• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

5.2. Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah

5.2.4. Kondisi Tanah dan Kekritisan lahan

Jenis tanah di eks-areal RKI terdiri atas Podsolik Merah Kuning (PMK)

seluas 26 350 ha (30.29 persen), organosol seluas 35 006 ha (40.24 persen),

latosol seluas 16 052 ha (18.44 persen), litosol seluas 9 099 ha (10.46 persen), dan

Lembar Sungai Penuh dan lembar Sarolangun, Sumatera skala 1:250 000

(Laporan Independent Concession Audit, 2001).

Eks-areal kerja PT. RKI mempunyai topografi bervariasi dari datar sampai

sangat curam dengan ketinggian bervariasi dari 190 m hingga 1 670 m dpl. Areal

kerja HPH PT. RKI sebagian besar mempunyai topografi datar (50.40 persen),

dan selebihnya bertopografi landai hingga sangat curam. Penyebaran kelas lereng

disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Penyebaran Kelas Lereng di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah

Kelas Lereng Kisaran Lereng (%) Unit-I (Ha) % A 0 – 8 8 345 50.40 B 8 – 15 5 830 6.70 C 15 – 25 13 345 15.34 D 25 – 40 16 570 19.05 E > 40 7 410 8.51 Jumlah 51 500 100.00 Sumber : Sarbi, 2001

Jika dilihat dari aspek kekritisan lahan, kondisi lahan eks-areal RKI

sebagian besar masih dalam kategori baik dan normal alami dengan luas mencapai

36 981.5 ha atau sekitar 88.5 persen dari luas keseluruhan eks-areal MJRT.

Sedangkan lahan kritis (agak kritis + mulai kritis) seluas 4 736.47 ha atau hanya

sekitar 11.4 persen (Tabel 18). Lahan kritis banyak terdapat di blok bagian atas

yang berjarak relatif dekat dengan TNKS. Lahan kritis ini terkonsentrasi di tiga

lokasi, yakni di Desa Renah Sungai Ipuh, Rantau Tipu (Kecamatan Lembur

Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo) serta Desa Batang Kibul, Telentam dan

Sungai Tabir (Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin).

Lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI adalah areal yang telah

mengalami alih fungsi. Sebagian besar jenis penutupan lahan kritis di eks-areal

sekitar 77 persen dari luas lahan kritis yang terdapat di eks-areal RKI. (Tabel 19

dan Lampiran 24 sampai Lampiran 26). Luas lahan kosong dan semak belukar

masing-masing seluas 338.9 ha dan 749 ha. Dengan demikian pengelolaan lahan

kritis di eks-areal RKI lebih diprioritaskan kepada ladang/kebun masyarakat

karena memiliki areal yang paling luas terutama yang berdekatan dengan TNKS.

Tabel 18. Kondisi Kekritisan Lahan di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2005

Kategori Luas (Ha) (%)

Agak Kritis 519.8 1.2 Baik 30 908.7 74.1 Mulai Kritis 4 216.6 10.1 Normal Alami 6 072.7 14.6 Total 41 717.9 100.0

Sumber: Analisis Spasial, 2005

Tabel 19. Jenis Penutupan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah Tahun 2002

Jenis Penutupan Lahan

Luas (Ha) (%) Mulai Kritis Agak Kritis Total Ladang/Kebun Masyarakat 3 205.9 442.4 3 648.3 77.0 Lahan Kosong 261.5 77.4 338.9 7.2 Semak Belukar 749.3 0 749.3 15.8 Total 4 216.6 519.8 4 736.4 100.0

Sumber: Analisis Spasial Menggunakan Citra Landsat Akuisisi Tahun 2002, 2005

5.2.5. Iklim

Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim pada eks-areal

HPH PT. RKI termasuk kedalam tipe A yang berarti daerah basah, dengan

vegetasi hutan hujan tropis, dan bulan kering rata-rata 0.0 – 0.5 bulan. Data curah

Tabel 20. Data Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Rata-rata Tahun 1980-1992 di Eks-Areal HPH PT. Rimba Karya Indah

Bulan CH (MM) HH (Hari) Temperatur (0C) Kecepatan Angin (Knot) Arah angin Kelem-baban Nisbi (%) Maks Min Rataan

Januari 254 14 30.1 22.9 26.5 7 NW 77 Februari 177 12 35.0 23.4 29.2 6 NW 95 Maret 286 14 33.0 24.1 28.6 6 NW 95 April 238 12 34.3 24.4 29.4 5 NW 96 Mei 198 10 33.0 24.4 28.7 5 SE 95 Juni 130 7 31.7 24.3 28.0 6 S 97 Juli 100 7 32.5 22.2 27.4 7 S-SE 94 Agustus 139 7 33.8 22.5 28.2 8 S-SE 93 September 199 11 34.0 24.7 29.4 7 SE 98 Oktober 232 13 31.5 22.9 27.2 6 SE 94 November 299 13 30.8 20.9 25.9 7 NW 93 Desember 411 16 30.2 23.3 26.8 7 NW 95 Jumlah 2 663 136 Rata-rata 222 12 32.5 23.3 27.9 6.4 94

Keterangan : CH=Curah Hujan dan HH= Jumlah hari hujan Sumber : Stasiun Metereologi Sultan Thaha, Jambi (1984-1994)

Stasiun Metereologi Rimbo Bujang, Jambi (1984-1994) dalam Laporan Independent Concession Audit, 2001

Curah hujan tahunan untuk Unit-I termasuk sedang berkisar 100–411

mm/bulan dengan curah hujan rata-rata sebesar 222 mm. Suhu udara di areal ini

termasuk relatif sedang dengan suhu rata-rata bulanan sebsar 27.9 0C.

Kelembaban udara termasuk tinggi dengan kelembaban berkisar antara 77–97

persen dengan rata-rata 94 persen (Unit-I).

5.2.6. Kondisi Sosial-Ekonomi dan Kependudukan

1. Sistem penguasaan lahan dan perladangan

Di desa sekitar eks-areal RKI, tidak ditemukan adanya hak ulayat atau hak

persekutuan atas tanah dan hutan. Sistem penguasaan lahan oleh masyarakat desa

berlangsung mengikuti peraturan hukum secara tradisional dengan menganut

sistem kepemilikan secara individu dan keluarga. Bagi masyarakat desa, kawasan

keluarga yang membuka hutan atau tanah kosong untuk pertama kalinya akan

diakui sebagai pemilik lahan yang dibuka tersebut.

Dalam hal penguasaan lahan dapat dipilah menjadi dua, yaitu: 1) sistem

penguasaan lahan oleh masyarakat asli, dan 2) sistem penguasaan lahan oleh

masyarakat pendatang. Dasar penguasaan lahan oleh masyarakat bersumber dari:

sistem pewarisan, membuka hutan, ijin garap dari desa dan jual-beli. Rata-rata

luas kepemilikan lahan masyarakat pendatang (yang terdiri dari etnis: minang,

Rejang, Jawa dan dari Sumatera Selatan) bersumber dari surat ijin garap dari

aparat desa dan Muspika serta membeli dari masyarakat asli. Luas kepemilikan

lahan oleh masyarakat pendatang berkisar antara 2-6 ha/KK.

2. Kegiatan usaha tani dan perambahan

Masyarakat sekitar eks-areal RKI banyak tergantung pada usaha pertanian

lahan kering. Dalam usaha perkebunan, masyarakat desa umumnya

mengusahakan tanaman karet disamping tanaman lainnya seperti: kopi, kayu

manis, kelapa sawit dan durian. Hasil produksi dari budidaya tanaman perkebunan

tersebut dijual dalam bentuk tanpa olahan kepada tauke atau pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa pada saat hari pasar. Dalam usaha perkebunan

tersebut, terdapat kecenderungan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan dan

memanfaatkan areal di tepi sungai yang relatif subur.

Perambahan lahan dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan hutan

bekas tebangan eks-areal RKI. Perambahan bahkan telah terjadi sewaktu

perusahaan HPH masih beroperasi sebagai akibat lemahnya penjagaan kawasan

konsesi yang dilakukan perusahaan – meskipun secara hukum adalah tanggung

daerah-daerah yang mudah dimasuki. Masalah ini akan menjadi ancaman bagi

keutuhan kawasan hutan yang masih tersisa di eks-areal RKI.

Konversi lahan bekas tebangan menjadi ladang yang meluas saat ini

menimbulkan perubahan landskap, yang tadinya hutan terganggu menjadi lahan

marjinal – yang tidak memiliki nilai konservasi keanekaragaman hayati sama

sekali. Mengingat eks-areal RKI memiliki topografi yang terjal bergelombang

dengan tipe-tipe tanah yang tidak potensial untuk dijadikan lahan pertanian atau

perkebunan, maka konversi kawasan ini ke bentuk lahan lain, hanya akan

membawa bencana banjir atau kekeringan di daerah-daerah hilirnya.

Berdasarkan observasi di lapangan telah terdapat perladangan masyarakat

dalam bentuk spot-spot kecil yang dilakukan tidak kurang dari 150 KK. Lokasi

perambahan ini banyak terdapat di sekitar Desa Batu Kerbau. Disamping

melakukan perambahan khususnya pada blok-blok tebangan, terjadi pencurian

kayu yang dilakukan secara terkoordinir.

Dari hasil survei diketahui bahwa pengelolaan kebun karet rakyat di desa

sekitar eks-areal RKI sudah berlangsung secara turun temurun dan terus bertahan

hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari peruntukan lahan yang dimiliki oleh

responden, dimana luas lahan yang ditanami karet menduduki peringkat pertama

yaitu seluas 213 ha atau 71.2 persen dari total luas lahan yang dimiliki oleh petani.

Hal ini menunjukkan besarnya animo dan kebutuhan masyarakat dalam

pengusahaan usahatani karet, bahkan telah menjadi suatu budaya bagi masyarakat

setempat.

Tabel 21 berikut ini menggambarkan klasifikasi kepemilikan lahan yang

dengan luas > 2 Ha (54 persen). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar

petani memiliki luas tanaman karet sesuai luas lahan yang direkomendasikan oleh

Departemen Kehutanan pada program hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 2

ha/orang. Dari hasil survei juga didapatkan bahwa sebagian besar (82 persen) usia

tanaman karet yang dimiliki respoden berumur antara 4-11 tahun. Dengan

demikian usahatani responden adalah berada pada usia produktif.

Tabel 21. Luas Peruntukan Lahan yang Dimiliki Kepala Keluarga

Jenis Tanaman

Luas

(Ha) %

Responden ≤ 1 Ha Kategori Luas Lahan 1 < - ≤ 2 Ha > 2 Ha

KK % KK % KK % KK % Karet 213 71.2 50 60.2 11 13.3 12 14.5 27 32.5 Sawit 42 14.0 2 2.4 0 0.0 0 0.0 2 2.4 Jeruk 5.61 1.9 2 2.4 1 1.2 0 0.0 1 1.2 Kopi 1.67 0.6 4 4.8 3 3.6 1 1.2 0 0.0 Kelapa 1.5 0.5 4 4.8 3 3.6 1 1.2 0 0.0 Mangga 0.25 0.1 1 1.2 1 1.2 0 0.0 0 0.0 Cempedak 0.06 0.0 1 1.2 1 1.2 0 0.0 0 0.0 Sawah 7 2.3 7 8.4 7 8.4 0 0.0 0 0.0 Alang-Alang 28 9.4 12 14.5 5 6.0 3 3.6 4 4.8 Jumlah 299.09 100 83 100 32 100 17 100 34 100

Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah)

3. Model usaha tani karet

Pola umum pendirian kebun karet rakyat di desa sebagai berikut:

1. Pembukaan lahan dan persiapan penanaman yang dilakukan pada tahun

pertama, meliputi kegiatan :

a. Penebasan semak belukar dan pohon diameter kecil (tingkat tiang dan

pancang).

b. Penebangan pohon diameter besar.

c. Tutuh yaitu perecahan batang pohon kecil, cabang, dan ranting pohon besar. Hasil tutuh ini dikumpulkan untuk dibakar, sedangkan batang pohon besar dibiarkan tidak dipotong-potong.

e. Pembakaran hasil tutuh.

f. Manduk yaitu membakar ulang sisa-sisa yang terbakar.

g. Mengumpulkan kayu yang berasal dari batang pohon besar untuk bahan

pagar dan dilanjutkan dengan membuat pagar.

h. Pembuatan pondokan.

2. Penanaman yang dilakukan meliputi kegiatan :

a. Pemasangan ajir.

b. Penanaman padi dan tanaman sela.

c. Penanaman karet.

3. Pemeliharaan yang dilakukan pada tahun I, II, dan III, meliputi kegiatan :

a. Penyiangan yaitu membersihkan rumput.

b. Pemupukan.

4. Pemanenan, yaitu penyadapan getah karet yang dimulai sekitar tahun ke 5-7.

Intensitas responden dalam melakukan kegiatan pemeliharaan adalah

sebagai berikut :

1. Responden yang melakukan penyiangan dan pemupukan satu kali baik pada

tahun ke-1 atau tahun ke-2 adalah sebanyak 24.01 persen.

2. Responden yang melakukan penyiangan dua kali baik pada tahun I dan II, atau

II dan III adalah sebanyak 25.01 persen.

3. Responden yang melakukan pemupukan dua kali baik pada tahun I dan III,

atau tahun II dan III adalah sebanyak 18.76 persen.

4. Responden yang tidak melakukan penyiangan dalah sebanyak 50 persen, dan

Adapun intensitas pemeliharaan kebun karet rakyat yang dilakukan oleh

petani karet di desa dapat dilihat pada Tabel 22 bawah ini. Lebih dari separoh

responden tidak melakukan penyiangan dan pemupukan terhadap usahatani

mereka. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kendala yang dialami petani karet

dalam melakukan kegiatan pemeliharaan, antara lain masalah modal. Selain itu,

petani karet juga tidak mendapat penyuluhan dari aparat pemerintah, sehingga ada

kemungkinan petani karet belum mendapat informasi yang lengkap tentang teknik

penanaman dan pemeliharaan tanaman karet.

Tabel 22. Intensitas Kegiatan Pemeliharaan Kebun Karet Rakyat

Jenis Kegiatan Pemeliharaan

Responden Melakukan Kegiatan Tahun Ke- (%)

1 2 3 1 dan 2 1 dan 3 2 dan 3 Tidak ada kegiatan

Penyiangan 3.13 21.88 0 15.63 0 9.38 53

Pemupukan 3.13 21.88 0 0 3.13 15.63 56.26

Sumber: Hasil Survei, 2005 (diolah)

Pola usahatani karet yang dikembangkan oleh penduduk, umumnya

menerapkan sistem pengelolaan hutan karet rakyat ketimbang kebun karet rakyat

yang notabene relatif lebih maju. Tabel 23 menyajikan ilustrasi perbandingan

kedua sistem usahatani dimaksud. Sistem pengelolaan kebun karet pada

prinsipnya lebih memerlukan intensitas modal dan tenaga kerja dibandingkan

dengan hutan karet. Hal ini, tergambar dari penggunaan bibit unggul dan

pengaturan jarak tanam serta kegiatan pemeliharaan. Perbedaan input tersebut

berdampak pada output yang didapat. Produktifitas kebun karet lebih tinggi dari

pada hutan karet, walaupun secara ekologi yang tercerminkan dari keragaman

Tabel 23. Perbandingan Sistem Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat

Uraian Sistem Pengelolaan

Hutan Karet Rakyat Kebun Karet Rakyat

Bibit Lokal Unggul

Jarak tanam Tidak teratur Teratur (4x4)m atau (4x5)m

Pemeliharaan Tidak ada kegiatan pemeliharaan 1. Penyiangan tahun I, II, dan III 2. Pemupukan tahun I, II, dan III Produksi 1. Mulai disadap sekitar 10

tahun.

2. Rata-rata produksi getah setengah dari produksi kebun karet.

3. Masa produksi sekitar 30 tahun.

1. Mulai disadap pada tahun ke-5-7.

2. Rata-rata produksi getah 2 kali lipat dari produksi hutan karet. 3. Masa produksi sekitar 20 tahun.

Keragaman jenis

Heterogen, dengan kerapatan jenis karet 200-490 pohon/ha, non karet 260-300 pohon /ha

Homogen, dengan kerapatan 500-625 pohon/ha

Modal Lebih kecil Lebih besar

Peremajaan Sisipan Tebas bakar

Jarak lokasi Jauh dari tempat tinggal Jauh dari tempat tinggal Jenis tanaman

sela

Pisang, nanas, singkong, sayuran dan padi

Pisang, nanas, singkong, sayuran dan padi

Sumber: Hasil Observasi, 2005

Perolehan Lahan

Secara umum ada tiga cara petani karet memperoleh kebun karet, yaitu

warisan, membeli kebun karet yang sudah jadi, dan membuka lahan hutan.

Berdasarkan pola perolehan lahan karet, sebagian lahan karet yang ada yaitu

302.10 ha atau 60 persen lebih merupakan warisan dan 171.75 ha atau 34.16

persen diperoleh dari pembelian dan 28.93 ha atau 5.75 persen dari membuka

lahan kosong atau membuka hutan. Hal ini menunjukkan pola pertanian karet

sudah menjadi tradisi yang turun temurun bagi masyarakat desa.

Pembangunan Lahan Kebun

Kegiatan pembangunan lahan kebun dimulai dengan melakukan tebas

tebang yang pada umumnya dilakukan sendiri oleh si pemiliki lahan. Dilanjutkan

dengan kegiatan persiapan pembakaran. Terdapat kebiasaan masyarakat di sana

mengkonfirmasikan kepada para pemilik lahan di sekitarnya bahwa dia akan

membuka lahan, dan menanyakan apakah di antara pemilik lahan tersebut ada

yang akan membuka lahan. Jika di antara para pemilik lahan tersebut berniat

membuka lahan, maka mereka melakukan kegiatan tersebut bersama-sama,

sehingga dari segi biaya menjadi lebih murah karena mereka tidak perlu membuat

pagar untuk membatasi lahan mereka.

Sebelum kegiatan pembakaran dilakukan, areal di sekeliling lahan harus

dibersihkan supaya api tidak menyebar. Kegiatan pembakaran biasanya dilakukan

secara gotong-royong oleh petani pemilik lahan bersama kerabat dekat dan

penduduk lainnya lebih kurang 20 orang, sedangkan waktunya adalah sore hari

selama ± 2–3 jam. Setelah kegiatan pembakaran tersebut, ada kemungkinan lahan

belum bersih, oleh karena itu dilakukan pembakaran ulang sehingga lahan

menjadi benar-benar bersih. Kegiatan pembakaran ulang tidak dilakukan secara

gotong-royong tetapi cukup dilakukan sendiri oleh petani pemilik lahan.

Pembuatan Pagar

Selesai kegiatan pembakaran, dilakukan pembuatan pagar di sekeliling

kebun yang dibuat setinggi manusia. Tujuan pemagaran ini adalah untuk

menghindari hama babi hutan. Pembuatan pagar dilakukan sendiri oleh petani

karet pemilik lahan atau diupahkan. Sebagai bahan pagar digunakan batang pohon

tegakan besar yang sengaja tidak potong-potong dalam kegiatan pembukaan

lahan, dan sisa pembakaran dengan kawat serta paku sebagai bahan pelengkap.

Penanaman

Setelah pemagaran selesai, dilanjutkan dengan pemasangan ajir untuk

bersamaan waktunya, atau dapat juga menanam padi lebih dahulu baru menanam

karet. Kegiatan ini dilakukan dengan cara bergotong-royong.

Adapun jenis bibit karet yang ditanam tergantung dari kemampuan/modal

yang dimiliki oleh pemilik lahan. Ada tiga macam bibit yang biasa digunakan

yaitu :

1. Bibit lokal, yang dicabut dari kebun sendiri biasanya gratis.

2. Mata tidur, dimana petani membeli mata tidur seharga Rp 500/buah dan

mereka melakukan okulasi sendiri.

3. Polybag, yaitu bibit karet siap tanam dalam polybag. Harganya relatif mahal jika dibandingkan dengan bibit lokal dan mata tidur sekitar Rp 2000/buah.

Penanaman padi dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau kadang-kadang

diupahkan. Setelah tanam padi dilakukan kegiatan pemeliharaan, yaitu

penyiangan dan pemupukan yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan atau

diupahkan. Penanaman padi dan tanaman sela dilakukan hingga tahun kedua atau

ketiga.

Pemanenan

Pada karet teknis (klon) kegiatan pemanenan dilakukan setelah pohon

pohon karet berumur 5-7 tahun, sedangkan untuk karet alam relatif lebih lama dari

kebun karet. Kegiatan penyadapan getah karet dilakukan setiap hari dan dilakukan

secara sendiri-sendiri. Terdapat pula sistim bagi hasil dalam pemanenan

tergantung pada kondisi produksi getah. Sistem bagi hasil 2:1, jika kondisi

produksi getah sudah lewat dari masa produksi optimum, 2 bagian untuk

dan karet teknis yang produksinya tinggi, sistem bagi hasil adalah 1:1, satu bagian

untuk pemotong dan satu bagian untuk pemilik.

Pengolahan

Pengolahan getah karet yang dilakukan masih sederhana, yaitu dengan

cara melakukan pemasakan dengan asam anti koagulasi kemudian merendamnya,

hasilnya disebut slab. Di pasar, harga slab ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan karet sheet dan crepe. Namun kendala yang dihadapi dalam kegiatan pengolahan karet sheet dan crepe adalah jauhnya jarak antara rumah dengan lokasi kebun karet, karena untuk melakukan pengolahan karet sheet dan crepe

hasil sadapan harus diangkut setiap hari. Pada tingkat pedagang pengumpul, harga

karet sheet dan crepe tidak jauh berbeda dengan harga karet slab, sehingga tidak ada insentif bagi petani karet.

Pemasaran

Penjualan getah karet biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu.

Petani karet menjual hasil produksinya langsung kepada pedagang pengumpul

yang datang ke desa sekitar eks-areal RKI. Petani karet mempunyai kebebasan

untuk memilih pedagang pengumpul yang membeli dengan harga tinggi.

Beberapa petani karet menjual hasil produksinya kepada pedagang

pengumpul tertentu, hal ini terjadi karena pedagang pengumpul tersebut masih

kerabat, atau mereka mempunyai perjanjian tersendiri dengan pedagang

pengumpul tersebut, misalnya petani karet mempunyai hutang yang akan dibayar

dengan hasil produksi getah karet selama satu atau dua minggu.

Dalam kasus lain, pedagang pengumpul tersebut memiliki banyak kebun

penyadap ada loyalitas kepada si pemilik kebun karet jika si pemilik kebun karet

tersebut merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun demikian pemilik

kebun karet tersebut membeli getah karet dengan harga yang relatif sama dengan

pedagang pengumpul yang lain.

4. Kependudukan

Secara umum, di sekitar eks-areal RKI terdapat 1 140 rumah tangga yang

tersebar di 9 desa pada empat wilayah kecamatan yang berbatasan langsung

dengan eks-areal RKI (Kecamatan: Tabir Ulu (Kabupaten Merangin), Pelepat,

Lembur Lubuk Mengkuang dan Rantau Pandan (Kabupaten Bungo). Hingga

tahun 2003, secara keseluruhan jumlah penduduk di desa-desa tersebut sebanyak 6

670 jiwa dengan sex-ratio sebesar 85. Secara terperinci, variasi kependudukan di

desa sekitar eks-areal RKI dapat dilihat pada Tabel 24.

Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk maupun rumah tangga, desa-desa

sekitar RKI tergolong memiliki kepadatan yang relatif rendah. Kepadatan rumah

tangga tercatat antara 2-7 rumah tangga tiap km2, sementara kepadatan penduduk

antara 8-31 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa

Renah Sungai Ipuh, Kecamatan Lembur Lubuk mengkuang, sedangkan kepadatan

penduduk terendah ditemui di Desa Sungai Tabir, Kecamatan Tabir Ulu.

Pada lokasi lokasi survei yang dilakukan di Kecamatan Lembur Lubuk

Mengkuang dan Pelepat, jumlah rumah tangga di sekitar eks-areal RKI tercatat

sebanyak 492 rumah tangga, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2003

sebanyak 2 215 jiwa. Tingkat kepadatan rata-rata untuk penduduk dan rumah

tangga juga tergolong relatif rendah, masing-masing adalah 27 jiwa/km2 dan 1

Tabel 24. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk dan Rumah Tangga di Desa Sekitar Lokasi Penelitian

No Kecamatan/Desa Luas (KM2) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Rumah Tangga (RT) Kepadatan Jiwa/KM2 RT/KM2 Tabir Ulu 1 Batang Kibul 110.28 965 241.25 9 2 2 Telentam 57.00 1 057 211 19 4 3 Sungai Tabir 38.00 294 59 8 2 4 Air Liki 61.00 965 193 16 3

Lembur Lubuk Mengkuang *

5 6

Pemunyian** Renah Sei Ipuh**

21.00 13.08 396 663 102 237 19 50 5 18 Pelepat* 7 Batu Kerbau** 38.94 1 100 245 29 6 Rantau Pandan 8 Muara Buat 28.44 778 195 27 7 9 Lubuk Beringin 27.22 396 99 15 4 Total 404.88 6 670 1 490.25

Keterangan : * dan ** masing-masing merupakan kecamatan dan desa-desa lokasi survei Penelitian

Sumber : 1. Kecamatan Tabir Ulu Dalam Angka, 2002

2. Kecamatan Pelepat Dalam Angka, 2003

3. Kecamatan Lembur Lubuk Mengkaung Dalam Angka, 2003 4. Kecamatan Rantau Pandan Dalam Angka, 2003

6.1. Perubahan Tutupan dan Penggunaan Lahan