Page 1 of 25
M A N I F E S T O
P E R J U A N G A N
R A K Y A T
Membedah Demokrasi di Kaki Oligarki
#ReformasiDikorupsi
#NegaraMasihSakit
#LawanPenindasanOligarki
MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT :
Membedah Demokrasi di Kaki Oligarki
TATA LETAK & DESAIN GRAFIS
Muhammad Abdurrokhim A.
PUBLIKASI
Surabaya, 10 November 2019 (Edisi Pertama)
Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat
TIM PENGKAJI & KONTRIBUTOR
Muhammad Abdurrokhim A.
Anindya Shabrina
Iqbal Felisiano, S.H, LL.M
Lusi Aprilia
Taufiqurrochim, S.H
Henry Wicaksana, S.T
Rizky Pratama L. P., A.Md
Muhammad Rizal Syahputra
PENYUNTING NASKAH
Lusi Aprilia
Berryl Ilham
Mohammad Alfarizqy
PERUMUS NASKAH
Muhammad Abdurrokhim A.
“
Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed
”
iii
PENGANTAR : APA DAN MENGAPA
Sejak era kolonial, political capture dan regulatory capture1 selalu menjadi jalur yang mempertemukan
segelintir borjuis untuk berurusan dengan pejabat publik, yang kemudian mendorong transaksi kepentingan antara perusahaan, birokrat dan politisi sehingga konglomerasi terlahir. Sehingga hari ini Indonesia tengah dihadapkan dengan demokrasi semu yang dikuasai oleh oligarki sebagai hasil democratic regression.2 Melalui
gerakan rakyat yang hingga detik ini masih terus menyuarakan perlawanan, seharusnya kelompok akar rumput dapat menyadari bahwa kemenangan kecil dari konsesi dan reforma hukum yang kompromis tidaklah cukup tanpa implementasi yang efektif, berkelanjutan, serta tentunya berpihak pada rakyat.
Hal lain yang sangat disayangkan adalah ketika kalangan akademisi, sebagai the man of ideas, justru tidak melibatkan diri dalam perdebatan demokrasi yang berarti memisahkan diri dari gerakan rakyat. Secara tidak langsung, ketidakpedulian tersebut menjadi upaya memarjinalkan diri sendiri sekaligus mereduksi peran sosial institusinya. Sehingga kondisi itu memperlebar jarak antara kaum intelektual dan masyarakat. Alih-alih fokus kepada disiplin ilmu sektoral, adanya pemeringkatan QS (Quacquarelli Symonds) menstimulasi perguruan tinggi berlomba-lomba menambah jumlah dokumen terindeks dan sitiran di Scopus yang bahkan diperparah oleh pemeringkatan SINTA (Science and Technology Index) buatan Kemenristekdikti yang sangat eksklusif secara individu. Ekosistem obsesif inilah yang menurunkan gerakan akademik Indonesia sehingga tidak progresif dan tidak dinamis. Ironisnya, gaya eksklusivitas ini terwaris turun temurun melalui proses publish-or-perish yang kemudian melanggengkan paradigma berpikir feodal.
Kalaupun karya kecil ini dianggap jauh dari kebiasaan tulisan berpembawaan kuantitatif, hal ini semata-mata tidak bermaksud menafikan kecerdasan dan kearifan para pakar dan guru besar. Namun pengungkungan diri kaum intelektual nampak seperti peran pendeta-pendeta Eropa di abad pertengahan yang puas dengan hanya memberi nasihat tertutup, yang serba rahasia kepada petinggi negara atau bahkan sekadar menjelma sebagai speech writer bagi para pejabat. Padahal rakyat membutuhkan pemikiran yang mampu menciptakan kesadaran dalam kehidupan berbangsa sebagai kesatuan masyarakat madani. Sebab hari ini, proses pembangunan di Indonesia sejatinya sudah memasuki tahapan yang tidak sekadar meningkatkan nilai tambah ekonomi, namun harus berorientasi pada peningkatan nilai tambah manusia yang hidup di tengah ekonomi tersebut. Lebih daripada itu, seluruh lapisan masyarakat harus dihargai martabatnya selaku manusia.
Karya kecil ini merupakan hasil kerjasama dari banyak pihak, baik individu, organisasi, pun lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pada khalayak luas, publikasinya menjadi penting demi menjaga nyala api perlawanan sekaligus sebagai pengingat bahwasanya demokrasi hari ini terus tergelincir ke dalam pusaran oligarki, hingga bertransformasi menjadi: dari rakyat, oleh oligarki, dan untuk oligarki.
Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suksesnya hegemoni oligarki, sehingga mereka akan terus memonopoli kekayaan melalui demokrasi semu. Kendati demikian, oligarki tidak dapat tumbuh dan berkembang apabila masyarakat sipil memiliki kesadaran penuh atas bahaya oligarki. Semoga melalui Manifesto Perjuangan Rakyat, kabar buruk yang menimpa Indonesia dapat tersampaikan agar memantik kebangkitan gerakan rakyat tanpa kelas yang kemudian membongkar permufakatan jahat yang selama ini ditutupi oleh penguasa. Terakhir, sebagaimana para moralis di Indonesia yang terus mengumandangkan adanya bahaya laten Komunisme, maka dengan ini perlu juga kita serukan: “Awas Bahaya Laten, Orde Baru yang Baru!”
Tim Penyusun
1 kondisi di mana oligarki politik (termasuk eksekutif dan legislatif) mengubah kebijakan serta regulasi agar
menguntungkan mereka, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Dikemukakan Nicholas Galasso dalam Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality, 18 Oxfam Briefing Paper, Oxfam International, Januari 2014, hlm. 11
2 penurunan kualitas demokrasi secara bertahap melalui demokrasi itu sendiri. Dikemukakan Edward Aspinall dalam
Indonesia: The Dangers of Democratic Regression, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 129, Atlantis Press, 2017, hlm. 1-2
DAFTAR ISI
PENGANTAR : APA DAN MENGAPA iii
DAFTAR ISI iv
MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT 1
A. INDONESIA HARI INI 3
1. Reformasi Benar-Benar Dikorupsi 3
i. Pembunuhan Berencana terhadap KPK 3
ii. Serentak Kompak Menginjak KPK 4
iii. Nasib KPK dan Agenda Reformasi 5
2. Persoalan HAM Masa Lalu, Kini dan Nanti 8
i. Mati Satu, Mati Seribu 8
ii. Papua dan Penjajahan oleh Negara 12
iii. Ironi Kekerasan Seksual 20
3. Dosa Korporasi Yang Dilindungi 24
i. Hutan Dibakar, Bukan Terbakar! 24
ii. Kita Dilarang Menghambat Investasi! 28
iii. Reforma Agraria di Kaki Monopoli 32
iv. Lahirnya Komoditas Dagang Baru : Pendidikan 38
4. Demokrasi dalam Pusaran Oligarki 43
i. Pembungkaman Publik 43
ii. Ketika Aparat Menjadi Alat 47
iii. Fenomena Pers Boneka dan Pembungkaman Digital 49
B. NEGARA MASIH SAKIT 53
1. Partisipasi Masyarakat Sipil September 2019 53
i. Mosi Tidak Percaya 53
ii. #AnakSTM dan Perspektif Lain 55
2. Retorika Oligarki dan Rekayasa Elit Politik 59
i. Yang Penting Mereka Dapat Kursi! 59
ii. Retorika Politik Oligarki 61
C. RAKYAT BERSATU MELAWAN OLIGARKI 65
1. Rakyat Menggugat! Situasi Darurat! 65
2. Resolusi, Reformasi, atau Revolusi? 67
i. Ilusi Reformasi 67
ii. Hanya Kita yang Tersisa dan yang Bisa 69
DAFTAR PUSTAKA 70
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mayjend Soeharto memimpin Komando Mandala dalam operasi TRIKORA ... 14
Gambar 2. Penandatanganan Kesepakatan Kontrak Karya I PT Freeport Indonesia pada 7 April 1967 ... 14
Gambar 3. Open Pit-Underground Grasberg Mine ... 15
Gambar 4. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, 2007-2018 ... 20
Gambar 5. E-kliping Ironi Kekerasan Seksual di Indonesia ... 22
Gambar 6. Visualisasi Citra Satelit menggunakan GEOS Forward Processing (GEOS-FP) oleh NASA ... 24
Gambar 7. Tangkapan visual penyebaran kabut asap menggunakan Operational Land Imager (OLI) ... 25
Gambar 8. Persentase Jumlah Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan... 25
Gambar 9. Daftar 25 Konglomerasi Penguasa Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ... 27
Gambar 10. Luas Lahan Sawit Menurut Provinsi (2018) ... 29
Gambar 11. Korelasi antara EPI Scores vs GDP per Capita ... 31
Gambar 12. Hanya 29% Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang Membayar Pajak ... 35
MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT
Setelah 21 tahun, 5 bulan, 6 hari terhitung sejak kekuasaan Soeharto tumbang,
reformasi belum juga memberi solusi yang nyata atas penderitaan rakyat, buruh, tani, dan
kelompok rentan. Bahkan hari ini, kita menjadi saksi atas penindasan yang telah, sedang, dan
terus dilancarkan oleh negara demi melanggengkan kekuasaan oligarki, dengan memperalat
hukum untuk membungkam suara demokrasi, diiringi dengan berbagai persoalan yang tak
kunjung tuntas.
Dengan digulirkannya banyak kebijakan yang terbukti tidak berpihak kepada rakyat
sehingga mencederai agenda reformasi dan cita-cita UUD 1945, maka pada hari ini
gerakan-gerakan rakyat yang berasal dari berbagai organisasi, serikat, federasi, telah bermufakat untuk
bersatu sebagai Persatuan Perjuangan Rakyat demi melawan penindasan. Sehingga atas nama
demokrasi, dengan ini kami menyatakan:
1.
Mendesak Presiden untuk menerbitkan Perppu KPK dan mencabut mandat pimpinan
KPK terpilih yang bermasalah.
2.
Menolak RKUHP, RUU Pemasyarakatan, PSDN, Pertanahan, Ketenagakerjaan,
Keamanan dan Ketahanan Siber, Sumber Daya Air, Minerba, Budidaya Pertanian,
Perkelapasawitan, dan segala Rancangan Undang-undang yang tidak berpihak kepada
kepentingan rakyat, baik sebagian maupun keseluruhan.
3.
Mendesak pemerintah untuk mencabut segala Undang-undang yang tidak berpihak
kepada kepentingan rakyat melalui Perppu atau jalur konstitusional lainnya.
4.
Mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual dan RUU Perampasan Aset.
5.
Menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kerusakan ekologis di seluruh
Indonesia, mempidanakan korporasi pembakar hutan dan perusak lingkungan, serta
cabut izinnya.
6.
Menolak keterlibatan TNI & POLRI di segala bentuk jabatan sipil.
7.
Menuntut pemerintah menarik mundur seluruh militer, menghentikan segala bentuk
pelanggaran HAM, menjamin hak demokrasi serta membuka akses jurnalis
internasional di tanah Papua.
8.
Menolak kenaikan iuran BPJS.
9.
Menuntut pemerintah untuk melindungi aktivis pegiat HAM, lingkungan, anti-korupsi
serta menjamin hak-hak demokrasi rakyat.
10.
Menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan.
Seluruh butir tuntutan tersebut adalah bukti perlawanan sekaligus kesaksian rakyat
yang melihat, mendengar dan merasakan sakitnya penderitaan negara di bawah kaki oligarki.
Dengan demikian jelas bahwasanya reformasi telah berada di titik nadir, sebab dikorupsi oleh
para reformis gadungan yang justru mengkhianati cita-cita bangsa. Maka pada hari ini, kami
menyatakan persatuan dan kesatuan kami untuk terus berjuang tanpa henti dan tanpa letih
dalam melawan segala bentuk penindasan sebagai bentuk sumpah setia kami kepada rakyat.
Surabaya, 28 Oktober 2019
3
A.
INDONESIA HARI INI
1.
Reformasi Benar-Benar Dikorupsi
i.
Pembunuhan Berencana terhadap KPK
Pasca reformasi 1998, harus diakui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai akhir tahun 2018, berdasarkan data rekapitulasi yang tersedia di portal Anti Corruption Clearing House (ACCH), KPK berhasil melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 1.135 perkara, penyidikan 887 perkara, penuntutan 719 perkara, inkracht 578 perkara, dan eksekusi 610 perkara.3 Termasuk menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah. Namun dibalik
kinerja dan capaian tersebut, masih banyak pihak yang menginginkan KPK dilemahkan, bahkan dimutilasi. Pelemahan KPK yang sekarang terjadi menunjukkan bahwa perlawanan balik para koruptor melalui kaki tangannya di pemerintahan tidak dapat dibendung lagi.
Ironisnya, upaya pelemahan KPK telah berulang kali terjadi. Terhitung sejak tahun 2010, upaya pelemahan KPK melalui mekanisme/proses legislasi dengan cara melakukan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (RUU KPK), termasuk juga pada tahun-tahun setelahnya. Pada pertengahan 2019, proses legislasi Revisi UU KPK merupakan yang paling aktif sejak 10 tahun terakhir meskipun mendapat banyak penolakan publik. Pola pelemahan yang sama terhadap KPK juga terus berulang, terutama jika KPK sedang menangani perkara tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik dan berpotensi mengganggu kepentingan kelompok tertentu.
Revisi yang sepatutnya bertujuan untuk memperbaiki kekurangan, tidak demikian halnya dengan Revisi Undang-Undang KPK di tahun 2019. Dari berbagai hasil kajian oleh publik secara objektif terhadap RUU KPK, ditemukan banyak kelemahan, baik dari sisi substansi maupun proses perundangannya. Dari substansi dan politik hukum yang tersirat, bukan penguatan KPK yang menjadi alasannya, justru mengarah pada pelemahan KPK. Terbukti, dari disisipkannya 26 pasal yang memiliki permasalahan fundamental sehingga mengundang sorotan publik.4 pasal-pasal ini terkesan dipaksakan masuk untuk membatasi ruang gerak KPK
dalam melaksanakan kewenangannya. Bentuk pelemahan melalui Revisi Undang-undang ini sulit dideteksi.5 Mengingat prosesnya yang cenderung dilakukan secara tertutup, minim
partisipasi publik, bahkan sampai sekarang Naskah Akademik Undang-Undang tersebut belum dapat diakses secara bebas.
Pada saat yang sama, kemunculan RUU KPK dianggap oleh sebagian kalangan sebagai pembunuhan berencana terhadap KPK. Pasalnya, DPR di akhir masa jabatannya tiba-tiba mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan Badan Legislasi perihal revisi undang-undang pada lame duck session (masa peralihan periode), atau masa rawan penyelewengan demokrasi. Rapat ini berjalan mulus tanpa hambatan, tanpa interupsi dalam waktu singkat, cukup 20 menit setelah sidang dibuka pada Kamis (5/9/2019). Upaya sistematis pelemahan terhadap KPK semakin nyata setelah Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan RUU KPK bersama DPR RI dengan segera mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri PANRB Syafruddin di rapat pembahasan pada Rabu (11/9/2019). Pada Selasa (17/9/2019), rapat paripurna resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang KPK menjadi Undang-undang yang merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan KPK.
3 Anti-Corruption Clearing House, Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi, KPK, 31 Desember 2018 4 Dipna Videlia, 26 Masalah Revisi UU KPK, (Tirto : 26 September 2019)
4
ii.
Serentak Kompak Menginjak KPK
Salah satu masalah yang paling banyak mendapat sorotan publik adalah diusulkannya dewan pengawas KPK sebagai konsep penguatan independensi KPK menurut DPR. Dalam perubahan terbaru pada Pasal 1 angka 3 ditegaskan prinsip independensi dan prinsip untuk menjaga lembaga dari intervensi pihak manapun. Bahkan kekuasan negara yang terdiri eksekutif, yudikatif dan legislatif juga disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut. Namun setelah dikaji lebih lanjut, adanya dewan pengawas yang diberi kewenangan memberi/tidak memberi izin kepada penyidik KPK untuk melakukan upaya penyidikan lebih lanjut seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan justru mempengaruhi independensi KPK dalam melakukan tindakan pemberantasan korupsi.6 Selain permasalahan efektivitas penyidikan perkara korupsi dan
menimbulkan kebingungan bagi penyidik, dewan pengawas yang bukan merupakan aparat penegak hukum diberikan akses begitu luas mengontrol aparat penegak hukum merupakan anomali dalam hukum acara pidana di Indonesia. Izin upaya paksa yang selama ini didapatkan dari Ketua Pengadilan Negeri dan merupakan mekanisme pengawasan horizontal justru diubah, sehingga berpotensi membingungkan ketika menentukan kompetensi relatif dalam konteks upaya pra peradilan terhadap upaya paksa yang dilakukan.
Permasalahan yang sama dapat dilihat dari beralihnya KPK menjadi rumpun kekuasaan eksekutif berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 perubahan kedua UU KPK, dan berubahnya status kepegawaian pegawai KPK menjadi anggota korps profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6 UU tersebut. Dengan beralihnya rumpun kerja KPK serta status kepegawaian pegawai KPK, kontrol eksekutif dalam penegakan hukum begitu nyata. Hal ini cenderung menimbulkan konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebagai sebuah lembaga yang bersifat independen dimana meletakkan ASN sebagai salah satu subjek dalam UU Tipikor.7
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa KPK seharusnya hadir sebagai solusi dari kondisi korupsi yang menggerogoti berbagai lembaga Negara, termasuk lembaga penegak hukum konvensional. Oleh karena itu, independensi KPK perlu diperhatikan dalam konteks menjaga objektivitas penanganan perkara yang melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh, baik dari unsur eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.8
Hubungan struktural KPK dengan lembaga atau instansi lain cenderung menjadikan KPK sebagai lembaga yang dependen dan rawan dimanfaatkan untuk menggebuk lawan-lawan politik penguasa.
Sampai hari ini, tidak sedikit elemen yang mengendus dugaan persekongkolan oknum dari unsur trias politica, partai pendukung pemerintah dan kubu oposisi di balik mulusnya pengesahan Revisi kedua UU KPK. Selain karena RUU KPK tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional 2019, terikatnya seluruh calon pimpinan KPK dengan komitmen persetujuan terhadap revisi UU KPK yang dijadikan sebagai syarat untuk terpilih turut menguatkan dugaan tersebut. Selain dengan rekam jejak yang bermasalah, terpilihnya perwira kepolisian menjadi Ketua KPK dikhawatirkan menggerus independensi KPK. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini hubungan KPK dan kepolisian kerap diwarnai konflik, terlebih kepolisian kerap menyerang KPK ketika penyidik KPK dihadapkan dengan kasus korupsi yang menggerogoti lingkungan pejabat kepolisian.9
Belum tuntas kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan dan pemilihan calon
6 Arif Setiawan, Keberadaan Penyelidik dan Penyidik Independen di KPK, Tulisan untuk Public Review Revisi UU KPK, Jakarta,
Mei 2016
7 Ismail Aris, Kritik Atas Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No. 40/PUU-XV/2017, IAIN Bone, Vol. 5, hlm. 100 8 Ibid., hlm. 109
5 pimpinan yang sarat persoalan, pengesahan revisi Undang-undang KPK menambah daftar panjang upaya pelemahan lembaga antikorupsi yang dilakukan secara terencana.
Gelombang aksi massa yang terjadi hampir di setiap wilayah Indonesia yang terjadi sepanjang September 2019 tidak menggetarkan keputusan unsur eksekutif maupun legislatif dalam mengesahkan Perubahan kedua UU KPK. Presiden yang seharusnya menerbitkan Perppu KPK untuk mengurangi laju pengeroyokan KPK tidak melakukan langkah apapun dan membiarkan KPK terus dilemahkan. oleh karena diamnya instansi eksekutif ini, muncul isu pemakzulan yang digemborkan buzzer politik.10 DPR yang
seharusnya menjadi representasi rakyat Indonesia sebagaimana nama instansi tersebut, cenderung hanya mewakili suara dan kepentingannya sendiri, alih-alih memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Instansi penegak hukum, yang seharusnya saling memperkuat satu dengan yang lainnya, justru cenderung diam dalam pelemahan KPK.
Masihkah mereka layak disebut sebagai trias politika, atau justru lebih layak disebut trias koruptika, saat mereka justru cenderung saling bahu membahu memutilasi KPK?
iii.
Nasib KPK dan Agenda Reformasi
Meski perjalanan Revisi Undang-undang KPK mendapat berbagai penolakan masif dan tokoh-tokoh nasional, sampai pada naskah ini disusun pada hari ini nyatanya Presiden Joko Widodo tak kunjung menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap upaya pelemahan KPK sebagaimana janji politik kampanyenya. Desakan dan tuntutan publik kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK sebagai jalan yang efektif, justru mendapat penolakan keras dari mayoritas partai politik pendukung pemerintah dengan berbagai dalih.11 Presiden memiliki wewenang konstitusional prerogatif untuk menerbitkan Perppu
atas dasar kondisi ‘kegentingan yang memaksa'. Perppu itu jelas punya landasan konstitusional, wewenang yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011). Bahkan pemaknaan ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diatur oleh MK, melalui putusannya No. 138/PUU-VII/2009.
Bukan tidak mungkin apabila sikap tersebut cukup menjadi pertimbangan politik Presiden dalam mengambil keputusan terkait tindak lanjut terhadap UU KPK. Sementara itu berdasarkan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Dengan belum terdengarnya kepastian dari Presiden perihal Perppu KPK hingga hari ini, maka UU KPK akan otomatis sah secara konstitusi menjadi undang-undang tepat pada 17 Oktober 2019 walaupun tidak disahkan oleh Presiden.
Adapun ancaman pemakzulan dalam sistem presidensial hanya diakibatkan penerbitan Perppu cenderung mengada-ada, mengingat kedudukan Presiden tak akan jatuh selain karena pelanggaran berat dan pidana yang berat, yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang sebelumnya telah melalui proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sebagai negarawan, sikap yang jelas dan tegas berpihak kepada rakyat harus ditunjukkan dengan komitmen nyata memenuhi janji politik sebagaimana dalam nawacita yang sebelumnya telah disampaikan. Penting bagi Presiden segera melaksanakan tindakan tegas untuk menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.
10 Dylan Aprialdo, Fenomena Buzzer Politik, (Kompas : 9 Oktober 2019)
6 Sebagaimana catatan sejarah pada Reformasi 1998, rakyat memandatkan sejumlah agenda kepada para Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa itu. Mandat-mandat tersebut diakomodasi dan dituangkan dalam TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP MPR XI/1998). Namun disahkannya UU KPK pada tahun 17 September 2019 telah menjadi tanda pelumpuhan lembaga anti korupsi dan dapat dipastikan pula bahwa agenda pemberantasan korupsi telah lemah secara paripurna. Maka hari ini, kami sedang menyaksikan bahwa negara telah melangkah mundur dari cita-cita reformasi 1998 yang seharusnya memberantas habis korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, pelemahan terhadap KPK melalui Rencana Revisi UU KPK bagaimanapun harus dibatalkan karena semangat para pembuatnya jauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat.
Pembiaran bahkan adanya dukungan pemerintah sehingga kelahiran Undang-undang KPK yang penuh substansi pelemahan yang justru semakin gencar, adalah bentuk pengkhianatan kepada agenda Reformasi. Janji-janji antikorupsi yang disampaikan oleh Partai Politik selama kampanye pada Pemilihan Umum seharusnya diwujudkan dengan membatalkan rencana pembahasan Revisi UU KPK. Dengan diabaikannya suara rakyat oleh penguasa yang telah bermufakat sehingga Undang-undang “Pelemahan” KPK justru segera lahir di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kedua, maka atas nama rakyat Indonesia dengan ini kami serukan tuntutan dan desakan agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK yang mengaktifkan kembali Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan memperkuat agenda pemberantasan korupsi dari berbagai aspek.
Sungguh, inilah sebenar-benarnya suara rakyat.
“Karena keputusan (Perpu KPK) itu seperti simalakama, nggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu, cirinya memang begitu. Jadi memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak.”
(Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, pada 4 Oktober 2019)
Aksi Penolakan Mahasiswa terhadap RUU KPK di Gerbang DPR/MPR RI (19/9/2019) Dok. Tirto.id
7
DULU
K I N I
8
2.
Persoalan HAM Masa Lalu, Kini dan Nanti
i.
Mati Satu, Mati Seribu
Waktu 21 tahun bisa bermakna 21 detik bagi orang yang menunggu kepastian, namun waktu 21 tahun bisa terasa seperti 21 abad lamanya bagi orang yang menunggu ketidakpastian. Rentan waktu ketidakpastian tersebut berlaku bagi korban pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak 18 Januari 2007, keluarga korban dan aktivis peduli HAM telah lebih dari 600 kali melakukan Aksi Kamisan dalam rangka menyuarakan tuntutan keadilan di depan Istana Negara yang diiringi aksi-aksi lain yang tersebar di berbagai daerah. Kegagalan penyelesaian HAM sudah menjadi rahasia umum yang telah kita ketahui bersama. Salah satunya adalah peristiwa 1965-1966 yang sejak 12 tahun sejak terbentuknya tim Ad-Hoc, Kejaksaaan Agung berulang kali mengembalikan berkas perkara ke Komnas HAM hingga terakhir pada tanggal 26 Desember 2018.
Dalam peristiwa Semanggi I terdapat 17 korban Pelanggaran HAM, diantaranya adalah Bernandinus Realino Norma Irawan, Tedy Mardany, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnaedi, Heru Sudibyo, Wawan, Muzammil Joko Purwanto, Uga Usmana, Lukman Firdaus, Agus Setiana, Doni Efendy, Rinanto, Budiono, Sidik, Sulwan Lestaluhu, Sulaeman Lestaluhu, Wahidin Nurleta dan Budi Marasabesy. Penemuan dari ahli forensik yang menduga bahwa terdapat 5 korban meninggal karena ditembak dengan peluru tajam standar ABRI. Begitupun dengan peristiwa Semanggi II yang memakan korban tewasnya Yap Yun Hap saat melakukan Demonstrasi penolakan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) serta berbagai bentuk aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang menimpa massa aksi lainya pada peristiwa ini. Kurang lebih 18 tahun lalu berkas dari Komnas HAM sudah rampung, namun Kejaksaan Agung justru mengembalikannya.
Hal yang sama terjadi saat peristiwa Wasior di Papua Barat dan Wamena dengan perincian empat warga tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan dan lima orang dihilangkan paksa serta satu orang mengalami kekerasan seksual yang kemudian tak berujung penyelesaian yang berkeadilan.12 Kurang lebih 15 tahun lalu berkas sudah rampung namun
kejaksaan Agung mengembalikannya ke Komnas HAM, lagi. Sama halnya dengan kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM dalam Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Pembantaian Umat di Talangsari dan Penghilangan Nyawa di udara terhadap Seorang Aktivis HAM Munir Said Thalib.
Sampai saat ini rentetan pelanggaran HAM tak menemukan titik terang. Padahal urusan hak dan martabat seorang warga negara merupakan hal yang menjadi prioritas dalam cita-cita konstitusi. Sudah lebih dari 70 tahun kita sepakati bersama bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara atas kekuasaan yang sewenang-wenang (machstaat). Konsekuensinya, segala sesuatu mulai dari perbuatan dan tindakan warga maupun pemerintah wajib mematuhi regulasi yang berlaku.13 Setidaknya prinsip dalam negara
hukum mensyaratkan adanya Perlindungan HAM, Pemenuhan Keadilan bagi seluruh warga Indonesia, Check and Balances antara lembaga-lembaga sebagai pemisahan dan pembagian kekuasaan berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) dan adanya peradilan administrasi yang bebas dari perselisihan.14
12 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Jurnal Komnas HAM Vol.12, (Jakarta, Komnas HAM, 2016), hlm. 40-42 13 Jeffry Alexander, Memaknai Law Through State dalam Bingkai Rechstaat, Hasanuddin Law Review Vol. 1, (Makassar :
Universitas Hasanuddin, 2015), hlm. 83
14 Imer B. Flores, Law, Liberty and The Rule of Law (in a Constitutional Democracy), Georgetown Public Law and Legal
9 Filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588–1679) menjelaskan bagaimana negara melahap habis hak-hak warganya bagaikan Leviathan, seekor monster laut menakutkan dalam Mitologi Timur Tengah. Binatang tersebut merupakan simbol suatu sistem negara yang mengharuskan negara untuk berkuasa mutlak. Hal tersebut terjadi karena adanya suatu kesadaran yang menghasilkan perjanjian dari masyarakat (social contract) untuk membentuk negara yang tak lain bertujuan untuk menciptakan social order dari perilaku manusia yang menyerupai binatang buas semata. Atas hasil perjanjian tersebut maka warga menyerahkan semua hak mereka kepada negara, akan tetapi negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyatnya. Sehingga analogi negara leviathan tersebut sungguh terjadi dalam potret Indonesia saat ini bahwa negara abai terhadap pertanggungjawabannya atas penyelesaian pelanggaran HAM. Padahal persoalan HAM merupakan hal yang paling prinsipil dalam negara hukum.
Selama satu periode rezim nawacita (era Jokowi-JK) berkuasa, penuntasan pelanggaran HAM berat haruslah menjadi program prioritas sesuai yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019. Namun, rezim ini justru melakukan tindakan hipokrit dengan merangkul tiga purnawirawan Jenderal yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat diantaranya adalah Wiranto sebagai Menko Polhukam yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Timor Leste; Hendropriyono dalam kasus Talangsari dan Pembunuhan Munir Said Thalib; serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam kasus pembunuhan pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay.15
Pemerintah selama satu periode justru terkesan cuci tangan atas penyelesaian kasus HAM berat masa lalu karena wacana rekonsiliasi tanpa jalan yudisial terus digemborkan kepada korban pelanggaran HAM oleh Wiranto. Tentu saja hal ini sangat tidak adil apabila kasus tersebut diselesaikan di non pengadilan. Di sisi lain ada masalah pelemahan Komnas HAM secara sistematis melalui berbagai hal. Salah satunya melalui pemilihan komisioner, baik dari pansel maupun DPR.
Mulanya penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sebagai lembaga ekstra yudisial. Ruh UU KKR bersumber pada TAP MPR Nomor V tahun 2000 dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. yang menjadi perdebatan dalam UU KKR pada saat itu terdapat di pasal 1 angka (9), pasal 27 dan pasal 44 yang pada pokoknya menjelaskan tentang pemberian ruang amnesty atau pengampunan bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Dasar tersebut tentu akan berpotensi untuk merenggut hak korban, tidak ada jaminan persamaan di depan hukum (equality before
the law) serta jaminan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Atas dasar tersebut, pasal
yang diuji di Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2006 dengan Jimly Asshiddqie sebagai ketua Majelis Hakimnya telah memberikan putusan yang melampaui permohonan penguji. Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006 menegaskan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945. Dampak yang paling serius dari putusan tersebut membuat mata rantai impunitas menjadi makin kuat dan sistemik. Dalam perspektif korban, putusan tersebut kian membatasi pilihan korban dan secara momentum menjadi hilang. Yang paling menyakitkan bagi korban adalah fase terus menerus menunggu atas upaya pertanggungjawaban negara yang kian abai.
10 Harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM selama rezim nawacita selama satu periode telah sirna, namun setelah kontestasi Pemilihan Umum selesai, Joko Widodo kembali terpilih menjadi presiden dalam masa jabatan 2019-2024. Setelah terpilih kembali, Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Juli 2019 memberikan “Pidato Visi Indonesia” dengan muatan developmentalisme yang pernah dianut oleh rezim Orde Baru dan sama sekali tidak menyinggung masalah Hukum, HAM dan pemberantasan Korupsi maupun keadilan sosio-ekologis.
Tibalah hari ini, saat rezim demi rezim silih berganti namun penyelesaian kejahatan HAM tak kunjung membawa solusi dan bahkan praktik pelanggaran HAM selalu terwariskan ke tiap generasi. Sebab komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam momentum saat ini sangat jauh dari harapan, dari kasus demi kasus yang mangkrak karena tidak pernah diselesaikan justru berkembang biak dan menghantui korban selama rezim Jokowi berkuasa.
Hal tersebut dapat dilihat saat tidak adanya kabar dari kepolisian dan tim gabungan pencari fakta selama 12 bulan terkait penyidik KPK Novel Baswedan yang disiram oleh dua orang tidak dikenal dengan air keras di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada tanggal 11 April 2017. Selain itu terjadi juga indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa kerusuhan 21-23 Mei 2019 ketika massa sedang menggelar aksi pengawalan hasil Pemilu di Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan catatan 8 korban meninggal dunia dan 737 orang cedera. Pada tanggal 10 Oktober 2019 pihak Ombudsman telah memberikan hasil rapid assessment kepada pihak kepolisian yang mana ditemukan praktik maladministrasi oleh kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa pada 21 Mei - 23 Mei 2019, namun pihak kepolisian malah menolaknya.16
Pelanggaran HAM masa kini juga terjadi kepada warga Papua selama dua tahun terakhir ada sekitar 33 peristiwa serupa di berbagai daerah. Salah satunya adalah ketika gejolak momentum aksi anti-rasisme dibatasi dengan upaya pemblokiran internet di Papua dan tragedi kemanusiaan di kerusuhan Wamena yang menyebabkan 31 korban jiwa serta 845 demonstran massa aksi #ReformasiDikorupsi ditangkap, 535 orang dibebaskan, 9 Jurnalis menjadi korban kekerasan Polisi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa, diantaranya adalah Maulana Suryadi seorang juru Parkir Tanah Abang meninggal dalam keadaan lebam dan darah mengucur dari hidung dan telinga17; Immawan Randy meninggal
karena tertembak saat demo reformasi dikorupsi di Kendari18; Yusuf Kardawi meninggal
terkena benturan benda tumpul di kepala saat mengikuti aksi19.
Dapat disimpulkan bahwa pengungkapan Pelanggaran HAM tidak ada satupun yang berujung penyelesaian. Tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM akan terus jadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang masa kerjanya masih mempunyai waktu lima tahun. Agar isu HAM tak jadi gimmick saat momentum-momentum kampanye semata, namun juga dapat mengimplementasikannya dengan baik, mungkin Pak Jokowi kembali mengingat bahwa di tengah Pilpres 2014 ia mengagumi puisi Wiji Thukul, penyair sekaligus aktivis yang sejak 1998 sampai sekarang masih hilang. Seharusnya tidak hanya kagum, namun juga resah hingga kemudian terpantik untuk memunculkan kesadaran pemerintah dalam membangun tindakan konkret dalam penyelesaian kasus HAM. Sehingga dalam kesempatan ini rakyat menuntut agar pemerintah kedepan harus memastikan tegaknya ukum Indonesia yang menjadikan konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pedoman utama dalam menjalankan mandat pemerintahan.
16 Ombudsman, Polisi Tolak Temuan Maladministrasi Demo 21-23 Mei, (Ombudsman: 10 Oktober 2019)
17 Tim Merdeka, Sebelum Maulana Meninggal: Ditangkap dan Ditumpuk di Dalam Truk Polisi, (Merdeka: 4 Oktober 2019) 18 Tempo.co, Mahasiswa Kendari Tewas, Dokter Pastikan Akibat Tembakan di Dada, (Tempo.co: 26 September 2019) 19 Regi Yanuar, Investigasi KontraS: Selain Randi, Yusuf Juga Tewas Tertembak, (Law Justice : 14 Oktober 2019)
yang tewas saat Tragedi Semanggi I, yang tak henti mengikuti Aksi Kamisan selama 12 tahun Dok. ANTARA FOTO / Muhammad Adimaja Foto : Maria Catarina Sumarsih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan mahasiswa Universitas Atma Jaya
11
12
ii.
Papua dan Penjajahan oleh Negara
Akhir-akhir ini Papua kembali menjadi sorotan publik. Rentetan peristiwa sejak intimidasi dan penyerangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 berujung panjang hingga demonstrasi di berbagai kota di Papua dengan yang paling baru yakni kerusuhan Wamena. Masalah ini menyeret beberapa orang menjadi buronan, kriminalisasi para aktivis pendukung Papua, dan yang paling mengerikan: pembunuhan rakyat Papua. Sebelum kita beranjak lebih jauh, pada BAB ini kami memohon secara khusus kepada pembaca untuk menanggalkan dulu semua sentimen terkait “makar”, “separatis” dan “anti NKRI” terhadap tulisan ini. Kami mengajak pembaca untuk membuka pandangan kita bersama terkait fakta sejarah yang ada agar tulisan ini kemudian bisa menjadi bahan diskusi bersama, menjadi acuan untuk mendalami referensi lainnya, hingga menjadi acuan dalam penyikapan kita sebagai kaum intelektual.
Persoalan Papua melibatkan sejarah yang panjang dan menyangkut hal yang rumit. Dimulai dari referendum palsu, masuknya investasi asing (baca: Freeport), kesenjangan ekonomi, pembungkaman demokrasi, hingga pembunuhan terhadap orang asli Papua. Banyaknya permasalahan yang menimpa Papua menuntut kita untuk tidak seenaknya mengambil kesimpulan bahwa akar dari masalah di Papua hanya sebatas pada kurangnya nasionalisme rakyat Papua terhadap Indonesia. Ada serangkaian sejarah yang panjang, dari era kerajaan, masuknya kolonial Belanda, pasca kemerdekaan hingga orde baru berkuasa.
Pada abad ke-16, Papua dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore. Kesultanan ini menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Indonesia saat itu. Akan tetapi, Kesultanan Tidore tidak menguasai seluruh wilayah di pulau Papua, melainkan hanya di Raja Ampat, Semenanjung Onim dan sekitarnya.20 Pada saat Belanda memasuki
wilayah Tidore, sempat terjadi perlawanan dari Kesultanan Tidore terhadap upaya kolonialisasi Belanda. Singkatnya pada tahun 1790-an, beberapa negara mencoba mengklaim wilayah ini sebagai wilayah koloni mereka seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Walaupun pada akhirnya belum ada negara yang betul-betul mendominasi wilayah Papua seperti Belanda mampu menguasai Jawa.21
Pada tahun 1828, Belanda mengklaim bahwa Papua adalah bagian dari jajahan kerajaan mereka. Kekuasaan Belanda hanya terletak di beberapa titik di Papua, khususnya Jayapura yang pada waktu itu disebut sebagai Hollandia oleh Belanda. Pada tahun 1895, setelah Belanda bersengketa dengan Inggris, keduanya sepakat membagi wilayah Papua menjadi dua bagian yakni Papua Barat dikuasai Belanda, sementara Papua Timur (di kemudian hari dikenal sebagai Papua Nugini) dikuasai Inggris.22
Dari Papua, sedikit kita beranjak ke kondisi perlawanan terhadap Belanda di Indonesia. Pada tahun 1900-an, pergerakan nasional di Hindia Belanda mulai bangkit. Berbagai macam organisasi rakyat mulai bermunculan, seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Indische Partij, PNI dan seterusnya. Semangat kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonial mulai bangkit. Muncul aktivis-aktivis kemerdekaan, wartawan-wartawan independen, hingga serikat-serikat buruh dan perkumpulan pemuda di berbagai tempat. Kesadaran nasional mulai memuncak ketika sumpah pemuda diucapkan.
Pada tahun 1928, pemuda dari berbagai daerah berkumpul untuk menyatakan sikap bersama diantaranya bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yakni Indonesia. Sejarah menunjukkan di era kebangkitan nasional hingga tercetusnya Sumpah Pemuda, rakyat Papua sendiri belum terlibat dalam pergerakan nasional. Bahkan tidak ada rakyat Papua yang ikut serta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.23 Artinya kesadaran bahwa Papua adalah bagian
dari Indonesia belum terbentuk di kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia. Di era ini
20 Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea en de Papoesche Eilanden, (Batavia: W. Bruining & Co, 1883), hlm. 54 21 Ibid, hlm. 45
22 Robert C. Bone, Jr. The Dynamic of the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, (Cornell University, 1958), hlm. 19 23 Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2013)
13 terdapat satu daerah di Papua yang cukup ‘familiar’ bagi para pejuang kemerdekaan, yakni Boven Digul. Boven Digul adalah daerah di Papua yang dijadikan tempat pembuangan para tahanan politik Indonesia. Namun, kendati menjadi tempat pengasingan para tokoh pergerakan, belum ada komunikasi politik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dengan rakyat Papua terkait keterlibatan mereka dalam melawan Belanda dan mendirikan negara Indonesia.
Sebelum Proklamasi dikumandangkan, beberapa perwakilan dari Indonesia membentuk BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Penyelenggaraan Kemerdekaan Indonesia) yang mana salah satu pembahasannya adalah mengenai Papua, namun tidak ada satupun perwakilan rakyat Papua yang terlibat di dalamnya.24 Pasca kemerdekaan Indonesia,
dibentuklah KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang bertugas untuk membantu Presiden, dan berisi perwakilan pemuda dari tiap daerah. Dalam KNIP ini sendiri, lagi-lagi tidak pernah ada wakil dari Papua yang didelegasikan. Di era ini, Latuharhary ditunjuk untuk menjadi Gubernur Maluku, yang wilayah jangkauannya hingga Papua. Akan tetapi pemerintahan Indonesia tak pernah berdiri di Papua.
Tekanan politik Belanda melalui agresi-agresi militer terus mewarnai jalannya Republik Indonesia yang baru seumur jagung itu. Pada 1946, diadakanlah konferensi Malino sebagai upaya Belanda untuk mendirikan negara-negara federasi. Di balik upaya pembentukan negara federasi ini, Belanda memiliki kepentingan besar untuk kembali berkuasa atas Indonesia sebagai hasil kesepakatan Perang Dunia II.25 Dalam konferensi Malino inilah Frans
Kaiseipo sebagai tokoh Papua mulai dilibatkan. Menurut Pieter Drooglever, dalam pertemuan Malino itu, “nada utama pernyataannya adalah menginginkan kerjasama Belanda dan Indonesia dalam pembangunan ketatanegaraan dan pendidikan” di Papua, yang waktu itu juga ia usulkan namanya untuk diganti dengan ‘Irian’. Pertemuan ini kemudian tidak menghasilkan apa-apa dan pertemuan-pertemuan selanjutnya terkait perundingan Belanda dan Indonesia, sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Pada tahun 1949, dimana Konferensi Meja Bundar berlangsung, Papua ditetapkan sebagai wilayah Belanda. Perundingan lebih lanjut mengenai Papua akan diadakan lagi di tahun selanjutnya.
Di tahun 1962, barulah muncul inisiatif menyatukan Papua dengan Indonesia. Inisiatif ini muncul dari Soekarno. Soekarno kemudian menyerukan operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang bertujuan : Gagalkan pendirian negara boneka Papua, kibarkan merah putih di Papua, dan bersiap untuk mobilisasi umum. Operasi tersebut, kendati memiliki semangat anti-kolonial, namun gagal mendapat dukungan dari rakyat Papua. Walaupun sempat dibantu Kaiseipo dalam pendaratan pasukan, namun banyak prajurit Indonesia yang justru tewas karena diserang penduduk lokal Papua. Tokoh-tokoh penting dalam TNI seperti Soeharto dan Benny Moerdani juga diterjunkan dalam serangan ini dan sampai akhir operasi, TNI tak mampu membangun satu kompi tentara dari rakyat Papua. Artinya, aktivitas politik pemerintah Indonesia masih sangat minim dan bahkan belum mampu menarik hati rakyat Papua untuk bergabung dengan Indonesia. Operasi ini akhirnya berhenti setelah terjadi gencatan senjata yang merupakan hasil intervensi dari Amerika Serikat.26
24 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sidang 11 Juni 1945 25 Widhi Setyo Putro, Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia), hlm. 34 26 Ide Anak Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965, (Den Haag: Mouton & Co, 1973), hlm. 38-39
14 Pada tahun yang sama, diadakanlah New York Agreement (NYA) yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Forum ini diinisiasi oleh Amerika pada tanggal 15 Agustus 1962. Perundingan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan. Pertama, Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Mei 1963. Kedua, selama proses pengalihan tersebut, wilayah Papua dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan seluruh pasukan Belanda harus ditarik dari wilayah Papua. Sedangkan pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi dan otoritas UNTEA. Salah satu syarat yang disepakati dalam New York Agreement adalah dilaksanakannya hak menentukan nasib sendiri dan harus dipenuhi sebelum tahun 1969. Namun sekali lagi, kesepakatan NYA sama sekali tidak melibatkan Rakyat Papua. Belum tuntas masalah Papua, Indonesia mengalami gejolak politik pada tahun 1965 dan terjadi transisi kekuasaan, dari Soekarno menuju Soeharto.
Pada tahun 1960, seorang geolog Freeport dari Amerika Serikat yakni Forbes Wilson mendatangi Papua lalu menemukan tumpukan bijih tembaga yang terhampar luas di Gunung Grasberg. Rencana besar Freeport akhirnya berhasil dimuluskan oleh Soeharto lewat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing27.
Undang-undang ini menjadi payung hukum sekaligus gerbang utama maraknya investasi asing yang masuk ke Indonesia atas penguasaan tanah di Papua dengan menandatangani Kontrak Karya pada tanggal 7 April 1967. Padahal apabila mengacu pada
New York Agreement, pada saat itu wilayah Papua masih berada di bawah otoritas UNTEA,
sebab belum diadakannya pemungutan suara untuk menentukan nasib bagi rakyat Papua. Bahkan, rezim Soeharto sama sekali tidak meminta izin rakyat Papua untuk menentukan apakah Freeport bisa masuk ke Papua atau tidak.28
Pada tahun 1969, pemerintah Indonesia merencanakan untuk menggelar Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), seperti yang diamanatkan oleh perjanjian sebelumnya. Namun, ada hal yang tidak beres dalam proses Pepera 1969 ini. Sejak tahun 1964, Soeharto menunjuk Ali Murtopo untuk “mengamankan” suara rakyat Papua melalui Opsus (Operasi Khusus) untuk Irian Barat. Ali Murtopo menggunakan pendekatan persuasif kepada rakyat Papua, dengan mengirimkan berbagai macam hadiah hingga makanan kepada suku-suku yang ada di Papua. Pada tahun 1967, Jusuf Wanandi, seorang asisten Ali Murtopo mengunjungi Papua untuk
27 hasil wawancara Mohammad Sadli (mantan Menteri Pertambangan) oleh Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah, (Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2005)
28 Aderito Jesus de Soares, Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, (Jakarta: ELSAM, 2003), hlm. 26
Gambar 1. Mayjend Soeharto memimpin Komando Mandala dalam operasi TRIKORA
Gambar 2. Penandatanganan Kesepakatan Kontrak Karya I PT Freeport Indonesia pada 7 April 1967, diwakili oleh Menteri Pertambangan RI, Ir. Slamet Bratananta (kedua
dari kanan), dan pihak Freeport yang diwakili Presiden Freeport Sulphur, Robert Hills, serta Presiden Freeport
Indonesia Forbes K Wilson (berurutan dari kiri). (Sumber: The Netherlands National News Agency)
15 menyelidiki pandangan rakyat Papua terkait Pepera. Dari hasil investigasinya ditemukan bahwa jika Pepera diadakan pada tahun 1968, maka mayoritas rakyat Papua akan memilih untuk merdeka. Oleh karenanya Soeharto menggunakan upaya-upaya intimidasi bahkan kekerasan terhadap rakyat Papua agar mau memilih bergabung dengan Indonesia dan memutuskan bahwa Pepera diadakan pada 1969.29
Pepera pun dimulai pada 2 Agustus 1969. Sistem penentuan pendapat yang dilakukan bukanlah menggunakan prinsip one man one vote seperti yang direkomendasikan PBB, namun berdasarkan prinsip musyawarah dan perwakilan dengan sampel 1.025 orang hasil seleksi militer Indonesia yang dapat menentukan pendapatnya. Jumlah tersebut kurang dari 1% penduduk Papua yang saat itu berjumlah sekitar 800.000 jiwa. Prinsip musyawarah ini dilakukan Indonesia dengan dasar bahwa orang Papua masih dianggap terbelakang, dan tidak siap menjalankan pengambilan suara. Pada akhirnya, Pepera selesai dan menghasilkan suatu keputusan yakni Papua ‘sepakat’ bergabung dengan Indonesia.
Papua di bawah rezim Soeharto mengalami penderitaan yang luar biasa dengan meresmikan Freeport pada tahun 1973. Perusahaan ini menjadi malapetaka bagi rakyat Papua. Gunung Grasberg merupakan gunung suci menurut suku Amungme. Bahkan puncak Grasberg diibaratkan sebagai kepala ibu dan sangat dihormati serta mempunyai relasi spiritual terhadap suku-suku di sana. Dengan mengesampingkan hal tersebut, Freeport terus mengeruk hingga mengukir lubang raksasa sedalam lebih dari 1 kilometer. Selain itu, Danau Wanagon, danau suci suku Amungme juga ikut hancur karena dijadikan tempat pembuangan limbah beracun. Pada tahun 1977, kemarahan suku-suku di Papua memuncak. Berbagai macam bentuk sabotase dan perusakan fasilitas-fasilitas Freeport dilakukan rakyat Papua sebagai bentuk kemarahan. Perlawanan ini kemudian direspon oleh Soeharto dengan cara-cara
29 Brad Simpson, Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice", Document Release Marks 35th
Anniversary of Controversial Vote and Annexation, (Washington D.C: The National Security Archive, 2004)
Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 3. Open Pit-Underground Grasberg Mine berdiameter ±4,2 km Tambang Emas Terbesar Pertama dan Tembaga Terbesar Kedua di Dunia ada di Papua
Koordinat Lokasi : 4°3′10″S 137°6′57″E
(Dok. Freeport-McMoRan Copper & Gold, 2016)
Gambar 3. Open Pit-Underground Grasberg Mine berdiameter ±4,2 km Tambang Emas Terbesar Pertama dan Tembaga Terbesar Kedua di Dunia ada di Papua
Koordinat Lokasi : 4°3′10″S 137°6′57″E (Dok. Freeport-McMoRan Copper & Gold, 2016)
16 militeristik. Dari observasi di lapangan,30 fakta menunjukkan bahwa telah terjadi
penghancuran rumah dan kebun-kebun rakyat Papua, bahkan di Tembagapura, terdapat sekitar 900 orang yang meninggal akibat kekerasan aparat. Tak tanggung-tanggung, Soeharto juga menerapkan status papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1978 hingga 1998. Rezim Soeharto bahkan memindahkan rakyat suku Amungme, yang biasa hidup di dataran tinggi, ke daerah dataran rendah yang tidak layak untuk menjadi tempat tinggal. Alhasil, 20% anak-anak dari suku Amungme meninggal akibat malaria.
Ironisnya, salah satu genosida paling kejam pada masa itu tercatat sebagai sejarah yang tak pernah dibuka kepada publik. Pada tahun 1977-1978 sekitar 4.146 warga Papua menjadi korban operasi militer.31 Bahkan dalam sebuah penelitian dituliskan banyak praktek
kekejaman yang tidak manusiawi dilakukan oleh militer Indonesia. Contohnya suami istri dipaksa untuk berhubungan seksual di hadapan para prajurit, jika mereka menolak maka mereka diancam untuk dibunuh. Salah satu saksi mata pada operasi militer pada saat itu juga mengatakan bahwa ia menyaksikan lansia dipaksa untuk memakan kotoran dan meminum air kencing para prajurit.
Selain itu, perempuan Papua juga menjadi korban paling rentan dalam operasi militer. Setidaknya ada tiga periode kekerasan yang mereka alami, operasi militer 1977-1978, operasi militer tahun 2005 dan peristiwa pengejaran OPM tahun 2007.32 Perempuan di
Wamena juga menceritakan kasus-kasus eksploitasi seksual berkaitan dengan kehadiran militer di sana. Di salah satu desa di Wamena, sekelompok ibu-ibu janda yang suaminya terbunuh pada masa konflik 1977-1978, terpaksa hidup bersama dalam kondisi yang sangat terisolir. Enam dari mereka memiliki jari yang tidak lengkap karena diamputasi untuk menandai kesedihan mereka pada saat anggota keluarga meninggal. Mereka harus bekerja di kebun dan menganyam noken tanpa jari. Korban Perempuan Papua dalam kekerasan yang dilakukan oleh negara sulit mendapatkan pengakuan apalagi pemulihan. Kasus-kasus mereka diabaikan dan pelakunya mendapat impunitas. Terbukti, hingga hari ini, akses di lapangan hanya dapat mengungkap sedikit kasus, misalnya yang telah disebutkan di atas.33
Apakah masyarakat Indonesia mengetahui seluruh kebengisan itu? Tidak, karena sejarah konflik Papua Barat-Indonesia telah digunakan oleh Pemerintah Indonesia, justru, untuk menjustifikasi tindakan-tindakan tidak manusiawi yang telah terjadi34. Narasi sejarah
yang dikonstruksi oleh Pemerintah Indonesia itu dibuat dengan sangat hati-hati, mempertimbangkan diksi yang diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum (misalnya, ‘kembalinya [orang-orang Papua] ke pangkuan ibu pertiwi’). Secara berbeda, para pengamat menggunakan kata ‘inkorporasi’ atau ‘kolonialisasi’.35 Selama era Soeharto, narasi sejarah
buatan pemerintah tidak ditantang karena orang-orang Papua tidak memiliki dokumentasi historis yang cukup dan sifat pemerintahan Soeharto yang menindas gerakan-gerakan yang mengguncang status quo. Meski gerakan pembebasan Papua mulai diterima oleh pemerintah pada era Presiden Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001), rakyat Papua menerima kekerasan kembali pada era Pemerintahan Megawati (2001-2004) saat narasi sejarah yang mereka perjuangkan diartikulasikan ke publik.
30 Al Araf, Anton Aliabbas, dkk, Securitization in Papua, (Jakarta: IMPARSIAL, 2011), hlm. 126 31 Op. cit., jumlah seluruh korban yang tercatat
32 Ibid,. hlm. 5
33 Disarikan dari Joint Report Komnas Perempuan, ICTJ, dan Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua, 2009 34 Nino Viartasiwi, The Politics of History in West Papua - Indonesia Conflict, 2018, Asian Journal of Political Science 35 Misalnya, Peter King, West Papua & Indonesia since Suharto: Independence, Autonomy or Chaos?, University of New
17 Sejak awal dekade pertama pasca-reformasi, pemerintah telah memberlakukan otonomi khusus (otsus) pada Papua. Penting untuk dicatat, penetapan otsus memiliki implikasi yang serius bagi dinamika perjuangan rakyat Papua. Elit-elit lokal Papua, di satu sisi, memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan pribadi, dalam hal kekayaan maupun jejaring politik. Di sisi lain, sebagaimana yang diargumenkan oleh Suryawan36, mereka menjadi
perpanjangan tangan Pemerintah Indonesia di Papua untuk melancarkan pembangunan dan memecah serta menghambat gerakan rakyat Papua yang kritis melalui stigmatisasi separatis. Stigma separatis bekerja dengan sangat baik dalam menjauhkan masyarakat umum dari suara-suara kritis rakyat Papua, serta melegitimasi kekerasan yang terjadi pada mereka. Bagaimana pun juga, cara-cara otoritarian semacam ini juga terjadi dalam wujud yang lain, misalnya dalam hal distribusi informasi. Ross Tapsell menunjukkan bagaimana pemerintah sedang memberlakukan apa yang disebutnya sebagai subnational authoritarianism (daerah yang mana pemerintah cenderung bersikap otoriter) dengan cara memotong otonomi jurnalis.37 Dia menjelaskan bahwa bukan jurnalis melainkan kekuatan-kekuatan keamanan dan
pemerintahan lokal yang memproduksi konten berita arus utama di Papua.
Metode pengelolaan kuasa yang otoriter ini menjadi fitur konstitutif dalam menghadapi orang-orang Papua yang kritis. Salah satu yang sempat mengundang sorotan publik belakangan ini, pada Agustus 2019 terjadi perlawanan oleh rakyat Papua atas tindakan rasisme dan anti demokrasi yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya.38 Perlawanan rakyat Papua tersebut berupa gelombang pasang
aksi demonstrasi di hampir seluruh wilayah Papua. Bahkan eskalasi dari gelombang demonstrasi tersebut mengakibatkan dibakarnya Gedung DPRD Papua Barat di kota Manokwari. Tindakan pemerintah atas semua tuntutan yang diajukan oleh rakyat Papua justru memperkeruh suasana, yaitu dengan pencabutan akses informasi (internet dan telepon), dan pengiriman pasukan militer dan kepolisian dalam jumlah yang sangat banyak, setidaknya ada 6.000 pasukan gabungan yang dikerahkan pada 1 September 2019.39
Pendekatan militeristik yang digunakan oleh pemerintahan Joko Widodo menambah daftar panjang korban jiwa di Papua. Akan tetapi karena akses jurnalisme dibatasi dan internet dimatikan, tidak ada yang tahu berapa persisnya total korban jiwa akibat kerusuhan di Papua sejak 19 Agustus 2019. Setidaknya, dalam satu peristiwa kerusuhan di Kota Wamena saja, Kompas pada 26 September 2019 mencatat terdapat 31 korban tewas.40
“terserah kita mau umumkan jumlah korban di Papua atau tidak” (Wiranto, Menkopolhukam, pada 30 Agustus 2019)
36 I Ngurah Suryawan, Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua,
2011, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 15 (2), hlm. 140-153
37 Ross Tapsell, The media and subnational authoritarianism in Papua, 2015, South East Asia Research 23(2), 319-334 38 Ikhwan Hastanto, Rasialisme Pada Mahasiswa Papua di Surabaya Berujung Demo Besar, (Vice.com: 19 Agustus 2019) 39 M. Yasir, 6.000 Tentara dan Polisi Terjun ke Papua, Kapolri: Kalau Kurang Tambah Lagi, (Suara.com: 1 September 2019) 40 John Roy Purba, Daftar Nama 31 Korban Tewas Kerusuhan Wamena, (Kompas : 26 September 2019)
18 Ironisnya, pemerintah justru mengkambinghitamkan beberapa aktivis hak asasi manusia dan menjadikan seorang pengacara HAM, Veronica Koman, yang selama ini aktif menjadi perwakilan sekaligus kuasa hukum rakyat Papua di pertemuan-pertemuan internasional, sebagai tersangka.41 Hal ini menunjukkan bahwa selain Indonesia tidak mampu
menyelesaikan persoalan di Papua dengan jalur damai, mereka juga menggunakan taktik yang mirip dengan kolonial Belanda, yaitu memisahkan perjuangan rakyat Papua dengan mengkriminalisasi non-Papua yang bersolidaritas. Pemerintah justru aktor yang paling dominan dalam memicu terjadinya konflik horizontal, termasuk dalam hal ini menyokong ormas-ormas ultranasionalis di Papua ketika konflik sedang memanas.42
Dalam jangka waktu 57 tahun, Indonesia justru memperparah penderitaan rakyat Papua dalam bingkai wacana ultranasionalis. Jargon-jargon seperti NKRI Harga Mati justru membuat masyarakat awam tersesat pikirannya dan semakin banyak rakyat Papua menjadi korban, terlebih lagi ketika media arus utama hanya dikuasai oleh narasi milik pemerintah yang justru menjadi justifikasi atas pendekatan negara yang militeristik. HRW (Human Rights
Watch) mencatat 500.000 orang Papua yang bisa teridentifikasi mati di tangan militer setelah
peristiwa Trikora terjadi hingga tahun 2015.43
Penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia sejak awal terbukti tidak demokratis dan tidak humanis, terlebih jika kita melihat eksploitasi sumber daya alam yang begitu masif hingga militerisme yang tak kunjung berhenti. Legalitas Pepera di bawah naungan hukum internasional pun seharusnya ditinjau ulang karena penyelenggaraannya tidak menggunakan prinsip one man one vote serta dilakukan di bawah tekanan militer. Sehingga pemberian hak menentukan nasib sendiri seharusnya diberikan sebagai jalan keluar paling demokratis bagi rakyat Papua. Sebagai sesama bangsa yang punya sejarah penderitaan di bawah kuasa kolonial, maka secara sadar hendaknya kita tidak melakukan pembiaran atas eksploitasi dan kolonialisme kronis yang ada, apalagi justru menjadi pelaku kolonialisme terhadap bangsa lain hanya demi mementingkan agenda ekonomi global.
41 dilansir dari berbagai media pada pemberitaan 6 September 2019
42 Juli Hantoro, Bamsoet: Pemuda Pancasila Akan Buas Jika Ada yang Ganggu Jokowi, (Tempo.co : 27 Oktober 2019) 43 Benedict Anderson, Mencari Demokrasi, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 219.
34 John Roy Purba, Daftar Nama 31 Korban Tewas Kerusuhan Wamena, (Kompas : 26 September 2019) 35 dilansir dari berbagai media pada pemberitaan 6 September 2019
36 Juli Hantoro, Bamsoet: Pemuda Pancasila Akan Buas Jika Ada yang Ganggu Jokowi, (Tempo.co : 27 Oktober 2019) 37 Benedict Anderson, Mencari Demokrasi, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 219.
Batalyon Komando 465 Paskhas Brajamusti diberangkatkan dalam rangka pengamanan Bandara di daerah Provinsi Papua pada Sabtu (17/11/2018) Dok. Pusat Penerangan TNI
19
20
iii.
Ironi Kekerasan Seksual
Dalam kejahatan kekerasan seksual, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi. Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya, bahkan kasus pada tahun 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dari tahun 2013-2015 kasus kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per tahun. Ditemukan pula sejumlah 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017. Hingga pada tahun 2019, Komnas Perempuan mencatat angka tersebut mengalami tren kenaikan yang linier sebesar 14% yakni sejumlah 406.178 kasus.44
Gambar 4. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, 2007-2018 Sumber : Komnas Perempuan
Di antara banyaknya kasus pelecehan seksual di Indonesia, terdapat beberapa kasus yang mendapatkan sorotan publik. Salah satunya Baiq Nuril, seorang mantan pegawai tata usaha di sekolah yang dilecehkan oleh atasannya lalu dipidana baik penjara pun denda atas putusan hakim karena kalah telak dalam persidangan mulai dari Pengadilan hingga Mahkamah Agung. Walau telah mendapatkan amnesti dari Presiden, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya kriminalisasi lagi terhadap korban kekerasan seksual. Pada tahun 2018, terdapat kasus Agni, salah satu mahasiswa UGM mendapatkan kekerasan seksual yakni pemerkosaan saat melaksanakan kegiatan akademik. Kasus tersebut tidak diproses melalui jalur litigasi atau lewat pengadilan melainkan diselesaikan lewat non-litigasi yaitu perdamaian yang difasilitasi oleh pihak Universitas dengan dalih menjaga nama baik kampus. Dua hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa ketimpangan hukum di Indonesia bukanlah sebuah fiksi, melainkan betul-betul nyata, ada di depan mata kita saat ini.
Hal ini tentunya disebabkan oleh ketiadaan perlindungan hukum secara khusus bagi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya mengatur kekerasan seksual sepanjang korban menetap dalam lingkup rumah tangga atau korban berada dalam lingkup rumah tangga pelaku. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kekerasan seksual diartikan saat terjadi persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mana hanya dapat dibuktikan dengan adanya penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan luka secara fisik saja, baik yang ringan, berat atau mati. Sedangkan untuk kekerasan seksual berupa
21 pelecehan, celaan atau kekerasan secara verbal yang tentu tidak mengakibatkan luka fisik melainkan trauma psikologis tersebut tidak diatur.45
Hal tersebut semakin dipersulit dengan adanya aturan di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) untuk mensyaratkan minimal dua alat bukti adanya kekerasan seksual agar kasus tersebut dapat diproses.46 Belum lagi dengan pernyataan serta pertanyaan
yang dilontarkan aparat “penegak hukum” cenderung diskriminatif seperti menyalahkan dan merendahkan korban. Hingga kemudian abai terhadap hak-hak korban pun kondisi psikologis korban yang trauma selepas adanya kekerasan seksual. KUHP sebagai produk peninggalan kolonial sudah seharusnya dipertimbangkan relevansinya. Salah satu poin yang perlu dipertimbangkan adalah pasal 285 KUHP47 di mana pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan
bukan karena itu tindak kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan, melainkan perempuan adalah properti milik lelaki setelah menikah.
Tabel 1. Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik Sumber : Value Champion, Singapura, Maret 2019
Dalam kekerasan seksual terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban yang kemudian dilanggengkan oleh budaya, stereotipe, ataupun kebijakan negara yang tidak berpihak kepada korban.48 Walau tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga
akan menjadi korban kekerasaan seksual, namun dalam hal ini perempuan merupakan korban yang paling rentan terhadap kasus kekerasan seksual. Seringkali dalam tataran konstruksi
45 Tanti Senja, Analisis Komparatif Konsep Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam KUHP, RUU KUHP,
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, (Lampung: FH Universitas Bandar Lampung, 2018), hlm. 79
46 Kardian Ruru, Alat Bukti Yang Sah dalam Pemeriksaan Perkara Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga di Pengadilan, Lex
Crimen Vol. IV, 2015, hlm. 17-18
47 Pasal 285 KUHP berbunyi demikian, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
48 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam
22 sosial masyarakat, perempuan sebagai subjek kekerasan seksual tidak didengar, diabaikan hingga dituduh sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual ataudireviktimisasi.
Citra seksualitas perempuan selama ini dibangun atas pemahaman yang sangat patriarkal. Seksualitas perempuan didefinisikan sebagai alat patriarki untuk menggambarkan perempuan dan bukan tentang perempuan itu sendiri. Perempuan bahkan teralienasi dari seksualitasnya sendiri49. Kecenderungan ini membawa suatu pemahaman yang akhirnya
menjerumuskan pendefinisian seksualitas perempuan sebatas kepentingan laki-laki. Hukum merupakan tatanan kaum laki-laki yang meminggirkan kaum perempuan untuk membangun, mengkonstruksikan dan memperkokoh hubungan sosio-yuridis yang patriarkis. Hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang penindasan terhadap perempuan.50
Oleh karena itu, Komnas Perempuan Nasional pada tahun 2017 merumuskan regulasi baru sebagai jawaban dan sebuah upaya alternatif bagi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam kekerasan seksual yakni Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai pembaharuan dari sistem hukum khususnya tentang tindak pidana kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, Komnas Perempuan menguraikan 9 (sembilan) unsur tindak pidana kekerasan seksual yakni :
1. Pelecehan Seksual 2. Eksploitasi Seksual
3. Pemaksaan Penggunaan Kontrasepsi 4. Pemaksaan Melakukan Aborsi 5. Perkosaan
6. Pemaksaan Perkawinan 7. Pemaksaan Pelacuran 8. Perbudakan Seksual 9. Penyiksaan Seksual
Ketua Panitia Kerja RUU PKS memastikan bahwa RUU PKS tidak akan disahkan pada DPR periode ini sebab DPR menggelar rapat paripurna pada 30 September 2019. Ditundanya pengesahan RUU PKS dengan dalih tidak ada waktu padahal sudah dua tahun sejak naskah akademik tersebut diterbitkan adalah bagian daripada pelanggengan budaya patriarki dalam hukum Indonesia yang nantinya sangat dimungkinkan menghasilkan Baiq Nuril dan Agni-Agni baru di kemudian hari. Negara justru memprioritaskan RKUHP untuk segera disahkan yang beberapa pasal di dalamnya justru berpotensi untuk mengkriminalisasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa negara secara tidak langsung menganggap perlindungan perempuan atau korban korban kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang krusial. Lantas apakah belum cukup sosok seperti Baiq Nuril dan Agni juga para penyintas lain sebagai korban dari adanya kekerasan seksual? Maka apakah masih perlu banyak korban lagi dan lagi untuk meyakinkan mereka?
49 Andi Nur Faizah, Kisah Perempuan Teralienasi dari Seksualitas, Motherhood dan Intelektualitasnya, (Jakarta: Jurnal
Perempuan, Oktober 2016), hlm. 3
50 Estu Fanani, peliputan oleh Kompas dalam diskusi bertajuk Politik, Keragaman dan Keadilan Gender di Indonesia,
(Kompas: 21 Agustus 2016)
23