• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber daya alam milik negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sampai saat ini sangat sulit untuk diwujudkan. Dalam kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, negara seolah-olah lupa akan tanggung jawabnya terhadap hak-hak warga negara. Dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang memudahkan akses modal dan pasar terhadap eksploitasi sumber daya alam dan manusia di Indonesia adalah bukti konkret atas kelalaian tersebut. Pada tahun 2001 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang ditengarai latar belakang terbentuknya undang-undang ini adalah sebagai akomodasi atas tekanan dan kepentingan kapitalisme global dalam rangka mengeksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi.59

Kemudian pada 2003 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memungkinkan pengusaha mendapatkan tenaga kerja murah. Selanjutnya secara berturut-turut keluar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Keseluruhan legislasi tersebut seakan-akan memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia mengalokasikan hutan, laut, sungai dan tanah untuk diberikan dan dieksploitasi kepada para investor. Sebagai akibatnya, makin banyak sumber daya alam yang telah diserahkan Negara kepada pebisnis/korporasi.

Sebagai contoh di sektor perkebunan kelapa sawit saja, Pemerintah Indonesia telah menghabiskan lahan hampir 14,2 juta hektare. Adapun keseluruhan luasan kebun yang ada di Indonesia saat ini berada dalam penguasaan 2.000 (dua ribu) perusahaan dan dikontrol oleh sekitar 25-30 holding company.60 Kelapa sawit disebut sebagai komoditas raksasa sekaligus primadona karena secara perspektif manufaktur karakteristiknya dapat menghasilkan banyak turunan produk. Namun hilangnya hutan (deforestasi) dan bencana kabut asap akibat pembukaan lahan perkebunannya justru menjadi ironi tersendiri. Hilangnya habitat satwa liar seperti orang utan dan gajah juga menjadi sorotan bagi para aktivis lingkungan. Ironi ini tentu menjadi sisi kelam tata kelola lingkungan di Indonesia karena faktanya perkebunan sawit masih menjadi penyumbang devisa non migas terbesar di Indonesia dengan US$ 20,54 miliar atau sekitar Rp 280 triliun. Indonesia pun masih menjadi eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2017 jumlah yang diekspor menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 31,5 juta ton dengan nilai total mencapai US$ 22,9 miliar. Sentralisasi isu ini menafikan perspektif ekologis sekaligus keadilan agraria yang digeser dengan urgensi devisa dari sektor tersebut sebagai prioritas hingga kemudian terlegitimasi secara apik demi keberpihakannya pada korporasi.

Jika diamati secara kasar, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo memang cenderung berada pada posisi mendukung industri ini. Ia dan jajaran menterinya misalnya, menjadi garda terdepan untuk berdiplomasi terhadap larangan impor minyak kelapa sawit yang diterapkan oleh negara-negara Eropa. Program-program yang mendorong sektor ini juga terus ditingkatkan misalnya peremajaan perkebunan sawit hingga inovasi produk-produk turunannya. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan bawahan-bawahan sang presiden. Pada pembukaan Konferensi dan Pameran International Gas Indonesia (IndoGAS) 2019 misalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menggarisbawahi persoalan industri sawit ini sebagai tantangan terhadap komoditas sumber energi fosil. Jonan

59 Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, hal 18

29 menyebutkan bahwa tantangan yang harus dihadapi para pelaku bisnis di sektor minyak dan gas adalah kompetisi melawan sektor energi nabati, secara khusus ia menyebut minyak kelapa sawit. Jonan menceritakan perjalanannya ke Italia ketika ia dihadapkan pada mesin yang bisa memproses minyak kelapa sawit menjadi sumber energi listrik. Artinya, sangat dimungkinkan adanya pergeseran di sektor sumber energi dan industri kelapa sawit akan menjadi salah satu pihak yang memanen keuntungan dari kebijakan tersebut. Namun sang petahana berpotensi akan kehilangan dukungan oligarki jika kepentingan para pengusaha di sektor ini diintervensi.

Gambar 10. Luas Lahan Sawit Menurut Provinsi (2018)

Sumber : Kementerian Pertanian – Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019

Sebagai entitas bisnis, industri sawit memang punya pertalian dengan kebijakan-kebijakan politik. Misalnya tender lahan sawit yang disebut-sebut punya potensi penyalahgunaan dan melahirkan praktik KKN. Pada tahun 2015 lalu, The Guardian menyoroti praktik KKN di bisnis sawit Indonesia dan menyebut ada hubungan yang sangat dekat antara pengambil kebijakan politik dengan para pengusaha sawit.61 Hal ini juga disinggung oleh Patrick Anderson dalam penelitiannya yang menyebut sektor bisnis kertas dan sawit sebagai dua entitas yang memiliki potensi korupsi besar-besaran. Dua sektor ini pula yang justru menjadi sumber pemasukan untuk partai-partai politik di Indonesia, termasuk dana kampanye para kandidat yang bertarung saat Pemilu.62 Hal ini tentu menunjukkan pertautan kepentingan yang sangat besar antara bisnis dan politik di sektor sawit.

Bias politik dalam bisnis sawit memang tidak dapat dihindari. Tengok saja nama-nama taipan pengusaha sawit yang rata-rata adalah pengusaha besar. Pada banyak kasus, konglomerasi sawit merangkap banyak konglomerasi di berbagai bidang termasuk industri pertambangan. Ketercakupan oligarki dalam setiap bidang di negeri ini membuat rakyat terus menemui permasalahan di daerahnya. Hal ini menambah kabar buruk bagi masa depan rakyat dan lingkungan di Indonesia di tengah denyut dan brutalitas penghisapan kekayaan yang makin masif. Ia juga menambahkan hasil investigasinya yang menyimpulkan bahwasanya lebih dari 500 anggota DPR terpilih di periode ini, atau sekitar 45% terafiliasi sejumlah bisnis termasuk sektor ekstraktivisme, tambang dan migas.

Belum lagi pandangan perihal nasib ke negara di bawah injakan kaki oligarki akan semakin suram mengingat rencana berbahaya yang sempat diperbincangkan sebagai Omnibus

Law, yakni, penyesuaian 74 peraturan perundang-undangan guna mendorong investasi. Dan

kini para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju sebagian besar diisi orang-orang lama yang jelas-jelas pembuat banyak masalah, kemenangan sempurna bagi para kaum oligarki.

61 Joanna Blythman, Palm Oil Companies Exploit Indonesia's People - and Its Corrupt Political Machine, (The Guardian: 11 Juni 2015)

62 Kementerian PPN/BAPPENAS, Laporan Hasil Tinjauan Peran Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS, 2016), hlm. 157

30 Dengan kondisi politik Indonesia yang lekat dengan fenomena “perkawinan” pebisnis dan oligarki politik, akan selalu ada pertautan kepentingan dengan dipeliharanya industri-industri perusak ekologi ini sebagai “investasi” dan masyarakat akan selalu dilarang menghambat investasi. Selain konglomerasi lokal dengan pengusaha perusak lingkungan, kentalnya aroma oligarki politik dengan kepentingan bisnis diperkuat oleh narasi andalan Presiden Joko Widodo menyoal investasi asing yang kembali menjadi pusat perhatian bangsa Indonesia. Salah satu penyebab yang paling menonjol adalah keluhan Presiden Joko Widodo atas banyaknya izin yang harus diurus dan betapa lamanya proses pengurusan izin untuk investasi asing di Indonesia dibandingkan dengan di banyak negara.

“Kalau perlu, investasi tak usah pakai izin” (Presiden Joko Widodo, pada Musrenbangnas, 9/5/2019)

Sejak Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diluncurkan, kecenderungan investasi asing terus meningkat mendominasi dan meningkat secara reaktif, meskipun terdapat penurunan yang cukup signifikan di tahun 2009 serta penurunan dangkal di tahun 2016. Di tahun 2007, total investasi di Indonesia hanya Rp100 triliun, dan di tahun 2018 dilaporkan jumlahnya meningkat menjadi Rp 721,3 triliun. Proporsi investasi asing sendiri di tahun 2007 adalah 72%, yang kemudian meningkat tajam menjadi 89% di tahun berikutnya, namun stabil di proporsi 70-73% antara tahun 2009-2013. Di tahun kepresidenan Joko Widodo, proporsi investasi asing itu turun menjadi 69%, kemudian 69% lagi, 64%, 62%, dan terakhir 54%.63 Maka apabila kemudian Presiden Joko Widodo masih mengeluhkan soal realisasi investasi yang terhambat oleh perizinan, hal ini mengindikasikan bahwasanya pemerintah secara subjektif masih menginginkan tingkat investasi yang lebih tinggi lagi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.64

Tetapi pernyataan ‘tak perlu izin’ dari Presiden Joko Widodo tentu sangat mengkhawatirkan. Lantaran kita telah menyaksikan bahwa dampak investasi nyatanya tak selalu positif. Apabila kita hanya membatasi diri untuk melihat investasi sebagai isu ekonomi di atas kertas belaka, jumlah investasi yang semakin besar memang bisa dianggap berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi. Namun ketika perspektif diperluas secara makro, maka hasilnya belum tentu demikian. Perspektif terbaik untuk melihat investasi seharusnya adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang menggabungkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara komprehensif. Karenanya, dalam menimbang apa yang perlu dilakukan atas perizinan investasi, perspektif inilah yang seharusnya dipergunakan oleh pemerintah. Pembangunan ekonomi yang menimbang banyak hal ini tentu bertentangan dengan kalangan pengusaha yang menganggap kepentingan selain bisnis tidaklah penting. Bahkan kewajiban lingkungan dan sosial seperti AMDAL yang merupakan hal esensial sempat mendapat isu akan dihilangkan karena dianggap menghambat investasi.65

Akan tetapi, terdapat fakta menarik di mana negara-negara yang mendapatkan peringkat tinggi dalam kemudahan berbisnis adalah negara-negara yang pengelolaan lingkungannya dianggap cukup ketat, sebagaimana yang tergambarkan dalam peringkat

Environmental Performance Index. Jadi jangan bermimpi bahwa dengan melonggarkan

regulasi lingkungan maka kemudahan bisnis kita akan membaik.

63 Laporan World Bank Group, Economy Profile of Indonesia : Doing Business 2020 Indicators

64 Eddy Cahyono Sugiarto (Asdep Humas Kemensetneg), Investasi dan Indonesia Maju, (Setneg.go.id: 2 Agustus 2019)

31

Gambar 11. Korelasi antara EPI Scores vs GDP per Capita Sumber : World Economic Forum pada 2018

Apabila pemerintah memanfaatkan paradigma pembangunan berkelanjutan untuk menepis investasi, maka seharusnya pemerintah bisa menentukan apa saja investasi yang harus kita hindari dan apa yang perlu kita perbanyak. Jenis-jenis industri yang membahayakan bagi lingkungan, menggerogoti kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan individu, sudah selayaknya ditinggalkan. Sementara industri yang meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus kita galakkan. Sehingga daftar negatif investasi seharusnya dibuat berdasarkan mudarat yang muncul terhadap pembangunan berkelanjutan, sementara segala kemudahan investasi dan dukungan bagi operasi harus diberikan kepada yang membawa manfaat keberlanjutan. Hal ini sudah tercermin secara regulatori dalam UUD 1945, lantaran secara eksplisit menyebutkan keberlanjutan sebagai azas ekonomi Indonesia pada Pasal 33 Ayat 4. Sementara itu Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan sebagai penjabarannya, juga menyatakan bahwa prinsip pertama dari keuangan berkelanjutan adalah investasi yang bertanggung jawab.66 Jadi sesungguhnya tak ada celah untuk investasi yang merugikan pembangunan yang berorientasi berkelanjutan, sebagaimana dipaparkan dalam SDGs (Sustainable Development Goals), karena ambisi investasi yang demikian jelas melanggar konstitusi.

Sampai pada hari ini, perizinan bagi bisnis di Indonesia memang perlu terus diperbaiki, namun tentu saja bukan dengan jalan menghilangkan aspek ekologis. Karena bahkan negara-negara yang peringkat kemudahan bisnisnya paling tinggi sekalipun tetap memiliki sejumlah izin yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang hendak berbisnis.67 Selain instrumen untuk menentukan jenis investasi agar bukan sekadar orientasi ekspor dan substitusi impor belaka, dibutuhkan instrumen yang jelas untuk menentukan mana saja izin yang harus dihilangkan, harus disederhanakan, dipertahankan, atau bahkan seharusnya diperkuat.

Dapat disimpulkan bahwa instrumen atau tolak ukur terbaik untuk pembangunan adalah paradigma pembangunan berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam SDGs, sayangnya instrumen ini hampir tidak pernah menjadi rujukan pembangunan Indonesia. Sudah jelas bahwasanya adu tinggi angka pertumbuhan ekonomi justru dapat menjadi bencana bagi bangsa apabila dikejar dengan mengorbankan kepentingan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, masyarakatlah yang harus terus mengawal, mengingatkan pemerintah dan melantangkan suara bahwa pembangunan keberlanjutanlah yang terbaik untuk Indonesia. Apabila upaya tersebut dianggap menghambat investasi, pastikan kita masih

dan akan selalu hadir di barisan terdepan untuk menghadang langsung oligarki!

66 Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan

32