Sejak akses pemberitaan telah diberikan seluas-luasnya kepada masyarakat yang menjadi tuntutan saat penjatuhan rezim Orde Baru, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan. Kini, berbagai macam media telah berdiri dan akses terhadap jurnalis telah diberikan kepada masyarakat. Media arus utama sebagai corong utama masyarakat dalam memperoleh sajian berita menguasai sebagian besar platform media. Mulai dari media cetak dan media online memiliki peran besar dalam pemberitaan nasional.
Di era digital saat ini, internet dapat diakses oleh hampir seluruh elemen masyarakat tetapi televisi masih menjadi akses utama masyarakat dalam memperoleh pemberitaan.93
Media arus utamayang merupakan segelintir media penguasa platform televisi mendapat legitimasi kepercayaan oleh masyarakat sebagai media yang dapat dipercaya. Fenomena yang saat ini terjadiadalah media arus utama bukan hanya bergerak melalui platform televisi, mereka juga menguasai platform-platform lain seperti media cetak dan media online yang berada pada satu meja redaksi. Hal tersebut menjadi alasan utama mengapa pemberitaan yang telah diterbitkan oleh media tersebut tidak jauh berbeda.
Pembahasan ini mengarah pada peran penting media arus utama dalam membentuk konstruksi berpikir masyarakat tentang fenomena yang sedang terjadi. Maka sudah seharusnya apabila media arus utama mengabarkan fakta secara objektif dan berimbang, tidak menutup sebagian fakta yang ada, serta tidak melakukan framing. Framing terbentuk saat media menekankanpada isu yang diinginkan, dan mengurangi fakta yang tidak diinginkan. Secara tidak langsung, pemikiran masyarakat akan mengarah pada berita yang disampaikan media tersebut.
Media seharusnya tidak memiliki kepentingan (independen) dalam setiap berita yang mereka terbitkan. Sebab apabila media terlibat dalam konflik kepentingan, hal ini akan berpengaruh drastis terhadap framing berita. Hal tersebut dilakukan agar berita yang diterbitkan berimbang dan dapat mengabarkan fakta secara objektif.94 Namun fenomena yang kini terjadi justru media arus utama memiliki banyak kepentingan lain dibalik berita yang disajikan. Keterlibatan media dalam politik praktis terlihat dengan pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik atau pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan terdapat beberapa pemilik media yang kini menjadi ketua partai politik. Maka dengan ini krisis independensi telah sah karena kitatidak lagi menjadi kiblat yang suci di media arus utama. Fenomena dunia pers boneka ini semakin diperburuk dengan adanya pembungkaman publik secara luas di era digitalisasi saat ini.
Pembungkaman publik dalam realitanya tercerminkan melalui ketentuan pasal suatu perundang-undangan, salah satu contoh yang paling fenomenal adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE sendiri hadir sebagai hukum maya (cyber law) pertama yang dimiliki Indonesia, sehingga dapat dikatakan memiliki muatan dan cakupan luas dalam rangka mengatur cyberspace. Semangat
93 Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2015, sebesar 91,47 persen penduduk berusia diatas 10 tahun masih menggunakan televisi sebagai akses utama untuk mendapatkan informasi
50 pembentukan dari UU ITE sendiri pada awalnya ialah untuk menjamin perlindungan masyarakat dan mengakomodasi kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umum guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Namun, di beberapa sisi undang-undang ini masih terdapat pengaturan-pengaturan yang kurang jelas dan dianggap karet oleh banyak kalangan. Pengaturan yang kurang lugas ialah mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dimuat dalam Pasal 27 Ayat (3). Dalam lembar penjelasan Pasal 27 Ayat (3), dijelaskan bahwa maksud dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk kembali pada Pasal 310 KUHP.95
Penjelasan ini justru membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyalahi kaidah asas Lex Specialis Derogate Lex
Generalis, dimana seharusnya UU ITE ini tidak lagi merujuk pada KUHP namun sudah memuat
penjelasan lebih rinci mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Jika dalam penjelasannya masih merujuk pada KUHP, maka seharusnya pasal ini tidak dimuat dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak ditetapkannya UU ITE pada 2008, telah terjadi setidaknya 16 kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan media menggunakan UU ITE, terutama pada Pasal 27 ayat 3. Tahun lalu terdapat 8 kasus pemidanaan terhadap tiga jurnalis dan lima media. Jika tidak segera dihentikan, tren ini amat rentan digunakan untuk membungkam kebebasan pers. Ketika pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik makin mudah mengkriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, pada saat itu pula publik akan dirugikan. Ketika media diancam dengan menggunakan UU ITE karena berita-berita kritisnya, pada saat yang sama sebenarnya publik juga terancam untuk mendapatkan informasi aktual versi media.
Dapat dipahami bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan media yang independen. Media berlaku tak hanya sebagai anjing penjaga (watchdog), tetapi juga menjadi bagian dari wakil publik untuk melakukan pengawasan tersebut. Meskipun fungsi itu makin hari makin utopis seiring dengan kuatnya kepentingan bisnis, tetapi peran ideal tersebut tetap diperlukan dan relevan. Dari perspektif tersebut, maka pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE juga berarti membungkam publik untuk bersuara kritis terhadap praktik-praktik pelanggaran tata kelola pemerintahan atau pejabat publik.
Dalam beberapa contoh kasus, pihak yang keberatan adalah tokoh-tokoh publik. Di Kendari, pihak pelapor adalah caleg yang menurut standar jurnalisme memang masuk dalam kriteria layak diberitakan sebagai calon pejabat yang bermasalah. Apalagi jika isu yang diberitakan memang relevan untuk publik yang dalam hal ini berupa dugaan tindak pidana yang menyangkut pejabat negara. Di sisi lain, pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE adalah fakta adanya ancaman terhadap ruang untuk berdiskusi secara terbuka. Dengan menggunakan Hak Jawab sesuai yang diamanatkan UU Pers, pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah karya jurnalistik bisa memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik. Sehingga akan ada sebuah diskursus, antara fakta yang dibalas dengan fakta, dan ada dialektika.
95(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
51 Indonesia tidak memiliki rapor bagus dalam penyelenggaraan mekanisme Pers ini. Misalnya pada kasus media kolaboratif IndonesiaLeaks yang justru digugat oleh Kapolri Tito Karnavian pada Oktober tahun lalu. Bukannya membantah dengan fakta versi mereka sendiri sebagai jawaban atau koreksi terhadap laporan IndonesiaLeaks terkait perusakan barang bukti di Komisi Pemberantasan Korupsi, Tito Karnavian justru menggugatnya lewat UU ITE.96
Seperti halnya ketakutan yang menyebar (chilling effect) pada publik akibat maraknya kriminalisasi menggunakan UU ITE, bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi pada jurnalis dan media daring. Bahkan, jurnalis dan media daring akan menghindari isu-isu sensitif seperti pengungkapan kejahatan lingkungan, korupsi, atau kekerasan seksual hingga memperburuk berita-berita banal. Tidak hanya karena berita-berita kritis itu rentan menjerat para jurnalis dan media, tetapi berita-berita dangkal dan sensasional memang lebih menjual. Jika tidak segera dihentikan, kian maraknya penggunaan UU ITE terkait hasil kerja jurnalistik dapat menjadi mesin penggali kuburan kebebasan media yang baru dinikmati kembali pasca Orde Baru. Pada titik inilah UU Pers perlu dipahami kembali.
Menurut UU Pers setidaknya ada dua tahap yang harus dilakukan oleh yang berkeberatan terhadap pemberitaan sebelum menggugat ke pengadilan. Pertama, dengan menggunakan Hak Jawab yang menyatakan bahwa jika seseorang merasa keberatan terhadap sebuah pemberitaan yang dianggap merugikan, orang itu bisa menggunakan Hak Jawab, yakni dengan meminta media memuat fakta dan opini yang belum ditampilkan dalam berita yang dipermasalahkan. Kedua, jika Hak Jawab dianggap tidak cukup, maka ada mekanisme pelaporan ke Dewan Pers yang bertugas menangani masalah-masalah terkait pers. Penilaian Dewan Pers yang menjadi tolok ukur penentuan pelanggaran kode etik. Jika tetap tidak terima, maka dapat digugat secara perdata. Sebagai pengingat, UU Pers bersifat Lex Specialis, artinya berlaku khusus bagi kasus-kasus terkait karya jurnalistik. Sehingga jika suatu karya jurnalistik terbukti salah, maka dapat dikoreksi melalui karya jurnalistik lainnya dan bukan menjadikannya sebagai objek kejahatan atau tindakan yang dapat dikriminalisasi.
Namun pada akhirnya UU ITE telah menjadi semacam jalan pintas bagi pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik agar tidak menempuh tahapan cukup panjang. Karena dapat menggugatnya atau mengkriminalisasi tanpa harus menggunakan Hak Jawab ataupun mengajukan keberatan ke Dewan Pers. Sebab apapun bentuknya, karya jurnalistik tetaplah karya jurnalistik yang telah diatur dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih khusus yaitu UU Pers. Dengan demikian maka tugas media sebagai ruang untuk mempertemukan berbagai “fakta” dan pandangan akan tetap ajek.
52
NEGARA
M A S I H
53