• Tidak ada hasil yang ditemukan

GGambaran keberadaan

1.6 Etnik dan Bahasa Batak Toba

1.6.1 Etnik Batak Toba

Suku Batak merupakan salah satu etnik yang terdapat di Sumatera. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lagi menempati bagian Timur laut Tapanuli yaitu daerah Simalungun dan yang lain bermukim di sebelah barat laut Danau Toba yakni tanah Karo. Etnik Batak terdiri dari beberapa sub-etnik, masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Menurut pembagian linguistik bahasa Batak dapat dibedakan atas lima bahasa yang berbeda satu dengan lain yaitu:

(1) Bahasa Batak Toba, (2) Bahasa Batak Karo, (3) Bahasa Batak Simalungun, (4) Bahasa Batak Pak-pak-Dairi, dan (5) Bahasa Angkola-Mandailing.

Gambar 1.2. Peta Etnik Batak Di Sumatera

1. Batak Toba (Tapanuli): mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli

Tengah menggunakan bahasa Batak Toba.

2. Batak Simalungun: mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan

menggunakan bahasa Batak Simalungun.

3. Batak Karo: mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan

bahasa Batak Karo

4. Batak Mandailing: mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan

Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing

5. Batak Pakpak: mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa

Pakpak.

Bahasa BT digunakan di daerah atau distrik Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Habinsaran dan Uluan (pembagian daerah ini didasarkan atas pembagian distrik pada waktu pemerintahan Hindia Belanda). Pembagian distrik yang dilakukan pada masa Hindia Belanda itu tidak sama lagi dengan masa sekarang ini, karena sejak awal tahun 2000-an telah terjadi pemekaran kabupaten, sehingga nama kabupaten tidak lagi identik dengan Distrik pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut.

Masyarakat BT mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan merupakan ciri diri etnik BT yang disebut dengan marga. Marga selalu lebih ditonjolkan

daripada namanya. Namanya selalu tetap diikuti oleh marga dan apabila orang Batak ingin

memperkenalkan dirinya kepada orang lain dia lebih dulu menyebutkan marga, karena dari

marga-lah seseorang dapat ditelusuri siapa dia dan darimana asalnya. Maka apabila seorang

etnik BT memperkenalkan dirinya dengan menggunakan marga ‘X’ dapat diketahui darimana

asalnya, karena setiap marga mempunyai daerah asal marga tersebut yang disebut dengan Bona

ni Pasogit. Daerah asal (Bona ni Pasogit) ini dapat dikatakan sebagai asal daerah dimana nenek

moyang mereka (leluhur) tinggal di sana mempunyai daerah kekuasaan/tanah. Hal ini dapat diperhatikan apabila seseorang mau berkenalan dengan orang lain. Seseorang pertama sekali akan menanyakan marga atau memberitahukan marga-nya. Orang akan bertanya : ”Aha do

marga muna, amang? ” (Bapak marga apa?) dan lawan bicara akan memberitahukan marga-nya

dengan mengatakan “Marga ‘X’ do ahu” (Saya marga ‘X’). Tujuan seseorang menanyakan

marga-nya adalah untuk mengetahui darimana asalnya. Misalnya, seseorang yang bermarga

Siahaan sudah tentu berasal atau mempunyai Bona Pasogit (kampung halaman) di Balige,

walaupun dia sudah dilahirkan atau dibesarkan di perantauan, karena dari Baligelah asal marga

Siahaan. Selain itu orang Batak menanyakan marga seseorang bertujuan untuk mengetahui

bagaimana dia harus memanggil lawan bicaranya itu apakah mereka marhulahula, marboru, atau

marsabutuha. Apabila orang yang ditemui adalah hulahula-nya maka orang tersebut dipanggil

dengan sebutan tulang/nantulang, bila yang dijumpai boru-nya maka dipanggil dengan sebutan

amangboru/namboru, bila yang ditemui adalah dongan sabutuha maka dipanggil dengan sebutan

Setiap marga etnik BT memiliki daerah sendiri-sendiri, dimana marga yang lain yang

berada di sana dianggap sebagai pendatang (paisolat). Pada umumnya marga yang datang ke

satu daerah marga orang lain pada waktu dulu adalah merupakan boru dari orang yang

mempunyai daerah/lokasi tersebut.

Dalam sistem kekerabatan etnik BT, marga lebih dekat daripada kesamaan asal daerah

tempat tinggal. Sistem kekerabatan yang berlaku pada etnik BT adalah menurut garis keturunan ayah yang disebut patrineal. Garis keturunan seorang laki-laki akan diteruskan oleh putranya

dan menjadi punah kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan. Dengan perkataan lain laki- laki itulah yang membentuk kekerabatan secara turun menurun, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan karena dia kawin dengan laki-laki dari kelompok patrineal yang

lain. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai marga yang sama dengan

ayahnya, tetapi setelah anak perempuan kawin dengan sendirinya ia masuk ke lingkungan marga

suaminya. Berdasarkan marga seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang

disebut dengan dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang merupakan unsur yang tak terpisahkan

yang dianggap sebagai dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Toba yaitu hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang

menerima anak perempuan’.

Terdapat lebih kurang 300 marga penting dalam sejarah marga Batak, marga yang satu

dengan lain saling berhubungan dalam konteks dalihan na tolu. Solidaritas marga dalam

kenyataannya semakin luas lagi dari hanya sekedar dongan sabutuha. Solidaritas primordial

etnik BT ini menjadi sangat luas mencakup keseluruhan etnik BT yang dipandang bersaudara dalam konteks sistem kekerabatan masyarakat BT. Berdasarkan konteks sistem kekerabatan, masyarakat BT menganggap perkawinan semarga merupakan suatu hal yang memalukan atau

tabu, karena satu marga dianggap merupakan masih satu darah. Hal inilah yang mendasari

bahwa perkawinan satu marga dianggap sangat memalukan dan diharamkan dalam adat

perkawinan BT. Apabila suatu saat terjadi perkawinan satu marga dalam suatu keluarga BT,

maka keluarga tersebut akan dikeluarkan dari sistem peradatan dan tidak diperbolehkan terlibat dalam setiap kegiatan adat, artinya keluarga tersebut dikucilkan dari pergaulan dalam masyarakat. Biasanya keluarga tersebut akan disuruh keluar dari kampung asal dan hidup terasing di tempat yang tidak seorangpun mengenal mereka. Dengan demikian keutuhan marga

selalu dijaga dengan cara (1) dilarang kawin satu marga, (2) membentuk kumpulan marga, (3)

membubuhkan marga setelah nama, dan (4) mengajarkan kepada anak tentang garis keturunan

(tarombo) sehingga anak kelak dapat mengetahui partaromboan menurut marganya. Setiap

marga juga mempunyai nomor, misalnya marga Siahaan nomor empat belas, nomor lima belas

dan seterusnya yang biasanya dengan penomoran tersebut orang Batak mengetahui bagaimana sapaannya terhadap orang semarga tersebut.

Setiap orang Batak terutama yang tinggal menetap di tempat kelahirannya Tanah Batak, dapat menuturkan tanpa kesalahan enam sampai delapan bahkan kadang-kadang lebih garis keturunan nenek moyangnya (Siahaan, 2005 : 70). Semua orang tahu dimana garis keturunannya dalam marga, demikian juga saling hubungan antara keturunan termasuk keluarga ibunya.

Sistem kekerabatan ini dapat diurut sedemikian jauhnya, berkat marga yang dimiliki etnik BT

ini. Bagaimana asal mulanya dan sejak kapan marga mulai digunakan di lingkungan etnik BT,

tidak diketahui secara tepat, tetapi yang pasti bahwa marga sudah memegang peranan yang

sangat penting sejak diselenggarakan upacara persembahan kurban kepada roh leluhur .

Masyarakat BT juga sangat erat dengan kehidupan kumpulan Serikat Tolong Menolong (STM) Hal ini dilakukan juga di perantauan, termasuk di kota Medan. Etnik BT ini membentuk

kelompok-kelompok marga yang disebut STM yang berfungsi untuk mempererat hubungan yang

satu dengan yang lain dalam kelompok marga, baik di saat suka maupun duka. Dalam kelompok

STM bisa diketahui struktur kekeluargaan, sehingga diketahui sistem sapaan yang satu dengan lainnya, walaupun mereka ada yang lahir di perantauan dan ada di Bona ni Pasogit. Sampai saat

inipun, sistem kekerabatan yang demikian kental masih dapat terlihat di dalam kehidupan etnik BT meskipun mereka berada di perantauan atau di luar daerah asal tempat mereka dilahirkan.