• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POKOK-POKOK HIDUP DOA

A. Esensi Doa

3. Doa Menurut Tokoh Gereja dan Para Ahli

Setelah bertolak dari Kitab Suci dan kemudian dokumen/ajaran Gereja, maka barulah kita melihat bagaimana doa menurut para ahli atau tokoh dalam

Gereja. Gusti Kusumawanta (2018) dalam artikelnya berjudul “Berdoa dengan Benar Secara Katolik” menegaskan apa itu doa menurut St. Theresa dari Lisieux “For me, prayer is a surge of the heart; it is a simple look turned toward heaven, it is a cry of recognition and of love, embracing both trial and joy” yang diterjemahkan oleh Kusumawanta sebagai berikut: “suatu gelora, sentakan dalam hati, sebuah penglihatan kembali untuk ke depan menuju takhta surgawi, sebuah jeritan pengetahuan akal budi dan cinta yang memeluk keduanya dalam suatu

cobaan dan sukacita”. Jadi berdasarkan kutipan tersebut, Santa Theresa dari Lisieux memahami bahwa doa adalah sebuah gelora dari dalam hati, sebagai penglihatan atau pandangan sederhana ke surga, sebagai jeritan atau tangisan dari pengakuan, akal budi dan cinta yang memeluk cobaan dan sukacita. Doa adalah sebuah gelora yang berasal dari hati. Gelora dari dalam hati manusia itu selalu mengarah ke surga.

Dalam buku yang ditulis oleh Heuken (2016: 7), terdapat petunjuk yang baik mengenai doa menurut St. Teresa dari Avila berdasarkan karangan S. Teresa Camino de Perfectión (Jalan ke kesempurnaan), yaitu sebagai berikut:

Jalan untuk maju bukan berbagai latihan mati raga, melainkan doa. Maka, Teresa sering berbicara tentang seni berdoa sesuai pengalamannya sendiri. Apa pun bentuk doa itu, lisan atau batiniah, doa permohonan maupun doa syukur ataukah doa pribadi serta bersama, adalah jalan orang beriman menuju kepada Allah. Doa tak lain daripada pertemuan dengan Allah dari sendirinya mendekatkan kita dengan-Nya.

Berdasarkan kutipan tersebut, Heuken menegaskan bahwa menurut santa Teresa dari Avila cara untuk memiliki kemajuan rohani adalah dengan doa bukan dengan berbagai jenis latihan mati raga. Apapun jenis doa yang dilakukan, doa tetap menjadi jalan bagi orang beriman untuk mengarahkan hatinya kepada Allah dan mulai hidup seturut kehendak Allah. Karena doa adalah sebuah pertemuan antara manusia dengan Allah, maka dengan pertemuan tersebut manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.

Menurut Ruben (2007: 24) berdasarkan refleksi St. Teresa dari Avila, perjalanan awal menuju hidup doa harus bermula dari pengenalan diri. Barangsiapa mengenal dirinya, ia akan tahu siapakah Allah, tahu bahwa Allah mencintainya dan berkehendak mencintai-Nya. Menurut Ruben (2007: 24) berdasarkan St. Teresa dari Avila juga, doa adalah percakapan sejati antara kita dengan Allah.

Selanjutnya adalah hidup doa dari Ibu Teresa (St. Theresa dari Kalkuta). Menurut Youcat Katekismus Sakramen Penguatan (82), Ibu Teresa membutuhkan waktu yang lama untuk belajar berdoa. Bahkan Ibu Teresa pernah merasa bahwa Allah sungguh jauh dari dirinya, ia juga tidak merasa bahwa dirinya itu suci.

Namun ada satu hal yang dipahami: kalau Allah dekat dengan kita maka relasi kita dengan Allah harus hidup. Allah adalah sumber hidup maka tidak ada yang bisa terjadi jika Allah tidak menghendaki. Karena itu kita harus mencari Allah dengan kerinduan yang kuat dan tanpa kenal lelah.

Menurut Youcat Katekismus Sakramen Penguatan (82) Ibu Teresa mengungkapkan pemahamannya mengenai doa. Ibu Teresa yakin bahwa Allah menantikan dirinya untuk membangun relasi dengan Allah. Doa yang dipanjatkan Ibu Teresa selalu berasal dari kerendahan hati karena perasaan tidak berarti dan lemah yang dirasakannya sehingga ia tidak mau hidup sendiri tanpa Allah. Ia begitu mencintai Allah dan ingin hidup bersama Allah sehingga ia selalu menyediakan waktu sepenuhnya bagi Allah melalui doa. Ia memberikan waktu sepenuhnya dalam hidupnya bagi Allah dalam doa tanpa mengeluh atau bosan karena ia sungguh mencintai doa. Hatinya sungguh peka hingga ia dapat merasakan sungguh-sungguh dorongan untuk selalu berdoa. Baginya, doa dapat membuat hati menjadi lebih siap menerima anugerah Allah. Jika kita ingin berdoa dengan benar maka kita harus lebih sering berdoa karena doa juga membuat kita lebih sanggup mengasihi.

Kita juga bisa belajar bagaimana hidup doa Fransiscus dari Asisi. St. Fransiscus Asisi adalah pendiri Ordo Fransiskan (OFM). Ayahnya adalah saudagar kain yang kaya raya di Asisi. Pada tahun 1202 timbul pertikaian mengenai perbatasan Perugia dengan Asisi. Pertikaian ini menimbulkan perang. Fransiscus sebagai pemuda Asisi ikut membela negerinya. Dalam peperangan ini ia tertawan dan dipenjara selama setahun kemudian setelah ia bebas ia ikut lagi

berperang namun kali ini ia harus kembali karena sakit. Dalam sakitnya itu, ia mengalami pergumulan rohani yang hebat. Kemudian ia memutuskan untuk menyerahkan dirinya demi mengabdi kepada doa dan orang-orang miskin. Pada tahun 1205 ia mengadakan perjalanan ziarah ke Roma. Kemudian di pintu gerbang gereja St. Petrus, ia kasihan melihat pengemis yang berdiri di pintu gerbang dan ia pun memberikan bajunya kepada pengemis itu. Pada kesempatan yang lain ia bertemu dengan seorang yang menderita penyakit kusta dan ia pun memeluk orang itu karena belas kasihan. Pada tahun 1206 Fransiscus berdoa dalam Gereja St. Damian di Asisi. Ketika berdoa ia mendengar suara dari lukisan Kristus yang berkata kepadanya untuk memperbaiki gedung gereja yang hampir runtuh. Ia pun menjual kain ayahnya dan menggunakan hasil penjualan kain untuk memperbaiki gedung. Fransiscus juga membagi-bagikan uang ayahnya kepada orang miskin dan ini menyebabkan ayahnya marah dan hak waris Fransiscus dicabut ayahnya (Wellem, 2003: 81).

Fransiscus terus hidup dalam doa dan kemiskinan sepanjang hidupnya. Sebelum ia meninggal, ia bertapa di gunung La Verna tempat ia memperoleh stigmata (bekas luka-luka Kristus di tangan dan kaki). Ia pun meninggal pada tanggal 3 Oktober 1226 pada usia lanjut di kaki altar Kapel Portiuncula (Wellem, 2003: 82). Jadi dapat disimpulkan bahwa santo Fransiscus dari Asisi sungguh mewujudkan hidup doa dengan kemiskinan dan berbelarasa terhadap mereka yang miskin dan sakit. Doa tidak hanya menjadi sebatas kata-kata yang diucapkan kepada Allah akan tetapi juga diwujudkan dalam perbuatan. Karena doa juga

Fransiscus tidak khawatir akan hidupnya, ia yakin bahwa ia hidup untuk Allah dalam kemiskinan dan Allah akan memelihara hidupnya.

Menurut Pai (2003: 13), doa merupakan suatu relasi, perjumpaan dan pertemuan dengan Pribadi lain, yakni dengan Allah. Kalau hubungan kita dengan Allah baik, maka doa kita akan mendalam dan hidup kita menjadi lebih bermakna. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa doa adalah sebuah relasi dan perjumpaan antara Allah dan manusia. Doa menjadi mendalam dan hidup sungguh bermakna apabila hubungan manusia dengan Allah sungguh baik. Menurut Darminta (1981: 20) ketika seseorang berdoa maka ia harus mengosongkan dirinya dari segala kesibukan, kepentingan pribadi, dan segala macam persoalan yang bersifat egosentris karena semua itu membuat orang buta dan tuli akan Allah.

Selain itu, dalam doa juga diperlukan pengosongan diri dalam pengertian pribadi Yesus (Flp 2:5-8). Manusia perlu hidup dengan pengosongan diri seperti Yesus Kristus. Meskipun Ia hidup dalam rupa Allah, Ia tidak menyombongkan diri dengan menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Ia berdoa dengan mengambil rupa sebagai seorang hamba seperti manusia, yaitu ciptaan yang bergantung pada Allah.

Menurut Laplace (1984: 10), doa Kristen yang bersumberkan dan berinspirasikan Kitab Suci selayaknya merupakan proses penyerahan diri dalam iman kepada kuasa Allah yang mampu menyelamatkan. Puncak hidup rohani adalah penyerahan diri secara total kepada Allah yang menyelamatkan. Dengan begitu, manusia diajak untuk belajar berdoa hanya untuk mencari Allah, bukan untuk mencari hal lain (bdk. Mat 6: 33). Jadi menurut Laplace, doa sebaiknya

dimaknai sebagai proses penyerahan diri kepada Allah secara total. Penyerahan diri secara total membuat manusia percaya kepada karya Allah dalam hidupnya dan tidak khawatir akan hidupnya. Dengan penyerahan diri dan sikap percaya seutuhnya kepada Allah, manusia harus fokus berdoa untuk mencari Allah karena Allah menjadi prioritas ketika manusia mampu menyerahkan hidupnya seutuhnya kepada Allah.

Yang terakhir adalah doa menurut St. Agustinus. Bavel (2011:11-17) menjelaskan pemahaman doa menurut St. Agustinus yaitu bahwa berdoa merupakan aktivitas di mana relasi antara manusia dan Allah dialami dan dibentuk. Aspek krusial dalam doa adalah bahwa inisiatif ada pada Allah. Menurut gagasan umum St. Agustinus, Allah sendiri mengajar kita untuk berdoa. Ia berinisiatif untuk berdialog dengan manusia. Suara-Nya menggapai hati kita.