• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POKOK-POKOK HIDUP DOA

D. Yesus Kristus sebagai Teladan Pendoa

1. Hidup dan Doa Yesus yang Perlu Diteladani

a. Yesus Selalu Mengarah Kepada Allah Bapa dan Setia kepada-Nya

Yesus sebagai Putera Allah sungguh-sungguh seorang manusia. Akan tetapi doa yang dipanjatkan Yesus tidaklah diucapkan ke luar dari kesadaran yang dinodai oleh dosa. Yesus sebagai manusia tetap diwarnai oleh kelemahan-kelemahan manusiawi. Dalam kelemahan-kelemahan manusiawi Yesus tidak kehilangan kepercayaan kepada Bapa (Darminta, 1983: 14-15). Dalam doanya Ia

mengatakan, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk 14: 36).

Yesus menjadi teladan pribadi yang menyerahkan seluruh hidup-Nya kepada Allah Bapa. Menurut Pai (2003: 251-252) Yesus telah menjalani seluruh hidup-Nya untuk mengabdi Bapa-Nya (“Segala kepunyaan-Ku adalah

kepunyaan-Mu” Yoh 17: 10) dan demi orang-orang yang membutuhkan bantuan. Injil (Mrk

1:28-29) melukiskan hidup Yesus sehari-hari yang padat dengan pengajaran dan penyembuhan orang banyak, dengan doa dan persatuan pribadi-Nya dengan Allah. Pada kesempatan lain (Mrk 3:20) dikisahkan bahwa segerombolan orang mencari-Nya sehingga Ia tidak sempat makan. Pemberian diri-mencari-Nya berlangsung sampai pada jalan salib. Ia melepaskan segalanya: pakaian-Nya, sahabat-sahabat-Nya, nama baik-Nya, menyerahkan ibu-Nya, harta milik-Nya terakhir yang paling

berharga. Dia tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilepaskan kecuali meletakkan jiwa dan raga-Nya dalam tangan Bapa-Nya (Luk 23:46).

Jadi menurut Kitab Suci yang dijelaskan oleh Pai tersebut, Yesus sungguh bersikap lepas bebas dalam memenuhi kehendak Allah. Ia menyerahkan seluruh hidup-Nya pada kehendak Allah. Ia menyerahkan segala yang ada dalam diri-Nya dari hal yang paling kecil sampai hal yang paling besar dalam hidup-Nya yaitu nyawa-Nya sendiri. Ketika menyerahkan nyawa-Nya, Ia berdoa kepada

Bapa “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk 23:46). Yesus

selalu berdoa bahkan sampai menjelang wafat-Nya.

Yesus juga berfokus pada kemuliaan Allah. Menurut Pai (2003: 141) hal

ini didasari kutipan dalam Kitab Suci “yang dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan

menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:6-8). Dari kutipan Kitab Suci tersebut ia menjelaskan demikian, “Yesus adalah tokoh teladan sempurna yang tak pernah

mencari kemulian diri-Nya sendiri, tapi selalu mencari apa yang menyenangkan hati Bapa-Nya” (Pai, 2003: 141). Jadi menurut kutipan tersebut, Yesus adalah

teladan yang paling sempurna dari pribadi yang terus berbuat apapun demi kemuliaan Allah. Seringkali kita sebagai manusia cenderung mudah berbuat sesuai dengan apa yang kita inginkan, atau menguntungkan dan menyenangkan diri kita sendiri. Yesus mampu mengatasi kecenderungan manusia tersebut.

Yesus selalu berfokus pada kehendak Bapa. Menurut Darminta (1983:

Bapa, seperti yang terungkap dalam doa Bapa Kami yang diajarkan kepada para murid-Nya”. Menurut kutipan tersebut, Yesus selalu menyesuaikan kehendak-Nya dengan kehendak Bapa. Ia yang juga menjadi manusia memiliki kehendak bebas. Ia mempergunakan kehendak bebas-Nya untuk sungguh-sungguh melaksanakan kehendak Bapa. Jadi menyesuaikan kehendak-Nya dengan kehendak Bapa bermaksud bahwa Yesus melaksanakan kehendak Bapa bukan dengan terpaksa, namun juga dengan kehendak-Nya sendiri. Menurut Darminta (1983: 17) pula,

“Motivasi Yesus ialah cinta, yang berkehendak untuk melaksanakan kehendak

Bapa. Doa Yesus tumbuh dari kerinduan atau keinginan untuk melaksanakan

kehendak Allah Bapa itu”. Menurut kutipan tersebut, Yesus melaksanakan

kehendak Bapa atas dasar cinta-Nya. Ia memiliki kerinduan untuk melaksanakan kehendak Allah Bapa. Maka benarlah bahwa Yesus menyesuaikan kehendak-Nya dengan kehendak Allah Bapa.

Seluruh hidup Yesus adalah jawaban “ya” atas kehendak Bapa. Menurut

Yesus dalam Injil (Yoh 4:34), makanan-Nya adalah melaksanakan kehendak Bapa yang mengutus-Nya dan menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Bapa kepada-Nya (Pai, 2003: 103). Jadi Yesus tidak punya penolakan untuk kehendak Bapa atas diri-Nya. Di dalam hidup-Nya hanya ada kata “ya” atas seluruh kehendak

Bapa. Menurut Pai (2003: 164), Yesus menjadi pribadi yang setia pada Allah dan pada tugas perutusan-Nya hingga akhir. Ia menyatakan kasih Bapa (Yoh 3:6), menjadi saksi kebenaran (Yoh 18:37) dan menjadi seorang pembela kaum tertindas (Luk 4:18). Dia setia pada Allah dan pada diri-Nya sendiri hingga akhir

(Yoh 13:1). Jadi Yesus adalah pribadi yang sungguh setia. Kita sungguh patut meneladani kesetiaan-Nya.

Kepada Allah Yesus memanjatkan pujian dan syukur. Yesus

menyanyikan pujian kepada Allah, “Sesudah menyanyikan nyanyian pujian,

pergilah Yesus dan murid-murid-Nya ke Bukit Zaitun” (Mat 26:30). Kutipan

tersebut menjelaskan bahwa dalam hidup-Nya, Yesus memanjatkan pujian kepada Allah. Menurut Darminta (1983: 16), Yesus Kristus bersyukur kepada Bapa-Nya bahwa Allah Bapa selalu bergiat dan bekerja (bdk. Yoh 5:17). Doa syukur yang dipanjatkan oleh Yesus tidak hanya ditujukan pada hal-hal yang sudah terjadi tetapi juga kepenuhan keselamatan yang sedang dilaksanakan-Nya. Yesus bersyukur atas hal-hal yang akan terjadi karena Ia yakin bahwa akan terpenuhi (Yoh 11:41-42). Puji syukur yang dipanjatkan Yesus ditujukan pada karya keselamatan. Jadi dalam berdoa, Yesus senantiasa memanjatkan pujian dan syukur kepada Allah. Kita pun harus senantiasa memanjatkan pujian dan syukur kepada Allah.

b. Yesus Mendapat Kekuatan dengan Berdoa

Hidup Yesus yang tertulis dalam Kitab Suci, memberitahu kita bahwa

doa dapat memberi kita kekuatan untuk menghadapi hidup kita. “Untuk itu perlu

kiranya kita menyadari bahwa dengan doa, Yesus dapat memperoleh kekuatan untuk melaksanakan misi-Nya dan melengkapi misi-Nya itu sesuai dengan

kehendak Bapa” (Fuellenbach, 2004: 144). Menurut kutipan tersebut, Yesus dapat

menimba kekuatan melalui doa. Doa memberikan kekuatan dan ketegaran dalam menghadapi hidup yang berat.

Mungkin tidak asing lagi peristiwa ini bagi kita, yaitu ketika Yesus menghadapi kematian-Nya seperti yang dituliskan oleh Youcat Katekismus Populer 176:

Ketika berhadapan muka dengan maut, Yesus mengalami puncak ketakutan manusiawi. Namun, Ia menemukan kekuatan ketika menyerahkan Diri kepada Bapa-Nya di Surga: “Abba, ya Bapa Segala

sesuatu mungkin bagi-Mu. Ambillah cawan ini daripada-Ku. Tetapi janganlah apa yang Kukehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki (Mrk 14:36).

Yesus sebagai manusia, punya ‘kelemahan’ dalam diri-Nya. Pada malam

itu di Taman Getsemani, Ia begitu takut menghadapi penyaliban-Nya. Dalam

perikope “di Taman Getsemani” pada Mrk 14:32-42 dituliskan bahwa “Ia

membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya, Ia sangat takut dan gentar”

(Mrk 14:33). Menghadapi kematian-Nya yang sungguh menyakitkan dan menakutkan, Ia merasa sangat sedih dan tidak berdaya lagi hingga mengatakan

“Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (14:34). Bahkan dalam Injil

yang lain dikatakan “Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44).

Akan tetapi dalam doa Ia mendapatkan kekuatan untuk tegar menghadapi kematian-Nya dan menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi haruslah seperti kehendak Bapa. Oleh karena itu Ia sampai pada kata-kata-Nya (Mrk 14:36) tersebut, bahwa Ia mohon Bapa mengambil cawan dari pada-Nya dan pasrah pada kehendak Bapa supaya terjadi.

Fuellenbach (2004: 146) juga menjelaskan bahwa dalam doa-Nya di

Taman Getsemani, Yesus mendapatkan kekuatan mengatakan “ya” untuk mati di

kayu salib atas kehendak Bapa-Nya. Sebenarnya kesanggupan ini juga merupakan perjuangan sepanjang hidup Yesus seperti yang terungkap dalam Ibrani 5:7-8:

Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya.

Menurut kutipan Kitab Suci tersebut dalam hidup-Nya yang juga diwarnai dengan kepahitan Yesus berdoa, memohon dengan ratap tangis dan mengeluh kepada Allah Bapa. Karena kesalehan Yesus, Ia telah didengarkan oleh Bapa yang menyelamatkan Ia dari maut. Dari doa Ia memperoleh kekuatan untuk tetap setia dan taat menjalani tugas perutusan-Nya yang tidak pernah luput dari penderitaan.

Menurut Fuellenbach (2004: 146), ada pula saat-saat sulit dalam hidup Yesus yang membuat-Nya hampir putus asa. Yesus seringkali merasa lelah mengajar murid-murid-Nya yang tanpa kedalaman dan seakan-akan tidak mengerti pada visi-misi yang Ia bawakan. Sekitar 17 kali Yesus mengajukan pertanyaan kepada murid-murid-Nya dengan kata-kata “Mengertikah kamu?” atau

yang senada dengan itu. Dengan situasi tersebut, Yesus sering merasa menemui jalan buntu sehingga Ia memilih pergi ke tempat-tempat yang sunyi untuk berdoa (Luk 5:16).

Jadi Yesus selama menjalani tugas perutusan-Nya, selalu ada saat di mana Ia merasa hampir putus asa dan menemui jalan buntu. Hidup manusia tidak

bisa berjalan mulus dan berisi kebahagiaan terus-menerus. Akan selalu ada situasi yang berat di dalam hidup manusia. Yesus sebagai manusia juga mengalami saat-saat yang berat. Ia memilih berdoa untuk bersandar pada Allah Bapa. Doa memberi kekuatan kepada-Nya supaya terus memiliki semangat, kesetiaan dan ketaatan dalam menjalani tugas perutusan.

c. Yesus Berdoa Demi Kepentingan Orang Lain

Sebagai perantara, Yesus selalu berdoa demi kepentingan orang lain.

Menurut Darminta (1983: 15) “Yesus Kristus berdoa dengan keprihatinan tidak

hanya atas terlaksananya tugas perutusan-Nya tetapi juga atas keselamatan umat manusia. Dia berdoa sebagai penyelamat yang prihatin atas orang-orang yang diserahkan kepada-Nya” (Yoh 17:1-26). Menurut kutipan tersebut, Yesus sebagai penyelamat manusia selalu peduli dengan keselamatan manusia. Ia tidak hanya fokus pada hubungan-Nya dengan Bapa dan terlaksananya tugas perutusan-Nya saja. Lebih daripada itu, Yesus mencintai manusia dan memikirkan keselamatan manusia.

Menurut Darminta (1983: 18) “Isi doa pengantaraan Yesus nampak jelas

dalam doa imami-Nya. Dia memohonkan kesatuan orang-orang-Nya sebagai bukti pemuliaan Allah Bapa (Yoh 17). Karena cinta Yesus kekal adanya, maka Dia

tetap berdoa bagi manusia (1 Yoh 2:1)”. Menurut kutipan tersebut, Yesus juga

memohonkan kesatuan umat Allah sebagai bukti pemuliaan Allah Bapa. Ia selalu memohon bagi manusia karena rasa cinta-Nya kepada manusia terus ada.

Ada beberapa kutipan Kitab Suci menurut Pai (2003:40-41) yang menunjukkan bahwa Yesus selalu berdoa untuk orang lain, yaitu:

Sebelum kematian dan penderitaan-Nya yang terakhir, Yesus berkata

kepada Petrus: “Simon, Aku telah berdoa untukmu” (Luk 22:23) dan

menyampaikan doa seorang imam (doa imami) yang sangat indah (Yoh 17) untuk para murid-Nya dan untuk kita supaya mereka semua bersatu satu sama lainnya dan pantas menjalankan tugas perutusan/misi yang diterima dari Bapa. Di salib Dia berdoa bagi musuh-musuh-Nya: “Bapa, ampunilah mereka, sebab merekatidak tahu apa yang mereka perbuat”

(Luk 23:24) dan sebagai Tuhan yang telah bangkit Dia tetap menjadi Pengantara bagi kita untuk selama-lamanya (Ibr 7:25).

Menurut kutipan tersebut, Kitab Suci telah menuliskan dengan sangat jelas dan lengkap bukti bahwa Yesus selalu berdoa demi kepentingan umat-Nya baik untuk individu maupun kelompok. Dalam Luk 22:31 Yesus mendoakan Simon supaya imannya jangan gugur. Hal ini terjadi dalam percakapan waktu perjamuan malam terakhir. Yesus tahu apa yang akan terjadi kepada Simon Petrus, yakni penyangkalan yang akan dia lakukan. Yesus mengutus Simon Petrus supaya menguatkan saudara-saudaranya ketika ia sudah insaf. Yesus benar-benar peduli dengan Simon Petrus dan murid-murid-Nya.

Kemudian dalam Yoh 17, tertulis dalam Kitab Suci bahwa Yesus mendoakan murid-murid-Nya supaya mereka menjadi satu dengan Allah sama seperti Yesus dengan Allah Bapa. Ia juga berdoa supaya murid-murid-Nya dapat bersatu dan menjalankan tugas perutusan mereka dengan baik. Dalam doa-Nya yang panjang tersebut, dapat kita ketahui bahwa Yesus sangat peduli pada nasib murid-murid-Nya. Kemudian dalam Luk 23:34 Yesus berkata “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Nampak

orang-orang yang bersalah pada-Nya. Yesus sangat berjiwa besar, dengan doa ini pula dapat kita rasakan bahwa Yesus tidak menyimpan dendam dan mengampuni siapapun yang bersalah kepada-Nya. Ia bahkan mendoakan mereka, memohonkan ampunan Bapa bagi mereka. Dalam Ibr 7:25 dikatakan bahwa Yesus sanggup menyelamatkan semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah dan Ia hidup senantiasa menjadi pengantara mereka. Jadi Yesus sungguh menyelamatkan semua orang yang datang kepada Allah oleh karena Yesus dan hidup selamanya menjadi Pengantara dan Imam Besar bagi mereka.

d. Yesus Berdoa Sendiri dalam Kesunyian/Keheningan

Ketika Yesus berdoa seorang diri, Ia berdoa dalam kesunyian atau keheningan. Menurut Iman Katolik (1996: 200), “betapapun sibuknya hidup-Nya dengan pewartaan dan pelayanan orang, Ia selalu menemukan kesempatan untuk

naik ke atas bukit dan berdoa seorang diri” (Mat 11:25). Menurut kutipan tersebut,

Yesus yang melaksanakan tugas perutusan-Nya memiliki keseharian yang sangat sibuk. Setiap hari Ia sibuk mewartakan Kerajaan Allah dan juga melayani orang-orang. Di tengah kesibukan itu, Ia tidak pernah meninggalkan kegiatan doa. Ketika berdoa, Ia menyingkir dari antara keramaian dan naik ke atas bukit untuk berdoa sendiri dalam keheningan.

Menurut Darminta (1983: 14), diceritakan bahwa Yesus kerap kali berdoa sendirian. Dengan berdoa sendirian seperti itu Yesus dapat merasakan secara mendalam hidup dan diri-Nya sebagai Putera Allah. Hanya Dia adalah Putera dan hanya Dia kenal Bapa-Nya (Mat 11:25-27). Jadi menurut Darminta

berdasarkan Matius 11:25-27, Yesus kerap kali berdoa sendirian. Dalam doa-Nya itu, Ia dapat merasakan rasa syukur atas segenap karya Bapa. Yesus memahami bahwa tidak ada seorangpun yang mengenal Yesus selain Allah Bapa dan tidak ada seorangpun yang mengenal Allah Bapa selain Yesus dan orang yang kepadanya Yesus berkenan menyatakannya.

Menurut Fuellenbach (2004: 146), “Yesus memilih tempat-tempat sepi seperti puncak bukit atau padang gurun untuk berdoa. Tetapi Dia tidak pernah sampai tinggal di tempat itu. Setelah selesai berdoa Yesus selalu kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk melaksanakan misi-Nya”. Menurut kutipan

tersebut, Yesus memilih tempat-tempat yang sepi seperti puncak bukit atau padang gurun menjauh dari keramaian untuk berdoa. Di tempat yang sunyi itu Yesus tidak menetap dalam waktu yang lama. Ia hanya di sana untuk berdoa kemudian Ia kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat untuk melaksanakan tugas perutusan-Nya. Ia selalu berkomunikasi dengan Allah setiap melakukan apapun, terlebih ketika akan melaksanakan tugas perutusan-Nya.

Kita dapat meneladani Yesus yang berdoa sendiri dalam kesunyian atau keheningan. Keheningan sangat diperlukan Yesus untuk berdoa. Mengapa keheningan diperlukan dalam berdoa? Menurut Laplace (1984:37), dalam berdoa diperlukan pemusatan perhatian. Setiap orang yang bekerja apa pun pekerjaannya, pada dasarnya sedang dalam keadaan hening sekurang-kurangnya karena dia sedang memusatkan perhatian kepada pekerjaannya. Bila tidak hening, maka orang itu akan sibuk ke sana ke mari dan menjadi bosan kepada pekerjaannya lalu tidak membuahkan apa-apa. Memusatkan perhatian kepada Allah itu tidak

mungkin tanpa usaha untuk menguasai diri. Keheningan berhubungan erat dengan penguasaan diri.

Jadi menurut Laplace, keheningan sungguh diperlukan karena dengan keheningan seseorang dapat memusatkan perhatian atau fokus pada apa yang sedang dilakukannya. Setiap orang yang sedang bekerja sekurang-kurangnya sedang hening karena fokus pada pekerjaannya. Untuk pekerjaan tertentu yang membutuhkan dialog, hening dapat diartikan bukan tanpa mengeluarkan kata-kata akan tetapi lebih berarti fokus atau memusatkan pikiran pada apa yang hendak dibicarakan. Dengan keheningan, kita bisa memusatkan perhatian kita kepada Allah yang kita tuju dalam doa dan kita juga bisa menguasai diri kita.