• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infotainment dan imajinasi audiens : studi tentang resepsi audiens terhadap tayangan infotaiment di kalangan aktivis jaringan perempuan Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Infotainment dan imajinasi audiens : studi tentang resepsi audiens terhadap tayangan infotaiment di kalangan aktivis jaringan perempuan Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AUDIENS:

Studi Tentang Resepsi Audiens Terhadap Tayangan Infotainment

Di Kalangan Aktivis ‘Jaringan Perempuan Yogyakarta‟”

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Oleh: Subkhi Ridho NIM: 066322012

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PERSEMBAHAN

karya ini kupersembahkan buat almamaterku tercinta

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(7)

MOTTO

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan

saling nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan menetapi

kesabaran.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Awal ketertarikan saya pada studi televisi, lebih khusus program di televisi adalah setelah mengikuti kuliah Teknologi Informasi dan Perubahan Budaya. Sebuah studi yang bagi saya „awam‟, apalagi dengan latar belakang saya dari kampus berlabel agama (UIN). Setelah berbaur dengan sesama mahasiswa dan juga dibimbing para dosen IRB yang familiar dan bersahabat, akhirnya menentukan studi televisi ini.

Ketertarikan saya ini tidak terlepas aktivitas saya dengan para aktivis perempuan di Yogyakarta. Diawali dengan „rame‟nya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) pada tahun 2006, yang sempat terhenti gempa bumi yang melanda Jogja, kemudian berlanjut lagi RUU Pornografi hingga akhirnya disyahkan –menjadi UU P-- pada akhir Desember 2008. Yang diselingi kasus pernikahan di bawah umur antara Ulfa dengan Pujiono, sang juragan kaligrafi kuningan dari Jambu, Semarang, Jateng. Bersama para aktivis perempuan itulah saya melakukan advokasi, kampanye publik dan kegiatan lainnya, Saya menjadi sedikit tahu hoby mereka diluar aktivitas pengorganisasian masyarakat, diskusi, workshop, yakni nonton televisi, lebih khusus nonton infotainment.

Program infotainment menjadi „pilihan‟ di kalangan para aktivis perempuan. Oleh karena itu saya kemudian tertarik untuk mengkaji lebih lanjut, apa yang membuat mereka tertarik terhadap tayangan yang dianggap „sampah‟, „ecek-ecek‟, dan tuduhan negatif lainnya. Yang menarik bagi saya adalah karena penoton infotainmentnya adalah aktivis perempuan.

(9)

Kepada ibu, bapakku di kampung Banjarnegara, yang selallu bertanya: “kapan rampung sekolahe?” Juga kakak-kakakku; mba Nunung, mas Kamal, dan mba Uut yang tinggal dekat dengan ortu, juga kepada mas Zuly dan mba Nana yang selalu „memarahi‟ untuk menyelesaikan studi yang tidak rampung -rampung, dan mensupport tanpa kenal lelah di tanah rantauan. “Terima kasih atas

nasehat dan dorongannya selama ini, tanpa „dimarahi‟ barangkali akan tidak terurus”.

Ucapan terima kasih kepada pembimbing saya Dr. Budiawan yang dengan sabar, sangat teliti dan rinci mengomentari draft demi draft sehingga menginspirasikan ide-ide baru ketika saya merasa sudah “mentok”, meskipun akhirnya harus berhenti di tengah jalan karena tidak beraktifitas di IRB lagi, “sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh Bapak”. Terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Dr. Katrin Bandel juga kepada Dr. St. Sunardi yang bersedia menjadi pembimbing penerus, meskipun dalam waktu yang sangat mepet, kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk. Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan mba Katrin dan pak Nardi, dan itu karena keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian mba Katrin membuat studi ini rampung meski dalam waktu yang dikejar-kejar deadline. Atas bantuan mereka berdualah studi ini selesai, semoga Tuhan membalas jasa mereka dengan sebaik-baiknya, amin.

Kepada para dosen IRB, Romo Banar, Romo Baskara, Romo Hary, Pak George, Pak Ishadi, Pak Robert, dan Romo Haryatmoko, saya mengucapkan banyak terimakasih karena suasana akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan suasana itu. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky yang selalu mengingatkan deadline urusan administrasi dan lainnya, Lia di perpustakaan, dan Mas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat saya sangat terbantu.

(10)

dengan main futsal bersama maka permasalahan menjadi terasa lebih ringan. Juga kawan-kawan seangkatan mba Budhis, Dona, Wisnu, Olfi, Dewa, Romo Ronny, Elida, Retno, Risma, Welly, Eksis terima kasih atas pertemanan dan persahabatan selama kuliah, semoga akan tetap abadi.

Dengan segenap cinta, terima kasih kepada istriku tersayang Firly Annisa yang setia menemani penyelesaian studi ini dengan sabar, janjiku udah molor lama untuk merampungkan, akhirnya selesai juga berkat kesabaranmu. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya, sebuah bahtera rumah tangga yang masih seumur jagung ini semoga dapat kita lalui hingga waktu yang tak terhingga. Kepada kakak-kakak iparku, mas Sulam, mba Uus mereka semua di Banjarnegara, mba Dyna & mas Zam-zam, mba Lia & mas Imam yang bersama-sama di Jogja terima kasih atas penerimaan dan pengertiannya selama ini. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria, Nahar, Silmi, Mawar, Lana, Aghna, Mia, dan Arash. Di atas segalanya, syukur kepada Allah swt., yang membuat semuanya dapat saya lakukan.

(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini membahas respon aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ terhadap tayangan infotainment. Program infotainment di televisi-televisi swasta nasional oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tayangan yang tidak mendidik, sampah, tidak kreatif, hanya sensasi belaka, semata-mata mengejar keuntungan finansial bagi para pemilik modal, meracuni otak, mengingkari fungsi informasi serta cap negatif lainnya dan dilekatkan kepada masyarakat „rendahan‟ yang tidak mampu secara ekonomi.

Ternyata di kalangan aktivis perempuan, tayangan infotainment mendapat respon beragam. Untuk menjawab persoalan, maka dilakukan menonton bersama di kos, atau tempat tinggal mereka dan melakukan wawancara mendalam. Dalam hal ini metode etnografi menjadi model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap permasalahan yang ada.

(12)

ABSTRACT

This study discusses the response of activists 'Women's Network of Yogyakarta' towards infotainment. Infotainment program on television, national television by some considered as impressions that do not educate, garbage, not creative, just a mere sensations, mere pursuit of financial gain for the owners of capital, poisoning the brain, to deny the function of information as well as other negative stamp and attached to the community 'lowly' who can not afford economically.

It turned out that among women activists, infotainment show got a response varied. To answer the question, then do watch together in the dorm, or where they live and perform in-depth interviews. In this case ethnographic methods into the model used in this study to reveal the existing problems.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...i

Halaman Persetujuan Pembimbing...ii

Halaman Pengesahan Karya...iii

Halaman Pernyataan Keaslian Karya...iv

Halaman Persembahan...v

Halaman Motto...vi

Kata Pengantar...vii

Abstraksi...x

Abstract...xi

Daftar Isi...xiii

BAB I: PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang masalah...1

B. Rumusan Masalah...9

C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya...10

D. Kerangka Teori...11

E. Tinjauan Pustaka...15

F. Metode Penelitian...18

G. Sistematika Penulisan...22

BAB II: PROGRAM INFOTAINMENT DAN AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA...24

A. Industri Televisi: Dari Monopoli ke Liberasi...26

B. Program Siaran Sebagai Bisnis ...30

C. Infotainment Sebagai Hiburan ...33

C. 1. Sebuah Tinjauan Historis...33

C. 2. Materi Infotainment...35

C. 3. Produksi Infotainment...37

(14)

D. Perempuan, Infotainment dan Kelas Sosial...43

E. Jaringan Perempuan Yogyakarta...46

F. Latar Belakang Para Aktivis ‘JPY’...48

1. Ani Himawati...48

2. Enik Maslahah...49

3. Hanifah...51

4. Sri Hariyanti...52

5. Siti Habibah Jazila...53

6. Yemmestri Enita...55

G. Catatan Penutup...57

BAB III: AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA‟ MENONTON INFOTAINMENT DAN WACANA PUBLIK...59

A. Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama Aktivis JPY...60

A.1. Infotainment: Sarana Menghibur Diri...60

A.2. Infotainment: Keintiman Dalam Jarak...64

A.3. Infotainment dan Objek Percakapan...67

B. Ditonton dan Menonton Infotainment...70

B.1. Cerita Infotainment, Ruang Publik dan Aktivitas Sehari-hari Bagi Aktivis JPY...70

B.2. Fatwa Haram Infotainment dan Respon Aktivis ‘JPY’...75

B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis JPY..80

C. JPY, Infotainment dan Ideologi Budaya Massa...84

D. Catatan Penutup...87

BAB IV: INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AKTIVIS PEREMPUAN “JPY”......90

A. Kritis Bukan Berarti Anti: Posisi Menonton Infotainment JPY………….91

(15)

A.2. Penonton Ironi Infotainment...102

A.3. Pencinta Infotainment………..110

B. Penonton ”Tak Berpeta”...117

C. Catatan Penutup………..……….118

Bab VI: KESIMPULAN………....120

A. Praktik Menonton Infotainment………...121

B. Resepsi Aktivis Perempuan ‘JPY………...122

C. Refleksi dan Pemikiran Kritis………...125

D. Catatan Penutup ………...126

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang masalah

“Tidak ada berita yang tak bisa kami kabari karena kami adalah

Kabar-Kabari”. Kata-kata ini muncul setiap hari Senin dan Kamis pada jam 15.00-15.30 WIB di sebuah stasiun televisi swasta. Kalimat yang singkat, tidak terlalu

mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar bertujuan untuk

mengundang orang menontonnya. Bagi stasiun televisi, sebuah program acara

memang harus dirancang semenarik mungkin dan ditata sedemikian rupa sehingga

mampu menyedot animo penonton untuk terus menyaksikan tayangan tersebut.

Semakin banyak penonton akan semakin mendatangkan banyak iklan dalam acara

tersebut, sehingga keuntungan stasiun televisi itu pun kian bertambah.

Acara seperti “Kabar-Kabari”, “Cek & Ricek”, “KISS (Kisah Seputar Selebritis)”, “Was-Was”, “Silet”, “Halo Selebriti”, “Hot Shot” serta “Insert”, untuk menyebut beberapa, yang ditayangkan setiap harinya oleh masing-masing

stasiun televisi swasta nasional --minus Metro TV-- merupakan menu yang

banyak mengundang penonton untuk terus menyaksikannya. Dari pantauan

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, pada tahun 2002 tercatat frekuensi

tayangan infotainment sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per

hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Pada tahun 2003,

jumlah tersebut melonjak empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau

14 episode per hari. Tahun 2004, frekuensi makin bertambah menjadi 151 episode

(17)

melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu; didapati 26 episode per hari.1

Dalam satu hari atau 1 x 24 jam layar televisi kita (sanggup) menyajikan program

infotainment selama 13 jam. Selama kurun waktu 2002 hingga 2005, tampak

sekali betapa jumlah program infotainment di televisi swasta nasional selalu

meningkat. Bahkan berdasarkan penelitian Agus Maladi Irianto,2 selama kurun

waktu dari Januari-Agustus 2007, dalam sehari rata-rata tayangan infotainment

mencapai 15 jam atau dalam satu minggu terdapat 210 episode. Ada banyak

ragam, format, dan nama infotainment. Dalam masa-masa awal kemunculannya

(tahun 1996), pemirsa televisi di Indonesia pernah disodori 20 judul program

infotainment di 10 stasiun televisi swasta. Saat ini (sampai bulan Maret 2009)

dalam sehari didapati 33 judul program tayangan infotainment, yang

masing-masing ditayangkan dalam durasi waktu tidak kurang dari 30 menit oleh tiap-tiap

televisi swasta.

Pemeringkatan (rating) acara infotainment rata-rata tidaklah tinggi,

dibanding acara lainnya; olahraga, film drama, reality show3. Pemeringkatan

menjadi tolok ukur tunggal untuk menakar „keberhasilan‟ sebuah program.4 Keberhasilan menggaet iklan, karena telah memiliki pasar tersendiri.

Resume disertasi Agus Maladi Irianto, Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment, tidak dipublikasikan (Jakarta: UI, 2008).

3

Rating program infotainment pada tahun 2007-2009 di level nasional maupun Yogyakarta selalu jauh di bawah program-program olahraga, film drama, reality show. Bahkan posisinya diluar sepuluh besar. Sumber: AGB Nielsen Media Research.

4

(18)

Acara-acara seperti disebut di atas diberi nama infotainment.5 Bagi

mayoritas penonton televisi, istilah infotainment sudah tidak asing lagi. Sebutan

infotainment mengindikasikan format dan kemasan tayangan program televisi

dalam menyajikan informasi. Ciri paling menonjol, infotainment menyajikan

informasi tetapi dikemas dalam bentuk hiburan. Selain itu, informasi yang

ditampilkan adalah informasi ringan seputar para pesohor (selebritas). Format

infotainment dimaksudkan agar informasi yang cenderung kaku dan formal diolah

menjadi lebih cair.

Isi acara infotainment antara lain seputar kehidupan rumah tangga

selebriti, yakni perkawinan dan sekaligus kawin cerai, kelahiran anak, pemberian

nama, fashion trend, cara berpakaian, penampilan, gaya rambut, sampai

melakukan ibadah keagamaan seperti haji, umroh, natal, kegiatan sosial seperti

menyantuni anak yatim, anak jalanan dan lain sebagainya. Jadi hampir segala

aktivitas yang dilakukan oleh selebriti adalah menu wajib bagi infotainment.

Aktivitas artis yang ditampilkan dalam infotainment mulai dari kegiatan yang

barangkali tidak bermanfaat sampai yang benar-benar bermanfaat bagi khalayak,

seperti misal kegiatan musik penggalangan amal untuk para korban bencana;

banjir, gempa bumi, tanah longsor.

5Kata “infotainment” merupakan kata bentukan yang berasal dari kata “information” dan

“entertainment”, yakni sebuah informasi yang sekaligus menghibur. Konsep infotainment pada awalnya berasal dari John hopkins University (JHU) Baltimore –universitas yang terkenal; dengan berbagai riset kedokterannya dan memiliki jaringan nirlaba internasional yang bergerak dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dengan kesehatan- Amerika Serikat.

(19)

Melalui tayangan infotainment para penggemar akan mengetahui

seluk-beluk kehidupan artis favoritnya. Mulai dari hobi, life style, penampilan, aktivitas

keagamaan, sosial, politik dan ekonomi dari seorang artis dikupas bahkan cara

mengupasnya bisa dikatakan vulgar. Di sini masyarakat bisa melihat dengan jelas

bagaimana lika-liku kehidupan selebriti tersebut. Apakah penonton akan meniru

gaya sang selebriti tersebut atau sekadar ingin tahu saja, itu semua dikembalikan

kepada masyarakat. Pilihan penonton ini terlepas dari apakah hal itu merupakan

sesuatu yang baik atau sesuatu yang dianggap sebagai sebuah ketidakpantasan.

Penelitian ini akan melihat bagaimana resepsi audiens terhadap tayangan

infotainment. Infotainment hampir selalu dialamatkan kepada perempuan.

Perempuan dianggap hanya beraktifitas di rumah tangga, sehingga menonton

infotainment dilekatkan kepada mereka. Aktivitas perempuan dalam budaya

masyarakat patriarkis dikonstruksikan untuk semata-mata di ruang domestik,

sehingga peran perempuan di ruang publik semakin terpinggirkan. Resepsi

audiens perempuan terhadap tayangan infotainment menarik dikaji untuk melihat

apa makna yang ada dibalik kegiatan menonton tayangan tersebut. Menonton

tayangan yang durasinya rata-rata berkisar 30 menit, dan berisi pelbagai

pemberitaan kehidupan dari para selebriti. Dalam penelitian ini audiensnya adalah

perempuan aktivis yang tergabung dalam „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ (JPY). Oleh karena itu penelitian ini akan membahas resepsi para aktivis

(20)

Sekalipun pernah keluar fatwa haram bagi infotainment6 pada tanggal 3

Juli 2006 dan diperkuat pada Desember 2009 dari Pengurus Besar Nahdhatul

Ulama (NU) dan didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tayangan

infotainment tetap berlangsung. Atau justru barangkali karena keputusan yang

kontroversial tersebut, infotainment ini makin memantapkan eksistensinya. Fatwa

haram dari para “pemegang” otoritas agama ini mengasumsikan bahwa audiens pasif. Audiens dianggap tidak memiliki pengetahuan untuk memilah sebuah

program acara di televisi, sehingga peran lembaga keagamaan terlampau masuk

pada ranah privat audiens. Asumsi dasar semacam ini layak dipertanyakan, karena

sesungguhnya audiens tidak sepenuhnya pasif.

Studi ini secara khusus akan membatasi audiens di kalangan perempuan;

lebih khusus lagi para aktivis perempuan yang tergabung dalam “Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)”. Mereka semua adalah aktivis yang sering beraktivitas bersama saya dalam isu kesetaraan jender khususnya. Karena saya

sudah berteman dengan mereka maka saya sering berkunjung ke tempat tinggal

ataupun ke rumah kos mereka. Pertemanan inilah yang membuat saya mengenal

mereka dengan baik. Dari situlah saya mengetahui jika mereka ternyata menyukai

tayangan infotainment.

6

Menurut Ketua PBNU Said Agiel Siradj pada stasiun televisi SCTV mengatakan fatwa infotainment haram merupakan salah satu dari sembilan fatwa yang dikeluarkan PBNU. Khusus soal infotainment Said mengatakan tayangan ini sudah layak diharamkan karena selalu membicarakan persoalan pribadi seseorang. Karena itu tayangan ini tidak mendidik dan banyak

mendatangkan keburukan. Baca di http:

(21)

Aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh,

petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan

suatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.7 Di sini yang dimaksud aktivis

adalah orang yang sekurang-kurangnya memerjuangkan perubahan sesuatu kearah

yang lebih baik, yakni: memerjuangkan perbaikan kondisi masyarakat (realitas

sosial) dimana dia hidup, memerjuangkan perubahan yang lebih baik bagi orang

lain dan perjuangan untuk dirinya sendiri. Perubahan yang ingin diwujudkan

misalnya, dari kondisi masyarakat patriarkis menuju masyarakat yang adil jender,

egaliter dan tidak ada dominasi. Bagi sebagian kalangan, aktivis adalah orang

yang dianggap menjadi agen perubahan sosial. Perubahan sosial ini akan berhasil

jika dipegang oleh orang-orang yang mandiri (independent society), yang lepas

dari ketergantungan terhadap negara.8

Oleh karena itu, aktivis merupakan kelompok masyarakat kritis dan

strategis yang mampu menggunakan pelbagai media sebagai bagian kampanye

publik kepada masyarakat. Disamping itu maka pemilihan informan dalam

penelitian ini kepada aktivis perempuan khususnya, didasarkan pada stereotype

bahwa tayangan infotainment selalu dialamatkan kepada perempuan. Menurut

Vissia Ita Yulianto, infotainment merupakan tayangan televisi yang berupaya

7

Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi lux (Semarang: CV. Widya Karya, 2005), hlm. 25.

8

M. Ryaas Rasyid, pengantar dalam buku karya Adi Suryadi Cula, Rekonstruksi Civil Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES dan YLBHI, 2006), hlm. xxiii. Baca juga Iwan Gardono Sujatmiko, pengantar dalam buku karya Darmawan Triwibowo (ed.),

(22)

mendomestikasikan kembali perempuan Indonesia.9 Argumen ini bisa jadi benar,

akan tetapi hal ini lebih didasarkan pada penilaian atas tayangan infotainment

tertentu yang muncul. Padahal dalam beberapa pemberitaan, tayangan

infotainment justru mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebriti adalah

juga “figur publik” bagi para penggemarnya.10

Dalam beberapa kesempatan agaknya infotainment bisa dijadikan acuan

saat membongkar perkawinan diam-diam seorang suami dengan perempuan lain.

Kasus perkawinan pengacara Farhat Abbas dengan Ani Muryadi dan perkawinan

Bambang Trihatmodjo dengan penyanyi Mayangsari, misalnya, adalah dua contoh

konkret. Investigasi infotainment atas penyangkalan Farhat, suami penyanyi Nia

Daniaty, dan pengakuan Ani atas perkawinan mereka bisa dijadikan pembelajaran

bagi investigasi umumnya media, yang ternyata gagap dalam melakukan

investigasi justru di saat arus informasi sedemikian terkuak. Pernyataan Farhat

dan Ani terbantah oleh kenyataan berupa foto perkawinan mereka yang ditemukan

jurnalis infotainment.

Selain itu yang bisa diharapkan dari infotainment adalah tidak semata-mata

berburu berita perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke lain-lain persoalan

yang merupakan public interest. Sebagaimana ternyata publik menjadi paham

adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, justru setelah ada

9 Lihat Vissia Ita Yulianto, “

Consuming Gossip A Re-domestication of Indonesian

Women” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, Editor: Ariel Heryanto. Routledge Media, 2008. hlm. 141-142.

(23)

artis yang menggugat cerai suaminya akibat diperlakukan dengan kasar. Hal ini

terjadi pada Five Fi, misalnya, yang menggugat cerai suaminya akibat mendapat

perilaku kekerasan dari suaminya. Hal-hal seperti ini agaknya bisa mengubah

anggapan umum yang sudah terlanjur menganggap infotainment sebagai tayangan

yang kurang bermanfaat. Bagaimana respon para aktivis JPY perihal tersebut?

Kalangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” yang dijadikan subyek dalam studi ini untuk melihat imajinasi mereka terhadap tayangan

infotainment yang tengah menjadi sorotan masyarakat; lembaga-lembaga

keagamaan, lembaga pemerintah. Wawancara dengan mereka diharapkan akan

menghasilkan pandangan yang bisa membuka cakrawala pemikiran. Mereka yang

tergabung dalam “Jaringan Perempuan Yogyakarta” merupakan aktivis yang

peduli pada isu kesetaraan jender, hak-hak kesehatan reproduksi, agama yang

ramah terhadap perempuan, hak-hak asasi perempuan, juga pada isu pornografi.

Apakah keluarnya fatwa haram untuk infotainment dari Nahdhatul Ulama

pada tahun 2006 “mengikat” perempuan, yang dalam beberapa hal seringkali keberagamaannya terbelenggu oleh “pemegang” otoritas agama ataukah sebaliknya; yakni melakukan perlawanan atau mengabaikan begitu saja fatwa

tersebut? Hal ini lebih untuk melihat peran agama dalam dunia publik yang sangat

dinamis. Mengikuti pandangan Althusserian, dalam penelitian ini media-massa

(baca: televisi) dilihat sebagai sebuah praktik ideologis yang hubungannya relatif

otonom dengan hubungan-hubungan ekonomi yang ada padanya. Yakni, ideologi

(24)

Bertolak dari perspektif itu, media sangat memungkinkan untuk

menghasilkan nilai-nilai yang berbeda dan berlawanan, tetapi dapat pula

mereproduksi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Konsekuensi

politik dari pernyataan ini adalah bahwa media mengatur dan mengontrol

masyarakat. Padahal audiens sesungguhnya dapat menentukan pilihan-pilihan

tayangan televisi sesuai dengan selera masing-masing, sehingga munculnya

pemegang “otoritas” wacana (khususnya: agama) bisa saja tidak dihiraukan sama

sekali. Hal ini juga dalam rangka membangkitkan kesadaran masyarakat akan

adanya pemaknaan yang berbeda-beda terhadap hidup dan berbagai versi

kebenaran sesuai dengan kapasitas dan sudut pandang masing-masing.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens: Studi Tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟.

B. Rumusan Masalah

Untuk menguraikan persoalan di atas maka penelitian ini akan menjawab

beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi infotainment dalam dunia pertelevisian di

Indonesia?

2. Siapakah audiens infotainment di Indonesia? Berasal dari kalangan

kelas sosial manakah mereka?

3. Kapan para audiens menonton infotainment? Dalam kondisi dan situasi

(25)

Yogyakarta”? Apakah memengaruhi aktivitas mereka? Serta di ruang manakah

infotainment ini dibicarakan?

4. Bagaimana pandangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” terhadap keluarnya fatwa yang melarang keberadaan infotainment? Bagaimana

mereka menyikapi sebuah keputusan yang berasal dari lembaga keagamaan?

Adakah resistensi yang dilakukan?

5. Resepsi apa yang ada dalam benak para aktivis “Jaringan Perempuan

Yogyakarta” terhadap tayangan infotainment? Seberapa jauh keterikatan audiens

(aktivis JPY) terhadap media infotainment lainnya?

C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya

Penelitian ini dikembangkan untuk tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk

menjelaskan infotainment sebagai suatu program televisi yang bagaimanapun

„negatif‟nya tetap memiliki sumbangan bagi kemajuan masyarakat yang sangat

beragam. Kedua, untuk memahami apa yang dibayangkan masyarakat terhadap

para pemegang „otoritas‟ keagamaan yang mencoba memasuki wilayah privat.

Ketiga, akan menyelidiki berbagai bentuk dan cara-cara masyarakat bereaksi

terhadap produk budaya massa.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan memiliki

signifikansi bagi dunia akademik dan masyarakat umum. Dengan kata lain

penelitian ini bisa memberikan gambaran dan cara pandang terhadap keberadaan

(26)

a) Kerangka pemahaman tentang arti dan makna studi audiens dan

televisi. Mengingat studi audiens berkembang sesuai dengan kondisi zaman,

awalnya audiens dianggap sebagai konsumen pasif, kemudian menjadi konsumen

aktif, sedangkan untuk saat ini perilaku konsumen tergantung pada kondisi

kekinian, tidak bisa dibeda-bedakan secara hitam-putih.

b) Memberikan persepsi secara umum masyarakat dalam hal mencoba

menghadirkan budaya tanding (counter culture) terhadap para pemegang

„otoritas‟ keagamaan dan pemaknaan terhadap produk budaya massa yang ada di

televisi.

D. Kerangka Teori

Seperti disebutkan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk

menggambarkan resepsi audiens terhadap tayangan infotainment. Yang dimaksud

dengan audiens di sini adalah konsumen media elektronik seperti radio dan

televisi, yaitu para aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟. Meneliti audiens

berarti meneliti audiens yang sedang mengonsumsi obyek budaya dalam ruang

dan waktu imajiner. Lewat peristiwa itulah audiens menyejarah, melakukan

kegiatan politik konsumsi, politik obyek, politik ruang-waktu (St. Sunardi, 2007).

Hal ini dilakukan supaya tidak mengabaikan pengalaman audiens dalam

mengonsumsi obyek budaya. Sehingga siapa dan dari mana audiens itu bisa

terungkap dengan jelas dan tidak mengaburkan makna audiens.

(27)

menonton televisi. Namun, Morley mengakui keterbatasan kajiannya, yang

didasarkan pada keluarga-keluarga berkulit putih di kalangan kelas menengah.

Metode yang dipraktikkan oleh Morley ini yang mengilhami penulis untuk

melakukan kajian etnografis dengan cara berbaur di tengah-tengah audiens ketika

menonton infotainment. Selain itu juga mengikuti di ruang mana audiens

infotainment ini membicarakan tayangan ini dengan orang lain.

Penelitian Ien Ang (1982) tentang opera sabun Dallas yang dilakukan di

Belanda, di sini akan dijadikan rujukan untuk menganalisis permasalahan. Dalam

penelitian ini Ien Ang berusaha menjawab pertanyaan apa yang menjadikan serial

televisi Amerika ini begitu populer di Belanda. Dalam menjawab pertanyaan ini

Ien Ang menggunakan metode etnografis dengan mengumpulkan data empiris,

yaitu surat-surat tanggapan atas iklan yang dimuat di sebuah majalah perempuan

Viva. Surat-surat tanggapan terhadap iklan yang berjumlah 42 ini diperlakukan

sebagai teks yang harus dibaca secara simptomatik atau berusaha membaca

„tanda-tanda‟ yang muncul baik secara eksplisit maupun implisit. Teks tidak

dibaca sebagai teks mati, tetapi sebagai barang yang bisa hidup ketika diberikan

pemaknaan dalam mengolahnya; seperti memasukkan perspektif jender dan kelas

misalnya.

Oleh karena itu maka apa saja yang terjadi dalam proses menonton

menjadi bagian penting penelitian yang bisa didapatkan penulis dari surat-surat

balasan yang diterimanya. Apakah hal ini ada hubungan antara kepuasan tersebut

dengan ideologi di baliknya. Ien Ang dalam penelitiannya, berdasarkan surat-surat

(28)

penonton Dallas, yang kemudian ia sebut sebagai “ideologi budaya massa”. Ideologi ini mengartikulasikan pandangan bahwa budaya pop merupakan hasil

produksi komoditas kapitalis dan oleh karenanya tunduk pada hukum-hukum

ekonomi pasar kapitalis; hasilnya adalah sirkulasi yang terus-menerus terjadi pada

komoditas yang diturunkan, yang signifikansinya hanya akan menguntungkan

produsennya. Ideologi budaya massa sebagaimana wacana ideologi lainnya

berfungsi menginterpelasi individu ke dalam posisi subyek tertentu. Tiga posisi

para pengonsumsi Dallas adalah sebagai berikut: 1) para penggemar (Dallas

lovers), 2) para penonton ironis, dan 3) mereka yang membenci program ini

(Dallas haters).

Para pembenci Dallas kebanyakan karena ideologi. Mereka memakainya

dalam dua cara, pertama, menempatkan program itu secara negatif sebagai contoh

budaya massa dan kedua sebagai sarana untuk mengungkapkan dan mendukung

ketidaksenangan mereka pada program ini.

Sedangkan posisi ironis menempatkan mereka menjadi penonton yang

menyatakan Dallas tayangan tidak bermutu, namun secara bersamaan juga

mencintai dan menikmatinya. Atau dengan kata lain, di satu sisi melihat Dallas

sebagai bagian dari ideologi budaya massa yang mengutamakan rating,

menguntungkan para pemilik modal, kapitalis. Namun disisi lain terlihat

mengakui bahwa mereka terhibur dengan opera sabun Dallas.

Para penggemar Dallas menggunakan strategi untuk mengatasi rendah diri

dengan sadar atau tidak sadar. Pertama, mereka melakukan

(29)

kemampuan untuk mengatasinya agar bisa memperoleh kesenangan dari program

Dallas. Strategi lainnya adalah dengan cara menentang ideologi budaya massa,

sebagaimana pengakuan salah seorang pecinta Dallas yang mengatakan: “banyak orang menyatakan ia tidak berguna atau tanpa substansi, tetapi saya pikir ia

mempunyai substansi”.

Selain itu juga penelitian ini akan menggunakan metode yang telah

diperkenalkan oleh Antonio La Pastina melaui tulisannya Audiens Ethnographies:

A Media Engagement Approach.11 Pendekatan etnografi kian diakui memiliki

peran sentral yang teoritis dan empiris dalam studi media beberapa dekade

belakangan ini. Dalam paparan La Pastina, etnografi audiens atau sering disebut

sebagai media engagement, selain dapat memberikan informasi tentang

kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya,

etnografi audiens juga memiliki fungsi retoris. Secara retoris, pendekatan

etnografi menyuarakan pertentangan terhadap praktik-praktik pengumpulan data

empiris atau paradigma pengumpulan data, analisis maupun hubungan antara

peneliti dan yang diteliti dalam ranah pemikiran positivistik. Etnografi telah

memberikan ruang yang lebih subjektif terhadap refleksi diri para peneliti.

Etnografi pada dasarnya menceritakan ulang kehidupan orang-orang tertentu,

mendeskripsikan tradisi atau tata cara mereka dan memahami praktik-praktik

budayanya. Untuk bisa bercerita ulang, maka penulis etnografi harus mendapatkan

pengalaman kehidupan orang-orang yang diceritakan, hingga pada rasa dan emosi

(30)

yang muncul dalam kehidupan orang tersebut. Hal ini yang menurut Geertz dapat

dilakukan dengan membuat hasil etnografi penuh dengan deskripsi.12

E. Tinjauan Pustaka

Hingga saat ini, kajian tentang penonton (audiens) televisi di Indonesia

belum mendapat perhatian yang besar. Sebagian besar penelitian media televisi di

Indonesia lebih mengangkat persoalan politik–ekonomi di balik organisasi dan industri film (televisi), atau analisis tekstual terhadap film dan program televisi

tertentu. Sebut saja, kajian Krishna Sen13, mengungkap persoalan representasi

kelompok dan atau kelas sosial dalam film Indonesia yang cenderung

mengutamakan kelas menengah-atas dan persoalan sistem industri film (negara

[sensor, PPFN] vs kapital [produser, importir, distributor]). Selanjutnya, Sen14

(1994), mengembangkan kajiannya ke arah bagaimana media audio-visual (dalam

pengertian terbatas adalah film) dipakai oleh kelompok-kelompok sosial untuk

mengartikulasikan kepentingan dan merebut ruang politiknya masing-masing.

Dengan data-data yang lebih baru, Sen dan Hill15 secara historis juga masih

mengangkat persoalan politik dan regulasi di dunia media massa, termasuk film

dan televisi.

Sementara itu, Karl G. Heider16 lebih menekankan analisis kultural

terhadap film Indonesia, dengan melihat film sebagai teks kultural yang

12

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). 13“Persoalan

-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, Prisma No. 5, Tahun XIX, 1990. 14

Indonesian Cinema: Framing the New Order (London and New Jersey: Zed Books Ltd., 1994).

15

(31)

terejawantahkan lewat frame dan seluruh perilaku kebudayaan dari artefak hingga

motivasi. Meskipun ia menyinggung soal audiens, ia lebih tertarik untuk melihat

film itu sendiri sebagai pembawa pesan secara kultural bagi para penontonnya ke

seluruh “wilayah” yang ia sebut bangsa, bahasa, atau dunia. Ia sendiri

membedakan kajian kultural (tekstual)nya yang bersifat komparatif dengan kajian

historis yang cenderung berdiri sendiri dan kajian “struktural” yang “

self-contained”.

Topik-topik yang hampir serupa muncul dalam kajian televisi. Seperti

halnya tulisan Hinca Panjaitan dan Veven Sp. Wardhana, lebih banyak

mengutak-atik persoalan politik dan kebijakan industri pertelevisian di Indonesia. Studi yang

mengulas televisi dalam pandangan komunikasi massa juga dapat ditemukan

dalam karya Arswendo Atmowiloto (1986); Idi Subandy Ibrahim (1997); Freddy

H. Istanto (1999); Antonius Saptana Hadi (2001); Garin Nugroho (2004).

Beberapa peneliti lebih banyak melihat dampak ataupun pengaruh negatif televisi

bagi para penonton (Prim Nugroho dan Yasson de Bani (1994); John

Tondowidjojo (1994); Tatiek Kartikasari (1995); memperlihatkan kecenderungan

yang membenarkan klaim umum tentang pengaruh negatif keberadaan televisi.

Tulisan lain tentang tayangan televisi khususnya infotainment, lebih

banyak berupa artikel di koran, blog, diskusi dan majalah, yang lebih banyak

berkutat pada sisi estetika dari infotainment, atau catatan-catatan terhadap

“negatif”nya tayangan infotainment, dan sedikit banyak menyinggung persoalan

etika komunikasi dan jurnalisme media (Fajar Junaedi (2004); Ignatius Haryanto

(32)

Kajian yang lebih komprehensif tentang televisi di Indonesia dari Philip

Kitley (2000), mulai menyinggung persoalan “pemirsa televisi”. Dengan tajuk

“Televisi dan Pemirsa Historisnya” ia melihat penonton televisi sebagai konsepsi

(konstruk) imajiner dari wacana yang mengelilingi dan melembagakan praktik

siaran dalam latar belakang (setting) tertentu . Wacana ini dimainkan oleh mereka

yang berkepentingan dengan industri televisi: industri televisi itu sendiri, lembaga

politik dan hukum, lembaga kritis (jurnalistik dan akademisi), kelompok penekan

dan lobi (LSM). Untuk kepentingan itu, Kitley menganalisis pemberitaan dan

karikatur di koran juga majalah, ditambah dengan data-data yang berasal dari

kitab-kitab undang-undang.

Lompatan paling “mutakhir” muncul dari Kris Budiman (2002), yang

mencoba melihat praktik menonton televisi sebagai praktik konsumsi. Penelitian

Kris Budiman ini mencoba keluar dari mainstream dan tradisi penelitian audiens

yang bersifat kuantitatif dan mengambil format penelitian survei,

positivistik-instrumental atau analisis variabel serta menekankan pengukuran atas audiens dan

dampak-dampak perilakunya melalui survei dan eksperimen terkendali (hlm.

13-14). Penelitian ini juga mencoba keluar dari kajian hermeneutika televisi atau

pemberian makna dalam menonton televisi. Dengan mengambil subjek kajian

keluarga kelas-menengah di Yogyakarta, didapatkan kesimpulan bahwa seluruh

praktik menonton televisi adalah praktik pengemasan atau pengorganisasian

(33)

tentang penonton televisi. Sebuah rekomendasi yang ikut memicu penelitian

audiens terhadap tayangan infotainment yang akan saya lakukan.

Menilik berbagai studi dan penelitian tentang televisi dan khususnya

audiens yang telah dilakukan, saya melihat kecenderungannya sebagai berikut:

Pertama, kajian televisi terlalu fokus pada aspek politik-ekonomi. Kedua, kajian

pertelevisian ini memperlihatkan fokus pada tayangan dalam perspektif content

analysis. Ketiga, meskipun studi tentang infotainment juga cukup banyak, akan

tetapi yang melakukan kajian audiens infotainment sendiri relatif masih terbatas.

Studi audiens televisi dalam perspektif kajian budaya yang relatif masih

sedikit ini menjadi celah bagi saya untuk mengisi ruang kosong tersebut. Dalam

hal ini audiens yang hendak saya teliti berasal dari kaum perempuan, lebih khusus

lagi adalah aktivis perempuan yang tergabung di „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟. Menilik resepsi di kalangan aktivis akan menarik, karena mereka

adalah kelompok kritis, akan tetapi „menikmati‟ sebuah tayangan televisi yang

oleh sebagian orang dianggap tontonan tidak mencerdaskan maupun stigma

negatif lainnya.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode etnografi. Metode etnografi yang akan

digunakan bersifat thick description, artinya berusaha mencari tahu makna dibalik

praktik (menonton) yang dilakukan oleh informan dan simbol apa yang

dipertukarkan antara informan dengan masyarakat atau antar informan sendiri.

(34)

melakukan sesuatu (dalam hal ini praktik menonton infotainment) akan tetapi juga

berusaha menginterpretasi pada wilayah kultural mana praktik tersebut

diklasifikasikan dan apa makna praktik tersebut. Melalui thick description

etnografi berusaha menginterpretasi makna perilaku yang bersumber dari kategori

kultural tertentu di mana dia diproduksi, diterima dan diinterpretasikan (Geertz,

dalam Jacobson, 1991: 4).

Metode etnografi yang dipilih dalam penelitian ini juga didasarkan atas

pertimbangan subyek yang hendak diteliti. Subyek dalam penelitian ini adalah

perempuan yang berada dalam lingkungan komunitas. Menurut beberapa feminis

seperti Lila Abu Lughod dan Sculamith Reinharz, metode etnografi merupakan

metode yang tepat untuk menganalisis masalah perempuan.17 Dengan metode

etnografi, yang menggunakan wawancara dengan subyek dan orang-orang

disekitarnya, serta observasi partisipatif, perempuan dapat menyuarakan

pengalaman dan pendapatnya (Shulamith, 1992). Sehingga pendapat dan

pengalaman perempuan yang selama ini jarang didengar, dapat disuarakan tanpa

diwakili oleh peneliti. Metode etnografi berkontribusi besar untuk mempertajam

kesadaran peneliti tentang obyektifitas dan pengetahuan yang bersifat situasional

(Lughod, 1993: 6).

Untuk mengetahui pelbagai varian beserta isi dalam tayangan infotainment

maka pengamatan terhadap acara televisi perlu dilakukan. Hal ini terutama

dibutuhkan untuk menjelaskan bagaimana televisi memberikan ruang yang

demikian terbuka bagi tayangan infotainment. Dalam infotainment mengenai apa

17

(35)

saja yang ada dalam acara tersebut, di stasiun televisi swasta mana saja,

bagaimana format dan isi acara tersebut (jenis, durasi, di stasiun televisi apa dan

lain sebagainya), siapa saja para pemilik televisi tersebut dan hubungannya

dengan kapital ekonomi disekelilingnya termasuk pihak para pengiklan

(perusahaan produk konsumsi). Berikutnya adalah data dari audiens, yang

dimaksudkan untuk menguak lived experience audiens dalam meresepsi program

infotainment.

1. Strategi Pengumpulan Data

Penelitian ini membutuhkan beberapa jenis data; teks budaya,

lembaga-lembaga terkait, dan pengalaman sehari-hari audiens infotainment itu sendiri.

a. Wawancara

Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada dua obyek.

Pertama, wawancara pada subyek penelitian itu sendiri yaitu para aktivis Jaringan

Perempuan Yogyakarta (JPY). Wawancara pada fase ini adalah seputar

infotainment, bagaimana mereka menanggapi infotainment yang ada saat ini di

tengah dunia tontonan. Kedua, wawancara pada lembaga-lembaga yang terkait

dalam proses produksi infotainment; yang meliputi stasiun televisi, rumah

produksi infotainmentnya, dan lembaga periklanan terkait. Pengumpulan data

pada wawancara yang kedua akan dibantu dengan data dari koran, majalah

maupun website stasiun televisi dan rumah produksi serta lembaga riset tayangan

(36)

b. Pengalaman audiens (Lived experience).

Sebagaimana jalannya penelitian etnografi pada umumnya, penelitian di

sini pun akan menggunakan metode lived experience. Lived experience tidak lain

untuk mengungkapkan pengalaman audiens dalam merespon infotainment

tersebut, baik saat mereka berada di hadapan infotainment maupun tidak. Lived

experience ini akan dikumpulkan dengan melakukan observasi partisipatif

(participatory observation) dengan audiens yang berjumlah enam orang ketika

menonton infotainment dan ketika audiens membicarakannya di ruang publik.

Pengumpulan data dengan lived experience ini dilakukan pada bulan

Februari-Agustus tahun 2009. Selama pada masa penelitian tersebut penulis

kemudian mencatat pengalaman audiens saat mereka menonton infotainment.

Respon-respon atau tindakan yang mereka kerjakan saat tayangan infotainment

berlangsung, dalam penelitian ini kemudian penulis catat sebagai data etnografi

mengenai respon audiens terhadap tontonan infotainment.

2. Informan yang Akan Dilibatkan

Informan yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini adalah enam

orang dari para perempuan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta”. Lembaga ini merupakan kumpulan aktivis perempuan dari pelbagai LSM serta individu

yang ada di Yogyakarta. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian yakni

mereka yang aktif di lembaga-lembaga: IDEA, IHAP, Mitra Wacana WRC, PSB,

Rifka Annisa WCC, dan Yayasan LKiS. Keenam informan ini dipilih karena

perbedaan latar belakang LSM yang mereka geluti, yakni mulai isu anggaran

(37)

KDRT, perempuan dan buruh, dan perempuan dan Islam. Pilihan yang berbeda ini

untuk mengetahui apakah penggunaan tayangan infotainment dipengaruhi pula

oleh isu-isu yang menjadi fokus mereka sehari-hari.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan ditulis dalam lima bab, yakni:

Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritis, tinjauan pustaka,

metodologi penulisan, dan sistimatika penulisan.

Bab kedua tentang industrialisasi televisi di mana infotainment menjadi

bagian sejarah di dalamnya. Dan membahas tayangan infotainment itu sendiri,

hal-hal apa yang ditayangkan dalam infotainment. Di sini akan disajikan data

statistik mengenai jenis-jenis infotainment, durasi waktu dalam setiap harinya,

stasiun televisi mana saja yang menayangkan, waktu-waktu penayangan

infotainment. Selain itu juga akan memuat tentang „Jaringan Perempuan

Yogyakarta‟ dan latar belakang para aktivis perempuan JPY yang menjadi

informan dalam penelitian ini, yang meliputi visi serta aktivitas yang mereka

lakukan. Selanjutnya juga akan dipaparkan latar belakang informan, usia,

keluarga, pendidikan, penghasilan ekonomi.

Bab ketiga, berisikan penjelasan mengenai hasil dari observasi di lapangan

dengan menonton infotainment bersama aktivis „Jaringan Perempuan

Yogyakarta‟, di kos ataupun tempat tinggal mereka. Juga rangkuman hasil

(38)

serta wacana publik seputar infotainment yang menarik perhatian massa, baik dari

kalangan akademisi, ormas agama, maupun para pengambil kebijakan di

pemerintahan.

Bab keempat akan menjelaskan resepsi dan imajinasi aktivis perempuan

di Yogyakarta terhadap infotainment. Pada bab ini lebih merupakan elaborasi dari

hasil wawancara dan observasi di lapangan. Selain itu juga akan diketahui pula

posisi serta kategori audiens (aktivis JPY) dalam menonton tayangan

infotainment.

Bab kelima, berisi refleksi penulis dan kesimpulan serta saran-saran untuk

(39)

BAB II

PROGRAM INFOTAINMENT DAN

AKTIVIS JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA

Pada bab I latar masalah sedikit banyak telah dibahas; kenapa infotainment

menduduki tempat utama dalam dunia tontonan di televisi. Tempat tersebut dapat

diketahui dengan banyaknya jam tayang yang tersedia di setiap stasiun televisi

untuk para pencintanya. Dari jam tayang tersebut juga dapat diketahui bahwa

infotainment bukanlah sekadar tayangan tanpa pemirsa atau pecinta sehingga

tayangan tersebut bertahan sampai beberapa tahun terakhir.

Pada bab ini penulis bermaksud memaparkan secara singkat industrialisasi

televisi dan tentunya infotainment di stasiun-stasiun televisi Indonesia. Selain itu

juga akan dipaparkan subyek penelitian, yakni „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟

dan para aktivisnya. Paparan tersebut berawal dari proses mula terbentuknya

televisi hingga bermunculannya stasiun televisi swasta nasional, pada 1990-an,

sehingga memunculkan beragam tayangan infotainment yang kemudian

berkembang menjadi salah satu produk industri televisi seperti saat ini.

Dalam proses panjang keberadaan televisi di Indonesia tersebut muncullah

pelbagai format acara yang disajikan oleh masing-masing televisi swasta nasional.

Jenis tayangan ini bagi televisi swasta merupakan urat nadi bagi keberlangsungan

hidup mereka.1 Hal ini membuat masing-masing televisi swasta melakukan

1

(40)

kompetisi meluncurkan program bagi pemirsa supaya tidak ditinggalkan oleh

audiens tersebut. Era industrialisasi televisi di Indonesia ini membukakan kran

persaingan usaha antar stasiun televisi swasta.

Kompetisi acara antar televisi ini merupakan bagian dari usaha para

pemilik televisi untuk makin mendekatkan diri kepada audiens. Hal ini

dimaksudkan agar ke‟taat‟an audiens pada salah satu program acara yang dimiliki

oleh stasiun televisi tidak berkurang. Hal ini penting dijelaskan di sini sebagai

pembuka wacana mengenai perjalanan televisi di Indonesia, supaya pembahasan

pada bab selanjutnya memiliki kesinambungan.

Adapun pemaparan mengenai infotainment digunakan untuk mengetahui

relasi antara acara tersebut dengan pelbagai acara lainnya. Relasi tersebut tentu

menempatkan infotainment sebagai komoditas yang siap dinikmati para

pemirsanya. Sebagai komoditas juga, infotainment tidak hanya dinikmati para

ibu-ibu rumah tangga yang memiliki waktu luang sebagai bahan obrolan sebagaimana

wacana yang berkembang selama ini tetapi juga mereka para aktivis perempuan.

Pada bab ini singgungan antara infotainment dan para aktivis akan dilihat

sebagai titik awal pintu masuk tesis ini. Para aktivis yang menjadi sumber

penelitian tidak lain adalah mereka para aktivis perempuan di Yogyakarta yang

tergabung dalam „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ (JPY). Bab ini juga akan

memaparkan sejarah infotainment dan latar belakang kelompok subyek penelitian

yakni „Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) dengan mengambil enam aktivis

(41)

A. Industri Televisi: Dari Monopoli ke Liberasi

Sudah umum diketahui bahwa kekuatan televisi adalah dengan

menyatukan pemirsanya untuk setia berada di hadapannya dengan berbagai

program siarannya. Kekuatan tersebut belum dicapai sepenuhnya oleh televisi di

Indonesia ketika pertama kali dioperasikan pada tahun 1962. TVRI (Televisi

Republik Indonesia) yang pada waktu itu menjadi pemain tunggal dalam media

penyiaran audio visualnya belum sepenuhnya berhasil dengan program Sea

Gamesnya meski tidak ada stasiun televisi lain yang menjadi pembanding dalam

acara-acara yang ditayangkan sampai dengan munculnya stasiun televisi swasta

pertama pada akhir 1980-an. Baru pada fase 80-an tonggak industri televisi di

Indonesia bermula.

Benih industrialisasi televisi di Indonesia ini dimulai ketika Yayasan

TVRI memberikan izin bagi kehadiran televisi swasta pertama, yakni RCTI

(Rajawali Citra Televisi Indonesia) pada tahun 1987 yang dimiliki oleh Bambang

Trihatmodjo, putera Presiden Soeharto. Awalnya jangkauan siaran RCTI terbatas

di Jakarta.2 Sebagaimana diketahui, menjelang akhir 1980-an dan masuk pada tahun 1990 putera-puteri Soeharto sudah beranjak dewasa, oleh karena itu maka

izin bagi kemunculan televisi swasta diberikan kepada anaknya, bukan kepada

orang lain.

Industrialisasi televisi semakin menapakan jejaknya di dunia penyiaran

dengan semakin dibukanya ijin pada stasiun-stasiun swasta lainnya. Perolehan ijin

2

(42)

televis-televisi swasta berikutnya, yakni SCTV3 (Surya Citra Televisi) yang beroperasi sejak 24 Agustus 1990 dan jangkauan siaran terbatas di Surabaya.

Stasiun televisi ini berada di bawah kendali Henry Pribadi (seorang pengusaha

yang dekat dengan Soeharto dan Sudwikatmono, adik tiri Soeharto). Selain kedua

orang tersebut, sebagian saham SCTV dimiliki oleh Halimah Trihatmodjo

(menantu Soeharto). Stasiun berikutnya kemudian disusul dengan kehadiran TPI

(Televisi Pendidikan Indonesia)4 pada Desember 1990 yang dimiliki oleh Siti

Hardiyanti Indra Rukmana (mbak Tutut –anak Soeharto), yang tayang awalnya

atas fasilitas transmisi dari TVRI. Industrialisasi belum berhenti ketika pada tahun

1993 hadir stasiun ANTV (Andalas Televisi)5, yang dimiliki oleh Bakrie Group

dan Agung Laksono, seorang tokoh Golkar (sebelum menjadi partai politik).

Stasiun berikutnya yang hadir pada satu fase adalah Indosiar6 (1995) yang dimiliki

3

SCTV awalnya adalah Surabaya Centra Televisi, hanya mengudara di Surabaya dan sekitarnya (Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan, Bangkalan). Pada tahun 1991, didirikan stasiun SCTV di Bali, Denpasar. Sejak tahun 1993, SCTV mengudara secara nasional. Sejak inilah singkatannya berubah menjadi Surya Citra Televisi. Saat ini kepemilikan SCTV dikuasai oleh grup Elang Mahkota Teknologi, melalui PT. Surya Citra Media Tbk., dengan Direktur Utama SCTV adalah Fofo Sariaatmadja.

4

TPI disebut sebagai televisi pendidikan karena awalnya menyiarkan acara-acara yang edukatif saja. Salah satunya adalah bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan menyiarkan materi pelajaran pendidikan menengah. Secara perlahan misi edukatif ini makin pudar dengan ditayangkannya beragam acara seperti kuis-kuis, sinetron, reality show. Dalam perkembangannya kependekan TPI sebagai Televisi Pendidikan Indonesia tidak berlaku lagi. Dalam website resmi TPI, disebutkan bahwa TPI adalah Televisi Paling Indonesia, sesuai dengan misi barunya, dengan menyiarkan acara-acara khas Indonesia; seperti menayangkan sinetron lokal dan musik dangdut.

5

ANTV didirikan pada 1 Januari 1993, dengan stasiun televisi lokal di kota Lampung. Pada tanggal 18 Januari 1993 ANTV mendapatkan izin siaran secara nasional melalui keputusan Menteri Penerangan RI No. 04A/1993. Sepuluh hari setelah izin keluar, ANTV resmi mengudara secara nasional. ANTV dimiliki oleh konglomerat Aburizal Bakrie, dan saat ini dikelola anaknya yaitu Anindya Bakrie yang menjadi Presiden Direktur perusahaan ini.

6

(43)

oleh Grup Salim, dengan konglomerat Liem Soe Liong sebagai nahkoda

utamanya; ia merupakan taipan Cina terbesar dan sahabat dekat Soeharto.7

Geliat industri televisi ini makin ramai sejak tahun 2000/2001 dengan

Dari perjalanan di atas terlihat bahwa kepemilikan antar stasiun televisi

swasta nasional ini berkait kelindan diseputar keluarga Cendana dan

kroni-kroninya, serta beberapa pemain „baru‟ dalam industri televisi. Industrialisasi

televisi semakin nampak misalnya pada segi kepemilikan oleh PT Media

7

Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran (Jakarta: ISAI dan LKiS, 2004), hlm. 15-16. baca juga Philip Kitley, Konstruksi Budaya...hlm. 37.

8

Metro TV resmi mengudara pada 25 November 2000 di Jakarta. Pemiliknya adalah Media Group yang dipimpim oleh Surya Paloh.

9

Trans TV mulai resmi disiarkan pada 10 November 2001. Meski baru terhitung siaran percobaan, Trans TV sudah membangun Stasiun Relai TVnya di Jakarta dan Bandung. Siaran percobaan dimulai dari seorang presenter yang menyapa pemirsa pukul 19.00 WIB malam. Trans TVatau Televisi Transformasi Indonesiadimiliki oleh konglomerat Chairul Tanjung dengan grup Paranya. Trans TV adalah anak perusahaan PT Trans Corpora. Kantor Pusat stasiun ini berada di Studio TransTV, Jalan Kapten Pierre Tendean, Jakarta Selatan.

10

Global TV berdiri pada tahun 2002 dan dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan media yang juga memiliki RCTI dan TPI.

11

Trans7 berdiri dengan ijin dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Jakarta Pusat dengan Nomor 809/BH.09.05/III/2000 dengan nama TV7 yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Pada tanggal 22 Maret 2000 keberadaan TV7 telah diumumkan dalam Berita Negara Nomor 8687 sebagai PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh. Pada 4 Agustus 2006, Para Group melalui PT Trans Corpora resmi membeli 49% saham PT Duta Visual Nusantara Tivi 7. Dengan dilakukannya re-launch pada tanggal 15 Desember 2006, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Trans7.

12

TV One(sebelumnya bernama Lativi) ini didirikan pada tahun 2001 oleh pengusaha Abdul Latief. Sejak tahun 2006, sebagian sahamnya juga dimiliki oleh Grup Bakrie yang juga memiliki

(44)

Nusantara Citra yang memiliki RCTI, TPI dan GlobalTV. Begitu pula dengan PT

Trans Corp yang memiliki Trans TV dan Trans 7 dan kepemilikan ANTV dan

TVOneyang dikuasai oleh Grup Bakrie.

Pasca reformasi tahun 1998, industri penyiaran mulai mengalami

perubahan dalam aspek permodalan. Undang-undang Penyiaran (UUP) yang

menjadi landasan penyiaran juga mengalami beberapa kali revisi, dari UU

Penyiaran No. 24/1997 sampai menjadi UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.

Perubahan UU tersebut tidak lain adalah untuk mengatur regulasi penyiaran itu

sendiri.

Beranjaknya era televisi di Indonesia menuju industrialisasi tak

terhindarkan ketika TVRI tidak lagi memonopoli siaran. Industrialisasi televisi

juga menempatkan televisi sebagai sebuah entitas bisnis yang dalam

penyelenggaraan operasionalnya dapat dikatakan sangat mahal.13 Oleh karena itu masing-masing televisi dituntut untuk menyiarkan program-program tayangan

yang bisa mendatangkan iklan dalam jumlah besar sehingga bisa mendapatkan

keuntungan. Iklan merupakan sumber penghasilan satu-satunya televisi swasta

untuk memproduksi program-program yang mengisi setiap jam tayangnya.14

Era industrialisasi televisi yang dimulai dari akhir 80-an ini seakan

membawa keuntungan pada terbukanya informasi bagi publik yang tidak hanya

bergantung pada satu bentuk stasiun siaran. Publik bisa mendapatkan akses luas

dari siaran-siaran televisi yang ditampilkan dengan banyak pilihan yang bisa

13

Untuk satu jam penyiarannya dibutuhkan dana lebih kurang Rp. 17-20 juta sehari sehingga untuk setiap bulan, pembiayaannya bisa mencapai Rp. 400 juta. Lihat Hermin Indah Wahyuni,

(45)

diakses oleh siapa saja. Akan tetapi nampaknya hal ini tidak selalu berbanding

lurus dengan kenyataan yang semakin membebaskan berbagai bentuk tayangan.

Dan untuk mengetahui hal tersebut secara lebih jelas, akan semakin dipahami jika

melihat pada program-program acara yang disuguhkan oleh masing-masing

televisi di Indonesia di bawah ini.

B. Program Siaran Sebagai Bisnis

Televisi pemerintah yakni TVRI, hingga menjelang awal 1990-an tampil

sendirian di hadapan publik. Keberadaan TVRI hampir tanpa pesaing handal

dalam program-program yang ditawarkan. TVRI menjadi pemain tunggal, adapun

kompetitor yang ada hanyalah televisi dari luar negeri dan hanya dapat diakses

melalui antena parabola. Kondisi demikian membuat audiens tidak memiliki

pilihan lain selain menonton program-program tayangan yang disediakan oleh

pemerintah.

Sebagaimana dijelaskan di depan, sejak 1990-an audiens pun mempunyai

pilihan yang cukup memadai terhadap tayangan televisi untuk memenuhi hasrat

menontonnya dengan munculnya banyak stasiun dan tentunya banyaknya program

pilihan. Era ini menandai tontonan menjadi ritual tersendiri; waktu luang audiens

untuk bertahan dihadapan televisi. Praktik menonton tayangan televisi pun

menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan. Di mana setiap individu dapat

mengakses tayangan sesuai dengan pilihan. Masing-masing audiens bisa

berfantasi sedemikian rupa terhadap apa yang ditontonnya. Aktivitas menonton

(46)

berikut: pertama, dialokasikan dalam ruang dan waktu; kedua, memiliki sifat cair dan tak menentu; ketiga, tidak diorganisasikan dengan (sepenuhnya) sadar.15

Sebuah program acara di stasiun televisi yang menarik bagi audiens

merupakan syarat utama supaya tidak ditinggalkan oleh para penontonnya.

Apapun program acara tersebut seperti: berita, film, olahraga, musik, dialog, kuis,

maupun acara lainnya bagi audiens yang terpenting bagi mereka adalah bisa

menarik hasratnya (desire). Dengan hasrat yang terpenuhi maka kecil

kemungkinannya akan beralih pada stasiun televisi yang lain. Dengan kata lain,

televisi mau tidak mau harus menciptakan program yang membuat audiens

menjadi betah bertahan dihadapan sebuah siaran.

Meski hal tersebut adalah teknik lama, untuk menciptakan penonton yang

“setia” maka stasiun televisi mencoba menawarkan program yang bisa menghibur

penonton. Menurut William Stepshon, orang menonton dan memanfaatkan

televisi untuk tujuan menghibur diri.16 Dari menonton diharapkan akan dapat

terhibur dengan biaya murah, karena tidak perlu meninggalkan rumah dan cukup

menyalakan televisi yang dimilikinya. Begitu pentingnya sebuah program di

stasiun televisi ini juga dinyatakan oleh K. Shiraishi, “the succes of the

broadcasting enterprise depends upon the programming” (kesuksesan dari

perusahaan penyiaran tergantung pada program).17

15

Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 1977), hlm. 96-97.

16

(47)

Program acara di televisi secara umum terbagi kedalam dua arus utama,

yakni untuk tujuan yang berifat informasional dan hiburan.18 Dengan

menggunakan materi informasi ini, program diwujudkan dalam berbagai format.

Secara teknis ada dua kelompok besar yaitu, program reguler seperti berita,

talkshow, drama dan program non-reguler seperti interupsi reguler (penyela) yang

berupa iklan (commercials), pengumuman pelayanan sosial dan promo. Dengan berbagai sebutan, seluruh materi ini mewujud melalui mata acara.19

Lewat jalan televisi sebagai arus hiburan, televisi juga harus menciptakan

daya tarik yang „awet‟ bagi para audiensnya. Keawetan daya tarik yang perlu

diperhatikan oleh para produser tidak lain dengan jalan memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut: konflik, keterlibatan diri, seks, penjagaan diri sendiri, pengenalan,

keingintahuan, pelarian.20 Dan dari pelbagai unsur tersebut maka lahirlah program

acara yang dibuat seperti: film (film tv & box office), sinetron, reality show,

talkshow, berita, pendidikan, kuliner, ceramah keagamaan dan infotainment di

televisi-televisi swasta nasional.

Keawetan daya tarik sebuah program siaran juga tidak hanya untuk

audiensnya tetapi juga bagi penopang modal di belakangnya. Keberadaan televisi

swasta nasional yang sangat ditopang dengan jumlah iklan sebagai pemodal yang

masuk dalam mendukung program-program acara secara tidak langsung

menempatkan audiens sebagai konsumen yang siap menerima apa saja dari

18

Ashadi Siregar, Orientasi Pemberitaan Stasiun Televisi (TV Broadcasting) Swasta di Indonesia, laporan penelitian, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1994, hlm. 3.

19

Ibid. hlm. 14.

20

(48)

produsen atau televisi sebagai produsen program siaran. Dengan kekuatan modal

dan teknik program dari para ahli di belakangnya, maka sebuah program itu

menjadi rujukan bagi penonton untuk melangsungkan konsumsi hiburan,

informasi dan kesenangan-kesenangan menonton sebuah tayangan.

C. Infotainment Sebagai Hiburan

C.1. Sebuah Tinjauan Historis

Dengan melihat karakteristik bentuk materi program yang telah dibahas di

atas, maka keberadaan infotainment tergolong dalam materi faktual dengan fungsi

primer maupun sekundernya, yaitu psikologis (hiburan/entertaining) dan sosial

(informasional). Disebut demikian karena infotainment merupakan sebuah

tayangan yang menyajikan informasi (faktual) mengenai kehidupan dunia para

selebriti. Keberadaan infotainment sendiri tidak dapat dilepaskan dari modal yang

terus menyokong sampai saat ini dan menjadikannya sebagai bentuk tontonan

yang memiliki keawetan daya tarik.

Jauh sebelum maraknya infotainment di televisi-televisi saat ini, ajang

membincangkan tokoh (gosip) telah muncul lebih awal di beberapa

majalah/buletin atau pun pada bagian kolom surat kabar. Sebuah majalah, Monitor

misalnya, adalah salah satu majalah yang menjadi akar bagaimana sebuah gosip

dikemas dalam bentuk bacaan. Namun, majalah yang diterbitkan pada 1972 oleh

Direktorat Televisi Departemen Penerangan yang mengupas „isu-isu‟ khusus radio

(49)

Selanjutnya, pada 1991, terbit tabloid-tabloid baru tentang dunia radio,

televisi, film dan artis, yaitu Bintang Indonesia, Citra, Wanita Indonesia dan

Dharma Nyata. Pada 1993, terbit majalah Vista TV. Majalah ini bermaksud

menjadi TV Guide versi Indonesia. Tabloid yang berisi berita-berita selebriti baik

dari dalam negeri maupun luar negeri, gosip, dan berita latar belakang pembuatan

sebuah program televisi ini ternyata disukai pembaca dan sangat laku di pasaran.

Acara infotainment pada fase berikutnya mulai muncul di televisi.

Program tersebut dinamai ”Kabar-Kabari” dan tayang pertama kali di RCTI.

Infotainment berikutnya adalah ”Cek&Ricek” dan tayang pada stasiun sama.

Program “Kabar-Kabari” yang diasuh oleh Amazon Dalimunthe merupakan

tayangan infotainment pertama di televisi swasta Indonesia yang diputar di tahun

1995 (“Manisnya berbisnis Gosip”, 2001). Kemunculan ”Kabar-Kabari” menurut

Veven Sp. Wardhana, sebagaimana dikutip Dian A. Murti, menjadi ikon bagi

stasiun televisi swasta lainnya untuk membuat dan menayangkan program

sejenis.21

Infotainment menjadi salah satu program yang cukup dominan dalam

panggung televisi pada awal 90-an kemudian mulai merebak samapi pada dekade

2000-an. Jakob Oetama22 dalam Kompas 17 Maret 2005, mengungkapkan informasi yang serba hiburan dikemas dalam konteks entertainment memiliki

daya tarik lebih kuat. Selain karena televisi secara teknologi mudah

penyebarannya, faktor kekuatan penarik lain dari sebuah infotainment adalah

21

Dian Anindya Murti, Dinamika Ranah Publik...hlm. 48.

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat tidak percaya kepada pada kapabilitas Polri hal ini ditandai dengan siding kode etik yang dilaksanakan oleh Polri terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota,

ÜßÚÌßÎ ÌßÞÛÔ Ì¿¾»´ îòï л®¾¿²¼·²¹¿² Ó±¼»´ λ°´·µ¿-· Þ¿-·- Ü¿¬¿òòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòòïì Ì¿¾»´ ìò ï Ë-»½¿-» Í°»½·º·½¿¬·±²

Walaupun untuk komoditas padi sawah mengalami peningkatan luas panen sebesar 1,53 ribu hektar atau 0,43 persen bila dibandingkan tahun 2013, tetapi produksi padi sawah

Sifat keberagamaan yang ada pada manusia itu bersifat universal, infinite (tidak terbatas, tidak tersekat), transhistoris (meleawati batas- batapagas histriitas-kesejarahan

Pilihan Gereja memperhatikan orang miskin ini dijalankan bukan hanya karena belas kasih atau ideologi perjuangan kelas tetapi merupakan pilihan spiritualitas yang

1) Mengidentifikasi habitat dan ekosistem serta aktifitas/fungsi ekonomi di daerah pesisir dan laut Kabupaten Seram Bagian Timur dan kemudian menampilkannya dalam

Kunjungan ANC men- jadi salah satu faktor risiko yang mening- katkan kejadian perdarahan pasca persalin- an karena apabila ibu melakukan pelayanan ANC secara teratur

Perancangan Mesin Fres Mesin press briket serbuk arang tersebut digerakan Motor AC dengan daya 1 HP putaran 2850 rpm, dan kompresor sebagai wadah tekanan udara dan