• Tidak ada hasil yang ditemukan

iv. Lahirnya Komoditas Dagang Baru : Pendidikan

Komodifikasi atau pergeseran orientasi pendidikan tidak bisa dilepaskan dari proses transisi kekuasaan, dari era Soeharto hingga menjelang reformasi. Hal tersebut memiliki korelasi satu sama lain yang saling mempengaruhi hingga membuat semacam transformasi orientasi. Salah satu yang dapat kita kritisi ialah dinamika regulasi pendidikan tinggi yang senantiasa bergerak menuju liberalisasi (yang cenderung mengarah pada privatisasi-kepentingan investasi). Sehingga implementasi dari pendidikan tinggi saat ini tidak hanya sebagai wahana belajar, namun sebagai gaya hidup (kebanggaan semu warisan hegemoni kultural Orba), hingga menjadi alat untuk memanipulasi keadilan dengan memihak pada mereka yang melakukan investasi swasta (CSR, dan lain sebagainya). Alih-alih melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan melihat bahwa riset yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kurang memberi dampak yang impactful dan minim daya dukung kepada masyarakat, nyatanya capaian tersebut tidak jarang hanya sebatas program pengabdian pragmatis pesanan birokrat dan korporasi.

Berawal dari General Agreement on Tariffs and Trade/GATT 1948, kapital global membuat skema-skema panjang untuk memuluskan langkahnya. Indonesia menjadi anggota GATT pada tahun 1950 yang merupakan periode awal demokrasi semu. Saat itu Indonesia dipimpin oleh Natsir sebagai perdana menteri, sebelum memasuki periode-periode kacau. Tahun 1994 ketika Indonesia meratifikasi Agreement Establishing the World Trade

Organization, yang kemudian dikonversi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994

tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).76 Sekaligus menjadi legalitas Indonesia menjadi anggota WTO di tahun 1995, secara tidak langsung pemerintah harus tunduk dan menerima program WTO, General Agreement on Trade in Services (GATS). Sehingga secara implisit Indonesia telah sepakat dengan skema yang ditetapkan oleh Capital Finance Global, merujuk pada organisasi yang berkepentingan yaitu IMF dan WTO. Fenomena tersebut jelas okupasi halus yang merupakan hasil dari permufakatan birokrasi dengan kapital besar yang bertujuan memuluskan agenda demi agenda ekonomi (investasi) melalui regulasi-regulasi terkait yang tentu saja disesuaikan dengan kepentingan kapital.77

Semua benang merah yang terangkai hingga menjadi rumit seperti sekarang ini bukanlah tanpa sebab. Hal ini didasari adanya gerak mekanik regulasi secara bertahap yang menjadi dasar dari kebijakan pemerintah. Produk dari citra pemimpin yang berkuasa, Soekarno dengan semangat gotong royong pendidikannya, Soeharto dengan semangat pembangunan dan otoriterismenya. Begitu juga era reformasi, yang diklaim sebagai era demokrasi, era keterbukaan, juga akan menghasilkan citra yang berbeda. Sebuah citra yang realitanya cenderung bias dan mengikuti alur pasar bebas.78

Pasca lengsernya Soeharto, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum pada bulan Juni 1999 yang menandai “Reformasi Pendidikan Tinggi” di Indonesia telah dimulai. UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair, ramai-ramai merubah jubah mereka. Kampus negeri elite tersebut merupakan institusi atau lembaga Negara, yang dipersiapkan untuk mandiri yang bertransformasi dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Yang kemudian setelah era transisi usai, tampuk kekuasaan beralih kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanpa menunjukkan perbaikan terhadap regulasi di era Soeharto. Di era tersebut malah terlahir paket regulasi baru seperti Peraturan Pemerintah Nomor 152, 153, 154 dan 155 yang melegitimasi secara legal jika UI, IPB, UGM dan ITB sebagai kampus mandiri yang

76 Anggiat P. Simamora, Liberalisasi Pendidikan dalam Kerangka GATS, USU Law Journal, Vol. II, No.1, 2014, hlm. 67-68

77 Christopher Ziguras, International Trade in Education Services: Governing the Liberalization and Regulation of Private Enterprise, Counterpoints, Vol. 280, 2005, hlm. 93-112

78 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga lnternasional di Bidang Perdagangan, Jakarta: UI Press, 1996, hlm. 5

39 bertransformasi menjadi wujud BHMN. Gus Dur sejatinya memimpin 5 tahun, namun karena konflik elite, kepresidenan beliau harus rela dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga pada 2001 Megawati dari Moncong Putih menggantikan Gus Dur sebagai presiden untuk masa bakti 2001 sampai 2004. Secara emosional Megawati selalu mengusung jargon kerakyatan “wong cilik”, membawa-bawa sosok Soekarno sebagai simbol populisme dan bentuk pencitraan politik. Sayangnya implementasi yang dihasilkan sangat jauh dari harapan dan tidak berbeda jauh dengan yang sebelumnya, sebut saja era kekuasaan Golkar. Parahnya, kebijakan mereka justru menjadi corong pendidikan yang semakin tidak berpihak pada rakyat miskin.

Dalam konteks pendidikan tinggi, pemerintahan era Megawati menelurkan peraturan baru dalam bentuk Keputusan Dirjen Dikti Kemendiknas Nomor 28 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Program Non Reguler. Pada tahun berikutnya, terbit Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai payung hukum peraturan pendidikan di bawahnya. Jika kita teliti pasal 53 angka 1, jelas menunjukkan bahwa makna dari Badan Hukum Pendidikan yang sangat sarat kepentingan pemodal. Dengan demikian, tentunya UU Sisdiknas telah menjadi gerbang liberalisasi sektor pendidikan tinggi yang hasilnya sedang kita “nikmati” hari ini.

Ratifikasi GATT yang bertransformasi menjadi GATS (General Agreement on Trade and Service) disepakati pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2005 di Hongkong, delegasi Indonesia menyetujui GATS sebagai sebuah program kerja bersama. Sehingga saat itu pula kebijakan pendidikan semakin mengarah pada konsep pasar bebas. Menurut Prof. Sofian Effendi (2005) dari UGM, mengatakan jika inti dari GATS ada 2 yaitu, sektor primer dan sekunder. Sektor primer mencakup industri ekstraktif dalam hal ini tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan layanan umum. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Maka tidak mengherankan jika ada 12 sektor jasa yang akan diliberalisasikan, seperti jasa komunikasi, jasa lingkungan, jasa keuangan (perbankan, asuransi, dll), jasa wisata dan perjalanan, jasa kesehatan sosial, jasa budaya, jasa olahraga, jasa distribusi, jasa bisnis (jasa profesional dan jasa komputer), jasa transportasi, jasa konstruksi, dan tentu saja jasa pendidikan.79

Pasca diratifikasinya GATS, pemerintah pun bereaksi dengan mulai menyusun payung hukum baru untuk pendidikan tinggi. Pada tahun 2009, Rancangan UU-BHP dikeluarkan pihak pemerintah. Sebagai tindak lanjut atas perjanjian tersebut, hal ini juga ada implikasinya dengan penurunan anggaran di tahun 2009/2010. Munculnya UU-BHP bukan sebuah kebetulan, namun merupakan rancangan yang ada kaitannya dengan PP 61/1999 dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Celakanya pada tahun 2009 UU-BHP digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah era SBY spontan tidak terima, mereka langsung bergerak cepat dengan menyusun peraturan baru. Langkah selanjutnya mereka melakukan beberapa perubahan, dengan memperbaiki beberapa hal yang sangat redaksional dengan tujuan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun secara substansi, inti dari revisi tersebut tetap mempunyai makna yang tidak berbeda dengan sebelumnya. Kita sekarang mengenalnya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sekaligus melahirkan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal).

79 WTO melalui United Nations Central Product Classification (CPC), GATS, World Trade Organization, Doc. Sectoral Classification List MTN.GNS/W/120

40 Apabila kita membahas tentang UKT, maka kita tidak bisa berpaling dari terbitnya Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru yang mulai berlaku untuk tahun akademik 2013/2014. Edaran tersebut pun dipertegas dalam Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, terkait Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Meskipun dalam konteks yang direncanakan, UKT diciptakan dalam rangka subsidi silang, si kaya mengasihi si miskin, namun fakta di lapangan tidak begitu. Dikarenakan keuangan perguruan tinggi tidak lagi dibantu oleh pemerintah, maka secara reaktif sebagaimana mekanisme pasar, institusi penyedia “produk pendidikan” tentunya mengambil uang dari kelas menengah saja demi meningkatkan efisiensi ekonomi dan sumber dana. Sehingga apabila kita jeli menganalisis, UKT merupakan bentuk baru diskriminasi yang sekaligus semakin memperlebar jarak kesenjangan sosial.

Bukan hanya UKT yang menjadi masalah, persoalan kurikulum juga semakin ketat dengan ikut diterbitkannya Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan yang pasal 1 secara eksplisit telah meneguhkan cengkraman pendidikan sebagai produk jasa, karena pembakuan ini mutlak membentuk sistem yang semakin kaku. Misalnya masa studi dikerucutkan dari 8 tahun menjadi 4-5 tahun untuk S1 dalam rangka menggenjot pasokan tenaga kerja. Dengan ini maka pemerintah memberi sinyal bahwasanya mereka lupa pendidikan bukanlah persoalan kuantitatif, namun sesungguhnya kualitatif.

Pada era Jokowi dengan nawacitanya, perubahan positif dan konstruktif yang dinanti tidak serta merta terjadi, justru hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh era SBY. Ironisnya, kebijakan-kebijakan susulan yang semakin tidak bersahabat, seperti Permen Nomor 22 Tahun 2015, tentang pembiayaan uang kuliah tunggal yang mengerucutkan persoalan UKT sebagai solusi pembiayaan. Dalam Permen tersebut mengatur terkait teknis pembiayaan UKT, mulai dari kelas, kuota, hingga besaran maksimal program beasiswa bidikmisi. Aturan ini diperbarui lagi oleh Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal.

Persoalan ini semakin kompleks dengan pembakuan perguruan tinggi melalui Permenristekdikti Nomor 32 Tahun 2015 sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan, namun bukannya mutu yang didapat, justru pendidikan tereduksi sebagai komoditas yang dilombakan pemasarannya oleh perguruan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan penerapan mutu pendidikan yang tidak berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, namun merujuk pada persoalan teknis sebagaimana standarisasi yang ada dalam sistem perusahaan. Bahkan apabila kita membedah benang merah riset-riset perguruan tinggi, kita akan menemukan banyak sekali produk-produk riset yang sarat dengan kepentingan pasar dan pencitraan. Sebab dalam standarisasinya, para birokrat dan rektorat sepakat mengartikannya sebagai salah satu parameter yang dimanifestasikan berupa angka-angka peringkat nominasi. Hal tersebut secara langsung berimplikasi terhadap daya jual dan mengubah kampus menjadi sekadar merk-merk dagang dalam rangka menggaet calon konsumennya (baca: mahasiswa baru). “Konsekuensi tak terduga” (unintended consequences) dari persaingan pasar ini dirangkum oleh Adam Smith melalui diktumnya bahwa “dalam kompetisi, ambisi individual kita akan memberikan kebaikan bersama”. Sederhananya, jika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sebagai konsekuensi logis dari “rasionalitas pasar” untuk meregulasi dirinya sendiri. Inilah yang menjadi akar dari ideologi neoliberalisme hari ini.80 Namun hal ini kemudian membawa kita ke bencana berikutnya: sebab pasar bebas mensyaratkan ketiadaan campur tangan pemerintah demi tercapainya “kompetisi yang adil”.

41 Sehingga adanya pemberian subsidi di kampus negeri hanya akan dianggap mengacaukan persaingan pasar itu sendiri. Bahkan subsidi sangat mungkin akan, atau bahkan telah dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. Oleh karena itu, kacamata negara dan pemangku kepentingan tentu secara alami berubah dengan menganggap alokasi proporsi anggaran yang besar untuk membiayai pendidikan adalah cara yang tidak produktif, dan menganggap akan lebih baik jika anggaran ini digunakan untuk membangun “sektor-sektor produktif” untuk memutar roda ekonomi secara langsung. Karenanya, pengetatan biaya sosial dengan mengebiri berbagai jaminan sosial, merupakan salah satu tesis penting untuk mendorong “pertumbuhan ekonomi” dalam kerangka neoliberalisme. Sehingga hari ini, kita turut menyaksikan dan mengalami realita bahwa misi dasar lembaga pendidikan telah kehilangan ruhnya. Sistem pendidikan hari ini mengalami transformasi yang begitu cepat, yang hanya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam tatanan masyarakat Indonesia.

Tidak sedikit contoh kasus81 yang terjadi ketika para akademisi dan mahasiswa pada perjalanan studinya mengabdikan diri menjadi kaki tangan korporasi, menyukseskan program CSR berbalut riset yang haus dana imbalan, yang tak jarang riset-riset tersebut justru berperan aktif dalam perampasan lahan dan hak masyarakat, hanya demi berlomba-lomba menjadi tim ahli suatu korporasi. Beberapa kajian AMDAL oleh korporasi besar, kebanyakan dihasilkan dari otak-otak cemerlang intelektual oportunis yang didukung oleh watak kapitalistik institusi pendidikan. Korporasi menggunakan jasa dari beberapa universitas negeri untuk melegitimasi perihal pembenaran dalam merampas ruang hidup.

Ada pula contoh Kerja Praktik/Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang selama ini kita pandang dalam rangka melatih ilmu terapan, ternyata memiliki relasi yang cukup rumit, yakni menghubungkan kuasa pendidikan dengan kuasa penguasaan suatu sumber daya. Hasilnya adalah para akademisi dan mahasiswa menjadi lebih nyaman berpihak pada pemodal, tentu dengan dalih netralitas ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan sejatinya tidak netral, sebab setiap yang dihasilkan pada akhirnya harus menjawab pertanyaan: ini untuk

kepentingan apa dan siapa? Di tengah keterbukaan arus informasi sekarang ini, kita bisa

dengan mudah mencari tahu bagaimana watak destruktif ilmu pengetahuan menjadi gerbang bagi perampasan ruang hidup. Dengan demikian, menjadi sah bahwasanya peran utama pendidikan telah tereduksi habis-habisan menjadi sekadar sistem reproduksi tenaga kerja yang efisien dan patuh pada pemilik modal. Sebab ideologi dalam masyarakat kapitalis merupakan alat untuk kontrol sosial yang dicapai melalui sekolah, dimana transmisi kapitalisme diwajarkan di institusi pendidikan. Tidak heran jika institusi pendidikan pada era kekinian mengajarkan murid untuk bersaing dengan sesama murid lainnya jika mereka ingin menjadi “lebih baik”. Institusi pendidikan akhirnya kehilangan hakikat perannya dengan menjadi tempat melatih calon pekerja di masa depan agar tunduk pada otoritas. Di sini pendidikan menampakkan wujudnya sebagai aparatur negara ideologis, yang mengekalkan hegemoni kapital atas rakyat pekerja (relasi kuasa ideologi).

Dengan berjalannya sekian dekade perombakan dan transformasi wujud sistem pendidikan di Indonesia, nampak pula bahwa kelahiran aturan dan kebijakan yang ada hingga hari ini merupakan suatu hasil dari rangkaian proses yang panjang dan berkorelasi satu sama lainnya. Proses ini tentu saja memiliki tendensi keberpihakan kepada pemangku kekuasaan yang ada di setiap periodenya. Maka hari ini, perlu dicatat bahwasanya pendidikan hanyalah salah satu tumbal dari semua ini. Sehingga lengkap sudah mata rantai kronologi singkat atas

komersialisasi pendidikan kita hari ini, sebagai komoditas bisnis baru.

81 Terlampau banyak untuk dilampirkan, tim pengkaji menemukan sangat banyak dokumen laporan kerja praktek, KKN, skripsi, tesis, maupun kerjasama penelitian oleh akademisi dari berbagai institusi pendidikan, yang difasilitasi oleh perusahaan-perusahaan penyebab kerusakan ekologis yang memanfaatkan riset sebagai dalih pembenaran terhadap pencemaran lingkungan dan perampasan hak masyarakat. Yang hingga kini pencemaran tersebut masih terus dilakukan

42 Foto : Feldesman Tucker

D E M O K R A S I