• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Edentulus Penuh

Edentulus penuh atau kehilangan seluruh gigi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan seluruh gigi aslinya. Pengamatan terhadap kehilangan seluruh gigi atau edentulus penuh ini penting dilakukan karena merupakan indikator umum yang digunakan untuk menilai kesehatan penduduk dan juga fungsi serta kecukupan dari sistem perawatan kesehatan gigi dan mulut di suatu negara.1 Penelitian yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) pada tahun 2011-2012 di Amerika menunjukkan hampir 19% orang dewasa berumur 65 tahun keatas mengalami kehilangan gigi seluruhnya.27 Persentase individu yang mengalami edentulus dua kali lebih banyak pada mereka yang berumur 75 tahun keatas (26%) dibandingkan orang dewasa berumur 65-74 tahun (13%).

Prevalensi kehilangan seluruh gigi hampir sama antara laki-laki (18%) dan perempuan (19%).28 Di Indonesia, berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013, angka prevalensi nasional untuk penyakit gigi dan mulut adalah sebesar 25,9%.3 Kehilangan seluruh gigi nasional tahun 2007 pada usia 35-44 tahun sebesar 0,4% dan semakin meningkat pada usia 65 tahun ke atas, yaitu 17,6%. Persentase kehilangan gigi di Sumatera Utara lebih rendah daripada angka nasional yaitu sebesar 0,9%, sedangkan kehilangan seluruh gigi nasional adalah 1,6%.4

Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya yaitu karies, penyakit periodontal, kebutuhan perawatan ortodontik, injuri trauma, dan gigi impaksi.2 Dalam beberapa penelitian sebelumnya, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, penyakit sistemik, seperti diabetes mellitus, kesenjangan sosial dan geografis, faktor kebiasaan seperti merokok, dan sikap pasien dan dokter gigi terhadap status kesehatan mulut termasuk beberapa faktor risiko kehilangan gigi yang paling sering terjadi.1,2 Meskipun banyak faktor yang dapat menyebabkan

kehilangan gigi, karies dan penyakit periodontal masih merupakan penyebab yang paling utama dan menjadi salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia.2

Kehilangan seluruh gigi dapat menimbulkan berbagai dampak, mulai dari dampak fisik, seperti hilangnya fungsi pengunyahan dan asupan gizi terganggu, sosial, sampai dampak psikologis. Orang dengan edentulus penuh cenderung menghindari untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dikarenakan adanya rasa malu untuk berbicara, tersenyum, bahkan makan di depan orang lain sehingga perilaku ini dapat mengarah ke isolasi diri. Dalam penelitian terdahulu, Fiske (1998) mengatakan bahwa mereka mengalami penurunan kepercayaan diri, penuaan yang lebih dini, perubahan citra diri, dan perubahan perilaku dalam bersosialisasi dan membentuk suatu hubungan.29

Pada kehilangan seluruh gigi atau edentulus penuh dapat dilakukan perawatan dengan pembuatan gigi tiruan penuh konvensional ataupun perawatan gigi tiruan yang berhubungan dengan implan. Namun, perawatan dengan gigi tiruan penuh konvensional saat ini masih banyak digunakan untuk penggantian gigi yang hilang.

Selain itu, penggunaannya diperkirakan tidak akan menurun dalam waktu dekat, terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang dengan adanya keterbatasan ekonomi.11

2.1.1 Perubahan yang Terjadi pada Rongga Mulut

Kondisi edentulus penuh pada dasarnya dapat memengaruhi kesehatan umum, kesehatan rongga mulut dan pada saat yang sama memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Perubahan pada pasien, terutama pada rongga mulut mempunyai peran klinis yang penting terhadap perawatan nantinya. Beberapa perubahan ini membuat prosedur klinis tertentu menjadi lebih sulit dan akan mengurangi prognosisnya.

Perubahan anatomi yang terjadi setelah ekstraksi pada edentulus penuh dapat terjadi pada intraoral maupun ekstraoral. Setelah kehilangan gigi, pada umumnya tinggi dan lebar tulang alveolar akan berkurang. Hal ini terlihat secara nyata setelah ekstraksi gigi, namun prosesnya tetap berkelanjutan. Tulang alveolar mengalami perubahan berupa hilangnya mineral tulang oleh karena usia melalui resorpsi matriks

tulang dan proses ini berlanjut dikarenakan adanya kehilangan gigi. Kondisi edentulus juga ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap resorpsi linggir alveolar yang akan mengarah pada pengurangan ukuran denture-bearing area. Berkurangnya tinggi dan lebar dari tulang alveolar akan menyebabkan perubahan pada profil jaringan lunak, seperti protrusi dari bibir bawah dan dagu.

Selama proses kehilangan tulang, struktur anatomi lainnya, seperti mylohyoid ridge dan genial tubercle dapat berubah menjadi lebih menonjol. Mukosa yang melapisi daerah ini cukup tipis, sehingga tidak mampu menahan beban fungsional, sehingga rasa sakit yang timbul dari daerah ini terkadang membutuhkan bedah untuk mengurangi penonjolan tulang.5

Perubahan degeneratif pada anatomi pada pasien bervariasi. Etiologinya diduga merupakan kombinasi dari faktor lokal dan sistemik, termasuk usia, jenis kelamin, lama edentulus, kebiasaan parafungsional, kesehatan umum, dan beberapa penyakit sistemik.30

2.1.2 Resorpsi Linggir Sisa Alveolar

Residual ridge atau linggir sisa adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan linggir alveolar klinis setelah penyembuhan tulang dan jaringan lunak setelah ekstraksi. Setelah proses ekstraksi, terjadi perubahan yang cukup signifikan pada tulang alveolar. Fenomena perubahan yang terjadi pada tulang alveolar ini sering disebut dengan residual ridge resorption (RRR). Residual ridge resorption adalah istilah yang digunakan untuk berkurangnya kuantitas dan kualitas linggir sisa setelah gigi-geligi diekstraksi. Resorpsi ini merupakan proses yang kronis, progresif dan irreversibel dengan laju resorpsi paling cepat dalam enam bulan pertama setelah ekstraksi.6 Resorpsi linggir alveolar yang terjadi setelah ekstraksi gigi adalah proses yang kompleks dan multifaktorial. Faktor mekanis, metabolisme, nutrisi, hormonal adalah beberapa faktor-faktor yang terlibat dan memiliki efek dari waktu ke waktu. Menurut Atwood, kecepatan resorpsi tulang alveolar bervariasi antar individu. Resorpsi paling besar terjadi pada gigi anterior atas dan bawah pada enam bulan pertama setelah ekstraksi. Sesudah tiga tahun, resorpsi pada rahang atas

sangat kecil dibandingkan rahang bawah.31 Selain itu, dalam sebuah studi longitudinal, Tallgren (1972) menyatakan bahwa resorpsi tulang pada rahang bawah empat kali lebih besar dibandingkan dengan rahang atas.5

Resorpsi ini akan menyebabkan perubahan bentuk dan berkurangnya ukuran tulang alveolar secara terus-menerus. Perubahan bentuk dari tulang alveolar tidak hanya terjadi pada permukaan tulang alveolus dalam arah vertikal saja tetapi juga dalam arah labiolingual atau labiopalatal dari posisi awal yang menyebabkan tulang menjadi rendah, membulat, atau datar.32 Puncak tulang alveolar yang mengalami resorpsi, pada umumnya akan berubah bentuk menjadi cekung, datar atau seperti ujung pisau. Resorpsi berlebihan pada puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk linggir yang datar akibat hilangnya lapisan kortikalis tulang. Resorpsi linggir yang berlebihan dan berkelanjutan merupakan masalah karena menyebabkan fungsi gigi tiruan penuh kurang baik dan terjadinya ketidakseimbangan oklusi.31

Proses resorpsi tulang alveolus dipengaruhi beberapa faktor etiologi. Zarb (2012) membaginya atas tiga kategori yaitu faktor anatomis, faktor prostodontik, dan faktor sistemik. Faktor anatomis terjadi karena resorpsi pada mandibula empat kali lebih besar daripada pada maksila serta wajah yang pendek dan persegi menyebabkan besarnya beban pengunyahan. Faktor prostodontik disebabkan karena adanya penggunaan gigi tiruan secara intensif, keadaan oklusi yang tidak stabil, kesalahan penempatan gigi posterior, dan penggunaan gigi tiruan yang tidak pas, sedangkan faktor sistemik yaitu penyakit yang memengaruhi proses pembentukan tulang seperti osteoporosis, defisiensi vitamin D, dan kelainan metabolisme fosfat atau kalsium.32

2.1.3 Edentulus Penuh pada Rahang Bawah

Anatomi pada rahang bawah dengan edentulus penuh memberikan tantangan dalam proses adaptasi pasien terhadap gigi tiruan penuh konvensional. Beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut berhubungan dengan kondisi edentulus pada rahang bawah, yaitu meliputi mukosa tipis yang melapisi linggir alveolar, area pendukung yang kurang, pergerakan dari mandibula, serta faktor lain seperti adanya

mobilitas dari dasar rongga mulut.33 Edentulus pada rahang bawah yang memiliki bentuk linggir seperti tapal kuda (horseshoe-shaped), luas permukaannya lebih kecil apabila dibandingkan dengan rahang atas. Pada rahang atas, luas permukaan sangat bergantung pada luas palatum dan dapat membentuk peripheral seal, sehingga dapat mempertahankan gigi tiruan penuh.34 Ditambah lagi, palatum pada rahang atas cukup stabil dengan jaringan fibrosa tebal untuk mendukung gigi tiruan dan menahan kekuatan oklusal. Selain itu, rahang atas menunjukkan mobilitas yang jauh lebih sedikit di perbatasan gigi tiruan dibandingkan dengan rahang bawah. Adanya lidah dan otot orofasial juga cenderung menjadi kendala dalam menangani edentulus pada rahang bawah. Perbedaan-perbedaan ini menjelaskan sebagian besar alasan mengapa penanganan pada edentulus rahang bawah lebih sulit jika dibandingkan dengan rahang atas.33