BAB III TANTANGAN DAN PELAYANAN KATEKIS DI ZAMAN
A. Tantangan Katekis dalam Pelayanan
Katekis yang dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah, tentunya hidup di tengah dunia. Dengan hidup di tengah dunia dan menjadi warga dunia tentunya mereka menghadapi perubahan arus besar zaman yang membawa tantangan-tantangan bagi pelayanan katekis. Dunia ini menawarkan banyak sekali kenikmatan duniawi. Di sisi yang negatif, hal ini dapat menjauhkan umat dari Allah. Tidak hanya umat, katekis apabila imannya tidak teguh juga dapat ikut terbawa arus besar zaman yang seringkali mengakibatkan memudarnya intimitas dengan Allah Tritunggal.
Oleh karena itu, para katekis harus sanggup menimbang zaman. Menimbang zaman adalah melihat secara lebih kritis segala keadaan dan perkembangan zaman yang menjadi konteks hidup umat dan masyarakat dalam menghayati dan menghidupi imannya. Konteks ini sangat menentukan dan mempengaruhi kehidupan beriman. Pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat positif yaitu mengembangkan iman dan bisa juga negatif yaitu melemahkan kehidupan beriman (Direktorium Formatio Iman, 2018: 14). Berikut adalah tantangan-tantangan pelayanan katekis pada zaman sekarang:
1. Sekularisasi: Sekularisme, Materialisme, Konsumerisme
Dewasa ini hidup beriman kita tidak bisa lepas dari sekularisasi, sekularisme, materialisme dan konsumerisme. Semuanya itu memberikan dampak yang mendalam dan meluas pada hidup manusia. Sekularisasi adalah salah satu arus besar zaman yang secara mendasar mengubah pola berpikir bahwa dunia itu otonom, namun tetap berkorelasi dengan Sang Pencipta. Otonomi dunia berarti bahwa makhluk-makhluk dan masyarakat sendiri mempunyai hukum dan nilai sendiri yang harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur manusia selaras dengan kehendak Sang Pencipta. Namun dalam perkembangannya, proses sekularisasi ini memunculkan pandangan dan perilaku manusia di mana tidak adanya lagi ketergantungan dan keterhubungan ciptaan dengan Allah. Dunia menjadi otonom, berjalan sendiri seolah-olah Allah tidak ada (Direktorium Formatio Iman, 2018: 14-15).
Dari pandangan itu kemudian lahirlah sekularisme yaitu suatu ideologi tertutup yang memutlakkan otonomi duniawi tanpa keterbukaan kepada Yang Ilahi. Manusia bertindak sekehendak dirinya sendiri tanpa menghiraukan Allah, seolah-olah Allah tidak ada. Allah tidak diperhitungkan dalam mengambil keputusan-keputusan hidupnya. Hal itu membuat hidup manusia menjadi dangkal karena tidak lagi menghargai hidup sebagai anugerah, sehingga hidup mudah sekali dikurbankan demi kepentingan duniawi (Direktorium Formatio Iman, 2018: 15).
Dari situ yang paling penting bagi manusia adalah materi. Orang menjadi materialistis, segala sesuatu diukur dengan materi dan uang menjadi penggeraknya. Kebahagiaan, kesuksesan, keberhasilan dan kemajuan diukur secara materialistik sehingga seringkali nilai-nilai etis dikesampingkan demi pencapaian materi yang lebih besar (Direktorium Formatio Iman, 2018: 15).
Cara hidup yang materialistik seperti itu kemudian memunculkan perilaku baru dalam hidup manusia yaitu konsumtif. Konsumerisme berasal dari gaya hidup yang konsumtif. Apa yang ada di dunia dibeli untuk dimiliki. Dasar pembelian itu tidak selalu berdasarkan kebutuhan tetapi seringkali adalah karena gaya hidup dan trend. Hidup yang konsumtif kemudian melahirkan hidup yang individualis (Direktorium Formatio Iman, 2018: 15).
2. Individualisme, Sensualisme, Hedonisme
Bertolak dari hidup yang sangat konsumtif, orang akan memusatkan perhatiannya pada kebutuhan sendiri. Dengan begitu semangat sosial kemudian
menurun dan cenderung memenuhi kebutuhan diri yang seringkali tak pernah terpuaskan. Dengan kecenderungan itu, orang menjadi lemah dalam perhatian dan kepeduliannya pada orang lain (Direktorium Formatio Iman, 2018: 15).
Ketika manusia sudah dikuasai oleh materi duniawi, orang akan menjadi individualis, sensualis dan hedonis. Orang menjadi individualis karena berfokus pada diri sendiri. Ia akan mengejar kebutuhan diri yang tak pernah terpuaskan. Semakin orang mengejar materi tanpa sadar ia juga meninggalkan sesamanya karena materi yang selalu dicari. Apa yang dirindukan oleh orang-orang yang memiliki materi? Materi dianggap memuaskan dahaga sensualisme (Direktorium Formatio Iman, 2018: 16).
Sensualisme terjadi ketika seseorang hanya menganggap hidup sebatas kenikmatan inderawi semata. Jadi apa yang mendatangkan kenikmatan itu yang akan dikejarnya. Sensualisme dapat mengarah kepada hedonisme ketika orang menjadikan kenikmatan sebagai tujuan hidupnya. Hidup orang itu hanya berisi kenikmatan semata (Direktorium Formatio Iman, 2018: 16).
3. Primordialisme, Radikalisme dan Terorisme
Belakangan ini di Indonesia, primordialisme, fundamentalisme, dan radikalisme berkembang. Primordialisme adalah sebuah istilah yang menunjuk pada sikap kesukuan yang berlebihan. Orang lebih cenderung terlalu membanggakan sukunya dan meremehkan atau berusaha menyingkirkan orang yang berbeda dengan dirinya. Dari situ ada semacam identitas yang menguat dan menegaskan perbedaan dan menyingkirkan mereka yang berbeda dengan dirinya.
Orang menjadi tidak setuju apabila ada orang di luar sukunya menduduki sebuah jabatan publik dan menjadi tetangga hidup mereka (Direktorium Formatio Iman, 2018: 16-17).
Selain primordialisme kesukuan, muncul pula radikalisme agama. Radikalisme menunjuk pada kelompok yang seringkali memaksakan pandangannya dengan tindakan kekerasan yang diarahkan kepada orang yang berbeda pandangan dan berbeda keyakinan sehingga menjurus pada tindakan intoleran terhadap kelompok lain. Sejalan dengan gerakan itu, muncul pula terorisme. Contohnya adalah kelompok garis keras ISIS yang melakukan tindakan bom bunuh diri di tempat-tempat umum atau pos-pos penjagaan keamanan. Tindakan para teroris telah menelan ratusan korban. Kaum radikal seperti digerakkan oleh kekuatan lain yang ehendak mengguncang ideologi Pancasila, menggantinya dengan ideologi baru keagamaan (Direktorium Formatio Iman, 2018: 17).
4. Rusaknya Lingkungan Hidup
Hidup beriman dewasa ini juga semakin ditantang atas eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam ciptaan. Pada masa ini keutuhan ciptaan mulai terancam karena ulah keserakahan manusia sendiri dan juga karena faktor alam. Penyebab rusaknya lingkungan hidup terbesar disebabkan karena perilaku manusia yang menempatkan dirinya sebagai subjek dan menjadikan alam sebagai objek untuk dikeruk kekayaannya dan dicemari (Direktorium Formatio Iman, 2018: 17-18).
Pengerukan dan pencemaran meliputi: energi-pertambangan, perkebunan, kehutanan, pencemaran tanah, pencemaran udara, pencemaran air, sampah dan perubahan iklim. Keutuhan ciptaan yang telah rusak harus dipulihkan dan diselamatkan oleh karena itu mulai muncul gerakan-gerakan ekologis yaitu perubahan paradigma dari antroposentris menuju biosentris (Direktorium Formatio Iman, 2018: 18).
5. Dampak Negatif Media Sosial
Sekarang media sosial sudah berkembang pesat. Hidup manusia tidak bisa dipisahkan lagi dengan media sosial baik mereka yang berada di kota maupun desa, baik mereka yang terpelajar maupun yang tidak mengenyam pendidikan. Perkembangan teknologi itu membawa kemajuan bagi manusia. Namun di sisi lain, media telah digunakan oleh orang-orang tertentu untuk menghimpun kekuatan dan untuk melakukan propaganda. Sebagai contoh kelompok ISIS sebagai kaum radikal, telah menggunakan media sosial dengan maksimal untuk memperluas propaganda mereka, mengadu domba, melakukan ujaran-ujaran kebencian, hoax dan menyampaikan ujaran negatif yang dapat merusak persatuan bangsa (Direktorium Formatio Iman, 2018: 18).
6. Krisis Iman dan Moral
Persoalan lain yang mempengaruhi umat beriman dewasa ini adalah ritualisme yaitu pelaksanaan agamanya tidak seimbang karena lebih mengutamakan upacara-upacara keagaman atau ritual saja tetapi kurang
memperhatikan penghayatan atau perwujudan iman dalam hidup sehari-hari. Karena itu manusia kehilangan hidup mistiknya, yaitu suatu relasi pribadi yang akrab dengan Tuhan (Direktorium Formatio Iman, 2018: 19).
Hilangnya keakraban dengan Tuhan mengakibatkan tumpulnya hati nurani. Dengan hal ini maka muncul suatu relativisme etis dan moralitas disingkirkan. Budaya relativisme membuahkan sikap dan cara bertindak yang hendak merelatifkan segala sehingga tidak ada yang absolut, tidak ada kebenaran yang pasti dan hakiki. Orang bisa bertindak semaunya sendiri karena bertindak atas kebenaran menurut dirinya sendiri (Direktorium Formatio Iman, 2018: 19).