• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PROGRAM INFOTAINMENT DAN AKTIVIS „JARINGAN

F. Latar Belakang Para Aktivis ‘JPY’

Narasumber yang saya jadikan informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang aktivis JPY. Untuk mengetahui latar belakang mereka lebih detil adalah sebagai berikut:

1. Ani Himawati

Ani Himawati dilahirkan di Gunungkidul, 18 November 1972. Nama panggilan Ani, akan tetapi teman-teman kampusnya dulu memanggil Hima. Orang

tuanya „asli‟ dari Yogyakarta, karena tuntutan pekerjaan, kemudian orang tuanya pindah dinas ke Gunungkidul.

Ani menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah Kleco 3, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama dan atas di SMP Negeri 9 dan SMA Negeri 5 Yogyakarta. Selepas SMA, Ani melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra (sekarang Ilmu Budaya) Jurusan Antropologi UGM. Pendidikan formalnya ia teruskan pada sekolah pascasarjana program S2 jurusan Cultural Anthropology and Development Sociology, Leiden University di Belanda.

Adapun pekerjaan yang menetap di kantor pernah ia lakoni selama kurang lebih sembilan tahun. Ia di kantor secara full time, sebagai peneliti sejak tahun 1998-2000. Kemudian sejak tahun 2000 hingga 2009 ia ngantor di Yayasan Pondok Rakyat; sebelum akhirnya memutuskan untuk free lance dan berjualan.

Ani memiliki minat pada isu perempuan, kultur, dan gender dalam makna yang luas, tidak sekadar perempuan dan kekerasan. Ani lama dididik di lingkungan teater, dunia pertunjukan, dimana ia mengaitkan latar belakangnya tersebut dengan isu-isu perempuan. Menurutnya perempuan tidak melulu belajar

membaca dan menulis, akan tetapi bagaimana perempuan bisa menghubungkan dengan dunia lainnya sehingga banyak cara untuk mendekatkan isu perempuan kepada masyarakat umum.

Ia memilih untuk menjadi seorang aktivis menjadi bagian hidupnya. Menurut pengakuannya, peran kakak dan juga ayahnya cukup besar. Tidak datang begitu saja, secara tiba-tiba. Ada proses yang cukup mengantarkan Ani pada pilihannya tersebut. Kakaknya, mba Ita, adalah orang yang disebutnya sebagai

mentor-nya. Adapun ayahnya telah memberikan dorongan tentang bagaimana semestinya seorang perempuan harus belajar, sekolah setinggi-tingginya, apalagi bapaknya adalah alumni pondok pesantren.

Penghasilan rata-rata setiap bulannya tidak kurang dari Rp. 2.500.000., hanya saja itu dulu ketika masih bekerja full time di kantor. Saat ini menurut pengakuannya, tidak ada penghasilan yang tetap. Saat ini agak susah kalau dihitung, kadang punya uang kadang tidak, akan tetapi ia memiliki tabungan yang bisa diambil setiap saat.

2. Enik Maslakhah

Nama Enik Maslakhah, nama panggilannya Enik. Lahir di Gresik, 10 Oktober 1971. Enik menempuh pendidikan dasar di SD Negeri di kampung serta di Madrasah Ibtidaiyah (MI; sekolah agama Islam), pendidikan dasarnya di dua tempat. “Pagi di SD Negeri Samburejo dan siangnya di MI” tutur Enik. Seusai menamatkan pendidikan dasar, kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah (MTS) setingkat SMP. Setelah itu Enik meneruskan pendidikan menengah atasnya di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum, Tambak Beras,

(sekarang UIN), pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat. Setelah itu

nganggur selama setahun, sebelum akhirnya melanjutkan sekolah pascasarjana di Jurusan Kependudukan UGM pada tahun 1996. Di sinilah studi gender ia dapatkan, satu-satunya program sekolah pascasarjana yang memuat studi gender

pada tahun itu hanya Studi Kependudukan.

Enik menikah pada Juni 1997, dan saat ini telah mempunyai satu anak laki-laki. “Karena anak yang pertama adalah laki-laki, jika dikaruniai anak kedua ia berkeinginan supaya perempuan” tuturnya, “Biasanya represi jenis kelamin kayak begitu tho. Biasanya pinginnya yang lengkap” lanjutnya.

Bagi Enik ada perbedaan yang cukup mencolok ketika masih menjadi ibu rumah tangga dan sesudah memutuskan aktif di luar rumah dan bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Semasa masih benar-benar “hanya” menjadi ibu

rumah tangga, ia merasa banyak waktu untuk dirinya sendiri. Setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah, ia bisa membaca novel, buku-buku ilmiah atau ketika diajak teman untuk berdiskusi. Setelah beraktifitas di luar, menurut Enik mau menghabiskan satu buku saja susahnya minta ampun.

Setelah beberapa lama fakum karena ia memilih menjadi ibu rumah tangga, saat ini Enik sedang mendalami isu kekerasan terhadap perempuan. Sejak Februari 2007 ia bergabung dengan “Mitra Wacana WRC (Women Resource Center)” sebuah lembaga yang memfokuskan pada isu-isu perempuan. Enik

memilih “Mitra Wacana” sebagai tempat beraktifitasnya karena ada teman yang

awal. Selain juga menurutnya “Mitra Wacana” memiliki visi misi di gerakan

perempuan yang jelas.

Saat ini ia memiliki penghasilan keuangan sendiri, yang menurut pengakuannya di atas Rp. 2.000.0000., di rumah tangganya pun tidak ada pembagian peran siapa yang harus mengatur pengeluaran keuangan. Pengelolaannya secara bebas, siapa saja boleh membelanjakan. Dia bebas mengambil hasil dari suami, akan tetapi suami tidak pernah mengambil milik

Enik. Ia mengatakan seperti ini: “Aku itu bebas mengambil milik dia. Dan dia malah tidak pernah mengambil milikku.”

3. Hanifah

Hanifah dilahirkan di Lamongan, tanggal 18 Desember 1979. Ia memiliki nama panggilan Ipe. Ia anak pertama dari enam bersaudara; tiga adiknya adalah perempuan dan dua lagi laki-laki. Jadi dalam keluarganya ada empat anak perempuan. Ipe lahir dari keluarga nelayan di pesisir pantai utara di Lamongan, Jawa Timur. Ia tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1995, karena alasan sekolah formal pada pendidikan menengah atasnya. Selain karena sekolah, Ia memilih di Yogyakarta, adalah supaya bisa keluar dari rumah. Berdasarkan pengakuannya, ia tidak mengerti banyak informasi mengenai sekolah di Yogyakarta, hanya saja biar tidak segera dinikahkan maka harus keluar dari kota kelahirannya, Lamongan.

Ipe menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Weru I Lamongan serta di Madrasah Ibtidaiyah al-Huda. Kemudian pendidikan menengah pertama dan atas di MTs al-Huda serta MA Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Setelah itu ia meneruskan pendidikan sarjananya di UIN Sunan Kalijaga pada Fakultas

saat itu belum menikah. Akan tetapi pada bulan Desember 2009 yang lalu ia telah melangsungkan perkawinan dengan pemuda yang tidak jauh dari kampungnya di Lamongan.

Ipe menyelesaikan sarjananya pada tahun 2005, dengan penelitian tentang isu perempuan. Kemudian ia beraktifitas di Solidaritas Perempuan (SP) selama kurang lebih setahun sejak 2006-2007. kegiatan di SP awalnya mengikuti program pengawalan terhadap bantuan gempa di daerah Bantul yang disalurkan kepada warga di sana, khususnya kaum ibu. Setelah itu ia masuk pada bidang pengorganisasian, yang konsentrasinya pada buruh migran. Sejak tahun 2007 ia bergabung dengan Yayasan LKIS, dengan fokus program diseminasi HAP (Hak Asasi Perempuan) di pesantren. Ia menggali isu perempuan dan pemahaman agama Islam. Di sana ia memiliki hari libur selama dua hari; Sabtu dan Minggu, meskipun dalam beberapa kesempatan justru hari tersebut digunakan untuk mengorganisir komunitas pesantren maupun majelis taklim yang ia dampingi. Setiap bulan Ipe mengaku berpenghasilan tidak lebih dari Rp. 1.000.000,-.

4. Sri Hariyanti

Sri Haryanti lahir di Semarang, 6 September 1976. Panggilan sehari-hari oleh teman-temannya di Yogyakarta adalah Yanti. Akan tetapi nama panggilan di rumah adalah Endang. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Yanti menempuh pendidikan SD-SMA di Semarang. Pendidikan dasarnya di SD Negeri Tugu 3 (sekarang SD Tambakan 1). Kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 16 dan SMA Negeri 8 Semarang. Setelah itu ia lebih banyak menimba ilmu non-formal, baik dari pelatihan, diskusi maupun seminar ilmiah lainnya.

Saat ini Yanti bergabung di Perhimpunan Solidaritas Buruh (PSB). Sebuah lembaga yang aktif dalam pengorganisasian rakyat; terutama buruh, baik di bidang formal maupun informal. Serta mendampingi beberapa komunitas; seperti para pekerja sektor informal di daerah Parangkusumo Bantul. Selain itu ia juga terlibat pada isu kebencanaan. Beberapa pendampingan yang dilakukan olehnya di PSB misalnya adalah pada buruh di bidang manufaktur.

Yanti menjelaskan bahwa PSB didirikan pada tahun 1996, ia sendiri masuk sebagai anggota aktif sejak tahun 2002. Akan tetapi sebelum bergabung secara penuh dengan PSB, sejak tahun 1997 ia sudah berada di gerakan buruh. Selepas SMA ia tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, saat itu ia

langsung bekerja di perusaan ‟Sanyo‟ di Semarang.

Saat ini aktifitasnya membutuhkan waktu yang banyak untuk menggerakkan roda organisasi. Oleh karena itu ada biaya hidup yang diberikan oleh organisasi kepadanya. Aturan itu sudah ada di AD/ART bahwa yang bekerja di sekretariat berhak mendapatkan tunjangan hidup, karena dia meninggalkan pekerjaan. Ia mengaku rata-rata biaya hidupnya di atas satu juta rupiah (Rp. 1.000.000).

5. Siti Habibah Jazila

Siti Habibah Jazila, demikian orang tuanya memberikan nama kepada aktivis perempuan ini. Habibah dilahirkan di Ponorogo, 28 tahun silam atau tepatnya pada tanggal 26 April 1981. Ia biasa di panggil atau mengenalkan dirinya dengan nama Bibah.

Sedangkan pendidikan menengah pertama dan atasnya di tempuh di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyahnya di al-Islam di Joresan, Mlarak, Ponorogo. Hanya saja pada saat yang bersamaan ia juga nyantri di pondok pesantren salaf khusus puteri as-Salamah, yang beralamatkan di dusun Jalen, Ngrukem, Mlarak, Ponorogo. Kemudian pendidikan sarjananya di Jurusan Syariah STAIN Ponorogo. Pada tahun 2005 ia diterima di Program S2 Interdiciplinary Islamic Studies (IIS) Jurusan Social Work di UIN Sunan Kalijaga yang merupakan program kerjasama dengan McGill Kanada. Ia sempat juga mengikuti kursus isu HAM di Montreal Kanada pada pertengahan tahun 2009 selama tiga minggu. Juga diperdalam lagi dengan mengikuti summer school tentang HAM bertaraf internasional yang dilangsungkan di PSKK (Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan) UGM.

Awal mula tertarik isu perempuan, sudah Bibah mulai sejak nyantri di pesantren. Hal itu ia rasakan ada yang janggal, begitu diarahkan kepada perempuan. Dalam masalah seks saja misalnya, perempuan selalu inferior. Hanya saja waktu itu ia baru bertanya-tanya pada diri sendiri, ”masa sih begitu?” ungkap

Bibah. Ia mengakui belum sampai ”terganggu”, baru pada taraf mempertanyakan.

Ia mendapati dalam banyak teks agama di banyak kitab kuning ternyata pembahasan antara laki-laki dengan perempuan selalu timpang. Hal ini pula yang mendorong ia memilih jurusan syariah (hukum Islam), dalam rangka menjawab

pertanyaan dirinya ”apakah benar Islam memandang laki-laki dan perempuan

seperti itu?” Ia heran mengapa teks agama justru membelenggu kaumnya. Hingga

banyak kondisi yang jauh dari ideal. Ketidaksetaraan banyak ia jumpai, baik di masyarakat maupun di lingkungan ia dibesarkan, pesantren.

Sejak tinggal di Yogyakarta pada tahun 2005, selain disibukkan dengan sekolah program S2 ia melakukan aktifitas sosial seperti di CORE (Community for Research and Empowerment). Pada tahun 2008 hingga 2009 ia bergabung di IHAP (Institut Hak Asasi Perempuan); sebuah lembaga yang peduli pada isu hak seksual reproduksi perempuan. Kemudian sejak Agustus 2009 lantas bergabung dengan Yayasan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), dengan menempati Divisi Islam dan Gender. Di LKiS aktifitasnya agak bergeser pada penguatan hak-hak perempuan kaitannya dengan Islam. Isu tetap sama, perempuan, akan tetapi penekanannya lebih ke hak-hak perempuan dengan Islam. Tentu saja dengan komunitas yang berbeda. Ketika di IHAP ia bergelut dengan ibu-ibu komunitas di Kalirejo, Kokap, Kulonprogo dan Srihardono, Pundong, Bantul, sedangkan saat ini komunitasnya di beberapa pesantren di Magelang, Solo, Gunungkidul dan

Kulonprogo bersama ibu majelis ta‟lim dan santri serta para ustadzah (guru

perempuan). Adapun penghasilannya di lembaga yang saat ini dinaunginya, berdasarkan pengakuannya ketika wawancara ini saya lakukan, kisarannya masih di bawah satu juta.

6. Yemmestri Enita

Yemmestri Enita dilahirkan pada tanggal 15 Januari 1982, di Sijunjung Padang, Sumatera Barat. Nama panggilan Nita. Ia punya satu kakak laki-laki dan satu adik perempuan, tiga bersaudara. Pekerjaan orang tuanya adalah petani, awalnya ayahnya seorang guru PNS, akan tetapi kemudian memutuskan menjadi

Nita menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri, sekarang namanya SD Negeri 31, Beranting, Sijunjung. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di Madrasah Tsanawiyah Negeri Sijunjung dan pendidikan menengah atasnya di Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri di Padang Panjang. Selepas itu ia meneruskan pendidikan sarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Ushuluddin Program Studi Agama dan Masyarakat (saat ini Sosiologi Agama). Nita tinggal di Yogyakarta sejak tahun 2000, bertepatan dengan statusnya sebagai mahasiswa di kota pelajar. Sejak itu ia menetap dan beraktifitas di Yogyakarta, meskipun wilayah kerjanya dan kegiatannya tidak sedikit yang berada di luar Yogyakarta. Awalnya berkeinginan melanjutkan kuliah di program pascasarjana. Akan tetapi kemudian kenal dengan dunia Lembaga Swadaya Masyarakat dan berlanjut hingga bekerja di organisasi non-pemerintah tersebut hingga saat ini.

Nita saat ini beraktifitas dan bekerja di Institute for Development and Economic Analysis (IDEA). Sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang advokasi kebijakan dan anggaran. Ia sendiri saat ini menjadi staf di divisi gender budget. Dalam divisi gender budget sendiri, menurutnya ada beberapa bidang. Pertama adalah bidang riset, kedua bidang training dan yang ketiga adalah bidang pendampingan. Nita menceritakan selama tiga tahun ia dan kawan-kawan di divisinya bergerak di akar rumput (grass root). Mengerjakan project dengan merekrut teman-teman sebagai penggerak komunitas (Community Organizer). Untuk kelompok sasarannya sendiri adalah perempuan. Ia dan kawan-kawanya mendorong masyarakat untuk dapat mengakses tentang anggaran keperempuanan. Selain juga belajar bersama komunitas tentang analisis anggaran, prinsipnya

adalah untuk mendorong anggaran yang responsif terhadap perempuan sehingga adil gender.

Berdasarkan pengakuannya, awalnya Nita tidak terlalu tertarik pada isu perempuan. Hal itu mulai berubah, ketika sejak tahun 2003 pada saat hendak mulai mengerjakan skripsi yang temanya tentang perempuan, meskipun belum sepenuhnya. Ketertarikan pada isu perempuan ini makin matang setelah ia bergabung dengan IDEA pada tahun 2006; yakni pada isu perempuan dan anggaran. Menurut pendapatnya muara segala persoalan di masyarakat apabila dirunut muaranya adalah ke anggaran. Adanya anggaran yang bias gender itulah ketidakadilan makin dirasakan oleh perempuan. Saat ini penghasilannya berkisar di angka 1,8 hingga 2 juta rupiah per-bulan.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari para aktivis JPY, terlihat gap yang cukup mencolok antara dunia aktivisme dengan penghasilan ekonomi yang dijadikan penopang hidup. Upah para aktivis JPY dan pengeluaran bulanan dari keenam informan ini berimbang, antara yang disebut golongan ekonomi atas dan bawah. Kategori ini berlaku jika acuannya adalah pengeluaran bulanan di bawah Rp. 1.750.000. Artinya perilaku menonton infotainment para aktivis JPY akan terlihat pada bab selanjutnya. Bagaimana pola menonton infotainment di kalangan aktivis JPY.