• Tidak ada hasil yang ditemukan

Umumnya para ekonom menggunakan kriteria efisiensi untuk

mengevaluasi alokasi sumberdaya dan prioritas kegiatan pada suatu proyek atau

kebijakan. Konsep efisiensi yang menjadi dasar adalah pareto efficiency atau

pareto optimal. Suatu kegiatan ekonomi atau proyek dikatakan memiliki alokasi

sumberdaya yang efisien atau optimal menurut Just and Schmitz (1982), jika

tidak ada lagi alternatif pengalokasian yang akan meningkatkan

sekurang-kurangnya satu orang menjadi lebih baik (better off) situasinya tanpa membuat

pihak lainnya lebih buruk (worse off).

Namun dalam kenyataannya kondisi optimal ini jarang ditemui, tetap saja

ada pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan suatu kegiatan ekonomi atau

disebut juga dengan pareto-inferior. Keadaan ini dapat dilihat dari timbulnya

eksternalitas atau dampak eksternal bagi pihak lain. Secara umum eksternalitas

didefinisikan sebagai pengaruh yang diterima oleh pihak lain sebagai akibat dari

kegiatan ekonomi. Lebih spesifik lagi disampaikan oleh Fauzi (2004), bahwa

eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi (produksi atau konsumsi) dari satu

pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) pihak lain secara tidak diinginkan, dan

pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang

terkena dampak.

Intervensi pemerintah paling tidak ditujukan untuk menghilangkan

eksternalitas dan menciptakan alokasi sumberdaya dengan kondisi

pareto-superior. Pada kondisi pareto-improvement ini paling tidak, terdapat seorang yang

kedudukannya menjadi lebih baik, sedangkan tidak seorangpun yang

Teori ekonomi standar mengenai ekternalitas diilustrasikan seperti Gambar

5 dimana Q merepresentasikan kegiatan ekonomi; MNPB (marginal net private

benefit) merupakan tambahan manfaat bersih dari perubahan satu unit tingkat

kegiatan ekonomi; dan MEC (marginal external cost) adalah nilai tambahan

kerusakan lingkungan dari kegiatan ekonomi. Saat kegiatan ekonomi berada pada

Q* merupakan kondisi sosial yang diinginkan dimana tingkat eksternalitas berada

dalam kondisi yang optimal yakni sebesar area B. Namun, kondisi ini sulit dicapai

karena pihak swasta sebagai operator kegiatan ekonomi, melakukan intensitas

kegiatan ekonomi yang lebih tinggi, yakni pada tingkat QΠ. Pada tingkat ini

manfaat bersih yang diperoleh swasta sebesar area A+B, namun menimbulkan

tingkat eksternalitas yang merugikan (cost) sebesar area C + D.

Sumber: Pearce and Turner, 1990

Ilustrasi pada Gambar 5 ini memberikan proposisi penting bahwa konsep

eksternalitas tidak lain adalah perbedaan antara biaya swasta (private cost) dan

biaya sosial (social costs). Pearce and Turner (1990) mengatakan, jika perbedaan Gambar 5. Definisi Ekonomi Eksternalitas yang Optimal

Q* O Cost, benefit QΠ MEC D MNPB A X C Y B

ini tidak diatur, maka pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan

(eksternalitas negatif) akan terus beroperasi pada titik QΠdimana manfaat yang

diterima sebesar area A + B + C, namun biaya eksternalitas (negative externality)

yang ditimbulkan adalah sebesar area B + C + D, sehingga manfaat sosial bersih

atau net social benefit (NSB) yang diterima = (A + B + C) – (B + C + D).

Panoyotou (1997), memahami bahwa NSB merupakan selisih antara

manfaat kotor yang diterima dengan manfaat yang diabaikan (opportunity costs).

Manfaat bersih yang diterima konsumen disebut dengan consumer surplus (CS).

Sedangkan manfaat bersih yang diterima oleh produsen disebut dengan producer

surplus (PS). Dengan demikian NSB adalah penjumlahan antara perubahan

consumer surplus dan producer surplus Δ (CS + PS) yang disebut juga dengan

social surplus (pengertian ini diringkas seperti terlihat pada Kotak 1).

Kotak 1. Ringkasan: Net Social Benefit (Panayotou, 1997)

Dalam bentuk grafik, CS ditunjukkan dengan area di bawah kurva

permintaan (demand curve) yang sekaligus mengekspresikan marginal benefit

(MB) dari output kebijakan atau proyek. Sedangkan PS ditunjukkan dengan area

di atas kurva penawaran (yang mengekspresikan marginal opportunity cost) dan

di bawah tingkat harga (Gambar 6).

Dari penjelasan di atas diperoleh pengetahuan penting bahwa dalam

kaitannya dengan sumberdaya alam, biaya eksternalitas identik dengan total biaya

imbangan atau total opportunity cost (diindikasikan dalam Gambar 6). Ini

Net Social Benefits:

= Benefit gained (added) – benefit given up (opportunity cost)

= Δ(net benefit to consumer) + Δ (net benefit to producers)

= Δ (willingness to pay – actual payments)+ Δ (revenus – opportunity cost)

diperkuat oleh Pearce and Turner (1990), yang menyatakan opportunity cost dan

eksternalitas merupakan dua cara pandang yang berbeda dalam melihat masalah

yang sama.

Sumber: Panayotou, 1997

Jika kedua kurva pada Gambar 6 digabung, maka diperoleh diagram

representasi surplus sosial (social surplus) seperti terlihat pada Gambar 7. Pada

pasar persaingan yang berfungsi dengan baik dan tidak ada kegagalan pasar

(market failure), pasar berada pada kondisi keseimbangan, yakni: (1)

memaksimumkan surplus sosial, dan (2) mencapai pareto efisien.

Q* adalah tingkat kegiatan ekonomi yang mengalami efisiensi alokatif.

Gangguan terhadap proses keseimbangan ini akan merubah alokasi sumberdaya,

selanjutnya akan menurunkan surplus sosial sehingga terjadi distorsi ekonomi.

Sebaliknya, adanya eksternalitas negatif atau manfaat yang diabaikan

menyebabkan terjadinya suatu alokasi yang tidak efisien.

0 Q Q Rp P Q* CS Actual Payment Rp 0 P Q* PS

Total willingnes to pay

Total opportunity cost D=MB=MWTP

S=MC

Sumber: Panayotou, 1997

Secara konsepsual, alternatif pengendalian eksternalitas negatif yang ideal

dikenal dengan the first best policy dimana pengendalian polusi dilakukan melalui

bargaining” dan”negotiation” antara pihak perusahaan yang menimbulkan

dampak (pollutant) dengan masyarakat yang terkena polusi (suffer). Mekanisme

yang digunakan dalam pelaksanaan kebijaksanaan ini adalah pemberian

kompensasi sehingga kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Mengingat target the first best policy ini sulit dicapai, maka telah

dikembangkan konsep the second best policy dimana pengendalian polusi

dilakukan melalui intervensi pemerintah. Penerapan tindakan ini tidak akan

menghilangkan dampak negatif polusi tetapi dalam konteks mengupayakan agar

masyarakat menerima manfaat yang lebih besar dari dampak negatif yang

ditimbulkan atau dikenal dengan prinsip society benefit > society cost.

Dalam upaya menerapkan prinsip kemasyarakatan ini kedalam

pengelolaan hutan, Fauzi (2004), mengedepankan pentingnya pengukuhan hak Gambar 7 Representasi Diagram Surplus Sosial

Q Q* O Rp S=MC D=MB=MWTP P Allocative Efficiency Net Social Benefit

= Social Surplus = CS + PS PS CS Total opportunit

kepemilikan (assigning property rights)4 dan pemberian akses kepada masyarakat

untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengukuhan hak akan meningkatkan

manfaat dari pertukaran (gains from trade) atas eksternalitas. Pengukuhan hak

kepemilikan akan efektif, hanya jika diketahui persis pihak mana yang melakukan

eksternalitas. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bisa dihitung dan

tawar-menawar bisa dilakukan sehingga eksternalitas bisa dikurangi. Hal ini

dimungkinkan karena pemberian hak akan meningkatkan gains (manfaat

ekonomi) dari salah satu pihak dengan menurunkan gains dari pihak lain.

Fauzi (2004), mengembangkan empat kemungkinan kombinasi yang dapat

digunakan untuk memberikan akses dalam pengelolaan sumberdaya alam yang

dapat menjamin pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. Tipe pertama, hak kepemilikan sumberdaya berada pada komunal atau negara dengan akses yang

terbatas. Kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari;

Tipe kedua, sumberdaya dimiliki secara individu (private) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakterteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas

dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari; Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe ini akan

melahirkan ”the tragedy of the common”. Tragedi ini terjadi karena apa yang

dihasilkan dari sumberdaya alam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa

yang dimanfaatkan oleh pengguna; Tipe keempat, suatu kombinasi yang jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan

terbuka. Pengelolaan seperti ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap

4 Hanley et al. (1997) dalam Fauzi (2004), menjelaskan bahwa hak kepemilikan akan terkukuhkan dengan

baik (well-define property right) jika memenuhi karakteristik: (1) hak milik tersebut dikukuhkan

pemilikannya baik secara individu maupun kolektif, (2) eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya

penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya, (3) transferable

(dapat dipindah-tangankan) karena hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk

mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut, dan (4) terjamin (secure), dengan adanya jaminan

memiliki maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sumberdaya tersebut selama masih dalam pemilikannya.

intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah, sehingga sumberdaya akan cepat terkuras

habis.

Hubungan antara hak kepemilikan dan akses dalam pengelolaan

sumberdaya alam digambarkan Fauzi (2204), dalam bentuk bagan. Sayangnya

bagan yang ditampilkan belum sepenuhnya menggambarkan konsekuensi dari

masing-masing akses (terbuka dan terbatas). Hal ini perlu diketengahkan karena

setiap keputusan pengelolan yang dipilih harus mempertimbangkan dampak yang

ditimbulkan. Oleh karena itu dilakukan modifikasi gambar Fauzi (2004), menjadi

sebagai berikut.

Sumber: Fauzi, 2004 (dimodifikasi)

Gambar 8. Hubungan antara Hak Kepemilikan dan Akses dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Selain mengupayakan pengukuhan hak kepemilikan, tindakan lainnya

yang dapat dilakukan adalah ’menginternalkan’ dampak yang ditimbulkan, yakni

memasukkan komponen biaya eksternal sehingga diperoleh output yang optimal.

Teori ekonomi standar untuk menentukan ouput optimal adalah ’Coase Theorem

(Coase, 1960 dalam Pearce and Turner, 1990). Pada kasus produksi komoditas

yang menimbulkan eksternalitas negatif, dapat dijelaskan dalam Gambar 9.

Hak Kepemilikan Komunal Negara Individu Akses terbatas (Limited acces) Akses terbuka (Open acces) Kerusakan sumberdaya alam tidak terkendali Kerusakan sumberdaya alam terkendali

Gambar 9 pada prinsipnya menjelaskan tentang pengaruh internalisasi

biaya eksternal terhadap tingkat keluaran (output) suatu kegiatan ekonomi. Tanpa

memasukkan biaya eksternal (internalisasi) tingkat output optimal terjadi pada

saat MNPB=MEC atau pada tingkat Q2. Namun jika biaya eksternal tidak

diperhitungkan, tingkat output yang diusahakan pada tingkat Q1. Hal inilah yang Gambar 9. Penentuan Output Optimal “dengan” dan “tanpa” Biaya Eksternalitas

pada Kasus Produksi Komolitas yang Menimbulkan Polusi

Q Polusi Output= Q 0 Q2 Q of Polution Output Q 0 MNPB, MEC Output=Q 0 MEC Biaya bencana polusi Output=Q 0

Total damage pollution Q1 Q3 Q2 Q1 Q3 Q2 Q1 Q3 Q2 Q1 Q3 MNPB MEC

Polusi yang belum mengeluarkan biaya eksternal untuk

menghilangkan polusi yang sama dengan batas ambang polusi

Q3=tingkat output yang polusinya

belum memerlukan biaya eksternal

Q1=tingkat output tanpa

memperhitungkan biaya eksternal

Q2=tingkat output optimal yang telah

memperhitungkan biaya eksternal atau kondisi tercapainya polusi optimal

pada gilirannya memicu terjadinya ’ekonomi ekspansif’ yang mengabaikan

pelestarian sumberdaya alam.

Intervensi pemerintah dalam pengendalian dampak negatif suatu kegiatan

ekonomi dapat pula melalui koreksi pajak dengan menerapkan: kebijakan pajak

dan kebijakan standar. Pada kebijakan pajak, diterapkannya strategi instrumen

ekonomi atau economic instrument strategy, dimana setiap dampak yang

ditimbulkan dikenakan pajak lingkungan (green tax), sedangkan pada kebijakan

standar, pengendalian dampak negatif dilakukan melalui common and control

(CAC) strategy. Pemerintah menetapkan standar emisi yang diperbolehkan, jika

melebihi batas standar, polluter akan dikenakan sanksi/hukuman.

Efektivitas kedua kebijakan ini tergantung dari magnitude kurva MNPB

dan MEC. Jika kurva MNPB lebih curam dibanding kurva MEC, maka kebijakan

standar akan lebih efektif. Sebaliknya, jika kurva MNPB lebih landai dibanding

kurva MEC, maka kebijakan pajak akan terpilih (Gambar 10 dan 11).

Pajak (T) MNPB; MEC Q2 MEC D Standard (S) A MNPB1 O C B MNPB2 E Q1 Q* Output (Polusi)

Gambar 10. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Pajak Lebih Efektif (ABD>BCE)

2.4. Analisis Biaya-Manfaat Lingkungan

Panayotou (1997), menjelaskan bahwa Cost-Benefit Analysis (CBA)

sebagai skenario yang meliputi perubahan yang diinginkan, penyusunan baselines,

pengestimasian (prediksi) dampak fisik, penilaian dampak tersebut (untuk

memperoleh manfaat), dan estimasi biaya untuk mencapai perubahan yang

diinginkan. CBA bertujuan untuk membantu pembuatan keputusan sosial dan

memfasilitasi alokasi sumberdaya yang lebih efisien. Karena sumberdaya terbatas,

sementara kebutuhan tidak terbatas, maka CBA merupakan sangat diperlukan

dalam rangka penyusunan prioritas menurut manfaat bersih suatu kebijakan atau

proyek. CBA memiliki kelebihan dalam menyeimbangkan aspek-aspek manfaat

suatu kebijakan atau proyek berkenaan dengan sumberdaya rill masyarakat yang

harus dikorbankan untuk implementasi kebijakan atau proyek itu. Paja Q2 O Q1 Q* MNPB; MEC MEC D Standard (S) A MNPB1 C B MNPB2 E Output (Polusi)

Gambar 11. Perbandingan Efektifitas Kebijaksanaan Standar dan Pajak (Studi Kasus: Kebijakan Standar Lebih Efektif (ABD<BCE)

Pendekatan CBA yang paling mutakhir dalam banyak literatur disebut

dengan extended CBA. Menurut Panayoutou (1997), extended CBA adalah

pengintegrasian nilai lingkungan kedalam CBA. Tiwari (2000), menjelaskan

perbandingan prinsip CBA konvensional dengan extended CBA yang ia sebut

sebagai Environmental CBA5, sebagaimana yang tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Prinsip Cost Benefit Analysis Konvensional dengan Environmental Cost Benefit Analysis

Cost Benefit Analysis Konvensional Environmental Benefit Cost Analysis

1. Hanya total manfaat kegiatan

ekonomi yang dihitung

1. Total manfaat kegiatan ekonomi

melampaui total biaya, tetapi juga mempertimbangkan kriteria

lingkungan dan sustainabilitas sosial

2. Perubahan kesejahteraan

ditentukan oleh perbedaan with dan

without kegiatan ekonomi atau proyek

2. Perubahan kesejahteraan ditentukan

sebelum (before) dan setelah (after)

proyek

3. Pengukuran biaya didapat pada

biaya opportunitas sosial, tetapi hanya biaya langsung yang dipertimbangkan

3. Pengukuran biaya diperoleh dari biaya

lingkungan dan harga kelangkaan sumberdaya yang secara bersama-sama disebut dengan biaya imbangan

sosial (social opportunity cost).

4. Manfaat produser diukur sebagai

perubahan surplus produsen

4. Manfaat produser diukur dari

perubahan surplus produsen dan dalam waktu bersamaan dengan

membandingkan WTP dengan harga supplai sumberdaya

5. Menggunakan suku bunga

temporal aggregasi

5. Tingkat preferensi waktu atau suku

bunga (discount rate) yang diterapkan

biasanya lebih rendah dibandingkan CBA konvensional

6. Perubahan kesejahteraan tidak

dinilai dengan uang (unmonetized)

6. Sedapat mungkin dampak-dampak

dinilai dengan uang (monetized)

7. Analisis sensitivitas dibuat dengan

menggunakan asumsi yang berbeda

7. Analisis sensitifitas menggunakan

NPV yang dihitung dari pespektif yang berbeda.

Sumber: Tiwari, 2000

5 Untuk keperluan penjelasan yang praktis maka pada uraian selanjutnya sering digunakan E-CBA untuk menunjukkan Extended BCA atau Environmental BCA