• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Keterkaitan antara Kondisi Hidro-oseanografis Perairan

DAFTAR LAMPIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Aspek Produksi, Biologi Madidihang dan Kaitannya dengan Kondisi Hidro-oseanografi di Rumpon

4.2.4 Estimasi Keterkaitan antara Kondisi Hidro-oseanografis Perairan

Fishing Ground dengan Keberadaan Ikan Hasil Tangkapan

Ukuran Madidihang yang tertangkap di rumpon oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru, paling dominan adalah dengan ukuran berat 2-9 kg (52%), di atas 20 kg (27%), 10-20 kg (17%) dan 1-2 kg (4%). Hasil tangkapan tersebut di peroleh dari metode memancing, yaitu metode tonda, copping, tomba dan layang-layang (Tabel 14).

Tabel 14 Metode pemancingan dan ukuran Madidihang tahun 2003-2010

Alat Tangkap

Ukuran Ikan (kg)

Keda-laman Umpan waktu

1-2 2-9 10-20 >20

Tonda 23 612 315 559.5 0 0 permukaan benang, kain pagi dan sore

Copping 23 612 315 559.5 205 850 608 265.0 30-100 m sendok, CD Siang hari

Tomba 0 0 0 66 467.4 40-50 m umpan hidup Siang hari

Layang-layang 0 0 0 99 701.1 permukaan ikan sintetis pagi, seiang dan sore Sumber:Hasil analisis data primer.

Dari Tabel 14 diperoleh gambaran bahwa metode pemancingan yang yang efektif untuk menangkap Madidihang di rumpon adalah metode coping. Berdasarkan sebaran suhu menegak maka posisi tersebut berada di lapisan campuran hingga termoklin, karena suhu sebaran menegak di fishing ground untuk lapisan campuran adalah pada kedalaman 0-29 m pada musim peralihan ke-2 hingga musim barat (Oktober-Februari), sedangkan pada musim timur pada kedalaman 0-49 m, sedangkan untuk lapisan termoklin pada musim peralihan ke-2 hingga musim barat, terjadi pada kedalaman 30-149 m dan 50-199. Metode copping menjadi efektif karena umpan dan mata pancing berada di lingkungan yang disukai ikan yaitu di lapisan termoklin tempat ikan besar berkumpul. Dari total hasil tangkapan empat metode yang digunakan, metode copping menghasilkan 100% ikan berukuran 10-20 kg dan 30% yang berukuran di atas 20 kg.

Bedasarkan hasil tangkapan tersebut dapat diestimasi bahwa ikan Madidihang memiliki preferensi lingkungan yang sesuai dengan kondisi hidro-oseanografi dari fishing ground (rumpon). Adanya kesesuaian antara lingkungan dengan ikan tersebut, dapat di lihat dari hasil tangkapan dengan menggunakan metode coping. Metode coping adalah metode memancing dengan menarik dan mengulur-ulur line dengan tangan, kedalaman mata pancing mencapai 30-100 m. Hal ini berarti pemancingan dilakukan pada lapisan campuran hingga termoklin. Menurut Weng et al. (2009) Madidihang 93.4% dalam fase hidupnya berada di lapisan campuran dan termoklin dengan kedalaman 200 m. Dari waktu tersebut (93.4%) selama 72.0% berada dalam lapisan campuran pada kedalaman sampai 50 m (mixed layer), pada malam hari: 84.9- 46% dan siang hari 59.3-6.1%

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di lapisan campuran hingga kedalaman 100 m pada lapisan termoklin di fishing ground merupakan tempat yang optimal untuk melakukan kegiatan pemancingan. Pada kedalaman antara 30-100 m tersebut suhu berkisar antara 14 hingga 28°C, dengan DO kisaran 2.47-4.47 mg/l merupakan kondisi yang cocok untuk tuna berukuran kecil maupun besar. Kondisi ini sesuai dengan pendapat dari Mohri dan Nishida (2000) yang mengatakan bahwa Madidihang dewasa di Samudera Hindia

memiliki suhu preferensi berkisar antara 13-24°C dengan konsentrasi DO minimal 1 mg/l. Selain cocok untuk yang berukuran besar, lapisan campuran dan termoklin pada fishing ground juga sesuai dengan kondisi untuk fase larva yang membutuhkan suhu hangat diatas 27°C (Conand dan Richards 1982). Suhu lapisasan campuran di fishing ground berada dalam kisaran antara 27-28°C. Oleh karena hasil tangkapan metode coping dan tonda sebagian besar memperoleh ukuran fase juvenil, maka selatan jawa merupakan area nursering bagi Madidihang. Hal ini dikuatkan dengan hasil tangkapan lainnya, yakni metode tonda, 50% hasil tangkapan ikan kecil ditangkap dengan cara ini. Selain ikan larva dan dewasa antara 10-20 kg, ikan tuna yang berukuran besar, di atas 20-70 kg berada juga di lapisan campuran dan termoklin. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan ikan berkaitan erat dengan suhu menegak dari perairan. Di rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Lapisan campuran terjadi sampai pada kedalaman 29 m pada musim barat dan 49 m musim timur, lapisan termoklin terjadi sampai pada kedalaman 149 pada musim barat dan 199 m pada musim timur. Suhu stabil sekitar 27-28º C hingga kedalaman 50 m. Selanjutnya menurun secara gradual dari suhu sekitar 27ºC sampai suhu 14º pada kedalaman 200 m. Pada lapisan dalam dimulai pada kedalaman 200 m, secara gradual suhu menurun dari 14.05º hingga suhu 3.42ºC pada kedalaman 1600 m.

2. Pada lapisan campuran, Madidihang yang tertangkap berukuran 1-2 kg (100%), 2-9 kg (50%), 10-20 kg (50%) dan >20 kg (20%). Tingginya hasil tangkapan pada fase larva hingga juvenil (1-9 kg) Madidihang di lapisan ini merupakan preferensi yang disukai oleh tuna tersebut, campuran yang memiliki suhu hangat, biasanya suhu yang disukai berada di atas 27ºC (Conand dan Richards 1982; Marsac 2002). Dengan demikian, dapat diduga bahwa di fishing ground merupakan habitat yang sesuai dengan fase tersebut karena sesuai dengan suhu optimumnya, yaitu hingga kedalaman 49 m dari permukaan memiliki suhu yang stabil, yakni di atas 27ºC hingga 28ºC. Selain memiliki suhu yang hangat, dalam lapisan campuran fishing ground kaya akan klorofil-a terutama pada musim angin

timur dengan kisaran konsentrasi 0.09-5.96 mg/l dengan konsentrasi DO berkisar 4.17-4.56 mg/l.

3. Pada lapisan termoklin, ikan yang tertangkap pada umumnya adalah fase dewasa yaitu yang berukuran di atas 10 kg. Hal ini sesuai dengan pendapat Mohri dan Nishida (2000) yang menyatakan bahwa ikan dewasa di Samudera Hindia berada pada lapisan termoklin, dengan suhu optimal pada kisaran 13-24ºC Sedangkan menurut Rajapaksa et al. (2010), untuk ikan besar dengan ukuran 20.5-21.5 kg menyukai suhu yang hangat, yaitu antara 28-30ºC. Hal ini berarti, ikan tuna berada di lapisan campuran dan termoklin. Dengan demikian, maka keberadaan ikan tuna dewasa di fishing ground nelayan Sendang Biru berada dari permukaan hingga sampai kedalaman 200 m.

4. Apabila melakukan penangkapan, agar memperoleh hasil tangkapan yang optimal, sebaiknya trolling di rumpon dilakukan pada kedalaman pancing antara 30-199 m. Keberadaan ikan tuna besar di permukaan lapisan atas yang ditangkap dengan metode layang-layang menegaskan bahwa ikan tuna memiliki sifat yang berasosiasi dengan benda bergerak (Dagorn and Fréon 1999). Keberhasilan nelayan sekoci menangkap ikan di rumpon membuktikan bahwa Madidihang berasosiasi dengan rumpon, sehingga keberadaan rumpon menjadi penting untuk nelayan (Cayre 1991).

Berdasarkan uraian di atas diperoleh gambaran bahwa suhu menjadi faktor pembatas dari parameter hidro-oseanografi untuk Madidihang di fishing ground. Hal ini sesuai dengan pendapat Lan et al. (2011) yang mengatakan bahwa sebaran suhu, terutama suhu menegak merupakan pembatas utama untuk Madidihang, karena pada parameter lainnya cukup toleran. Hal ini sesuai dengan pendapat Song et al. (2008) yang menyatakan bahwa suhu, DO dan klorofil menjadi penting karena berkaitan dengan faktor makanan, sementara salinitas di perairan Samudera Hindia diabaikan, karena cenderung relatif sama, sedangkan menurut Bertrand et al. (2008)faktor suhu memegang peranan penting, karena juga dapat digunakan dalam penentuan lapisan campuran, termoklin dan lapisan dalam. Madidihang dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya pada lapisan termoklin dengan suhu optimal 24ºC

karena sebaran suhu sebagai pembatas, akan menentukan lapisan dalam kolom air. Adapun kondisi yang optimal untuk masing-masing variabel tersebut di Samudera Hindia, adalah 100.0-179.9 m, 15.0-17.9ºC, 0.090–0.0λλ μg/l, dan 2.50–2.99 μg/l, sedangkan salinitas tidak begitu berpengaruh terhadap pergerakan vertikal dari ikan tuna tersebut. Namun, secara umum suhu ideal untuk sebaran tuna dewasa adalah 13-24oC (Mohri dan Nishida 2000) danpada waktu siang hari suhu yag comport berkisar 24-27°C, sementara pada malam hari berada di area lapisan campuran yang hangat dengan suhu di atas 27°C (Cayré 1991). Sedangkan untuk fase juvenil adalah di atas 27°C (Conand dan Richards 1982).

Dengan demikian, maka ada keterkaitan yang nyata antara sebaran suhu menegak dengan keberadaan Madidihang di masing-masing lapisan. Guna kepentingan tersebut, pengetahuan tentang keberadaan lapisan campuran (mixed layer), termoklin (thermocline) dan lapisan dalam (dept layer) di area penangkapan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru penting untuk dimiliki. Apalagi dalam kegiatan perikanan tangkap penuh dengan ketidakpastian. Berbagai faktor menjadi penentu keberhasilan dalam perikanan tangkap, diantaranya adalah kondisi alam (natural system), manusianya sendiri (human system), kapal penangkap (fleet ) dan pasar. Diantara ke empat faktor tersebut satu sama lain saling berkaitan satu sama lain, terutama untuk perikanan ikan tuna yang hidup di Samudera Hindia.

4.3 Karakteristik Kapal Sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru