• Tidak ada hasil yang ditemukan

GGambaran keberadaan

KONSEP BILINGUALISME, INTERFERENSI, DAN SIKAP BAHASA

3.2 Konsep Bilingualisme

Bilingualisme adalah perilaku penggunaan dua bahasa atau dua kode secara bersamaan dalam interaksi dan komunikasi verbal. Konsep bilingualisme adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain, sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan seseorang untuk menggunakan dua bahasa (lihat Nababan, 1984: 27-29).

Dalam pandangan sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Bilingualisme dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan dimana individu atau masyarakat memiliki ciri-ciri kehadiran penggunaan bahasa secara simultan.

Istilah kedwibahasaan atau bilingualisme diungkapkan pertama sekali oleh Bloomfield (1933:56) yaitu penguasaan dua bahasa seperti penutur aslinya. Jadi, menurut Bloomfield seseorang dapat dikatakan bilingual apabila ia dapat menggunakan bahasa pertama (B1) dengan bahasa kedua (B2) dengan derajat yang sama baiknya.

Fishman (1972) membagi dua tipe bilingual yaitu tipe compound (tidak sejajar) dan tipe

coordinate (sejajar). Tipe pertama bercirikan dua bahasa yang digunakan setelah terjadi tahap

penyesuaian sosialisasi dari pendatang (urban atau imigran). Pada tipe ini bahasa keduanya masih dikendalikan oleh bahasa pertama. Sebaliknya tipe kedua bercirikan penutur-penutur bilingual yang tidak tersosialisasi sejak awal sehingga kedua bahasa digunakan secara bersama- sama (side by side) dalam fungsi masing-masing. Pada penggunaannya bahasa kedua tidak

dikendalikan oleh bahasa pertamanya.

Selain itu, Haugen dalam Romaine (1995:51) menyatakan bahwa jika penutur dari suatu bahasa dapat menghasilkan ujaran lengkap yang bermakna dalam bahasa lain, yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur, orang tersebut dapat dianggap sebagai dwibahasawan. Kedwibahasaaan bukan merupakan fenomena dalam bahasa, melainkan sebagai ciri pemakaian

suatu bahasa (lihat Mackey dalam Fishman, 1972:554). Kedwibahasaan tidak menunjukkan suatu kode tetapi pada suatu amanat bukan secara dominan atau sebagai ‘langue’ melainkan

sebagai ‘parole’. Jika bahasa milik suatu masyarakat, kedwibahasaan adalah milik perorangan.

Pemakaian dua bahasa pada perseorangan berarti adanya dua masyarakat bahasa yang berbeda. Sebagai contoh adalah masyarakat di kota-kota besar yang penduduknya berasal dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda, bahkan masyarakat di kota-kota besar tidak lagi masyarakat yang berdwibahasa melainkan sudah banyak yang multibahasa (lihat Wijana, Putu dan Rohmadi,2006 ).

Selanjutnya Mackey mengungkapkan bahwa unsur-unsur atau aspek yang perlu diperhatikan adalah (1) degree (tingkat kemampuan menggunakan kedua bahasa itu), maksudnya

kedwibahasaan itu ditentukan oleh adanya derajat atau tingkat kemampuan berbahasa. Apabila penutur bahasa itu ahli atau menguasai dua bahasa itu dengan baik, maka akan sering terjadi peristiwa kedwibahasaan. Sebaliknya, apabila si penutur bahasa itu tidak menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik dan derajat yang sama maka akan jarang terjadi kedwibahasaan, (2)

function (fungsi atau pemakaian kedua bahasa itu), yaitu kapan suatu bahasa itu dipakai dan

dalam situasi yang bagaimana bahasa itu digunakan. Dalam hal ini ada dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal bahasa itu digunakan oleh dwibahasaan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, misalnya dengan lingkungan tetangga, tempat ibadah, lingkungan bekerja, tempat bermain. Sementara faktor internal adalah bila bahasa digunakan bukan untuk berkomunikasi dengan dunia luar, melainkan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, misalnya pada seorang yang sedang berpikir, berdoa, bermimpi, dan sebagainya, (3)

alternation (pengertian atau peralihan dari bahasa satu ke bahasa yang lain), yang keberadaan

dengan kemahiran di sini adalah apabila dwibahasawan menggunakan dua bahasa cukup lancar, apabila kemahiran itu cukup tinggi maka akan sering terjadi alternasi demikian sebaliknya, dan (4) interference (interferensi) yaitu pemakaian unsur-unsur dari suatu bahasa ke dalam bahasa

lain baik secara lisan maupun secara tertulis. Menurut Mackey, interferensi itu bersifat individual dan continent artinya adalah bahwa interferensi itu hanya terjadi pada tuturan perseorangan, dan

tidak mempunyai sistem.

Terdapat dua jenis dwibahasawan dalam peristiwa kontak bahasa, yaitu dwibahasawan masyarakat dan individual. Secara kasar dapat dikatakan bahwa masyarakat dwibahasawan biasanya terjadi jika dalam masyarakat tertentu digunakan dua bahasa atau lebih. Dalam hal ini hampir semua masyarakat adalah dwibahasawan, akan tetapi mereka bisa berbeda sehubungan dengan tingkat atau bentuk dari dwibahasawan tersebut.

Sementara itu, bilingual individual didefinisikan sebagai penguasaan seseorang terhadap dua bahasa atau lebih (lihat Weinreich,1968). Sangat jelas apa yang dimaksud dengan bilingual individual, tetapi menentukan apakah seseorang bilingual atau tidak, tidaklah gampang. Sebagai contoh dapat diperhatikan pada orang Inggris yang telah mempelajari bahasa Prancis dan mempraktekkannya pada saat liburan tahunan, tetapi mereka adalah dwibahasawan seperti orang-orang Puertorico di New York yang menggunakan bahasa Spanyol dan bahasa Inggris dengan kemampuan yang sama.

Dalam sejarah dwibahasawan bermacam-macam definisi telah diusulkan. Terdapat dua definisi yang ekstrem tetapi merupakan variasi yang terkenal. Pertama adalah pendapat Bloomfield (1933 : 56) yang membuat definisi dengan tuntutan yang sangat tinggi terhadap penutur yang harus memiliki kemampuan seperti penutur asli dari dua bahasa atau lebih. Pernyataan ekstrem kedua, MacNamara (1969) adalah seseorang dapat disebut dwibahasawan

bila ia memiliki keterampilan bahasa kedua dalam salah satu dari empat modalitas yaitu berbicara, mendengar, menulis, dan membaca sebagai tambahan dari keterampilan bahasa pertamanya.

Berdasarkan pendapat para pakar bahasa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedwibahasaan ialah pemakaian dua bahasa secara bergantian. Ada sementara pendapat yang memandang bahwa dalam kedwibahasaan terdapat peristiwa yang disebut dengan diglosia. Pengertian istilah ini mengacu pada pemakaian dua bahasa atau variasi bahasa yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ( Ferguson 1958 : 233) .

Selanjutnya disebutkan bahwa bahasa digolongkan atas dua tingkat, yaitu bahasa tingkat tinggi (High atau H) dan bahasa yang tingkatannya lebih rendah (Low atau L). Bahasa yang tergolong H pada umumnya dipakai sebagai bahasa pengantar dalam situasi resmi, dinas, dan indah; sedangkan bahasa L dipakai dalam situasi tidak resmi, santai, dan nonliterer (Rindjin, 1981 : 15 ). Pengertian diglosia pada dasarnya hampir dapat disamakan dengan pengertian kedwibahasaan itu sendiri. Sebagai contoh adalah bahasa Indonesia di satu pihak dan bahasa daerah di pihak lain. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan kedudukan bahasa H. Bahasa Indonesia sebagai bahasa H bersifat resmi, dinas, dan sastra sekurang- kurangnya dalam lingkup nasional, sedangkan bahasa daerah sebagai bahasa L dipakai dalam situasi tidak resmi, keakraban, kekeluargaan, berlatar kedaerahan, dan tradisional.

Dalam hubungannya dengan kedwibahasaan tampak jelas adanya kontak atau persentuhan antara bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2). Tinggi rendahnya kontak kedua bahasa tergantung pada ruang gerak komunikasi penutur dua bahasa (dwibahasawan) itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari kontak kedua bahasa akan tergantung pula pada proses pengaruh- mempengaruhi antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Di antara pengaruh itu ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Pengaruh yang positif akan memperkaya keberadaan suatu bahasa, demikian pula sebaliknya pengaruh negatif dapat mengganggu struktur dan kaidah suatu bahasa.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kedwibahasaan mendukung pengertian adanya penggunaan dua bahasa oleh seseorang yang menguasai dua bahasa secara bergantian yang akan menimbulkan pengaruh timbul balik, baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh yang terakhir pada dasarnya berupa gejala yang bersifat interferensif.

3.2.1 Kontak Bahasa

Kontak bahasa (languages in contact) atau disebut juga bahasa-bahasa bersentuhan tidak

dapat dihindari dalam kedwibahasaan. Kontak bahasa dapat juga diartikan sebagai peristiwa dimana dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang bilingual. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap kedwibahasaan terdapat kontak bahasa, terlepas apakah kontak itu menimbulkan akibat yang tampak dalam perilaku berbahasa maupun yang tidak (Sugiyono, 1996: 35-36). Kontak bahasa yang sebenarnya terjadi dalam diri seorang dwibahasawan, dan kontak bahasa hanya akan terjadi apabila dua bahasa atau lebih digunakan oleh penutur yang sama (lihat Weinreich, 1970 : 14).

3.3.2Kontak Bahasa dan Interferensi

Dalam situasi kebahasaan sering terjadi gangguan, hambatan, atau pengaruh dari bahasa yang telah dikuasai sebelumnya terhadap bahasa yang sedang akan dikuasai. Keadaan ini disebut interferensi yang mengacu pada pengejawantahan pola lain dalam merekognisi pola-pola dari bahasa sasaran. Dalam keadaan kontak antara B1 dengan B2 yang umum terjadi adalah penyerapan atau pemungutan (borrowing) - baik pada tingkat leksikal maupun tingkat struktur –

dan penggabungan (konvergence) ( lihat McMahon, 1994). Pada tingkat leksikal, seorang

penutur akan menggunakan leksikal B1 begitu ia tidak berhasil menemukan konsep yang ingin dibicarakannya dalam basis data leksikal B2-nya, atau sebaliknya.

3.2.3Kontak Bahasa dan Kebudayaan

Kaum antropologis kontak bahasa mengkategorikan kontak bahasa sebagai salah satu aspek dari kontak budaya, sedangkan interferensi bahasa merupakan salah satu segi permasalahan penyebaran dan akulturasi budaya. Sementara itu, dalam interferensi linguistik, problema yang merupakan pusat perhatian adalah hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara faktor-faktor struktural dan non-struktural kebahasaan yang sering menyebabkan interferensi. Menurut Ridwan (1998 : 63) faktor struktural kebahasaan berakar dari pengorganisasian bentuk-bentuk linguistik ke dalam sistem yang definitif, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, serta pada taraf tertentu bebas dari pengalaman dan sikap atau tata laku non-linguistik.