• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.6 Evaluasi

Setelah 6 hari dilakukan intervensi keperawatan pada pasien maka dilakukan evaluasi akhir pada tanggal31 Mei 2014. Sejak pengkajian tanggal 26 Mei sampai dengan evaluasi akhir tanggal 31 Mei ada 3 diagnosa utama yang ditemukan pada pasien yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal, kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial, dan hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati. Selama 6 hari perawatan ditemukan juga diagnosa keperawatan lainnya dan dilakukan intervensi akan tetapi tidak dilakukan pendokumentasian dan pelaporan dalam laporan penelitian ini.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal adalah manajemen gangguan makan, manajemen elektrolit, manajemen nutrisi, dan perawatan diri: makan.

Implementasi dilakukan setiap hari selama 6 hari (tanggal 26-31 Mei 2014).

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien pasien mengalami peningkatan lingkar lengan sebanyak 1 cm, peningkatan aktivitas dan kondisi klinis, keluhan mual berkurang, peningkatan porsi makan, dan peningkatan kadar Hb dan albumin darah. Diagnosa teratasi sebagian karena pasien menunjukkan peningkatan status nutrisi akan tetapi masih mengalami malnutrisi.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial adalah manajemen cairan, manajemen elektrolit, dan pemberian terapi intravena.

Implementasi dilakukan setiap hari selama 6 hari rawat tanggal 26-31 Mei 2014.

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien mengalami penurunan lingkar perut 17

Universita s Indone sia

cm dan edema tungkai berkurang. Asites dan edema tungkai masih ada. Pasien juga mengatakan keluhan haus berkurang dan sudah dapat membatasi asupan cairan. Diagnosa keperawatan ini teratasi sebagian karena pasien menunjukkan perbaikan volume cairan tubuh adekuat akan tetapi masih mengalami kelebihan volume cairan tubuh.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati adalah dengan pemantauan termoregulasi, tanda-tanda vital dan pemberian antipiretik. Implementasi ini dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014, 27 Mei 2014, dan 29 Mei 2014. Evaluasi implementasi menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal 36,70C. Diagnosa keperawatan ini teratasi karena pasien menunjukkan suhu tubuh normal 36,70C.

Akan tetapi karena proses inflamasi sirosis hati masih berlangsung maka hipertemia berulang masih mungkin terjadi.

1.5. Profil Lahan Praktik

Rumah sakit pusat angkatan darat (RSPAD) Gatot Subroto merupakan rumah sakit rujukan pusat nasional khusus angkatan darat RI. RSPAD didirikan dengan visi menjadi rumah sakit kebanggaan prajurit. Misi utama RSPAD adalah menyelenggarakan fungsi perumahsakitan tingkat pusat dan rujukan tertinggi bagi rumah sakit TNI AD dalam rangka mendukung tugas pokok TNI AD. Upaya yang dilakukan untuk mencapai visinya, RSPAD menyelenggarakan pelayan medik dalam bentuk pelayanan 24 jam, pelayanan poliklinik spesialis dan sub spesialis, dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medis 24 jam yang diberikan adalah ambulance, apotik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, bank darh, dan pelayanan instalansi gawat darurat. Pelayanan poliklinik spesialis dan sub spesialis yang diberikan adalah poliklinik anak, poliklinik bedah, poliklinik obstetri dan gynekologi, poliklinik penyakit dalam, poliklinik gigi dan mulut, poliklinik gizi, poliklinik ginjal, poliklinik kulit dan kelamin, poliklinik jantung, poliklinik kedoktera nuklir, poliklinik mata, poliklinik kesehatan jiwa, poliklinik rehabilitasi medik, poliklinik syaraf, poliklinik THT dan poliklinik paru.

Pelayanan rawat inap diberikan berdasarkan kelas dan fasilitas penunjang rawat inap tersebut. Pelayanan rawat inap dibagi menjadi kelas VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Ruang perawatan inap dibagi menjadi perawatan umum, perawatan bedah, perawatan paru, perawatan anak, perawatan jiwa, perawatan jantung, perawatan obstetri dan gynekologi, unit stroke, dan kamar perawatan intensiv atau ICU.

1.6. Analisis Masalah Keperawatan Dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait

4.2.1 Sirosis hati alkaholik

Tn. Y (47 tahun) mengalami sirosis hati sejak Februari 2013. Sirosis hati yang dialami pasien merupakan sirosis hati alkaholik. Sirosis hati alkaholik merupakan

Universita s Indone sia

sirosis hati yang disebabkan oleh kebiasaan konsumsi alkohol. Berdasarkan hasil pengkajian anamnesa pasien mengatakan memiliki kebiasaan konsumsi alkohol sejak usia 20 tahun. Kebiasaan konsumsi alkohol ini meningkat ketika pasien mulai berpindah dari daerah asal pasien yaitu Ambon ke tempat kerja pasien di Kota Sorong, Papua. Konsumsi alkohol merupakan salah satu kebiasaan yang umum ditemukan pada masyarakat perkotaan yang menjadi penyebab utama terjadinya sirosis hati. Dampak dari meningkatnya kebiasaan konsumsi alkohol pada masyarakat perkotaan yaitu meningkatnya angka kejadian sirosis hati alkaholik. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan WHO pada tahun 2012 bahwa 50% kasus sirosis hati merupakan kasus sirosis hati alkaholik. Sirosis hati alkaholik ini ditemukan paling banyak pada laki- laki dengan usia produktif dengan angka kejadian 52,7 laki- laki per 100.000 populasi di Indonesia (WHO, 2014)

Selain faktor risiko kebiasaan konsumsi alkohol yang ditemukan pada pasien, riwayat hepatitis B juga merupakan faktor risiko penyebab terjadinya sirosis hati.

Berdasarkan hasil anamnesa pasien mengalami hepatitis B sejak 3 tahun lalu, kemudian mengalami sirosis hati sejak Februari 2013. Hepatitis B merupakan faktor risiko utama dari komplikasi penyakit hati yang menyebabkan sirosis hati.

Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan di Indonesia yaitu dari 13 juta penderita hepatitis B 50% diantaranya mengalami sirosis hati sebagai komplikasi jangka panjang. Peningkatan angka kejadian hepatitis pada masyarakat perkotaan juga meningkat sebesar 125% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).

4.2.2 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh a. Analisis data

Keluhan utama yang dialami pasien dengan sirosis hati yaitu penurunan berat badan akibat rasa mual. Keluhan utama ini juga ditemukan pada kasus Tn. Y. Tn. Y mengeluhkan adanya rasa mual yang memberat sejak 1 bulan sebelum dirawat. Keluhan mual dan penurunan nafsu makan ini menyebabkan Tn. Y mengalami penurunan berat badan. Berdasarkan hasil

pengkajian teraba hati membesar, terdapat nyeri tekan epigastrium, dan perbesaran abdomen akibat asites. Perbesaran hati yang dialami klien merupakan manifestasi klinis dari perlemakan hati klien. Perbesaran hati akan mendorong lambung sehingga pasien mengeluhkan rasa mual. Rasa mual yang dialami pasien menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Pasien mengatakan hanya dapat menghabiskan makanan ¼ - ½ porsi makan saja.

Penuruanan asupan nutrisi tersebut mengakibatkan penurunan berat badan pasien sela 3 bulan terakhir. Keluhan mual dan penurunan nafsu makan yang umumnya terjadi menyebabkan malnutrisi pada pasien sirosis hati. Hal ini juga terjadi Tn. Y. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan data IMT 19,48 kg/m2, dan lingkar lengan atas 24.7 cm (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Pasien dengan sirosis hati pada umumnya juga mengalami perubahan nilai Hb dan albumin. Perubahan biokimia darah ini juga terjadi pada Tn.Y. Hasil pemeriksaan diagnostik laboratoium darah menunjukkan nilai Hb 8.5 g/dL (normal: 13-18 g/dL). Kondisi anemis juga dapat dilihat dari konjungtiva Tn.Y yang pucat dan kelelahan yang dirasakan. Kondisi anemis ini dapat disebabkan oleh penurunan asupan nutrisi yang terjadi akibat penurunan nafsu makan. Selain itu anemia juga dapat terjadi karena kerusakan fungsi hati sehingga menyebabkan defisiensi asam folat dan zat besi yang menjadi bahan penting pembentukan sel darah merah. Kerusakan fungsi hati yang berat dapat menyebabkankan hati melakukan destruksi hemoglobin dalam jumlah besar sehingga menyebabkan kondisi anemia. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai hemoglobin dan peningkatan nilai bilirubin dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Selain mengalami penurunan nilai hemoglobin, pasien dengn sirosis hati juga mengalami penurunan nilai albumin. Pasien Tn. Y mengalami penurunan albumin yang signifikan yaitu 2.4 g/dL (normal: 3.5-5.0 g/dL).

Universita s Indone sia

Penurunan nilai albumin ini dapat terjadi akibat penurunan asupan nutrisi yan disebabkan oleh penurunan nafsu makan. Akan tetapi pada umumnya penyebab utama penurunan nilai albumin pada pasien sirosis hati adalah kerusakan fungsi metabolisme protein hati. Albumin merupakan serum utama dalam plasma darah. Albumin memenuhi 60% jumlah serum darah.

Albumin merupakan hasil metabolisme protein yang dibentuk didalam retikulum endoplasma pada sel hati. Kerusakan hati yang berat menyebabkan penurunan produksi serum albumin (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

b. Implementasi

Implementasi yang dilakukan pada Tn.Y selama 6 hari perawatan adalah manajemen gangguan makan, manajemen nutrisi, manajemen elektrolit, dan perawatan diri: makan. Implementasi manajemen nutrisi yang dilakukan meliputi mengkaji status nutrisi dengan antropometri, status biokimia darah, kondisi klinis, dan terapi diet yang diterima. Pengkajian antropometri dilakukan dengan pemantauan lingkar lengan atas setiap hari. pemantauan dilakukan dengan mengukur lingkar lengan atas karena dianggap lebih akurat dari pada pemantauan berat badan klien. Nilai lingkar lengan atas hanya dipengaruhi oleh status nutrisi pasien, sedangkan nilai berat badan pasien dipengaruhi status nutrisi dan status cairan pasien sehingga tidak akurat untuk menilai status nutrisi (Wilkinson, 2012).

Pemeriksaan biokimia darah dilakukan untuk mengetahui nilai albumin dan hemoglobin dalam darah. Pemantauan nilai albumin dan hemoglobin diperlukan sebagai indikator peningkatan status nutrisi. Peningkatan nilai hemoglobin dan albumin dapat terjadi karena peningkatan asupan nutrisi adekuat. Pemantauan nilai hemoglobin dapat meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh sehingga energi yang diproduksi meningkat. Kesediaan energi yang adekuat dapat mendukung produktivitas kerja pasien.

Peningkatan nilai albumin juga menjadi indikator peningkatan status nutrisi

pasien. N ilai albumin normal akan mencegah perpindahan cairan intravaskular ke intertisial.

Manajemen perawatan diri: makan dilakukan meliputi pemantauan asupan nutrisi adekuat. Keluhan utama Tn.Y adalah penurunan nafsu makan, sehingga pemantauan asupan nutrisi dilakukan dengan memotivasi pasien memenuhi asupan nutrisi adekuat dengan porsi makan sedikit dan sering.

Pasien juga diberikan obat ondansentron untuk mengurangi rasa mual.

Ondansentron mengurangi produksi asam lambung yang menjadi penyebab timbulnya rasa mual. Motivasi pemenuhan asupan nutrisi dengan porsi sedikit dan sering dapat meningkatkan asupan nutrisi dan mengurangi rasa mual. Rasa mual dapat terjadi karena perbesaran hati atau asites yang mendorong lambung. Akibatnya timbul rasa ‘begah’ atau lambung terasa penuh. O leh karena makan dengan porsi sedikit dan sering dapat mengurangi rasa ‘begah’ tersebut. Cara kerja ondansentron mengurangi produksi asam lambung juga dapat mengurangi rasa mual pada pasien sirosis hati (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012;

Fowler, 2013).

c. Evaluasi

Evaluasi peningkatan status nutrisi dilakukan dengan pemeriksaan antropometri, biokimia darah, kondisi klinis, dan terapi diet. Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien pasien mengalami peningkatan nilai antropometri, nilai biokimia darah, kondisi klinis, dan asupan nutrisi adekuat. Nilai lingkar lengan meningkat sebanyak 1 cm dari nilai 24.7 cm menjadi 25.7 cm. Peningkatan nilai biokimia darah hemoglobin juga terlihat. N ilai hemoglobin meningkat dari nilai 8.5 g/dL menjadi 9.1 g/dL.

Nilai albumin darah juga meningkat dari nilai 2.4 g/dL menjadi 2.8 g/dL.

Peningkatan aktivitas dan kondisi klinis dapat dilihat pasien dapat melakukan aktivitas pemenuhan dasar secara mandiri. Keluhan mual berkurang sehingga terjadi peningkatan porsi makan. Pada awal pengkajian

Universita s Indone sia

pasien hanya mampu makan ¼ - ½ porsi makan, maka pada saat evaluasi pasien makan ½-1 porsi makan. Diagnosa teratasi sebagian karena pasien menunjukkan peningkatan status nutrisi akan tetapi masih mengalami malnutrisi.

4.2.3 Kelebihan volume cairan a. Analisis data

Penyebab utama diagnosa kelebihan volume cairan pada pasien sirosis hati disebabkan oleh perpindahan cairan intravaskular ke intertisial. Perpindahan cairan ini disebabkan oleh penurunan kadar albumin darah. Pada kasus Tn.Y didapatkan data nilai albumin 2.4 g/dL (normal: 3.5-5.0 g/dL). Albumin berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik intravakular. Tekanan onkotik intravaskular ini adalah tekanan yang menjaga agar cairan di intravakular tidak pindah ke ekstravaskular. Akan tetapi akibat penurunan nilai albumin maka tekanan onkotik intravaskular menurun sehingga cairan intravaskular pindah ke intertisial. Perpindahan cairan intravaskular ke intertisial ini dapat dilihat pada asites dan edema tungkai. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik terdapat shifting dullnes pada abdomen Tn.Y dan edema tungkai tingkat 1.

Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan cairan intarvaskular ke intertisial sebagian besar mengisi rongga peritonial. Perpindahan cairan ini tidak terjadi pada rongga paru sehingga tidak ditemukannya edema paru yang ditandai oleh suara patologis paru (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan,

& Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Kelebihan volume cairan pada pasien sirosis hati juga dapat disebabkan karena kelebihan asupan cairan. Asupan cairan yang lebih dapat meningkatkan volume cairan intravaskular. Pasien sirosis hati yang mengalami penurunan nilai albumin darah akan terjadi perpindahan cairan intravaskular ke intertisial sehingga memperberat asites dan edema yang terjadi. Selain asupan cairan yang lebih dari kebutuhan tubuh, asupan natrium yang lebih dari kebutuhan tubuh juga menyebabkan retensi cairan di

intravaskular. Natrium didalam intravaskular akan mengikat air dan menyebabkan retensi cairan di intravaskular. Akan tetapi berdasarkan hasil pengkajian tidak ditemukan kelebihan asupan cairan tubuh maupun nilai natrium yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelebihan volume cairan pada Tn.Y terjadi di ruang intertisial akibat penurunan nilai albumin darah (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Pada umumnya pasien dengan status cairan lebih dari kebutuhan tubuh akan mengalami peningkatan tekanan darah akibat peningkatan volume intravaskular. Akan tetapi hal ini tidak ditemukan pada kasus Tn.Y. Hasil pengukuran tekanan darah Tn.Y menunjukkan nilai 90/60 mmHg. Tn.Y mengalami penumpukan cairan di ruang intertisial sehingga mendapatkan diuretik. Perpindahan cairan dari intarvaskular ke intertisial bersamaan dengan efek pemberian diuretik ini dapat mengakibatkan penurunan volume cairan intravaskular. Penurunan cairan intravaskular secara cepat dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

b. Implementasi

Implementasi perbaikan volume cairan mengacu pada perbaikan status nutrisi pasien. Hal ini disebaban karena kelebihan volume cairan diintertisial disebabkan oleh penurunan kadar albumin darah. O leh sebab itu upaya perbaikan volume cairan tubuh harus dilakukan bersamaan dengan upaya perbaikan kadar albumin darah. Implementasi perbaikan volume cairan yang dilakukan adalah pemantauan status cairan dan pencegahan faktor risiko yang memperberat kelebihan volume cairan intertisial. Implementasi yang dilakukan adalah manajemen elektrolit, manajemen cairan, dan terapi intravena. Manajemen elektrolit meliputi pembatasan asupan natrium, dan pemantauan kadar elektrolit darah. Pembatasan natrium ini dilakukan dengan pembatasan asupan makan dari luar terapi diet yang diberikan di

Universita s Indone sia

ruang rawat. Pembatasan natrium ini bertujuan untuk mencegah retensi cairan di intravaskular. Pemantauan pembatasan natrium ini dilakukan dengan pemeriksaan kadar elektrolit darah. Manajemen cairan meliputi pembatasan asupan cairan, pemantauan intake dan ouput cairan tubuh setiap hari, dan pengukuran lingkar perut dan pitting edema setiap hari.

Pembatasan asupan cairan dilakukan tidak dengan mengurangi asupan cairan tubuh pasien. Akan tetapi dengan pemenuhan asupan cairan sesuai kebutuhan tubuh. Kebutuhan cairan Tn.Y sejumlah 2350 cc setiap hari, maka pasien dianjurkan memenuhi asupan cairan 2000-2350 cc setiap hari.

Pemantauan pembatasan asupan cairan ini dilakukan dengan pemantauan inteke output cairan dan pengukuran lingkar perut pasien setiap hari.

Pemantauan intake output dilakukan untuk menilai efektivitas terapi diuretik yang diterima pasien dan kepatuhan pasien terhadap pembatasan cairan.

Pemantauan intake dan output cairan ini juga diperlukan untuk menilai fungsi eliminasi haluaran urin. Pemantauan perbaikan status volume cairan dilakukan dengan pengukuran lingkar perut. Pengukuran lingkar perut efektif menilai perbaikan status volume cairan karena penumpukan volume cairan pasien terjadi dirongga peritonium. Selain manajemen cairan dan elektrolit dilakukan juga intervensi kolaborasi pemberian diuretic intravena (Wilkinson, 2012).

c. Evaluasi

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien mengalami penurunan lingkar perut 17 cm dan edema tungkai berkurang. Pasien masih mengalami asites akan tetapi pasien juga mengalami penurunan lingkar perut dari nilai 86 cm menjadi 69 cm. Penurunan lingkar perut ini menujukkan bahwa terjadi perbaikan volume cairan tubuh. Penurunan lingkar perut ini juga dipengaruhi oleh peningkatan kadar albumin darah. Peningakatan kadar albumin dapat menujukkan perbaikan tekanan onkotik intravaskular.

Perbaikan tekanan intravaskular ini menyebabkan cairan intravaskular tidak pindah ke intertisial sehingga volume cairan intravaskular dapat

dipertahankan. Volume cairan intravasular yang adekuat meningkatkan tekanan darah sehingga dari hasil pengukuran tekanan darah didapatkan nilai tekanan darah normal 110/70 mmHg. Asites dan edema tungkai masih ada. Pasien juga mengatakan keluhan haus berkurang dan sudah dapat membatasi asupan cairan. Diagnosa keperawatan ini teratasi sebagian karena pasien menunjukkan perbaikan volume cairan tubuh adekuat akan tetapi masih mengalami kelebihan volume cairan tubuh.

4.2.4 Hiperte rmia a. Analisis data

Pasien dengan kerusakan sel hati biasanya mengalami sakit kepala, pusing, dan hipertermia dengan keluhan menggigil. Berat atau ringannya keluhan hipertermia tergantung pada luas kerusakan hati. Hipertermia dapat terjadi akibat reaksi viremia virus hepatitis. Hipertermia pada sirosis hati biasanya disertai dengan keluhan menggigil. Keluhan menggigil ini disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh yang tinggi akibat infeksi berat pada hati.

Hipertermia yang terjadi pada sirosis hati dapat terjadi berulang selama proses infeksi masih berlangsung. Tn.Y mengalami hipertermia akibat proses infeksi hepatitis B yang masih berlangsung. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan HbsAg positif. Hipertermia ini juga dapat diperberat karena berpindahnya cairan intravaskular ke intertisial. Sehingga menyebabkan reaksi vasokonstriksi pembuluh darah. Vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan meningkatnya metabolisme sel yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

b. Implementasi

Hipertermia dalam waktu relatif lama dapat menyebabkan gangguan pada hipotalamus pusat vasomotor. Hipertermia dengan keluhan menggigil dalam yang tidak ditangani secara cepat akan menyebabkan kejang atau penurunan kesadaran. Implementasi hipertermia yang dilakukan adalah dengan

Universita s Indone sia

pemantauan termoregulasi dan pemantauan tanda-tanda vital serta pemberian antupiretik. Pemantauan termoregulasi dan tanda-tanda vital dilakukan dengan pemantauan suhu tubuh, pemantauan tekanan darah, frekuensi nadi, dan pernapasan serta intervensi kompres air hangat.

Pemantauan dilakukan jika keluhan hipertemia muncul dan setelah dilakukan intervensi kompres air hangat (Wilkinson, 2012).

c. Evaluasi

Evaluasi implementasi menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal 36,70C. Diagnosa keperawatan ini teratasi karena pasien menunjukkan suhu tubuh normal 36,70C. Akan tetapi karena proses inflamasi sirosis hati masih berlangsung maka hipertemia berulang masih mungkin terjadi.

1.7. Analisis Salah Satu Intervensi Dengan Konsep dan Penelitian Terkait Asupan sumber protein nabati lebih efektif meningkatkan status nutrisi pasien dengan sirosis hati dibandingkan asupan sumber protein hewani. Asupan sumber protein nabati dapat meningkatkan status nutrisi pasien dengan sirosis hati secara signifikan yang ditandai dengan peningkatan kadar albumin, hemoglobin, peningkatan berat badan, dan lingkar lengan. Akan tetapi pada pasien yang diberikan asupan sumber protein nabati tidak ditemukan peningkatan ammonia yang signifikan. Hal ini sejalan dengan intervensi yang dilakukan pada Tn.Y. Tn.

Y diberikan asupan sumber protein nabati selama 3 hari dengan jumlah protein 44,4 gram protein per hari. Hasil yang diperoleh selama 6 hari sesuai dengan hasil penelitian terkait. Terdapat peningkatan kadar hemoglobin dan albumin pada Tn.Y. peningkatan status nutrisi juga ditunjukkan dengan peningkatan 1 cm lingkar lengan atas. Keterbatasan intervensi yang dilakukan adalah kurangnya koordinasi antara mahasiswa dengan ahli gizi atau mahasiswa dengan perawat.

Sehingga intervensi tidak dapat dilakukan dengan akurat (Fauzi dkk, 2009;

Bianchi dkk, 2009).

1.8. Alte rnatif Pe mecahan yang Dapat Dilakukan

Peningkatan status nutrisi pada pasien dengan sirosis hati yang paling efektif adalah dengan suplemen branched chain amino acid (BCAA). Suplemen ini adalah suplemen modifikasi dari rantai asam amino menjadi asam amino dengan cabang rantai lebih kompleks sehingga produksi ammonia sebagai hasil samping metabolisme protein dapat diminimallisasi. Jika dibandingkan dengan diet rendah protein dan asupan sumber protein nabati maka suplemen BCAA ini menunjukkan hasil lebih efektif. Pasien sirosis hati yang diberikan suplemen BCAA untuk meningkatkan asupan asam amino tubuh menunjukkan perubahan IMT, status biokimia darah, dan kondisi klinis yang signifikan, akan tetapi tidak menunjukkan peningkatan kadar ammonia dalam darah. Cara pemberian suplemen BCAA ini yaitu disesuaikan kebutuhan protein tubuh tiap kilogram berat badan per hari (Fauzi dkk, 2009; Bianchi dkk, 2009).

35 Universita s Indone sia

PEN UTUP

5.1 Simpulan

Simpulan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien sirosis hati di ruang perawatan umum lantai 6 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto adalah sebagai berikut:

a. Sirosis hati merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat perkotaan.

Faktor risiko utama terjadinya sirosis hati adalah kebiasaan konsumsi alkohol.

b. Masalah keperawatan utama pasien sirosis hati adalah ketidakseimbangan nutrisi. Status nutrisi pasien dengan sirosis hati adalah malnutrisi yang ditandai dengan nilai IMT dibawah normal, nilai Hb dan albumin dibawah normal, keluhan mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

c. Upaya peningkatan status nutrisi pasien dengan sirosis hati dengan asupan sumber protein nabati. Asupan sumber protein nabati yang adekuat dapat meningkatkan lingkar lengan atas, meningkatkan nilai Hb dan albumin, memperbaiki kondisi klinis pasien. Perawat berperan dalam pemantauan pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat pada pasien sirosis hati.

c. Upaya peningkatan status nutrisi pasien dengan sirosis hati dengan asupan sumber protein nabati. Asupan sumber protein nabati yang adekuat dapat meningkatkan lingkar lengan atas, meningkatkan nilai Hb dan albumin, memperbaiki kondisi klinis pasien. Perawat berperan dalam pemantauan pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat pada pasien sirosis hati.

Dokumen terkait