• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa dalam pengertian sempit adalah alat komunikasi atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Bahasa juga digunakan dengan berbagai tujuan. Dalam ranah politik diarahkan untuk mencapai tujuan politik, yakni memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Sehingga bahasa memiliki peran yang dominan dalam politik, sebab retorika dalam politik mengandalkan piranti kebahasaan, seperti aliterasi, pengulangan, paralelisme dan metafora. Retorika ini juga tak terlepas dari ungkapan-ungkapan yang ekspresif dan puitis untuk menjadi lebih menarik, selain menggunakan judul, memanfaatkan generalisasi, pola-pola kutipan, dan overleksikalisasi dalam melancarkan setiap propaganda politik kepada khalayak luas.105

Bahasa dan praktik kebahasaan tak lagi dimengerti dalam konteks perspektif konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial politik. Namun, semakin disadari bahwa bahasa, di dalam dirinya, tampil sebagai representasi ruang bagi penggelaran (deployment) berbagai macam kuasa. Oleh karena itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu ruang (space) yang menjadi bertemunya konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, serta proses hegemoni dan hegemoni tandingan (counter hegemony) yang terjadi, sebab berpolitik pada hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran perseteruan antar kelompok masyarakat yang berkepentingan demi perluasan kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang terdominasi dapat keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman kelompok dominator. Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya dan kekuatan, untuk mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang telah diformulasikan.106

Sementara itu kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan kelompok masyarakat yang mendominasi justru sering berlanjut pada keinginan melibas kembali lingkaran kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka yang kemudian terjadi adalah rantai perseteruan yang sering tidak ada ujung pangkalnya. Hal yang demikian juga serupa dalam konteks bahasa Indonesia, tentu bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru nusantara juga memiliki beragam daya dan kekuatan yang termanifestasi dalam besar kecilnya jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut.

Apabila dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya ketika itu kontroversi dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi, walaupun mereka tetap terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang keras untuk melawan dominasi bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau yang telah beralih status menjadi bahasa Indonesia. Ada indikasi perjuangan bahasa-bahasa daerah yang kuat dan hingga kini terus meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa daerah di dalam pemakaian bahasa Indonesia.107 Sehingga dengan merunut perspektif sejarahnya saja, bahasa tidak akan pernah terlepas dari politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi khusus dari denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa tertentu, seperti halnya bahasa Indonesia. Namun, yang banyak terjadi sekarang ini adalah bahwa cara elit-elit politik berwacana dengan bahasa Indonesia sering kali tidak tepat benar.

Dengan kata lain, rekayasa bahasa politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elit-elit politikus, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan rekayasa bahasa tersebut, mereka telah membangun hegemoni terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Sehingga bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian bentuk eufemisme terhadap istilah-istilah politik yang

105 Mary Talbot, Karen Atkinson & David Atkinson, Language and Power in the Power Modern World, University Alabama Press, 2003, hlm. 5

106 Sukardi Weda, Politik dan Rekayasa Bahasa, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, April 2009, hlm. 1

62 berlebihan. Penggunaan kedua bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu jauh berlebihan dan terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat sekarang ini. Bahkan, pemakaian akronim dan eufemisme itu telah jauh melampaui hakikat akronim dan eufemisme sendiri dalam persejarahan linguistik. Pesan-pesan politik banyak sekali yang terwujud dalam rupa-rupa bentuk akronim yang kadar kandungan propagandanya jauh lebih besar daripada kejujuran pesannya sendiri.

Demikian halnya dengan para politisi di Indonesia menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, telah mendesain berbagai macam atribut pemilu beserta program dan janji-janji manis yang akan dijual dalam pesta demokrasi 5 tahunan mendatang. Dengan demikian, maka bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam ranah politik kekuasaan, yang kadang-kadang diungkapkan oleh para elit politik tanpa mengindahkan kesantunan berbahasa. Ini yang sering kita sebut sebagai politik dan rekayasa bahasa, dan ideograf dengan maksud untuk mewujudkan target-target politik para calon anggota legislatif melalui retorika terdistorsi dengan sengaja dan terencana. Digunakannya bahasa yang terdistorsi ini antara lain agar kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa tetap dapat bertahan. Dalam berbagai kesempatan komunikasi penguasa selalu menggunakan bahasa yang terdistorsi dalam mengemukakan sesuatu ide, pikiran ataupun konsep terhadap khalayaknya. Termasuk ketika menjanjikan tuntutan masyarakat yang selalu omong kosong belaka, tentu dengan berbagai argumentasi defensif dan pembenaran yang licin.

Ideograf juga sangat ampuh untuk meraih target-target politik para pencari kekuasaan. Hal ini telah terbukti dalam catatan sejarah perpolitikan dunia, seperti halnya ketika dalam kampanye perdana menteri Inggris, Tony Blair. Ia mengangkat pendidikan (education, education, education) sebagai isu sentral kampanyenya pada tahun 1996, dan mengantarnya menjadi perdana menteri Inggris. Demikian halnya terpilihnya SBY dan JK pada pemilu 2004 tidak terlepas dari ideograf yang mengemas visi kampanye mereka, sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Ideograf-ideograf dalam visi, misi, dan program SBY dan JK, seperti pengentasan kemiskinan, lapangan pekerjaan, terciptanya rasa aman, terwujudnya anggaran pendidikan 20%, terwujudnya Indonesia yang adil dan demokratis, landasan pembangunan yang kokoh, pemenuhan hak dasar rakyat, dan lain-lain.

Ideograf serupa juga selalu diulang penggunaannya sebagaimana dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019 oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf dengan istilah Indonesia Maju yang digadai-gadai sebagai janji penuntasan tugas periode sebelumnya untuk dapat terpilih kembali, sementara Adil Makmur oleh pasangan Prabowo-Sandiaga yang dilengkapi dengan sekian paket retorika atas agitasi ketidakadilan dan ketidakmakmuran yang ada di rezim Jokowi-JK sehingga berupaya menarik suara kalangan yang resah dan lelah atas kepemimpinannya sepanjang 2014-2019 sebagai aktualisasi kampanye mereka, meskipun pada akhirnya kemenangan kontestasi tersebut dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf yang sekaligus menarik masuk paket 2 orang pucuk pimpinan partai Gerindra ke dalam kabinetnya.

Memang hampir tidak ada yang menyangka, pasca selesainya pemungutan suara terjadi pergeseran sikap yang signifikan terutama dilingkungan elit penguasa. Pergeseran sikap ini terlihat jelas khususnya di lingkungan partai-partai yang menjadi peserta pemilu, baik sebagai partai pendukung pemerintah maupun partai yang selama ini menjadi oposisi pemerintah yang sedang berkuasa. Seolah-olah lupa dengan suasana “terbelah” saat pemilu yang baru saja usai pelaksanaannya, elite politik itu berlomba-lomba merapat ke penguasa. Tanpa diduga-duga, partai Gerindra yang selama ini memposisikan diri sebagai rival utama selama kampanye, telah menempatkan kadernya menjadi bagian dari Pemerintah Jokowi. Tidak tanggung tanggung Ketua Umumnya sendiri Prabowo Subianto yang menjadi Menteri di Kabinet Jokowi yaitu sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo (Wakil Ketua Umum) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Maka jelas kartelisasi telah hadir di tubuh kabinet.

63 Dengan demikian, apakah praktek demokrasi kita telah diwarnai oleh politik kartel para elit politik saat ini? Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita manakala politik kartel tersebut dimainkan? Bagaimana wajah perpolitikan kita lima tahun ke depan? Dan apa itu politik kartel?

Konsep kartel pertama kali dikenal tahun 1995 dimana pada masa tersebut mulai bermunculan partai-partai baru yang bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok. Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodir dalam politik elektoral seperti kelas buruh. Partai massa berkembang dari sisi masyarakat dan partai ini menjadi lembaga penengah yang menjadi kanal kepentingan kelompok buruh. Sumber kehidupan partai ini berasal dari anggota baik secara finansial maupun dukungan kampanye. Namun ketika negara sudah mulai membuat regulasi yang membuat mereka mulai sejahtera, anggota partai ini mulai kehilangan militansinya.108

Saat partai massa mulai kehilangan anggota dan sumber pendanaan, mereka mulai mencari sumber pendanaan baru dari negara atau golongan yang lebih raksasa darinya. Hal ini terjadi di negara-negara Skandinavia dan menjalar ke Eropa Barat dimana negara memberikan subsidi pada partai politik. Akhirnya jarak partai dan masyarakat menjauh. Partai tak lagi menjadi milik dan bagian masyarakat namun menjadi bagian dari negara. Partai-partai massa akhirnya tampak bermetofora dan makin menguat ciri-ciri sebagai kartel politik pada dirinya. Tidak ada lagi perdebatan ideologi diantara partai-partai tersebut karena partai-partai makin akur akibat persamaan kepentingan untuk mendapatkan sumber pendanaan dan keuntungan golongannya.

Di Indonesia menguatnya politik kartel terjadi pada pasca reformasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat.

Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004 hingga 2019 ini, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Sejak reformasi bergulir, konstelasi politik Indonesia telah menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima, hal ini berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.109

108 Richard S. Katz, Peter Mair, Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party, Vol. 1, Issue 1, 1995, hlm. 1

64 Beberapa partai politik membentuk koalisi turah yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan. Dinamika politik pasca pemilu diwarnai adanya pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat ideologis pada saat pemilu bergerak ke arah kerjasama antar partai dalam rangka meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi keuntungan pragmatis masing-masing partai politik. Adanya migrasi ideologis yang dilakukan secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok dan secara kolektif meninggalkan program-program partai mereka, terjadi perubahan komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen pro-pasar.

Sistem kepartaian yang terkartelisasi ini juga terbentuk kembali dalam medan politik hingga Pemilu 2019. Meski masih tetap muncul adanya isu ideologis dalam pemilu legislatif, hingga tahap pertama Pilpres 2019, namun dalam tahapan selanjutnya ketika memasuki arena politik penyusunan kabinet, semua partai secara berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik, posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah ekosistem politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai. Karena partai-partai politik secara meyakinkan dalam beberapa hal mengabaikan “ideologi kepartaian” yang telah digembor-gemborkan melalui sekian deret retorika yang menjadi landasan perjuangan, namun dalam tataran praktik politik partai-partai politik “mengkhianati” ideologi partainya oleh karena kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi.

Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai politik berkepentingan terlibat dalam proses politik dalam DPR maupun pemerintahan untuk memperoleh sumber daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi mesin partai politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan menandai berakhirnya ideologi kepartaian menuju kerjasama. Berdasarkan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas maka tersibak gambaran mengenai sosok demokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang dan (mungkin) lima tahun kedepan yaitu demokrasi pluralis dalam mekanisme kartel, berstruktur oligarkis. Artinya, demokrasi yang telah mengalami pluralisasi “tubuh politik”. Hal ini yang membuat demokrasi dijalankan oleh kekuatan politik yang majemuk, yang karena kemajemukannya, tidak lagi memiliki ideologi.

Dari pluralisme demokrasi inilah pragmatisme tergerak, sehingga politik hanya menjadi ajang kompetisi, dari elit untuk elit. Semua fenomena retoris kompleks ini terjadi karena dalam proses demokrasi yang terjadi, para elit menggunakan sistem kartel, yakni koordinasi antar-elit, untuk meminimalkan persaingan, demi kontrol keuntungan segelintir orang yang tergabung dalam ekosistem oligarki. Dalam situasi ini, mustahil ada oposisi yang benar-benar berseberangan dengan pemerintah. Yang ada hanya perhitungan untung-rugi, melalui pemakluman kesalahan elit lain. Dari sini, korupsi akan dijaga oleh koordinasi kartel, sehingga segenap agenda pemberantasan korupsi, akan menguap dalam “kepungan pragmatis” jaringan koalisi antar-partai.

Pada ranah struktur politik, demokrasi pluralis-kartel ini dijaga oleh struktur politik oligarkis, baik yang ada dalam partai, negara, dan para oligark yang memiliki kekuasaan (modal) besar. Maka, sumber dan muara dari demokrasi pluralis ini adalah para bos besar yang memegang partai besar, yang bekerjasama dengan oligarki kecil pemegang partai kecil. Dengan demikian, sempurnalah kualitas demokrasi kita di bawah Timor Leste (peringkat ke-42). Demokrasi Indonesia menempati peringkat ke-60 dengan skor 6,53 karena mekanisme demokrasi itu sendiri, telah dijadikan jalan bagi mulusnya kekuasaan oligarkis oleh segelintir orang yang memiliki uang, dalam jaringan kekuasaan korup dan saling menutupi kesalahan.

65

C. RAKYAT BERSATU MELAWAN OLIGARKI

1. Rakyat Menggugat! Situasi Darurat!

Masa transisi politik merupakan masa paling yang krusial dalam menentukan terlindungi atau terancamnya hak-hak rakyat. Pengalaman sebelumnya, Indonesia pada masa injury time (detik-detik akhir) telah melahirkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014. Pola yang dilakukan Pemerintah dan DPR RI untuk bermufakat menelurkan Undang-Undang baru pada masa transisi terjadi sejak Reformasi 1998. Sederet undang-undang yang diluncurkan ini kemudian menjadi pintu dari serangkaian perampasan tanah rakyat, penghancuran lingkungan hingga ketimpangan ekonomi.

Berbagai UU di masa transisi tersebut telah memberi hadiah 13,9 juta hektare kepada korporasi dan elite oligarki. Jumlah "hadiah" itu nyaris setengah dari total jumlah izin yang diterbitkan sejak 1998 (30 juta hektare). Kini tiba masa transisi Pemerintahan periode 2014-2019 di mana salah satu tahun paling parah dalam proses legislasi negara ini. Proses legislasi yang dimaksud adalah lahirnya berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dan disahkannya Undang-undang kontroversial dalam paket kebijakan secara bersamaan. Dilansir dari berbagai sumber, paket tersebut terdiri dari Rancangan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU KPK, UU Sumber Daya Air (SDA), RUU Pemasyarakatan, RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan beberapa RUU lainnya.

Akselerasi aneka revisi dan rancangan Undang-undang itu terlihat dipaksakan, sarat dengan motif kepentingan elit. Kepentingan para elite ini patut dipertanyakan karena aturan-aturan tersebut sangat berkaitan dengan kepentingan oligarki dan para pembajak reformasi.

Sebagaimana yang kita ketahui, ada yang istimewa di tahun ini. Permufakatan transaksional antara DPR RI dan Pemerintah mendapatkan gelombang protes reaksioner besar-besaran dari kalangan mahasiswa, pelajar, petani, buruh, masyarakat adat dan berbagai elemen masyarakat sipil. Metode aksi-aksi ekstra parlementer boleh dikatakan mendapatkan kemenangan kecil dengan dengan batal disahkannya beberapa RUU yang tidak pro rakyat hingga 30 September 2019. Akan tetapi, Undang-Undang KPK yang terbukti dengan jelas melemahkan KPK justru tetap diloloskan oleh negara. Desakan agar diterbitkannya Perppu KPK sebagaimana yang dituntut berbagai kalangan tetap tidak direspon positif oleh Presiden sampai pada hari naskah ini disusun. Hal yang sama juga terjadi pada UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budidaya Pertanian.

Dilansir dari pernyataan resminya, DPR RI menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan berbagai RUU lain yang tertunda tersebut dilanjutkan (carryover) kepada DPR RI di periode berikutnya. Paradigma dari aturan-aturan pokok yang akan diubah dengan tergesa-gesa mengindikasikan kebijakan yang sangat otoriter dan menguntungkan oligarki. Sampai setelah DPR RI periode berikutnya dilantik dan periode kekuasaan Presiden Joko Widodo telah sah diperpanjang, Undang-Undang KPK sebagai salah satu biang masalah utama justru semakin didukung dengan penuh ketegasan oleh lingkar oligarki. Maka dari itu telah jelas bahwa suara kita tidak lagi didengar di tengah negara yang masih sakit. Hari ini reformasi berada di titik nadir sebab telah dikorupsi oleh reformis gadungan yang pro oligarki. Saatnya bersatu melawan permufakatan jahat! Situasi sudah darurat!

66

R E S O L U S I

R E F O R M A S I

R E V O L U S I

67

2. Resolusi, Reformasi, atau Revolusi?