• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA‟

B. Ditonton dan Menonton Infotainment

B.2. Fatwa Haram Infotainment dan Respon Aktivis ‘JPY’

"Kalau menggunjingkan kejelekan keluarga satu RT saja jelek, haram, tidak terpuji. Apalagi infotainment itu adalah pergunjingan nasional. Seluruh Nusantara, semua pemirsa tahu kejelekan aib salah satu keluarga, yang sebenarnya kita harus saling menutupi aib seseorang,

kejelekan temen kita, tetangga kita, kolega kita. Kita malah menikmati tayangan yang membeberkan kejelekan satu keluarga misalkan. Mendengarkannya saja dosa, apalagi yang memproduksinya. Semua pihak yang mensukseskan acara itu bertanggungjawab dan dihukumi mendapatkan dosa."3

Di tengah maraknya infotainment di berbagai saluran televisi dengan jam tayang yang hampir penuh di tiap-tiap waktu siar, tiba-tiba MUI sebagai lembaga agama mengeluarkan fatwa. Dilihat dari penyampaian yang dikeluarkan oleh lembaga agama, pernyataan tersebut tentu dalam bingkai moral. Dan moral tersebut tidak lain adalah usaha membatasi diri dengan media, khususnya infotainment. Infotainment yang selama ini memberikan informasi dinilai tidak dapat dipercaya oleh lembaga agama. Dengan kata lain validitas informasi infotainment dipertanyakan kembali dari segi moral.

Fatwa tersebut yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 2006 lalu yang juga disepakati oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada sub bab ini sengaja saya hadirkan dengan respon para aktivis JPY yang pada satu sisi mereka mengonsumsi infotainment. Para aktivis JPY tersebut tidak lain adalah mereka yang di depan telah memberikan kesaksian atas infotainment dengan ruang lingkup yang mereka kerjakan. Penulis mencoba mewawancari satu persatu-satu informan atau pada sesi lain penulis sengaja mengajaknya diskusi kecil dan dari keenam informan tersebut kemudian tanggapan ini penulis muat dalam bingkai wacana publik yang mereka lakukan.

3

Sumber:

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/indonesia060905/Fatwa_haram_infotainmen t_060810-redirected, Diunduh 16 februari 2008.

Infotainment adalah buah bibir. Melalui infotainment Ani melihat sangat wajar jika selebriti pada akhirnya menjadi buah bibir di televisi, karena merekalah orang yang dicari oleh para penggemarnya. Katanya; “Selebriti adalah publik figur, sehingga apapun yang dilakukan oleh mereka akan mejadi sorotan. Inilah bedanya selebriti dengan orang biasa”. Dia pun melanjutkan komentarnya

Kalau orang biasa diomongkan akan aneh. Akan tetapi jika selebriti yang menjadi bahan pembicaraan itu hal biasa, dan justru akan seperti itu”. Keluarnya fatwa haram dari lembaga keagamaan menurut Ani justru merupakan hal aneh. Hal itu baginya, seolah menutup mata terhadap media. Dimanapun media akan mengungkapkan selebriti; orang terkenal, tokoh terkenal. Ada atau tidak ada fatwa, maka dunia media, apalagi televisi akan seperti itu; mengungkapkan hal-hal yang datang dari para selebriti.

Menurut Ani, keluarnya sebuah fatwa dari institusi agama terhadap tayangan infotainment itu merupakan tindakan yang tidak efektif dan tidak penting. Katanya;

Fatwa itu tidak efektif dan tidak penting. Ya kalau tidak senang tidak usah menonton begitu saja. Fatwanya begini saja, tontonlah apa yang sekiranya berguna untukmu. Dan dengan begitu kan bisa dipikir sendiri. Lha kalau menghibur, maka akan menjadi berguna dong”.

Dari komentarnya ada kegelisahan yang muncul dengan adanya fatwa tersebut. Begitu halnya dengan Enik, keterlibatannya dengan dunia yang selama ini tidak dapat dilepaskan dengan media, ia justru mempertanyakan “ini ada apa?

Ada kepentingan apa mereka mengeluarkan fatwa”. Memang menurut Enik, pemberitaan infotainment kadang ada yang kebablasan. Akan tetapi hal itu timbul karena tidak adanya disiplin kode etik yang ketat. Ada pengabaian etika media.

Dari analisis media, pers infotainment terkadang kurang elegan. Ia mencontohkan, ketika Taufik Savalas meninggal karena kecelakaan di Purworejo, infotainment bahkan menyampaikan lebih dahulu dari pada pihak keluarga.

Lembaga agama sebagai institusi pemberi legitimasi di masyarakat pada titik inilah tidak mampu menjelaskan keberadaan infotainment. Menurut Enik;

Seharusnya mereka (PBNU, MUI) konsisten, harusnya dari awal ketika muncul pertama kali, tahun 90an”. Pendapatnya kemudian dilanjutkan demikian;

Fatwa itu tidak memiliki kekuatan hukum. Kalau mereka memang benar-benar menginginkan kualitas dalam infotainment, maka harus berbuat sesuatu sehingga kedepannya lebih baik. Akan tetapi tidak ada sama sekali upaya perbaikan yang dilakukan. PBNU dalam ini tidak melakukan apapun. Padahal seharusnya melakukan pendidikan ke umatnya, mendidik umat untuk lebih kritis terhadap tontonan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya kerjasama dengan KPID. Bentuk kerjasama yang dilakukan adalan dengan pendidikan ke masyarakat, supaya masyarakat bisa menonton dengan kritis.

Selama ini dalam industri TV ada rating (pemeringkatan) pada sebuah tontonan, untuk menilai tontonan apa saja yang digemari masyarakat. Lembaga survei yang melakukan itu adalah lembaga independen dan tidak melakukan survei dengan alasan moral dimana lembaga agama berada di dalamnya. Peran lembaga agama semakin kelihatan bahwa fatwa tersebut tidak sampai pada persoalan yang lebih jauh yakni institusi-institusi yang berada di belakang infotainment.

Pernyataan informan di atas pun kami lanjutkan ke beberapa informan lain. Informan selanjutnya adalah Ipe. Sebagaimana informan sebelumnya dia pun berujar mengenai fatwa haram tersebut.

Apakah industri infotainment dan sinetron bisa mereka kurangi? Kan tidak. Jadi, tidak ada hubungannya antara mereka mengeluarkan fatwa dengan mereka bisa mengatur industri infotainment dan sinetron yang ada. Itu yang saya katakan malas. Mereka juga tidak bisa mengerem laju industri tekstil, baju, mode. Seberapa jauh mereka bisa melakukan itu? Ndak kan. Ndak ada hubungannya itu”.

Memang menurut Ipe, infotainment perlu dikurangi porsi jam tayangnya.

Ia memberikan ilustrasi, seperti ini: “Bisa dibayangkan dari jam setengah 7 ada infotainment dan setiap jam ada tayangan begitu. Kemudian semua orang menontonnya, maka akan bisa mempengaruhi orang”. Meskipun demikian, dalam

memandang infotainment tidak terlalu ekstrim perihal waktu tayang, jumlah jam tayang juga berita itu sendiri yang hendak disampaikan. Ipe pun melanjutkan komentarnya;

Sebenarnya aku juga tidak ekstrim menganggap mereka semua jelek. Karena naif juga kalau aku juga kadang nonton. Untuk refreshing saja. Jadi gini lho, kalau itu tayangan seperti itu memakan waktu banyak dan ada di setiap stasiun televisi, maka ndak menarik juga. Saya pernah melihat tayangan itu dari pagi sampai sore, ternyata tidak berubah beritanya”.

Pendapat yang agak berbeda diberikan oleh Yanti. Dalam menanggapi

keberadaan fatwa tersebut ia mengatakan: ”Pastinya fatwa haram itu ada alasannya”. Menurutnya perbedaan halal dan haram itu tidak jelas batasannya;

Bukannya tidak digubris, tapi penting untuk penyelenggara infotainment itu memperbaiki diri. Keluar fatwa itu pastinya ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Sehingga harus ada perbaikan untuk infotainment sendiri”.

Ketidaksetujuan perihal fatwa haram infotainment bagi Yanti di atas menandakan bahwa konsumen infotainment dianggap pasif; mereka, para audiens akan dengan serta-merta menerima begitu saja yang disampaikan infotainment

tanpa dapat menyelanya. Kekritisan senada dalam hal fatwa haram atas keberadaan infotainment adalah Habibah. Ia mengatakan;

Menurut saya tidak penting banget. Ngapain ngurusin ini. Persoalan kayak gini. Kalau misalnya mau, dulu kan karena menggosipkan orang. Maka tidak perlu mengeluarkan fatwa begitu. Yang perlu dikritisi adalah kontennya saja. Kalau berita saja kan juga ngomongi orang. Kalau gosip macam-macam, itu kan juga fakta. Yang penting kan tidak terlihat bias, karena adanya perspektif yang memojokkan seseorang. Itu tidak penting kok. Dalam hal tertentu, infotainment itu cukup menghibur”.

Dari pendapatnya, Habibah sangat jeli dengan jalan membedakan bagaimana isi infotainment yang harus sampai pada kesesuain fakta. Katanya;

Kalau ada fatwa haram, infotainment pun juga tetap ada”. Hubungan antara infotainment dan masyarakat audiens di sini menjadi jelas bahwa, infotainment tidak hanya sebatas ruang gosip (ghibah) sebagaimana legitimasi agama berbicara. Tetapi hubungan antara pembuat media, isi berita dan penerimanya harus dilihat secara keselruhan. Masyarakat yang selama ini menduduki sebagai konsumen juga bisa memilah dan menilai mana tontonan yang penting untuk disaksikan dan tidak perlu dilihat.

B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis