• Tidak ada hasil yang ditemukan

24

3. Dosa Korporasi Yang Dilindungi

i. Hutan Dibakar, Bukan Terbakar!

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama beberapa dekade telah jadi suatu rutinitas krisis lingkungan tahunan. Merunut sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari catatan Badan Restorasi Gambut (BRG), pada tahun 1967, kota Palembang pekat diselimuti asap. Sekitar tahun 1970-an, giliran wilayah udara Kalimantan Selatan memutih oleh kabut asap dari kebakaran hutan.

Pasca pelepasan lahan gambut untuk satu juta hektare lahan pertanian di Kalimantan Tengah tahun 1996, kebakaran hutan hebat terjadi saat kemarau panjang pada tahun 1997. Diperkirakan sekitar 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer kala itu. Jumlah karbon akibat kebakaran hutan yang mencemari udara itu setara dengan karbon dioksida yang dihasilkan oleh 2.488 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama setahun.51

Terhitung sejak pertengahan Juli 2019 dari hasil pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, sudah ada 38 titik panas di wilayah hutan Provinsi Riau. Sementara itu tim peneliti dari Harvard University dan Columbia University memperkirakan akan ada 91.600 kematian dini ada di Indonesia, 2.200 kasus kematian di Singapura, dan 6.500 kasus kematian di Malaysia akibat dampak jangka panjang kebakaran hutan dilihat dari observasi penyebaran asap secara sporadis yang diamati melalui pencitraan satelit.

Tim ilmuwan di bidang kesehatan masyarakat dan atmospheric modelling ini meneliti jumlah kematian orang dewasa karena menghirup partikel padat pada asap dengan ukuran 2,5 Particulate Matter (PM2,5). Jurnal terbaru yang ditulis tim gabungan peneliti dari universitas yang sama dengan judul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health

Benefits from Peatland Restoration,” yang terbit Juli 2019 menyebutkan, jika pengendalian

kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, angka kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030. Dari angka itu, 92 persen kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia. Sementara itu dari laporan tahunan WALHI, Tinjauan Lingkungan Hidup Tahun 2019, terlihat setelah kebakaran hutan dan lahan besar-besaran pada 2015, jumlah titik api yang terpantau di lahan gambut turun tajam hingga tahun 2017. Namun pada tahun 2018, jumlah titik api justru menunjukkan peningkatan tajam hampir 10 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Hingga September 2019, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meluas di Kalimantan dan Sumatera. Laporan bencana asap pun bermunculan dari Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sepanjang Agustus-September 2019.52

51 Mark E Harrison, The Global Impact of Indonesian Forest Fires, Biologist, Vol. 56 No. 3, Agustus 2009

52 Laporan LAPAN, Titik Panas 2019 Sudah Lampaui Tahun 2018, (LAPAN: 12 September 2019) Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 6. Visualisasi Citra

Satelit menggunakan permodelan GEOS Forward Processing (GEOS-FP) oleh NASA yang diambil pada Selasa (17/09/2019) Gambar 6. Visualisasi Citra Satelit menggunakan permodelan GEOS Forward Processing (GEOS-FP) oleh

25 Berdasarkan data milik

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Senin, 16 September 2019, titik panas (hotspot) ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 58 titik, Jambi 62 titik, Sumatera Selatan 115 titik, Kalimantan Barat 384 titik, Kalimantan Tengah 513 titik dan Kalimantan Selatan 178 titik. Jumlah titik panas itu menurun dibandingkan data BNPB per 15 September 2019. Pada 17 September 2019, jumlah titik panas di Provinsi Riau terlapor sebanyak 59 titik, Jambi 222 titik, Sumatera Selatan 366 titik, Kalimantan Barat 527 titik, Kalimantan Tengah 954 titik dan di Kalimantan Selatan sebanyak 119 titik.

Sementara berdasarkan

data KLHK luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama 2019 telah mencapai 328.722 hektare (ha) dengan Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Kalimantan Selatan 19.490 ha, Sumatera Selatan 11.826 ha, Jambi 11.022 ha dan Riau 49.266 ha. Setelah ditinjau bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI menggunakan helikopter di Riau pada Minggu (15/9/2019), Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap keheranannya karena ia tidak melihat lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya sebagian kecil itu pun hanya di bagian tepi pinggir lahan.

"Ini menunjukkan adanya kesengajaan praktik 'land clearing' dengan cara mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau sebagai momen”

(Jenderal Tito Karnavian, Kapolri, pada Siaran Pers BNPB 15 September 2019)

Gambar 8. Persentase Jumlah Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan Sumber : Global Forest Watch, 2019

Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 7. Tangkapan visual penyebaran kabut asap oleh satelit NASA menggunakan Operational Land Imager (OLI) pada Minggu (15/09/2019) Gambar 7. Tangkapan visual penyebaran kabut asap oleh satelit

NASA menggunakan Operational Land Imager (OLI) pada Minggu (15/09/2019)

26 Hingga 16 September 2019, polisi sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi yang menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng. Sedangkan KLHK mengklaim sampai pertengahan September 2019 sudah menyegel 42 perusahaan yang diduga menjadi otak dibalik pembakaran hutan dan lahan. Penyegelan itu dalam rangka proses hukum. Lahan perusahaan-perusahaan itu berlokasi di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Di antara 42 perusahaan itu ada yang dimiliki pemodal asal Singapura dan Malaysia.53

Perdebatan mengenai apakah kebakaran di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor manusia atau kejadian alam layak menjadi topik yang tidak bisa ditampik. Kerusakan lingkungan akibat ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan kegiatan manusia jelas turut andil atas terjadinya kebakaran lahan, namun faktanya kebakaran alami di Indonesia merupakan kejadian langka dan kebakaran skala besar seperti yang terjadi di tahun 1997-1998 tidak terjadi selama tahun-tahun tanpa ENSO.54 Di sisi lain, menjadi semakin jelas bahwa masalah kabut asap yang terjadi hampir di setiap tahun adalah akibat pembakaran yang disengaja untuk kepentingan pembukaan lahan, sekalipun luasnya jauh lebih kecil dari dampak ENSO. Faktor manusia yang mencakup kegiatan perkebunan milik korporasi, penduduk dan lembaga pemerintah juga turut andil lebih dominan daripada ENSO atas terjadinya kebakaran hutan bencana kabut asap.

Sayangnya, usaha pencarian pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan kabut asap selalu stagnan secara berulang dan teratur sebagaimana masalah kabut asap yang mengganggu kegiatan sosial dan ekonomi di Indonesia. Bencana rutin tahunan di Indonesia ini tentu selalu mendapat perhatian besar dari masyarakat dunia bukan hanya karena kabut asap yang ditimbulkannya, tetapi juga karena kabut asap dianggap bertanggung jawab atas kerugian ekonomi dan ekologi hutan.

Sementara itu upaya pengusutan kasus kebakaran hutan dan deforestasi semakin disulitkan dengan banyaknya kelemahan kebijakan regulatori seperti generalisasi masalah kebakaran yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001. Dari berbagai laporan, banyak pelaku industri perkebunan kelapa sawit dan karet nyatanya sengaja mengalokasikan lahan hutan untuk dijadikan sebagai tata guna lahan alternatif di tengah kesempatan lemahnya kebijakan yang salah fokus tersebut.55 Seharusnya tujuan utama hadirnya kebijakan pelindung ekologi adalah mencegah deforestasi yang mengarah pada peninjauan proses alokasi tata guna lahan. Aturan yang ada tidak melarang adanya penggunaan api dalam perkebunan yang mana menyebabkan banyak kebakaran atau titik api. Pemerintah hanya akan menindak apabila terjadi kebakaran yang menjalar atau menghasilkan pencemaran berupa kabut asap. Celah aturan ini membuat penanganan kebakaran tidak berjalan mulus karena penggunaan api dalam alih fungsi lahan akan tetap dipertahankan sebelum dilarang secara total. Namun merevisi perundang-undangan saja tentu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah lain yang diakibatkan oleh kebakaran hutan. Proses peradilan yang seharusnya ditegakkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kebakaran hutan sulit dipantau dan dipatroli.

Indikasi ini terlihat dari kebakaran yang berulang kali terjadi memang diberi kesan sebagai fenomena yang berada di area terpencil dan sulit dijangkau, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Contohnya, bencana asap selama Juli-Oktober setiap tahunnya memiliki lebih dari 70 persen titik api (hot spots) teridentifikasi yang berada di sekitar lahan perkebunan sawit dan hutan tanam di mana seharusnya terdapat akses jalan untuk menjangkau area tersebut.56Sehingga inspeksi; pengumpulan bukti dan eksekusi oleh pemerintah untuk mengusut pihak yang memanfaatkan metode pembakaran dapat dilakukan dengan tegas.

53 Fadiyah Alaidrus, KLHK Segel 42 Perusahaan Diduga Pelaku Pembakaran Hutan, (Tirto.id: 14 September 2019)

54 Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, (Jakarta: CIFOR), 2003 hlm. 21

55 Ibid,. hlm. 17-19

27 Oleh karena itu, setelah hukum direvisi seharusnya pemerintah dapat tegas melawan perusahaan perusak ekologi melalui upaya perlindungan hukum preventif dan represif semaksimal mungkin. Sehingga apabila sanksi berupa pencabutan izin usaha dan sanksi pidana berupa denda atau kurungan penjara diimplementasikan, maka perusahaan lain akan menangkap pesan jera yang kuat untuk meredam aktivitas perusakan ekologi, termasuk pembakaran hutan.

Yang amat disayangkan, pesan jera sebagaimana yang diharapkan tersebut justru berlawanan dengan realita yang dilakukan pemerintah. Salah satu poin dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015, Kementerian Kominfo memang ditugaskan sebagai koordinator yang merancang dan menyusun narasi tunggal bagi pemerintah terkait isu yang berkembang di masyarakat (Government Public Relation). Namun dalam praktiknya, peran tersebut justru disalahgunakan (bahkan menggunakan Inpres sebagai payung hukum) dengan memanfaatkan Kemkominfo sebagai corong bagi kepentingan industri. Belakangan ini terlihat misalnya dalam gerakan #SawitBaik, produk kampanye dari hasil konsolidasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) dengan Kemenko Perekonomian dan Kemkominfo.

Gerakan ini tentu menjadi ironi tersendiri sebab akun Twitter @SawitBaik mendengungkan tagar #SawitBaik di tengah momen kebakaran hutan pada pertengahan 2019. Kampanye tersebut bahkan sempat mengadakan giveaway bagi pengguna Twitter yang mengunggah cuitan bertagar #SawitBaik. Parahnya, Kemkominfo sebagai pemegang puncak kendali informasi digital justru bergerak lebih jauh dengan membantah dan mendiskreditkan narasi kritis terhadap praktik industri sawit sebagai hoaks.57 Sehingga kampanye #SawitBaik dapat menjadi ilustrasi penyalahgunaan Kemkominfo sebagai advokat bagi kepentingan industri. Alih-alih hadir sebagai penengah antar kepentingan, Kementerian ini justru berpotensi mengambil peran sebagai advokat industri bagi sektor-sektor yang “dekat” dengan pemerintah. Industri sawit hanya salah satunya, Kemkominfo pun hanya salah satunya.

Adapun data dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) yang menunjukkan bahwa kepemilikan perkebunan sawit didominasi oleh korporasi besar58 sebagaimana tercantum dalam tabel di samping. Menariknya, apabila dianalisis secara holistik maka kita akan menemukan ada banyak nama di kursi penting pemerintahan dan partai wakil rakyat yang nyatanya punya pertalian erat dengan banyak korporasi sawit besar tersebut.

Yang menjadi pertanyaan, akankah negara berani menindak oligarkinya sendiri?

57 Kemkominfo. “[HOAKS] Minyak Sawit Merusak Hutan”. 27 Agustus 2019.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/20914/hoaks-minyak-sawit-merusak-hutan/0/laporan_isu_hoaks

58 TuK Indonesia, Kuasa Taipan Kelapa Sawit Indonesia, (Jakarta: TuK Indonesia, 2013), hlm. 18

Gambar 9. Daftar 25 Konglomerasi Penguasa Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

28