri berusaha menolak infotainment untuk dikonsumsi di sisi lain ia

harus mengikutinya sebagai jalan bertemunya dua kekuatan; menolak dan menerima. Statement Yanti di atas yang mengatakan infotainment berisi hal-hal

yang tidak penting, bersifat berita “ringan” namun pada titik tertentu ia harus memanfaatkan tayangan tersebut. Karena lewat berita ”tidak penting” dan

”ringanlah” Yanti masuk dan dapat membuka pembicaraan dengan komunitas dampingannya. Yanti mengakui bahwa relasi antara dirinya dengan buruh-buruh yang sedang ia dampingi jelas tidak setara. Buruh yang secara ekonomi dan pendidikan lebih rendah dibandingkan Yanti yang lulusan SMA, terbiasa

membaca dan berpikir kritis ternyata memerlukan “jembatan” komunikasi untuk

dapat berinteraksi dengan baik. Oleh karenanya berita-berita dalam infotainment dirasa sangat membantu Yanti untuk membangun percakapan antara ia dengan komunitas dampingannya, berikut pengakuannya: “Paling hanya jadi obrolan menyambut saja. Bukan utama. Kadang membahas KDRT dengan mereka. Jadi bahan obrolan”.

Hal ini memperlihatkan meski Yanti di awal terlihat tidak suka dengan berita-berita infotainment yang berisi privasi sang artis namun pada sisi lain ia tenyata juga menunggu berita selebriti yang mengeluarkan album musik atau film. Terlebih lagi ia juga mengaku memanfaatkan berita infotainment untuk membuka obrolan dengan komunitas buruh dampingannya. Tentu saja putusan-putusan Yanti tersebut sedang menunjukkan dua sisi yang saling bertolak belakang. Di lain sisi ia merasa gerah dengan berita infotainment namun di sisi lain ia juga mengambil berita-berita yang menguntungkan baginya baik untuk hobinya menggandrungi band tertentu ataupun untuk pekerjaannya sebagai aktivis buruh

perempuan. Hal ini tentu saja bermuara pada kesimpulan bahwa Yanti juga dapat dikategorikan penonton Ironis.

Ideologi budaya massa memang yang melatar belakangi semangat infotainment, hal ini penulis dapatkan masih dari pengakuan oleh Khusnul Itami Sidik, Asisten Produser Infotainment ESPRESSO:

”Kalau kita tahu itu sensasi ya kita tayangin. Banyak lah, ketika kita tahu ini materinya, kita tahu berita ini bagi kita yang dah lama di dunia entertainment apalagi Mbak Endang ya.. ini pasti udah ke baca ma dia gitu. Ga ada spesia lisasi seperti itu. Gini aja yang dicari, enggak kita kan juga ngelihat pasar, berita ini apanya yang hot ya..udah itu yang kita kejar”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Endang Widiastuti, produser utama dari

‟Espresso‟, bahwa infotainment sangat mengandalkan sensasi di mana audiens ditempatkan. Dari segi artis sangat dipertimbangkan berita yang akan ditayangkan

ke penonton dapat „menjual‟ atau tidak, sehingga yang penting bukan lagi sekadar

nilai peristiwa atau dalam kaidah jurnalistik disebut „Apa‟ namun „Siapa‟ yang mengalami peristiwa sehingga dapat menarik diberitakan.

Kalau artisnya menarik sih boleh lah ya. Kepekaan itu pasti ada di kita lah ya. Kalau artinya, kamu tahu Naima ga? Terkenal banget ga? Enggak kan? Kayak gitu tu yang dipertimbangkan. Harusnya ada pemikiran ditayangkan apa enggak? Kalau misalnya Luna Maya, ya udah kita tayangin”.