BAHASA BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
(KAJIAN INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA)
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H,M.Sc(CTM),Sp.A(K)
dipertahankan pada tanggal 6 April 2010 di Medan, Sumatera Utara
MARICE
NIM 058107007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
BAHASA BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
(KAJIAN INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA)
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H,M.Sc(CTM),Sp.A(K)
dipertahankan pada tanggal 6 April 2010 di Medan, Sumatera Utara
MARICE
NIM 058107007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR LINGUISTIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
BAHASA BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
(KAJIAN INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA)
DISERTASI
untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka
Pada Hari : Selasa
Tanggal : 6 April 2010
Pukul : 09.30 Wib
Oleh
MARICE
Judul Disertasi: BAHASA BATAK TOBA DI KOTA
MEDAN (KAJIAN INTERFERENSI
DAN SIKAP BAHASA)
Nama Mahasiswa : Marice
NIM : 058107007
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Robert Sibarani,M.S.
Promotor
Prof.Dr.Jawasi Naibaho Dr.Sugiyono
Ko-promotor Ko-promotor
Ketua Program Studi, Direktur
HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
UNTUK SIDANG TERBUKA TANGGAL 6 APRIL 2010
Oleh Promotor
Prof.Dr.Robert Sibarani,M.S
Ko-promotor
Prof.Dr.Jawasi Naibaho Dr.Sugiyono
Mengetahui
Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 19 Maret 2010
__________________________________________________________
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua :
Prof.Dr.Robert Sibarani,M.S.
Anggota
: 1. Prof.Dr.jawasi Naibaho
2. Dr.Sugiyono
3. Prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D.
4. Prof.Amrin Saragih,M.A.,Ph.D.
5. Dr.Eddy Setia,M.Ed.TESP.
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor :
613/H.5.2.2/SPB/2010
Diuji pada Ujian Akhir Disertasi (Promosi Doktor)
Tanggal 6 April 2010
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr.Robert Sibarani,M.S. USU Medan
Anggota : 1. Prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D USU Medan
2. Prof.Amrin Saragih,Ph.D
UNIMED
3. Prof.Paitoon Chaiyanara,Ph.D
NTU Singapore
4. Dr.Eddy Setia,M.Ed.TESP. USU Medan
5. Prof.Dr.Jawasi Naibaho
UMI Medan
6. Dr.Sugiyono
Pusat Bahasa Jakarta
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor :
1062/H5.1.R/SK/SPB/2010
TIM PROMOTOR
1.
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
2.
Prof.Dr.Jawasi Naibaho
TIM PENGUJI LUAR KOMISI
Prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D.
Prof.Amrin Saragih,Ph.D
Prof.Paitoon Chaiyanara,Ph.D.
BUKTI PENGESAHAN PERBAIKAN DISERTASI
Judul Disertasi
: BAHASA BATAK TOBA DI KOTA
MEDAN (KAJIAN INTERFERENSI
DAN SIKAP BAHASA)
Nama Mahasiswa
: Marice
NIM
:
058107007
Program Studi
: Linguistik
No
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
1. Prof.Dr.Robert Sibarani,M.S
2. Prof.Dr.Jawasi Naibaho
3. Dr.Sugiyono
4. Prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D
PERNYATAAN
Judul Disertasi
BAHASA BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
(KAJIAN INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA)
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya saya sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil orang lain dalam penulisan Disertasi ini telah saya cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian Disertasi tasi ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat pada bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksai pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Medan, 6 April 2010
Yang menyatakan
Disertasi ini kupersembahkan buat keluarga
dan semua orang yang tergabung dalam
menara-menara doa bagiku.
Kedua orangtua terkasih
Alm.B.Pangaribuan
Almh.Siti Aminah br Sibarani
Bapak dan Ibu Mertua tersayang
Alm.A.R Siahaan
D.br Sianipar
Suami dan malaikat-malaikat kecilku
Drs.Robert Siahaan
Karunia Devi Frida br Siahaan
Reinhard Markus Pascawan Siahaan
Purnomo Joel Miduk Siahaan
Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku
Ia menyegarkan jiwaku...
pialaku penuh melimpah...
Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku,
seumur hidupku
ABSTRAK
Disertasi ini merupakan kajian tentang bahasa Batak Toba (BT) yang mengalami interferensi dan dikaitkan dengan sikap bahasa penutur BT bilingual yang tinggal di Medan. Bahasa BT mengalami interferensi disebabkan masuknya unsur sistem bahasa Indonesia (BI), sehingga terjadi penyimpangan dalam bahasa BT baku. Penyimpangan tersebut tampak pada tataran fonologis, gramatikal, dan leksikal. Interferensi dalam bahasa ini dihubungkan dengan sikap bahasa penutur BT yang bilingual.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mendeskripsikan interferensi yang terdapat dalam bahasa BT, (b) mengukur sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa, dan lamanya tinggal, (c) melihat bentuk hubungan sikap bahasa penutur BT dengan interferensi, dan (d) mendeskripsikan pemakaian bahasa BT di Medan sekarang ini.
Dalam disertasi ini digunakan tiga teori utama yaitu teori kontak bahasa (Languages in Contact) oleh Weinreich (1968) yang mengungkapkan bahwa interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa, teori sikap bahasa (Languages Attitudes) oleh Anderson (1974) yang menyebutkan bahwa sikap merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Terdapat tiga ciri sikap bahasa seperti yang diungkapkan Garvin dan Mathiot (1968) yakni kesetiaan bahasa, sikap kebanggaan bahasa, dan sikap kesadaran terhadap norma-norma bahasa. Penerapan teori struktural dalam penelitian ini untuk membahas perbandingan sistem BT-BI. Dalam teori struktural ada dikotomi yang dapat dijadikan landasan pemecahan masalah, misalnya dikotomi signifié (bentuk) dan
signifiant (makna) dan dikotomi yang mengacu pada hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik angket dan tes, serta teknik rekam.. Data interferensi dari tuturan dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif, sedangkan data sikap bahasa diuji secara statistik dengan uji-t dan uji Anova. Hasil uji statistik sikap bahasa penutur dikorelasikan dengan hasil tes interferensi dalam BT dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment oleh Pearson.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bahasa BT di Medan terinterferensi BI pada aspek fonologis berupa alternasi dan asimilasi fonem, interferensi morfologis dalam pembentukan nomina dan verba, interferensi aspek sintaksis pada penggunaan partikel ni, na, pada pemarkah topik kalimat do, ma, pe, dope, nama, dan be, dan pola konstruksi frasa. Interferensi pada aspek leksikal terdapat dalam kata kelas nomina, kelas verba, kelas ajektiva, dan kelas adverbial. Hasil sikap bahasa penutur BT di Medan memperlihatkan sikap positif terhadap BT. Hubungan sikap bahasa dengan interferensi penutur BT memperlihatkan bentuk hubungan negatif yang signifikan yang bermakna bahwa bila sikap penutur BT terhadap bahasa BT semakin ditingkatkan, maka fenomena interferensi dalam BT akan semakin menurun.
ABSTRACT
This dissertation deals with interference in Batak Toba language (BT) related to the language attitudes of bilingual BT speakers living in Medan.BT language is interferenced due to the intervention of the element of Bahasa Indonesia (BI) system that there is a deviation in standard BT. The deviation is clearly revealed in the phonological, grammatical,and lexical levels.Theinterference in this language is related to the language attitudes of bilingual BT speakers.
The purposes of this study are to a) to describe interferences found in BT, b) to describe the language attitudes of BT speakers based on the variables of sex,age,language use,and length of stay,c) to describe the relationship between the language attitudes of BT speakers and interference, and d) to describe the current use of BT in Medan.
The main theories are used in this dissertation such as a) the languages in contact theory by Weinreich (1968) describing that interference in the relocation of language element into the other languages and the deviation of the use of rules and norms of language, b) language attitude by Anderson (1974) arguing that attitude is a belief system related to the language which lasts relatively long about a language object which makes someone tend to act in a certain way he/she likes.Garvin and Mathiot (1968) argued that there are three characteristics of language attitude such as language loyalty, language pride, and the awareness of language norms. The application of structural theory of this study is to discuss the comparison of BT – BI systems.
This study employed qualitative and quantitative methods. The data for this study were collected by a passive participatory observation technique, questionnaire, and test as well as recording technique. The speech interference data were analyzed through
comparative descriptive techniques, while the data of language attitude were statistically tested through t-test and ANOVA test. The statistic result of the speakers language attitude were correlated with the result of the test of interference in BT by using the Product Moment by Pearson.
The result of the study showed that in Medan BT has been interferenced by BI in the phonological aspect in the forms of phoneme alteration and assimilation, morphological interference in the forming of noun and verb, interference in the aspect of syntaxe on the use of particles ni, na,on the marker of topic sentence do, ma, pe, dope,and be, and phrase construction pattern. Interference of the lexical aspect is found in noun, verb, adjective, and adverb. The result of the language attitudes of BT speakers in Medan showed a positive attitude toward BT.The relationship between language attitude with the interference of BT speakers showed a significant negative relationship which means that if the attitudes of BT speakers are more increased,the phenomenon of interference in BT will be decreasing.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa di surga dalam nama
Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia dan berkatNya yang berlimpah kepada penulis sehingga
penulis senantiasa diberikan kesehatan serta dapat dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul
Bahasa Batak Toba di Kota Medan ( Kajian Interferensi dan Sikap Bahasa ) ini,
walaupun dengan berbagai hambatan. Namun berkat ketekunan, kesabaran, dan kekuatan iman
penulis, serta berkat bimbingan dari para pembimbing yang berpengalaman semua rintangan
itu dapat dilewati. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penulisan disertasi ini
tidak lepas dari banyak pihak yang telah ikut membantu serta memberikan dorongan positif.
Oleh karena itu sewajarnyalah melalui kesempatan yang sangat berbahagia ini penulis
memberikan penghargaan dengan setulus hati dan menyampaikan rasa terima kasih yang
sangat mendalam kepada semua pihak, yaitu:
1. Prof.Dr. dr.H.Syahril Pasaribu,DTM & H.MSc.(CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universi-
Tas Sumatera Utara yang telah berkenan menerima penulis sebagai mahasiswa Sekolah
Pascasarjana USU.
2. Direktur Sekolah pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa
B, M.Sc. yang telah memberikan kesempatan mengikuti Program Sandwich di
Nanyang University Technologie, Singapore.
3. Ketua Program Studi Linguistik Prof.T.Silvana Sinar, M.A., Ph.D. yang berkenan
menerima saya untuk mengikuti program Doktor Linguistik dan menggunakan
semua fasilitas di Sekolah Pascasarjana USU Medan.
4. Prof.Dr.Syawal Gultom, M.Pd. selaku Rektor Unimed yang telah memberikan izin dan restu
Kepada penulis untuk mengikuti program Doktor Linguistik.
5. Prof.Dr.Khairil Ansari, M.Pd.,selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Medan
yang telaah memberi izin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan
apresiasi yang tinggi kepada pihak-pihak yang terlibat langsung di dalam penyelesaian
1. Prof.Dr.Robert Sibarani,M.S. selaku Promotor penulis, yang telah banyak memberi
bantuan demi kelancaran studi penulis di tengah kesibukan beliau sebagai Rektor
Universitas Darma Agung Medan yang dengan sangat sabar memberikan bimbingan,masukan
dan arahan dalam menganalisis, menyusun, dan menulis disertasi ini mulai dari awal hingga
selesai, dan sekaligus membuka wawasan ilmiah penulis.
2. Ucapan yang sama penulis sampaikan juga kepada ko-promotor Prof.Dr.Jawasi Naibaho
atas segala bimbingan dan arahan dalam penyelesaian disertasi ini.
3. Rasa terima kasih yang sangat tulus penulis ucapkan kepada ko-promotor Dr.Sugiyono, yang
disela-sela kesibukannya telah dengan sangat sabar memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan yang sangat berarti dalam penyelesaian disertasi ini.
4. Kepada para tim penguji disertasi penulis ini, yaiti: prof.T.Silvana Sinar,M.A.,Ph.D.,
Prof.Amrin Saragih,M.A.,Ph.D, Dr.Eddy Setia,M.Ed.TESP.,yang telah bersedia memberikan
koreksi, dan sejumlah saran demi penyempurnaan disertasi ini.
5. Kepada Prof.Paitoon Chaiyanara,Ph.D selaku penguji dan sekaligus Advisor disertasi selama saya mengikuti Program Sandwich selam 4 bulan di NTU Singapore.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua, mertua, saudara dan
para sahabat:
1.Kedua orangtua penulis, almarhum B.Pangaribuan dan almarhumah Siti Aminah br.Siba-
rani, Bapak mertua penulis, almarhum A.R Siahaan dan ibu mertua D.br Sianipar.
2.Ito dan Edaku Pdt.Toga Pangaribuan,B.Th dan Ester br Byutar-butar Dip.Th, Bapak
Pdt.J.D Manullang dan Ibu Dra.J.Sitompul, M.Hum yang telah merangkai doa buat penu-
lis dengan tidak berkeputusan.
3.Kepada keluarga besarku R.Pangaribuan, S.Pangaribuan, S.E, K.Pangaribuan, T.R.br
Pangaribuan, R.br Pangaribuan, Pdt.T.Pangaribuan, E.br Pangaribuan, dan B.br
Pangaribuan, S.Pd.
4.Kepada Prof.D.M Aruan, Drs.M.Nababan, Drs.M.Sinambela,M.Hum, Dr.Dwi Widayati,
M.Hum, Dr.Zulkifli Matondang, Dr.Tagor Pangaribuan, Joko yang sangat banyak
memberikan masukan dan bantuan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat terselesai-
terselesaikan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara yang telah ikhlas memberikan ilmu mereka sejak
perkuliahan hingga penyelesaian studi penulis.
6.Kepada teman-teman seangkatan 2005,khususnya kedua sahabat Dr.Mahriyuni,M.Hum.,
dan Dr.Isda Pramuniati, M.Hum., yang terus memberikan spirit dan dorongan kepada
penulis untuk dapat segera menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang sangat istimewa penulis sampaikan kepada suami tercinta
Drs. Robert Siahaan yang telah memberikan dukungan dan merelakan istrinya untuk menimba
ilmu dan juga kepada ketiga anak penulis, Karunia Devi Frida br.Siahaan, Reinhard Markus
Pascawan Siahaan, dan Purnomo Joel Miduk Siahaan yang telah merelakan mamanya
mencurahkan perhatian kepada studi penulis. Semoga Tuhan membalas budi baik mereka dan
dapat mengikuti langkah mama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua kolega dan pegawai administrasi
Jurusan Bahasa Asing Program Studi Bahasa Prancis serta para mahasiswa bahasa Prancis
Unimed yang telah membantu dan berdoa untuk penulis dalam penyelesaian disertasi ini.
Terima kasih yang sangat tulus penulis ucapkan kepada semua pihak yang belum penulis
sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis baik moril, materiil, dan dukungan
doa selama penulis mengikuti pendidikan sampai selesai. Pada kesempatan ini penulis memohon
maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang mungkinterjadi selama mengikuti pendidikan
dan kebersamaan kita.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna.Oleh sebab itu, masukan
dan kritik para pembaca selalu penulis harapkan untuk perbaikan.Akhirnya, semoga penelitian
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, 19 Maret 2010
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. 1 Latar Belakang Masalah 1
1. 2 Rumusan Masalah 10
1. 3 Tujuan Penelitian 11
1. 4 Manfaat Penelitian 11
1. 5 Batasan Penelitian 12
1. 6 Etnik dan Bahasa Batak Toba 12
1. 7 Asumsi dan Hipotesis 25
1. 8 Klarifikasi Istilah 26
1. 9 Sistematika Penelitian 28
BAB II BERBAGAI KAJIAN TENTANG INTERFERENSI, SIKAP BAHASA DAN BAHASA BATAK TOBA 29
2.1 Pengantar 29
2.2 Kajian Tentang Interferensi 29
2.3 Kajian Tentang Sikap Bahasa 36
2.4 Kajian Tentang Bahasa Batak Toba 44
BAB III KONSEP BILINGUALISME, INTERFERENSI,DAN SIKAP BAHASA 46
3.1 Pengantar 46
3.2 Konsep Bilingualisme 41
3.2.1 Kontak Bahasa 55
3.2.2 Kontak Bahasa dan Interferensi 56
3.2.3 Kontak Bahasa dan Kebudayaan 56
3.3 Konsep Interferensi 57
3.3.1 Jenis-jenis Interferensi 62
3.3.2 Pembagian Bidang Interferensi 63
3.3.2.1 Interferensi Fonologis 63
3.3.2.2 Interferensi Gramatikal 64
3.3.2.3 Interferensi Leksikal 68
3.5 Ciri-ciri Sikap Bahasa 76
3.5.1 Sikap Kesetiaan 76
3.5.2 Sikap Kebanggaan Bahasa 76
3.5.3 Sikap Kesadaran Norma Bahasa 77
3.6 Kerangka Teori 83
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 86
4.1 Pengantar 86
4.2 Metode Penelitian 86
4.3 Metode Kajian 89
4.4 Pengumpulan Data 89
4.4.1 Lokasi Penelitian 89
4.4.2 Populasi dan Sampel 90
4.4.3 Informan Penelitian 92
4.5 Instrumen Penelitian 95
4.5.1 Instrumen Sikap Bahasa 95
4.5.2 Instrumen Tes Interferensi 96
4.6 Korpus Data Penelitian 101
4.7 Pengolahan Data 101
4.7.1 Pengolahan Data Interferensi 102
4.7.2 Pengolahan Data Sikap Bahasa dan Interferensi 102
BAB V INTERFERENSI DALAM BAHASA BATAK TOBA 108
5.1 Pengantar 108
5.2 Interferensi Fonologis 108
5.2.1 Interferensi Alternasi Fonem Batak Toba 109
5.2.2 Interferensi Realisasi Asimilasi Fonem Batak Toba 128
5.3 Interferensi Gramatikal 173
5.3.1 Interferensi Morfologis 173
5.3.2 Interferensi Sintaksis 185
5.4 Interferensi Leksikal 204
5.5 Simpulan 215
BAB VI SIKAP BAHASA PENUTUR BATAK TOBA BERDASAR VARIABEL DAN INTERFERENSI 218
6.1 Pengantar 218
6.2 Sikap Bahasa Berdasarkan Variabel 219
6.2.1 Sikap Masih Menguasai 207
6.2.2 Sikap Masih Menggunakan 224
6.2.3 Sikap Ingin Mempertahankan 229
6.2.4 Sikap Afeksi 233
6.3 Signifikansi Sikap Bahasa Penutur Batak Toba 238
6.4 Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur Batak Toba 241
6.5.1 Interferensi Fonologis 243
6.5.2 Interferensi Gramatikal 254
6.5.3 Interferensi Leksikal 256
6.6 Simpulan 258
6.7 Interpretasi dan Pembahasan 262
BAB VII SIKAP BAHASA PENUTUR BATAK TOBA DI MEDAN DAN INTERFERENSI 273
7.1 Pengantar 273
7.2 Deskripsi Sikap Bahasa Penutur BT 274
7.3 Deskripsi Interferensi dalam Bahasa Batak Toba 279
7.4 Hubungan Sikap Bahasa Penutur Batak Toba dengan Interferensi 282
7.5 Simpulan 287
BAB VIII BAHASA BATAK TOBA DI MEDAN 289
8.1 Pengantar 289
8.2 Fonologi Bahasa Batak Toba 289
8.2.1 Vokal Batak Toba 291
8.2.2 Konsonan Batak Toba 292
8.2.3 Pelafalan Fonem Batak Toba 294
a. Interferensi Alternasi Fonem Bahasa Batak Toba 298
b. Interferensi Asimilasi Fonem Bahasa Batak Toba 303
8.3 Morfologi Bahasa Batak Toba 305
8.3.1 Wujud dan Jenis Morfem Batak Toba 315
8.3.2 Morfologi Nomina Batak Toba 316
8.3.3 Morfologi Verba Batak Toba 321
a. Interferensi Pembentukan Nomina Batak Toba 330
b. Interferensi Pembentukan Verba Batak Toba 332
8.4 Sintaksis Bahasa Batak Toba 334
8.4.1 Frasa Bahasa Batak Toba 335
8.4.2 Klausa Bahasa Batak Toba 340
8.4.3 Pola Kalimat Batak Toba 344
a. Interferensi Penggunaan Preposisi ni 367
b. Interferensi Penggunaan Partikel na 368
c. Interferensi dalam Pemarkah Kalimat Topik 369
d. Interferensi Pola Konstruksi Frasa 366
8.5 Leksikal Bahasa Batak Toba 378
a. Interferensi Kata Kelas Nomina 381
b. Interferensi Kata Kelas Verba 382
c. Interferensi Kata Kelas Ajektiva 383
d. Interferensi Kata Kelas Adverbia 384
8.6 Simpulan 384
BAB IX PENUTUP 386
9.1 Pengantar 384
9.2 Simpulan 387
DAFTAR PUSTAKA 392
LAMPIRAN
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 1.1 Bagan Sikap Bahasa Penutur Bilingual BT dan Intrerferensi 10
Gambar 1.2 Peta Etnik Batak di Sumatera 13
Gambar 3.1 Bagan Biligualitas Sejajar dan Majemuk 52
Gambar 3.2 Model Komponen Sikap 74
Gambar 3.3 Bagan Biligualisme-Sikap Bahasa-Interferensi 84
Gambar 4.1 Variabel Penelitian 85
Gambar 4.2 Bagan Prosedur Penelitian Kualitatif 87
Gambar 4.3 Bagan Prosedur Penelitian Kuantitatif 87
Gambar 4.4 Diagram Pencar Hubungan Negatif Dua Variabel 106
Gambar 4.5 Diagram Pencar Hubungan Positif Dua Variabel 106
Gambar 4.6 Diagram Pencar Hubungan Lemah Dua Variabel 107
Gambar 5.1 Penyimpangan Alternasi Fonem Vokal 216
Gambar 5.2 Penyimpangan Alternasi Fonem Konsonan BT 217
Gambar 5.3 Penyimpangan Asimilasi BT 217
Gambar 5.4 Penyimpangan Morfologis BT 218
Gambar 5.5 Penyimpangan Sintaksis BT 218
Gambar 5.6 Penyimpangan Leksikal BT 219
Gambar 6.1 Bagan Sikap Bahasa Penutur BT 261
Gambar 6.2 Bagan Sikap Afeksi Penutur BT 262
Gambar 6.3 Hasil Uji Statistik Sikap Bahasa dan Sikap Afeksi 262
Gambar 6.4 Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur 263
Gambar 6.5 Interferensi dalam BT 263
Gambar 7.1 Histogram Skor Data Sikap Bahasa Penutur 279
Gambar 7.2 Histogram Skor Data Interferensi 283
Interferensi 285
Gambar 8.1 Bagan Vokal dan Artikulasi Batak Toba
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Model Sampel Acak Berstrata 94
Tabel 4.2 Kisi-kisi Instrumen Sikap Bahasa 97
Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen Tes Interferensi 100
Tabel 5.1 Penyimpangan Asimilasi Fonem /m+b/ Æ /[bb] 132
Tabel 5.2 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+m/ Æ /[mm] 135
Tabel 5.3 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+d/ Æ /[dd] 137
Tabel 5.4 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+j/ Æ /[jj] 140
Tabel 5.5 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+h/ Æ /[kk] 142
Tabel 5.6 Penyimpangan Asimilasi Fonem /l+d/ Æ /[ll] 145
Tabel 5.7 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+p/ Æ /[pp] 147
Tabel 5.8 Penyimpangan Asimilasi Fonem /r+n/ Æ /[rr] 150
Tabel 5.9 Penyimpangan Asimilasi Fonem /1+h/ Æ /[kk] 152
Tabel 5.10 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+s/ Æ /[ss] 154
Tabel 5.11 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+t/ Æ /[tt] 156
Tabel 5.12 Penyimpangan Asimilasi Fonem /1+p/ Æ /[kp] 158
Tabel 5.13 Penyimpangan Asimilasi Fonem /1+s/ Æ /[ks] 161
Tabel 5.14 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+l/ Æ /[ll] 163
Tabel 5.15 Penyimpangan Asimilasi Fonem /n+r/ Æ /[rr] 165
Tabel 5.16 Penyimpangan Asimilasi Fonem /1+d/ Æ /[1g] 166
Tabel 5.17 Penyimpangan Asimilasi Fonem /k+h/ Æ /[kk] 168
Tabel 5.18 Penyimpangan Asimilasi Fonem /p+h/ Æ /[pp] 170
Tabel 5.19 Penyimpangan Asimilasi Fonem /s+h/ Æ /[ss] 172
Tabel 5.20 Penyimpangan Asimilasi Fonem /t+h/ Æ /[tt] 174
Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Sikap Bahasa Penguasaan BT 222
Tabel 6.2 Uji Statistik Sikap Bahasa Penguasaan BT 223
BT 227
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
1. Singkatan
a = Adjektiva
B1 = Bahasa Pertama
B2 = Bahasa Kedua
BT = Batak Toba
BI = Bahasa Indonesia
BD = Bahasa Daerah
BP = Bahasa Prancis
Eksl = Ekslusif
FR = frasa relatif
HP = hukum persengauan
Inkl = inklusif
M = preposisi menyatakan kepemilikan
n = nomina
pk = prakategorial
PR = pronomina relatif
T = topik
Vtras = verba transitif
V = verba
2. Lambang
/ / = transkripsi fonemis
[ ] = transkripsi fonetis
{ } = tanda morfem
... = dan seterusnya
“...” = pengapit tuturan
Î = seharusnya
→ = membentuk
ABSTRAK
Disertasi ini merupakan kajian tentang bahasa Batak Toba (BT) yang mengalami interferensi dan dikaitkan dengan sikap bahasa penutur BT bilingual yang tinggal di Medan. Bahasa BT mengalami interferensi disebabkan masuknya unsur sistem bahasa Indonesia (BI), sehingga terjadi penyimpangan dalam bahasa BT baku. Penyimpangan tersebut tampak pada tataran fonologis, gramatikal, dan leksikal. Interferensi dalam bahasa ini dihubungkan dengan sikap bahasa penutur BT yang bilingual.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mendeskripsikan interferensi yang terdapat dalam bahasa BT, (b) mengukur sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian bahasa, dan lamanya tinggal, (c) melihat bentuk hubungan sikap bahasa penutur BT dengan interferensi, dan (d) mendeskripsikan pemakaian bahasa BT di Medan sekarang ini.
Dalam disertasi ini digunakan tiga teori utama yaitu teori kontak bahasa (Languages in Contact) oleh Weinreich (1968) yang mengungkapkan bahwa interferensi merupakan pemindahan unsur-unsur bahasa ke dalam bahasa lain dan penyimpangan penggunaan kaidah dan norma-norma bahasa, teori sikap bahasa (Languages Attitudes) oleh Anderson (1974) yang menyebutkan bahwa sikap merupakan tata keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang suatu objek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu yang disukainya. Terdapat tiga ciri sikap bahasa seperti yang diungkapkan Garvin dan Mathiot (1968) yakni kesetiaan bahasa, sikap kebanggaan bahasa, dan sikap kesadaran terhadap norma-norma bahasa. Penerapan teori struktural dalam penelitian ini untuk membahas perbandingan sistem BT-BI. Dalam teori struktural ada dikotomi yang dapat dijadikan landasan pemecahan masalah, misalnya dikotomi signifié (bentuk) dan
signifiant (makna) dan dikotomi yang mengacu pada hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi partisipatoris yang bersifat pasif, teknik angket dan tes, serta teknik rekam.. Data interferensi dari tuturan dianalisis dengan teknik deskriptif komparatif, sedangkan data sikap bahasa diuji secara statistik dengan uji-t dan uji Anova. Hasil uji statistik sikap bahasa penutur dikorelasikan dengan hasil tes interferensi dalam BT dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment oleh Pearson.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bahasa BT di Medan terinterferensi BI pada aspek fonologis berupa alternasi dan asimilasi fonem, interferensi morfologis dalam pembentukan nomina dan verba, interferensi aspek sintaksis pada penggunaan partikel ni, na, pada pemarkah topik kalimat do, ma, pe, dope, nama, dan be, dan pola konstruksi frasa. Interferensi pada aspek leksikal terdapat dalam kata kelas nomina, kelas verba, kelas ajektiva, dan kelas adverbial. Hasil sikap bahasa penutur BT di Medan memperlihatkan sikap positif terhadap BT. Hubungan sikap bahasa dengan interferensi penutur BT memperlihatkan bentuk hubungan negatif yang signifikan yang bermakna bahwa bila sikap penutur BT terhadap bahasa BT semakin ditingkatkan, maka fenomena interferensi dalam BT akan semakin menurun.
ABSTRACT
This dissertation deals with interference in Batak Toba language (BT) related to the language attitudes of bilingual BT speakers living in Medan.BT language is interferenced due to the intervention of the element of Bahasa Indonesia (BI) system that there is a deviation in standard BT. The deviation is clearly revealed in the phonological, grammatical,and lexical levels.Theinterference in this language is related to the language attitudes of bilingual BT speakers.
The purposes of this study are to a) to describe interferences found in BT, b) to describe the language attitudes of BT speakers based on the variables of sex,age,language use,and length of stay,c) to describe the relationship between the language attitudes of BT speakers and interference, and d) to describe the current use of BT in Medan.
The main theories are used in this dissertation such as a) the languages in contact theory by Weinreich (1968) describing that interference in the relocation of language element into the other languages and the deviation of the use of rules and norms of language, b) language attitude by Anderson (1974) arguing that attitude is a belief system related to the language which lasts relatively long about a language object which makes someone tend to act in a certain way he/she likes.Garvin and Mathiot (1968) argued that there are three characteristics of language attitude such as language loyalty, language pride, and the awareness of language norms. The application of structural theory of this study is to discuss the comparison of BT – BI systems.
This study employed qualitative and quantitative methods. The data for this study were collected by a passive participatory observation technique, questionnaire, and test as well as recording technique. The speech interference data were analyzed through
comparative descriptive techniques, while the data of language attitude were statistically tested through t-test and ANOVA test. The statistic result of the speakers language attitude were correlated with the result of the test of interference in BT by using the Product Moment by Pearson.
The result of the study showed that in Medan BT has been interferenced by BI in the phonological aspect in the forms of phoneme alteration and assimilation, morphological interference in the forming of noun and verb, interference in the aspect of syntaxe on the use of particles ni, na,on the marker of topic sentence do, ma, pe, dope,and be, and phrase construction pattern. Interference of the lexical aspect is found in noun, verb, adjective, and adverb. The result of the language attitudes of BT speakers in Medan showed a positive attitude toward BT.The relationship between language attitude with the interference of BT speakers showed a significant negative relationship which means that if the attitudes of BT speakers are more increased,the phenomenon of interference in BT will be decreasing.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik.
Kelompok etnik tersebut masing-masing mempunyai kebudayaan dan bahasa yang berbeda.
Dalam keragaman etnik ini, pada umumnya masyarakat di Indonesia memiliki keterampilan
menggunakan dua bahasa atau lebih, yakni bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI) sebagai
bahasa nasional dan bahasa daerah (BD) sebagai bahasa ibu. Masyarakat Indonesia akan
menggunakan BI ketika berkomunikasi dengan penutur etnik lain dan akan menggunakan bahasa
daerahnya ketika berkomunikasi dengan penutur intraetniknya.
Penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain
secara bergantian secara sosiolinguistik disebut sebagai bilingualisme. Sementara itu, seseorang
yang menguasai lebih dari satu bahasa disebut penutur bilingual atau multilingual. Istilah
bilingualisme diungkapkan Nababan sebagai suatu kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam
interaksi dengan orang lain sedangkan bilingualitas adalah kemampuan atau kesanggupan
seseorang untuk menggunakan dua bahasa (1984: 27-29).
Dalam komunikasi yang terjadi di antara etnik yang beragam di Indonesia, bahasa yang
selalu digunakan sehari-hari adalah BI yang merupakan bahasa nasional. BI digunakan di kantor,
di pasar, di sekolah, di tempat-tempat umum, dan bahkan sering sekali juga dipakai di
Dalam peristiwa kontak bahasa pada masyarakat bilingual sering terdapat
peristiwa-peristiwa kebahasaan yang merupakan objek kajian sosiolinguistik antara lain alih kode (
code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Alih kode dan campur
kode merupakan gejala dalam bahasa yang memang tidak dapat dihindari oleh penutur bilingual.
Alih kode yang merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain adalah gejala
pemakaian bahasa karena perubahan situasi, sementara campur kode adalah pemakaian dua
bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang lain secara konsisten.
Dalam peristiwa campur kode maupun alih kode ketika terjadi kontak bahasa di antara
penutur bilingual, kemungkinan terjadinya interferensi dalam bahasa selalu ada (Budiarsa,
2006). Kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual menyebabkan munculnya gejala
interferensi, yaitu penyimpangan dalam bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi. Salah
satu penyebab terjadinya interferensi adalah kecenderungan penutur bilingual dalam
memasukkan unsur-unsur sistem kedua bahasa yang dikuasainya ketika berbahasa. Hal seperti
itu memang tidak dapat dihindarkan karena bagi masyarakat bilingual seperti masyarakat
Indonesia, salah satu dampak dari percampuran bahasa ketika berinteraksi sering terjadi suatu
gejala dalam bahasa yang salah satunya disebut interferensi bahasa sehingga ranah bahasa tidak
memiliki hubungan yang jelas dengan penggunaan bahasa.
Penguasaan penutur bahasa terhadap lebih dari satu bahasa memungkinkan terjadinya
penyimpangan norma-norma ataupun kaidah-kaidah bahasa yang dapat terjadi mulai dari tataran
fonologi, leksikal sampai ke tataran sintaksis. Misalnya, penutur bahasa Indonesia yang
berbahasa Inggris mengucapkan fonem /p/ bahasa Inggris pada kata-kata <Peter> dan <petrol>
tersebut seharusnya diucapkan dengan menggunakan aspirasi yang cara pelafalannya adalah
[phitə] dan [phεtrol]. Penyimpangan realisasi bunyi aspirasi seperti itu pernah diteliti oleh
Budiarsa (2006) dalam disertasinya yang mengkaji penutur multilingual bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa Bali yang bekerja sebagai karyawan di hotel-hotel di Bali. Para
penutur multilingual di hotel tersebut cenderung melafalkan konsonan bahasa Inggris beraspirasi
[ph , th, kh] menjadi bunyi tanpa aspirasi. Penyimpangan itu disebabkan para penutur tersebut
dipengaruhi BI yang tidak mengenal bunyi-bunyi aspirasi seperti dalam bahasa Inggris.
Penyimpangan realisasi bahasa diduga juga akan ditemukan dalam masyarakat Medan
yang pada umumnya merupakan penutur bilingual. Salah satu etnik di kota Medan adalah etnik
Batak Toba yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnik Jawa, Aceh, Minangkabau, Nias,
Melayu, Tionghoa, dan sebagainya. Masyarakat etnik itu merupakan salah satu masyarakat
pendatang (perantau) di Medan yang berasal dari daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Seperti
halnya masyarakat etnik lainnya, etnik Batak Toba memiliki bahasa daerah, yaitu bahasa Batak
Toba (selanjutnya disingkat BT). Hidup berdampingan dengan penutur etnik lain di kota Medan
menyebabkan penutur BT dituntut untuk menggunakan BI agar dapat berkomunikasi dengan
masyarakat etnik lain di sekitarnya, meskipun pada saat lainnya penutur BT terlihat masih
menggunakan bahasa daerahnya untuk berkomunikasi dengan penutur BT lainnya.
Sebagai salah satu bahasa daerah dari berbagai bahasa daerah yang terdapat di Medan,
BT memiliki pola ataupun kaidah-kaidah tersendiri dalam sistem bahasanya, misalnya pada
aspek sintaksis, kalimat BT memiliki pola Verba-Objek-Subjek (VOS), seperti dalam kalimat
berikut.
(1) Manjaha bukku do imana di jolo ni jabuna
V O T S K
‘Dia membaca buku di depan rumahnya’ .
Pada kalimat (1) dapat dilihat bahwa verba manjaha ‘membaca’ mendahului objek bukku
‘buku’ yang di ikuti oleh partikel pemarkah topik (T) do, kemudian diikuti subjek imana ‘dia’
dan keterangan di jolo ni jabuna ‘di depan rumahnya’. Pola sintaksis BT tersebut berbeda
dengan BI yang berpola kalimat S – V – O , seperti dalam kalimat berikut.
(2) Kami memancing ikan di sungai.
S V O K
Kalimat BI tersebut dapat dianalisis menjadi S (kami) -V (memancing) - O (ikan), dan K (di
kolam).
Dari segi fonologis, apabila ditinjau dari cara pelafalannya, BT juga memiliki kaidah
yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan karena tidak semua fonem atau bunyi dilafalkan
seperti yang tertera dalam tulisannya. Banyak didapati asimilasi di antara suku kata yang satu
dengan suku kata yang lain atau antara kata yang satu dengan kata yang lain. Kata somba
‘sembah’ akan dilafalkan sevagai [sobba], dengan pola /m+b/ → [bb], ende ‘lagu’ dilafalkan
sebagai [edde] dengan pola /n+d/ → [dd]. Hal yang sama terdapat juga dalam persandingan
antarkata, misalnya, pasingot hami ‘ingatkan kami’ yang pelafalannya adalah [pasiŋ0ttami],
dengan polanya adalah jajaran fonem /t+h/ → [tt] atau bereng hamu ‘kalian lihat’ dengan
jajaran fonem /ŋh/ → [kk] sehingga pelafalannya adalah [bεrεkkamu] . Terlihat bahwa dalam
deretan kata tersebut terdapat perubahan bunyi fonem yang disebut asimilasi bunyi.
Keberadaan penutur etnik BT di Medan yang bilingual dan hidup berdampingan dengan
berbagai etnik dan penutur bahasa yang berbeda sebagaimana telah disebutkan tadi diasumsikan
mengalami fenomena interferensi yaitu adanya kecenderungan penutur BT di Medan untuk
dan gaol hampir-hampir tidak terdengar dalam percakapan masyarakat penutur BT di kota
Medan. Mereka cenderung mengganti kata-kata itu dengan leksikal BI seperti asbak, pisau, dan
pisang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa BI mengambil peranan yang sangat luas dalam kegiatan
sehari-hari masyarakat Medan, termasuk pada masyarakat BT sehingga diasumsikan bahwa
mulai terjadi pergeseran bahasa BT di Medan karena penutur BT terlihat sering menggunakan
BT daripada bahasa daerahnya ketika berkomunikasi dengan sesama penutur BT. Kalau pun
penutur tersebut menggunakan BT, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur BI di dalam
tuturannya. Apabila suatu bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi dalam suatu
masyarakat mulai ditinggalkan penuturnya dan menggantikannya dengan bahasa yang lebih
dominan, maka ada kecenderungan akan terjadi pergeseran bahasa. Sebagaimana diungkapkan
Siregar (1998:3) bahwa apabila bahasa yang biasa digunakan untuk fungsi tertentu sudah mulai
ditinggalkan oleh suatu masyarakat bahasa, maka ada kemungkinan terjadi pergeseran bahasa
(language shift) dalam masyarakat itu.
Penggunaan bahasa BT oleh masyarakat itu sendiri dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu
penggunaan bahasa (1) dalam kehidupan sehari-hari: dalam keluarga, antartetangga sesuku,
antarteman sesuku, (2) dalam upacara adat: perkawinan, kelahiran, kematian, dan (3) dalam
upacara keagamaan (gereja): dalam berkhotbah, saat berdoa, meyampaikan pengumuman, dan
sebagainya. Akan tetapi, apabila diperhatikan, penggunaan bahasa BT oleh masyarakat BT di
Medan di dalam ketiga ranah pemakaian tersebut, mereka cenderung memasukkan unsur-unsur
BI. Bahkan, dalam beberapa acara etnik BT yang peneliti ikuti, seperti dalam acara natal Serikat
Tolong Menolong (STM) marga, bahasa daerah ini cenderung tidak digunakan lagi karena acara
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tuturan BT , beberapa kalimat dalam
tuturan berikut ini memperlihatkan adanya gejala interferensi dalam sistem BT berupa masuknya
unsur BI yang mengakibatkan penyimpangan dalam sistem BT. Sebagaimana dapat dilihat dalam
contoh tuturan berikut.
(3) a. *Partangiangan di bulan depan di jabu keluarga amang L. Tobing.
kalimat tersebutseharusnya adalah sebagai berikut.
b. Partangiangan di bulan na ro di jabu ni keluarga perkumpulan pada bulan yang datang di rumah dari keluarga
amang L.Tobing
bapak L.Tobing
‘Perkumpulan pada bulan depan di rumah keluarga bapak L.Tobing’
Dalam tuturan (3a) interferensi terjadi pada tataran frasa BT. Penutur seharusnya mengatakan na
ro (BT), seperti dalam kalimat (3b). Hal itu merupakan contoh masuknya unsur BI ke dalam BT
dalam bentuk kosakata. Masuknya unsur kosakata BI depan ke dalam BT pada contoh di atas
dapat dikatakan merupakan penyimpangan, karena sebenarnya kata tersebut ada padanannya
dalam BT, sehingga hal sedemikian merupakan bentuk interferensi negatif (negative
interference). Selain itu pada tuturan di atas terlihat pula adanya penyimpangan terhadap kaidah
BT karena penutur tidak menempatkan partikel ni ’dari’ pada frasa jabu keluarga sebab frasa
tersebut seharusnya adalah jabu ni keluarga. Hal tersebut mungkin disebabkan penutur BT
terpengaruh kaidah BI yang tidak meletakkan preposisi dari untuk menyatakan kepunyaan.
Interferensi dalam aspek fonologis adalah bilamana seorang bilingual mengartikan dan
menghasilkan kembali bunyi sistem bahasa kedua itu pada bunyi sistem bahasa pertama.
(4) *Tuhor jolo kacang i [tuhor jolo kacaŋ i] padahal pengucapan yang benar dan
sesuai kaidah BT adalah [tuhor jolo hassaŋ i]. Kata kacang dalam tuturan ini secara
ortografis dalam BT adalah hansang.
Pada kalimat (4) tersebut terlihat adanya interferensi dari unsur BI pada tataran fonologis,
kata kacang seharusnya diucapkan [hassang], tetapi bunyi [h] diucapkan [k] dan bunyi [s]
dilafalkan [c] sehingga diucapkan [kacaŋ] seperti lafal dalam BI. Padahal dalam fonotaktik BT
baku, fonem /k / tidak berposisi di awalkatadan BT baku juga tidak memiliki fonem /c/.
Dampak dari peristiwa interferensi berupa masuknya unsur BI disebabkan penguasaan
penutur BT terhadap lebih dari satu bahasa (BT-BI) seperti contoh-contoh dalam tuturan di atas
diasumsikan memungkinkan akan terjadinya pergeseran bahasa BT yang disebabkan terdapatnya
campur aduk bahasa saat penutur berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah tersebut.
Apalagi dengan adanya pernyataan dalam dunia maya (internet) oleh seorang pemerhati BT,
Charlie Sianipar, mengenai adanya duapuluh lima tanda kepunahan BT yang diantaranya adalah
apabila orangtua tidak mau lagi mengajarkan bahasa BT kepada anak-anaknya di lingkungan
keluarga, bila bahasa BT tidak lagi digunakan sebagai bahasa sehari-hari di dalam keluarga
(
Sastra Indonesia (1997) mengungkapkan bahwa ada masyarakat bahasa (seperti masyarakat BT )
yang malu menggunakan bahasanya. Hal ini terutama dialami oleh generasi muda atau
mahasiswa di kota-kota, misalnya kota Medan. Fenomena yang terjadi pada generasi muda
tersebut mengindikasikan sikap mereka terhadap bahasa daerahnya sebagai identitas diri.
Saling mempengaruhi bahasa antaretnik pasti terjadi, pemungutan unsur bahasa lain akan
memberi keuntungan; terkadang dapat pula memperkaya khazanah bahasa yang bersangkutan.
mengacaukan struktur sehingga dalam pemakaian terjadi penyimpangan kaidah atau
menimbulkan gejala interferensi. Dengan demikian terjadinya gejala interferensi dari bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari atau dikendalikan.
Seperti halnya dalam BT, bunyi, kata, dan kalimat yang seharusnya menggunakan kaidah
BT kemungkinan telah mengalami interferensi unsur BI sehingga diasumsikan bahwa bahasa BT
di Medan mulai bergeser disebabkan adanya gejala interferensi BI terhadap BT dalam peristiwa
penggunaan bahasa yang dikaitkan pula dengan sikap bahasa (languages attitude) penutur Batak
Toba. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor terjadinya interferensi
di samping dapat pula menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab bergeser atau
punahnya suatu bahasa sangat ditentukan oleh keputusan yang berdasarkan sikap bahasa dari
masyarakat itu sendiri. Pendapat tersebut dipertegas Denes (1994:2) yang mengatakan bahwa
terjadinya gejala interferensi tidak terlepas dari perilaku atau sikap bahasa penutur bahasa
pertama.
Penelitian tentang BT di Medan telah dilakukan W.Keith Percival (1964) dalam disertasi
berjudul A Grammar of The Urbanised Toba-Batak of Medan. Diungkapkannya bahwa terdapat
perbedaan yang sangat jelas antara penutur BT di Medan dengan masyarakat BT di pedesaan,
antara lain dalam hal kolokasi (bahasa sehari-hari) dan bentuk gaya tuturannya. Selanjutnya
diungkapkannya lebih jauh lagi bahwa pengaruh BI terhadap BT sangat meningkat setelah
kemerdekaan Indonesia, terutama di kalangan penutur generasi muda yang telah mengenyam
pendidikan sekolah menengah dan universitas.
Berdasarkan paparan hasil pengamatan di atas dan dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan Percival terhadap penutur BT di Medan kurang lebih duapuluh delapan tahun lalu ini,
digunakan penutur BT mengingat semakin meluasnya penggunaan BI di tengah masyarakat
bilingual di kota Medan. Di samping itu kajian ini juga ingin mengetahui bagaimana sikap
bahasa masyarakat penutur BT di Medan terhadap BT untuk lebih mendapatkan gambaran
apakah memang mulai ada pergeseran sikap terhadap BT atau apakah BT masih tetap bertahan
sebagai bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat BT walaupun mereka berada di
perantauan (di Medan).
Gambaran sikap dan bagaimana bahasa BT di Medan digunakan oleh penutur bilingual
BT-BI dapat digambarkan dalam bagan berikut.
[image:34.612.70.519.400.557.2]GGambaran keberadaan
Gambar 1
Bagan Sikap Bahasa Penutur BT dan Interferensi
1.2 Rumusan Masalah
Masyarakat penutur BT di Medan yang hidup berdampingan dengan berbagai penutur
bahasa dan daerah dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya umumnya menggunakan
lebih dari satu bahasa (bilingual), yakni bahasa BT – BI. Kebilingualitasan ini menyebabkan
penutur BT sering melakukan percampuran bahasa yang menimbulkan gejala interferensi dalam
Negatif Positif
Inter-feren si
S B i a k h a a p s
a
Fonologis
Gramatikal Setia Sadar Bangga Bahasa BT di Medan Bahasa BT Baku K B
o a n h t a a s
k a Penutur
Bilingual BT-BI di Medan
tuturan-tuturannya saat berbahasa dalam BT yang sebenarnya bahasa daerah tersebut merupakan
salah satu identitas masyarakat BT. Dalam BT di Medan nampaknya mulai terdapat
penyimpangan-penyimpangan dari kaidah BT baku mulai dari bunyi, kata, dan mungkin sampai
pada tingkat kalimat. Penyimpangan ini merupakan akibat dari kontak bahasa yang terakumulasi
melalui proses interferensi baik interferensi pada tataran bunyi (fonologi), kata (leksikon),
maupun pada tingkat kalimat.
Berdasarkan adanya fenomena di atas, dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pola interferensi yang terjadi dalam bahasa BT di Medan?
2. Bagaimanakah sikap bahasa penutur BT berdasarkan variabel jenis kelamin, usia, pemakaian
bahasa dan lamanya tinggal?
3. Bagaimanakah korelasi antara sikap bahasa penutur Batak Toba dengan interferensi?
4. Bagaimanakah bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk interferensi BI terhadap BT, sikap bahasa penutur BT, dan
bagaimana bahasa Batak Toba di Medan sekarang ini,. Tujuan penelitian dapat dirinci sebagai
berikut.
1. Mencari pola interferensi BI dalam BT dan alasannya.
2. Mengukur sikap bahasa penutur BT terhadap BT berdasarkan variabel jenis kelamin,
usia, pemakaian bahasa dan lamanya tinggal di Medan.
3. Mencari pola hubungan antara sikap penutur Batak Toba dengan interferensi.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam beberapa hal berikut.
1. Bagi ilmu linguistik, kajian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian kebahasaan di
Indonesia, sementara bagi ilmu sosiolinguistik, kajian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang interferensi dan sikap bahasa penutur berdasarkan ciri sosial.
2. Bagi masyarakat Batak Toba, temuan kajian ini merupakan informasi yang
sangat bermanfaat untuk tetap mempertahankan bahasa BT sebagai identi-
titas penutur dan kekayaan budaya bangsa serta menjaga kualitas BT stan-
dar tetap terpelihara agar tidak mengalami pergeseran dan tidak terancam
punah.
1.5 Batasan Penelitian
Penelitian ini mencakupi dua bidang kajian, yaitu kajian struktural dan sosiolinguistik.
Penelitian berangkat dari data empiris yang diperoleh dari perekaman tuturan BT dalam berbagai
situasi di kota Medan. Hasil perekaman tuturan dijadikan sebagai data primer penelitian untuk
mengetahui apakah terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tuturan BT yang
mengakibatkan timbulnya gejala interferensi dalam BT. Selanjutnya dari data primer diambil
tuturan-tuturan yang dijadikan sebagai variabel linguistik dalam penelitian untuk mencari data
interferensi oleh penutur BT yang selanjutnya dikorelasikan dengan sikap bahasa penutur BT.
Penelitian dibatasi pada interferensi tuturan BI ke dalam BT oleh penutur BT di Medan pada
aspek fonologis, gramatikal, dan leksikon untuk menemukan pola BT yang sekarang digunakan
di Medan. Berdasarkan gejala interferensi, akan dilihat pula sikap penutur BT di Medan terhadap
Selanjutnya hasil tes interferensi yang diujikan kepada responden akan dikorelasikan dengan
sikap bahasa penutur BT. Dengan demikian hasil dalam penelitian ini akan mendeskripsikan
bahasa BT di kota Medan.
1.6 Etnik dan Bahasa Batak Toba
1.6.1 Etnik Batak Toba
Suku Batak merupakan salah satu etnik yang terdapat di Sumatera. Mereka sebagian
besar bertempat tinggal di Tapanuli, sebagian lagi menempati bagian Timur laut Tapanuli yaitu
daerah Simalungun dan yang lain bermukim di sebelah barat laut Danau Toba yakni tanah Karo.
Etnik Batak terdiri dari beberapa sub-etnik, masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Menurut
pembagian linguistik bahasa Batak dapat dibedakan atas lima bahasa yang berbeda satu dengan
lain yaitu:
(1) Bahasa Batak Toba, (2) Bahasa Batak Karo, (3) Bahasa Batak Simalungun, (4) Bahasa Batak
Pak-pak-Dairi, dan (5) Bahasa Angkola-Mandailing.
Gambar 1.2. Peta Etnik Batak Di Sumatera
1. Batak Toba (Tapanuli): mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli
Tengah menggunakan bahasa Batak Toba.
2. Batak Simalungun: mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan
menggunakan bahasa Batak Simalungun.
3. Batak Karo: mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan
bahasa Batak Karo
4. Batak Mandailing: mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan
Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing
5. Batak Pakpak: mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa
Pakpak.
Bahasa BT digunakan di daerah atau distrik Silindung, Humbang, Toba, Samosir,
Habinsaran dan Uluan (pembagian daerah ini didasarkan atas pembagian distrik pada waktu
pemerintahan Hindia Belanda). Pembagian distrik yang dilakukan pada masa Hindia Belanda itu
tidak sama lagi dengan masa sekarang ini, karena sejak awal tahun 2000-an telah terjadi
pemekaran kabupaten, sehingga nama kabupaten tidak lagi identik dengan Distrik pada masa
Masyarakat BT mempunyai budaya yang selalu melekat pada dirinya sendiri dan
merupakan ciri diri etnik BT yang disebut dengan marga. Marga selalu lebih ditonjolkan
daripada namanya. Namanya selalu tetap diikuti oleh marga dan apabila orang Batak ingin
memperkenalkan dirinya kepada orang lain dia lebih dulu menyebutkan marga, karena dari
marga-lah seseorang dapat ditelusuri siapa dia dan darimana asalnya. Maka apabila seorang
etnik BT memperkenalkan dirinya dengan menggunakan marga ‘X’ dapat diketahui darimana
asalnya, karena setiap marga mempunyai daerah asal marga tersebut yang disebut dengan Bona
ni Pasogit. Daerah asal (Bona ni Pasogit) ini dapat dikatakan sebagai asal daerah dimana nenek
moyang mereka (leluhur) tinggal di sana mempunyai daerah kekuasaan/tanah. Hal ini dapat
diperhatikan apabila seseorang mau berkenalan dengan orang lain. Seseorang pertama sekali
akan menanyakan marga atau memberitahukan marga-nya. Orang akan bertanya : ”Aha do
marga muna, amang? ” (Bapak marga apa?) dan lawan bicara akan memberitahukan marga-nya
dengan mengatakan “Marga ‘X’ do ahu” (Saya marga ‘X’). Tujuan seseorang menanyakan
marga-nya adalah untuk mengetahui darimana asalnya. Misalnya, seseorang yang bermarga
Siahaan sudah tentu berasal atau mempunyai Bona Pasogit (kampung halaman) di Balige,
walaupun dia sudah dilahirkan atau dibesarkan di perantauan, karena dari Baligelah asal marga
Siahaan. Selain itu orang Batak menanyakan marga seseorang bertujuan untuk mengetahui
bagaimana dia harus memanggil lawan bicaranya itu apakah mereka marhulahula, marboru, atau
marsabutuha. Apabila orang yang ditemui adalah hulahula-nya maka orang tersebut dipanggil
dengan sebutan tulang/nantulang, bila yang dijumpai boru-nya maka dipanggil dengan sebutan
amangboru/namboru, bila yang ditemui adalah dongan sabutuha maka dipanggil dengan sebutan
Setiap marga etnik BT memiliki daerah sendiri-sendiri, dimana marga yang lain yang
berada di sana dianggap sebagai pendatang (paisolat). Pada umumnya marga yang datang ke
satu daerah marga orang lain pada waktu dulu adalah merupakan boru dari orang yang
mempunyai daerah/lokasi tersebut.
Dalam sistem kekerabatan etnik BT, marga lebih dekat daripada kesamaan asal daerah
tempat tinggal. Sistem kekerabatan yang berlaku pada etnik BT adalah menurut garis keturunan
ayah yang disebut patrineal. Garis keturunan seorang laki-laki akan diteruskan oleh putranya
dan menjadi punah kalau tidak ada anak laki yang dilahirkan. Dengan perkataan lain
laki-laki itulah yang membentuk kekerabatan secara turun menurun, sedangkan perempuan
menciptakan hubungan besan karena dia kawin dengan laki-laki dari kelompok patrineal yang
lain. Semua anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai marga yang sama dengan
ayahnya, tetapi setelah anak perempuan kawin dengan sendirinya ia masuk ke lingkungan marga
suaminya. Berdasarkan marga seseorang dapat menempatkan dirinya dalam adat istiadat yang
disebut dengan dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang merupakan unsur yang tak terpisahkan
yang dianggap sebagai dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh warga masyarakat Toba
yaitu hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru ‘pihak marga yang
menerima anak perempuan’.
Terdapat lebih kurang 300 marga penting dalam sejarah marga Batak, marga yang satu
dengan lain saling berhubungan dalam konteks dalihan na tolu. Solidaritas marga dalam
kenyataannya semakin luas lagi dari hanya sekedar dongan sabutuha. Solidaritas primordial
etnik BT ini menjadi sangat luas mencakup keseluruhan etnik BT yang dipandang bersaudara
dalam konteks sistem kekerabatan masyarakat BT. Berdasarkan konteks sistem kekerabatan,
tabu, karena satu marga dianggap merupakan masih satu darah. Hal inilah yang mendasari
bahwa perkawinan satu marga dianggap sangat memalukan dan diharamkan dalam adat
perkawinan BT. Apabila suatu saat terjadi perkawinan satu marga dalam suatu keluarga BT,
maka keluarga tersebut akan dikeluarkan dari sistem peradatan dan tidak diperbolehkan terlibat
dalam setiap kegiatan adat, artinya keluarga tersebut dikucilkan dari pergaulan dalam
masyarakat. Biasanya keluarga tersebut akan disuruh keluar dari kampung asal dan hidup
terasing di tempat yang tidak seorangpun mengenal mereka. Dengan demikian keutuhan marga
selalu dijaga dengan cara (1) dilarang kawin satu marga, (2) membentuk kumpulan marga, (3)
membubuhkan marga setelah nama, dan (4) mengajarkan kepada anak tentang garis keturunan
(tarombo) sehingga anak kelak dapat mengetahui partaromboan menurut marganya. Setiap
marga juga mempunyai nomor, misalnya marga Siahaan nomor empat belas, nomor lima belas
dan seterusnya yang biasanya dengan penomoran tersebut orang Batak mengetahui bagaimana
sapaannya terhadap orang semarga tersebut.
Setiap orang Batak terutama yang tinggal menetap di tempat kelahirannya Tanah Batak,
dapat menuturkan tanpa kesalahan enam sampai delapan bahkan kadang-kadang lebih garis
keturunan nenek moyangnya (Siahaan, 2005 : 70). Semua orang tahu dimana garis keturunannya
dalam marga, demikian juga saling hubungan antara keturunan termasuk keluarga ibunya.
Sistem kekerabatan ini dapat diurut sedemikian jauhnya, berkat marga yang dimiliki etnik BT
ini. Bagaimana asal mulanya dan sejak kapan marga mulai digunakan di lingkungan etnik BT,
tidak diketahui secara tepat, tetapi yang pasti bahwa marga sudah memegang peranan yang
sangat penting sejak diselenggarakan upacara persembahan kurban kepada roh leluhur .
Masyarakat BT juga sangat erat dengan kehidupan kumpulan Serikat Tolong Menolong
kelompok-kelompok marga yang disebut STM yang berfungsi untuk mempererat hubungan yang
satu dengan yang lain dalam kelompok marga, baik di saat suka maupun duka. Dalam kelompok
STM bisa diketahui struktur kekeluargaan, sehingga diketahui sistem sapaan yang satu dengan
lainnya, walaupun mereka ada yang lahir di perantauan dan ada di Bona ni Pasogit. Sampai saat
inipun, sistem kekerabatan yang demikian kental masih dapat terlihat di dalam kehidupan etnik
BT meskipun mereka berada di perantauan atau di luar daerah asal tempat mereka dilahirkan.
1.6.2 Adat Istiadat
Kehidupan suku BT tidak dapat terlepas dari adat istiadat. Suku BT sangat kental dengan
adat dan ini merupakan identitas masyarakat BT. Sebagaimana disebutkan Siahaan (1982) bahwa
adat istiadat yang didasari struktur sosial dalihan na tolu merupakan jati diri masyarakat BT. Hal
ini dapat dilihat pada acara-acara adat seperti (1) acara kelahiran, (2) acara perkawinan, (3)
acara kematian, (4) acara memasuki rumah baru, dan sebagainya. Dalam kegiatan acara tersebut,
masyarakat BT masing-masing mengambil perannya dalam pelaksanaan pesta/acara tersebut, ada
yang berperan sebagai hulahula ‘pihak pemberi istri’, dongan sabutuha ‘satu marga’, dan boru
‘pihak marga yang menerima anak perempuan’.
1.6.3 Sistem Religi
Menurut Koentjaraningrat (dalam Irmawati, 2008 : 49) tanah Batak telah dipengaruhi
oleh beberapa agama. Agama Islam dan agama Kristen Protestan masuk ke daerah orang Batak
sejak permulaan abad ke-19. Orang Batak mengenal kepercayaan Kristen sejak tahun 1861
(Simanjuntak, 1986). Agama Islam disiarkan oleh orang Minangkabau kira-kira tahun 1810 dan
Agama Kristen disiarkan di daerah Toba dan Simalungun (Batak Utara) oleh organisasi penyiar
agama dari Jerman, yaitu Organisasi Reinische Missions Gesselschaft kira-kira sejak tahun 1863.
Mayoritas etnik BT beragama Kristen Protestan. Walaupun orang BT sebagian besar sudah
beragama Kristen, banyak konsep-konsep asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di
antara penduduk daerah pedesaan. Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam ini beserta
segala isinya diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi Na Bolon)’Tuhan Semesta Alam’.
Orang Batak dahulu masih percaya kepada mitos bahwa manusia Batak pertama berasal
dari dewa yang turun dari kayangan di puncak Dolok Pusuk Buhit. Di tempat inilah mula-mula
turunan si raja Batak ‘mamompari’ dengan kebudayaannya sendiri. Dahulu orang Batak
mempunyai kepercayaan animisme, totemisme, yang menguasai tingkah laku dan cara hidup
masyarakat Batak. Semua hal itu dicerminkan berupa pelahiran kepercayaan masyarakat
terhadap kekuatan kosmos dengan bahasa yang digubah sedemikian rupa sehingga berlainan dari
bahasa BT sehari-hari.
1.6.4 Gaya Hidup Merantau
Etnik BT dikenal dengan gaya hidup merantau. Gaya hidup seperti ini disebut dengan
‘mangaranto’ dan orangnya disebut ’pangaranto’. Kata mangaranto itu sendiri memiliki konsep
umum marserak yaitu menyebar ke seluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak
memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah-daerah yang tanahnya belum
dimiliki oleh marga lain, daerah-daerah mana kemudian dapat dijadikan areal pertanian dan
perkampungan. Dalam perkembangan selanjutnya orang BT menyebar ke berbagai daerah di luar
teman sekampung) dan tinggal di daerah lain biasanya dianggap sebagai perluasan kampung
induk.
Dewasa ini perkataan marserak mengandung pengertian yang luas. Selain mengandung
arti menyebar (pindah dari kampung halaman ke luar wilayah budaya sendiri) marserak
mengandung arti mobilitas ekonomi dan sosial. Dalam percakapan sehari-hari ditemukan
beberapa perkataan yang mengandung maksud seperti yang disebutkan di atas, diantaranya ada
yang disebut manombang, mangaranto, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului
jampalan na lomak atau masiampapaga na lomak (Purba dan Purba, 1997).
Umumnya orang-orang yang disebut pangaranto dalam konsep umum marserak pada
awalnya adalah kaum laki-laki yang belum kawin (berkeluarga). Mereka meninggalkan desanya
pergi ke kota-kota di luar Tapanuli Utara untuk memperoleh pekerjaan di luar sektor pertanian.
Sebutan tersebut dewasa ini sudah lebih luas, diberikan kepada yang belum berkeluarga maupun
yang sudah berkeluarga, yang bekerja di luar sektor pertanian, termasuk pegawai yang alih tugas
dari daerah sendiri. Orang-orang yang pada awalnya bertujuan untuk melanjutkan sekolah dan
kemudian bekerja di daerah lain disebut juga pangaranto. Selain itu kemajuan zaman yang
berkembang dengan cepat dan kebutuhan hidup yang semakin banyak dan beraneka
menyebabkan pola hidup penduduk harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Mereka
berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka itu yang mungkin sangat sulit untuk
dipenuhi jika tetap tinggal dan bekerja di kampungnya. Tidak jarang anggota atau satu keluarga
meninggalkan desanya pindah ke daerah lain. Usaha untuk mencari sumber kehidupan yang
lebih baik dibanding dengan di daerah sendiri pada umumnya disebut mangalului jampalan na
lomak atau masiampapaga na lomak (Purba, O.H.S dan Purba Elvis,1997). Gerak penduduk
pertanian tetapi juga di berbagai aktivitas yang dapat memberikan pendapatan dan meningkatkan
status sosialnya.
Keberadaan masyarakat penutur BT di Medan dimulai sekitar tahun 1915 saat
pembangunan jalan berkembang dengan cepat dari daerah perkebunan di daerah pesisir Timur
menuju Siantar, Parapat, Porsea, dan Balige. Hal tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat
BT untuk berimigrasi keluar daerahnya. Migrasi ini pertama-tama ditujukan pada daerah
Simalungun sesudah masa revolu