• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.3 Prioritas Diagnosa Keperawatan

Setelah dilakukan analisis data pengkajian dan dirumuskan masalah keperawatan maka selanjutnya dirumuskan diagnosa keperawatan pasien sesuai dengan prioritas masalah. Perumusan diagnosa keperawatan ini ditulis menurut konsep Brunner&Suddart (Wilkinson, 2012)

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial.

3. Hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati.

3.4 Rencana Asuhan Keperawatan

Pengakajian dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014. Berdasarkan hasil pengkajian ditemukan 3 diagnosa keperawatan utama selama pasien dirawat dari tanggal 26-31 Mei 2014. Setelah menemukan 3 diagnosa keperawatan utama pada pasien maka langkah selanjutnya dilakukan perumusan rencana asuhan keperawatan.

Rencana asuhan keperawatan ini terdiri dari diagonsa keperawatan, tujuan intervensi, kriteria hasil intervensi keperawatan, dan rencana tindakan keperawatan.

Diagnosa pertama yang menjadi prioritas masalah keperawatan pasien adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal. Tujuan dari intervensi pada diagnosa ini adalah setelah dilakukan intervensi selama 6 x 24 jam maka pasien menunjukkan asupan nutrisi adekuat, yang ditandai oleh kriteria hasil selera makan meningkat, status nutrisi berdasarkan pengukuran fisik meningkat, status nutrisi berdasarkan pengukuran biokimia meningkat, status nutrisi berdasarkan kondisi klinis meningkat, dan asupan nutrisi dan diet adekuat. Intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu manajemen gangguan makanan, manajemen elektrolit, manajemen nutrisi, dan manajemen perawatan diri: makan.

Diagnosa keperawatan yang kedua pada pasien adalah kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial. Tujuan dari intervensi diagnosa ini yaitu setelah dilakukan intervensi keperawatan 6 x 24 jam pasien menunjukkan keseimbangan volume cairan tubuh adekuat, yaitu ditandai oleh kriteria hasil keseimbangan intake dan output cairan, tidak ada edema, dan lingkar perut berkurang. Intervensi yang dilakukan untuk mencapai tersebut yaitu manajemen elektrolit, manajemen cairan, dan terapi intravena.

Diagnosa keperawatan ketiga pada pasien yaitu hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati. Tujuan intervensi diagnosa ini adalah setelah dilakukan intervensi keperawatan 1 x 4jam pasien menunjukkan kondisi suhu tubuh dalam batas normal, yang ditandai oleh suhu tubuh dalam rentang 360 C-37.50C dan tanda-tanda vital stabil. Intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu pemantauan termoregulasi, pemantauan tanda-tanda vital, dan terapi antipiretik.

3.5 Implementasi

Implementasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan asupan nutrisi adekuat adalah manajemen gangguan makanan, manajemen nutrisi, dan manajemen

Universita s Indone sia

perawatan diri: makan. Implementasi manajemen gangguan meliputi mengkaji keluhan mual, muntah, dan nyeri tekan epigastrium yang dirasakan pasien serta pemberian terapi intravena ondansentron dan sucralfat. Implementasi manajemen nutrisi yang dilakukan meliputi mengkaji status nutrisi dengan antropometri, status biokimia darah, kondisi klinis, dan terapi diet yang diterima. Kemudian memberikan terapi diet asupan protein nabati, melakukan pemantauan lingkar lengan, dan pemeriksaan biokimia darah. Manajemen perawatan diri: makan dilakukan meliputi asupan nutrisi. Implementasi ini dilakukan selama 6 hari (tanggal 26-31 Mei 2014).

Diagnosa keperawatan kedua adalah kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial. Intervensi yang dilakukan untuk mencapai tujuan keseimbangan vaolume cairan adekuat adalah dengan manajemen elektrolit, manajemen cairan, dan terapi intravena. Manajemen elektrolit meliputi pembatasan asupan natrium, dan pemantauan kadar elektrolit darah. Manajemen cairan meiputi pembatasan asupan cairan, pemantauan intake dan ouput cairan tubuh setiap hari, dan pengukuran lingkar perut dan pitting edema setiap hari. Selain manajemen cairan dan elektrolit dilakukan juga intervensi kolaborasi pemberian diuretic intravena. Manajemen elektrolit, manajemen cairan, dan terapi intravena ini dilakukan pada pasien setiap hari selama 6 hari (tanggal 26-31 Mei 2014).

Diagnosa keperawatan ketiga yang didapatkan pada saat pengkajian dilakukan yaitu hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati.

Intervensi untuk mencapai suhu tubuh normal dilakukan dengan pemantauan termoregulasi, pemantauan tanda-tanda vital, dan pemberian antipiretik.

Pemantauan termoregulasi dilakukan dengan pemantauan asupan cairan tubuh dan pemberian kompres air hangat. Pemantauan tanda-tanda vital dilakukan dengan pemantauan suhu tubuh setiap 2 jam, sebelum dan sesudah dilakukan kompres air hangat, atau sebelum dan sesudah pemberian antipiretik. Selain termoregulasi dan tanda-tanda vital dilakukan juga intervensi kolaborasi pemebrian antipiretik.

Implementasi ini dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014, 27 Mei 2014, dan 29 Mei 2014.

3.6 Evaluasi

Setelah 6 hari dilakukan intervensi keperawatan pada pasien maka dilakukan evaluasi akhir pada tanggal31 Mei 2014. Sejak pengkajian tanggal 26 Mei sampai dengan evaluasi akhir tanggal 31 Mei ada 3 diagnosa utama yang ditemukan pada pasien yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal, kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial, dan hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati. Selama 6 hari perawatan ditemukan juga diagnosa keperawatan lainnya dan dilakukan intervensi akan tetapi tidak dilakukan pendokumentasian dan pelaporan dalam laporan penelitian ini.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal adalah manajemen gangguan makan, manajemen elektrolit, manajemen nutrisi, dan perawatan diri: makan.

Implementasi dilakukan setiap hari selama 6 hari (tanggal 26-31 Mei 2014).

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien pasien mengalami peningkatan lingkar lengan sebanyak 1 cm, peningkatan aktivitas dan kondisi klinis, keluhan mual berkurang, peningkatan porsi makan, dan peningkatan kadar Hb dan albumin darah. Diagnosa teratasi sebagian karena pasien menunjukkan peningkatan status nutrisi akan tetapi masih mengalami malnutrisi.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan intravaskular ke intertisial adalah manajemen cairan, manajemen elektrolit, dan pemberian terapi intravena.

Implementasi dilakukan setiap hari selama 6 hari rawat tanggal 26-31 Mei 2014.

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien mengalami penurunan lingkar perut 17

Universita s Indone sia

cm dan edema tungkai berkurang. Asites dan edema tungkai masih ada. Pasien juga mengatakan keluhan haus berkurang dan sudah dapat membatasi asupan cairan. Diagnosa keperawatan ini teratasi sebagian karena pasien menunjukkan perbaikan volume cairan tubuh adekuat akan tetapi masih mengalami kelebihan volume cairan tubuh.

Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa keperawatan hipertemia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis hati adalah dengan pemantauan termoregulasi, tanda-tanda vital dan pemberian antipiretik. Implementasi ini dilakukan pada tanggal 26 Mei 2014, 27 Mei 2014, dan 29 Mei 2014. Evaluasi implementasi menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal 36,70C. Diagnosa keperawatan ini teratasi karena pasien menunjukkan suhu tubuh normal 36,70C.

Akan tetapi karena proses inflamasi sirosis hati masih berlangsung maka hipertemia berulang masih mungkin terjadi.

1.5. Profil Lahan Praktik

Rumah sakit pusat angkatan darat (RSPAD) Gatot Subroto merupakan rumah sakit rujukan pusat nasional khusus angkatan darat RI. RSPAD didirikan dengan visi menjadi rumah sakit kebanggaan prajurit. Misi utama RSPAD adalah menyelenggarakan fungsi perumahsakitan tingkat pusat dan rujukan tertinggi bagi rumah sakit TNI AD dalam rangka mendukung tugas pokok TNI AD. Upaya yang dilakukan untuk mencapai visinya, RSPAD menyelenggarakan pelayan medik dalam bentuk pelayanan 24 jam, pelayanan poliklinik spesialis dan sub spesialis, dan pelayanan rawat inap. Pelayanan medis 24 jam yang diberikan adalah ambulance, apotik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, bank darh, dan pelayanan instalansi gawat darurat. Pelayanan poliklinik spesialis dan sub spesialis yang diberikan adalah poliklinik anak, poliklinik bedah, poliklinik obstetri dan gynekologi, poliklinik penyakit dalam, poliklinik gigi dan mulut, poliklinik gizi, poliklinik ginjal, poliklinik kulit dan kelamin, poliklinik jantung, poliklinik kedoktera nuklir, poliklinik mata, poliklinik kesehatan jiwa, poliklinik rehabilitasi medik, poliklinik syaraf, poliklinik THT dan poliklinik paru.

Pelayanan rawat inap diberikan berdasarkan kelas dan fasilitas penunjang rawat inap tersebut. Pelayanan rawat inap dibagi menjadi kelas VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Ruang perawatan inap dibagi menjadi perawatan umum, perawatan bedah, perawatan paru, perawatan anak, perawatan jiwa, perawatan jantung, perawatan obstetri dan gynekologi, unit stroke, dan kamar perawatan intensiv atau ICU.

1.6. Analisis Masalah Keperawatan Dengan Konsep Terkait KKMP dan Konsep Kasus Terkait

4.2.1 Sirosis hati alkaholik

Tn. Y (47 tahun) mengalami sirosis hati sejak Februari 2013. Sirosis hati yang dialami pasien merupakan sirosis hati alkaholik. Sirosis hati alkaholik merupakan

Universita s Indone sia

sirosis hati yang disebabkan oleh kebiasaan konsumsi alkohol. Berdasarkan hasil pengkajian anamnesa pasien mengatakan memiliki kebiasaan konsumsi alkohol sejak usia 20 tahun. Kebiasaan konsumsi alkohol ini meningkat ketika pasien mulai berpindah dari daerah asal pasien yaitu Ambon ke tempat kerja pasien di Kota Sorong, Papua. Konsumsi alkohol merupakan salah satu kebiasaan yang umum ditemukan pada masyarakat perkotaan yang menjadi penyebab utama terjadinya sirosis hati. Dampak dari meningkatnya kebiasaan konsumsi alkohol pada masyarakat perkotaan yaitu meningkatnya angka kejadian sirosis hati alkaholik. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan WHO pada tahun 2012 bahwa 50% kasus sirosis hati merupakan kasus sirosis hati alkaholik. Sirosis hati alkaholik ini ditemukan paling banyak pada laki- laki dengan usia produktif dengan angka kejadian 52,7 laki- laki per 100.000 populasi di Indonesia (WHO, 2014)

Selain faktor risiko kebiasaan konsumsi alkohol yang ditemukan pada pasien, riwayat hepatitis B juga merupakan faktor risiko penyebab terjadinya sirosis hati.

Berdasarkan hasil anamnesa pasien mengalami hepatitis B sejak 3 tahun lalu, kemudian mengalami sirosis hati sejak Februari 2013. Hepatitis B merupakan faktor risiko utama dari komplikasi penyakit hati yang menyebabkan sirosis hati.

Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan di Indonesia yaitu dari 13 juta penderita hepatitis B 50% diantaranya mengalami sirosis hati sebagai komplikasi jangka panjang. Peningkatan angka kejadian hepatitis pada masyarakat perkotaan juga meningkat sebesar 125% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).

4.2.2 Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh a. Analisis data

Keluhan utama yang dialami pasien dengan sirosis hati yaitu penurunan berat badan akibat rasa mual. Keluhan utama ini juga ditemukan pada kasus Tn. Y. Tn. Y mengeluhkan adanya rasa mual yang memberat sejak 1 bulan sebelum dirawat. Keluhan mual dan penurunan nafsu makan ini menyebabkan Tn. Y mengalami penurunan berat badan. Berdasarkan hasil

pengkajian teraba hati membesar, terdapat nyeri tekan epigastrium, dan perbesaran abdomen akibat asites. Perbesaran hati yang dialami klien merupakan manifestasi klinis dari perlemakan hati klien. Perbesaran hati akan mendorong lambung sehingga pasien mengeluhkan rasa mual. Rasa mual yang dialami pasien menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Pasien mengatakan hanya dapat menghabiskan makanan ¼ - ½ porsi makan saja.

Penuruanan asupan nutrisi tersebut mengakibatkan penurunan berat badan pasien sela 3 bulan terakhir. Keluhan mual dan penurunan nafsu makan yang umumnya terjadi menyebabkan malnutrisi pada pasien sirosis hati. Hal ini juga terjadi Tn. Y. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan data IMT 19,48 kg/m2, dan lingkar lengan atas 24.7 cm (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Pasien dengan sirosis hati pada umumnya juga mengalami perubahan nilai Hb dan albumin. Perubahan biokimia darah ini juga terjadi pada Tn.Y. Hasil pemeriksaan diagnostik laboratoium darah menunjukkan nilai Hb 8.5 g/dL (normal: 13-18 g/dL). Kondisi anemis juga dapat dilihat dari konjungtiva Tn.Y yang pucat dan kelelahan yang dirasakan. Kondisi anemis ini dapat disebabkan oleh penurunan asupan nutrisi yang terjadi akibat penurunan nafsu makan. Selain itu anemia juga dapat terjadi karena kerusakan fungsi hati sehingga menyebabkan defisiensi asam folat dan zat besi yang menjadi bahan penting pembentukan sel darah merah. Kerusakan fungsi hati yang berat dapat menyebabkankan hati melakukan destruksi hemoglobin dalam jumlah besar sehingga menyebabkan kondisi anemia. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai hemoglobin dan peningkatan nilai bilirubin dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Selain mengalami penurunan nilai hemoglobin, pasien dengn sirosis hati juga mengalami penurunan nilai albumin. Pasien Tn. Y mengalami penurunan albumin yang signifikan yaitu 2.4 g/dL (normal: 3.5-5.0 g/dL).

Universita s Indone sia

Penurunan nilai albumin ini dapat terjadi akibat penurunan asupan nutrisi yan disebabkan oleh penurunan nafsu makan. Akan tetapi pada umumnya penyebab utama penurunan nilai albumin pada pasien sirosis hati adalah kerusakan fungsi metabolisme protein hati. Albumin merupakan serum utama dalam plasma darah. Albumin memenuhi 60% jumlah serum darah.

Albumin merupakan hasil metabolisme protein yang dibentuk didalam retikulum endoplasma pada sel hati. Kerusakan hati yang berat menyebabkan penurunan produksi serum albumin (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

b. Implementasi

Implementasi yang dilakukan pada Tn.Y selama 6 hari perawatan adalah manajemen gangguan makan, manajemen nutrisi, manajemen elektrolit, dan perawatan diri: makan. Implementasi manajemen nutrisi yang dilakukan meliputi mengkaji status nutrisi dengan antropometri, status biokimia darah, kondisi klinis, dan terapi diet yang diterima. Pengkajian antropometri dilakukan dengan pemantauan lingkar lengan atas setiap hari. pemantauan dilakukan dengan mengukur lingkar lengan atas karena dianggap lebih akurat dari pada pemantauan berat badan klien. Nilai lingkar lengan atas hanya dipengaruhi oleh status nutrisi pasien, sedangkan nilai berat badan pasien dipengaruhi status nutrisi dan status cairan pasien sehingga tidak akurat untuk menilai status nutrisi (Wilkinson, 2012).

Pemeriksaan biokimia darah dilakukan untuk mengetahui nilai albumin dan hemoglobin dalam darah. Pemantauan nilai albumin dan hemoglobin diperlukan sebagai indikator peningkatan status nutrisi. Peningkatan nilai hemoglobin dan albumin dapat terjadi karena peningkatan asupan nutrisi adekuat. Pemantauan nilai hemoglobin dapat meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh sehingga energi yang diproduksi meningkat. Kesediaan energi yang adekuat dapat mendukung produktivitas kerja pasien.

Peningkatan nilai albumin juga menjadi indikator peningkatan status nutrisi

pasien. N ilai albumin normal akan mencegah perpindahan cairan intravaskular ke intertisial.

Manajemen perawatan diri: makan dilakukan meliputi pemantauan asupan nutrisi adekuat. Keluhan utama Tn.Y adalah penurunan nafsu makan, sehingga pemantauan asupan nutrisi dilakukan dengan memotivasi pasien memenuhi asupan nutrisi adekuat dengan porsi makan sedikit dan sering.

Pasien juga diberikan obat ondansentron untuk mengurangi rasa mual.

Ondansentron mengurangi produksi asam lambung yang menjadi penyebab timbulnya rasa mual. Motivasi pemenuhan asupan nutrisi dengan porsi sedikit dan sering dapat meningkatkan asupan nutrisi dan mengurangi rasa mual. Rasa mual dapat terjadi karena perbesaran hati atau asites yang mendorong lambung. Akibatnya timbul rasa ‘begah’ atau lambung terasa penuh. O leh karena makan dengan porsi sedikit dan sering dapat mengurangi rasa ‘begah’ tersebut. Cara kerja ondansentron mengurangi produksi asam lambung juga dapat mengurangi rasa mual pada pasien sirosis hati (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012;

Fowler, 2013).

c. Evaluasi

Evaluasi peningkatan status nutrisi dilakukan dengan pemeriksaan antropometri, biokimia darah, kondisi klinis, dan terapi diet. Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien pasien mengalami peningkatan nilai antropometri, nilai biokimia darah, kondisi klinis, dan asupan nutrisi adekuat. Nilai lingkar lengan meningkat sebanyak 1 cm dari nilai 24.7 cm menjadi 25.7 cm. Peningkatan nilai biokimia darah hemoglobin juga terlihat. N ilai hemoglobin meningkat dari nilai 8.5 g/dL menjadi 9.1 g/dL.

Nilai albumin darah juga meningkat dari nilai 2.4 g/dL menjadi 2.8 g/dL.

Peningkatan aktivitas dan kondisi klinis dapat dilihat pasien dapat melakukan aktivitas pemenuhan dasar secara mandiri. Keluhan mual berkurang sehingga terjadi peningkatan porsi makan. Pada awal pengkajian

Universita s Indone sia

pasien hanya mampu makan ¼ - ½ porsi makan, maka pada saat evaluasi pasien makan ½-1 porsi makan. Diagnosa teratasi sebagian karena pasien menunjukkan peningkatan status nutrisi akan tetapi masih mengalami malnutrisi.

4.2.3 Kelebihan volume cairan a. Analisis data

Penyebab utama diagnosa kelebihan volume cairan pada pasien sirosis hati disebabkan oleh perpindahan cairan intravaskular ke intertisial. Perpindahan cairan ini disebabkan oleh penurunan kadar albumin darah. Pada kasus Tn.Y didapatkan data nilai albumin 2.4 g/dL (normal: 3.5-5.0 g/dL). Albumin berfungsi untuk menjaga tekanan onkotik intravakular. Tekanan onkotik intravaskular ini adalah tekanan yang menjaga agar cairan di intravakular tidak pindah ke ekstravaskular. Akan tetapi akibat penurunan nilai albumin maka tekanan onkotik intravaskular menurun sehingga cairan intravaskular pindah ke intertisial. Perpindahan cairan intravaskular ke intertisial ini dapat dilihat pada asites dan edema tungkai. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik terdapat shifting dullnes pada abdomen Tn.Y dan edema tungkai tingkat 1.

Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan cairan intarvaskular ke intertisial sebagian besar mengisi rongga peritonial. Perpindahan cairan ini tidak terjadi pada rongga paru sehingga tidak ditemukannya edema paru yang ditandai oleh suara patologis paru (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan,

& Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Kelebihan volume cairan pada pasien sirosis hati juga dapat disebabkan karena kelebihan asupan cairan. Asupan cairan yang lebih dapat meningkatkan volume cairan intravaskular. Pasien sirosis hati yang mengalami penurunan nilai albumin darah akan terjadi perpindahan cairan intravaskular ke intertisial sehingga memperberat asites dan edema yang terjadi. Selain asupan cairan yang lebih dari kebutuhan tubuh, asupan natrium yang lebih dari kebutuhan tubuh juga menyebabkan retensi cairan di

intravaskular. Natrium didalam intravaskular akan mengikat air dan menyebabkan retensi cairan di intravaskular. Akan tetapi berdasarkan hasil pengkajian tidak ditemukan kelebihan asupan cairan tubuh maupun nilai natrium yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelebihan volume cairan pada Tn.Y terjadi di ruang intertisial akibat penurunan nilai albumin darah (Smeltzer & Bare, 2002; White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

Pada umumnya pasien dengan status cairan lebih dari kebutuhan tubuh akan mengalami peningkatan tekanan darah akibat peningkatan volume intravaskular. Akan tetapi hal ini tidak ditemukan pada kasus Tn.Y. Hasil pengukuran tekanan darah Tn.Y menunjukkan nilai 90/60 mmHg. Tn.Y mengalami penumpukan cairan di ruang intertisial sehingga mendapatkan diuretik. Perpindahan cairan dari intarvaskular ke intertisial bersamaan dengan efek pemberian diuretik ini dapat mengakibatkan penurunan volume cairan intravaskular. Penurunan cairan intravaskular secara cepat dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna (Smeltzer & Bare, 2002;

White, Duncan, & Baumle, 2012; Fowler, 2013).

b. Implementasi

Implementasi perbaikan volume cairan mengacu pada perbaikan status nutrisi pasien. Hal ini disebaban karena kelebihan volume cairan diintertisial disebabkan oleh penurunan kadar albumin darah. O leh sebab itu upaya perbaikan volume cairan tubuh harus dilakukan bersamaan dengan upaya perbaikan kadar albumin darah. Implementasi perbaikan volume cairan yang dilakukan adalah pemantauan status cairan dan pencegahan faktor risiko yang memperberat kelebihan volume cairan intertisial. Implementasi yang dilakukan adalah manajemen elektrolit, manajemen cairan, dan terapi intravena. Manajemen elektrolit meliputi pembatasan asupan natrium, dan pemantauan kadar elektrolit darah. Pembatasan natrium ini dilakukan dengan pembatasan asupan makan dari luar terapi diet yang diberikan di

Universita s Indone sia

ruang rawat. Pembatasan natrium ini bertujuan untuk mencegah retensi cairan di intravaskular. Pemantauan pembatasan natrium ini dilakukan dengan pemeriksaan kadar elektrolit darah. Manajemen cairan meliputi pembatasan asupan cairan, pemantauan intake dan ouput cairan tubuh setiap hari, dan pengukuran lingkar perut dan pitting edema setiap hari.

Pembatasan asupan cairan dilakukan tidak dengan mengurangi asupan cairan tubuh pasien. Akan tetapi dengan pemenuhan asupan cairan sesuai kebutuhan tubuh. Kebutuhan cairan Tn.Y sejumlah 2350 cc setiap hari, maka pasien dianjurkan memenuhi asupan cairan 2000-2350 cc setiap hari.

Pemantauan pembatasan asupan cairan ini dilakukan dengan pemantauan inteke output cairan dan pengukuran lingkar perut pasien setiap hari.

Pemantauan intake output dilakukan untuk menilai efektivitas terapi diuretik yang diterima pasien dan kepatuhan pasien terhadap pembatasan cairan.

Pemantauan intake dan output cairan ini juga diperlukan untuk menilai fungsi eliminasi haluaran urin. Pemantauan perbaikan status volume cairan dilakukan dengan pengukuran lingkar perut. Pengukuran lingkar perut efektif menilai perbaikan status volume cairan karena penumpukan volume cairan pasien terjadi dirongga peritonium. Selain manajemen cairan dan elektrolit dilakukan juga intervensi kolaborasi pemberian diuretic intravena (Wilkinson, 2012).

c. Evaluasi

Evaluasi akhir menunjukkan bahwa pasien mengalami penurunan lingkar perut 17 cm dan edema tungkai berkurang. Pasien masih mengalami asites akan tetapi pasien juga mengalami penurunan lingkar perut dari nilai 86 cm menjadi 69 cm. Penurunan lingkar perut ini menujukkan bahwa terjadi perbaikan volume cairan tubuh. Penurunan lingkar perut ini juga dipengaruhi oleh peningkatan kadar albumin darah. Peningakatan kadar albumin dapat menujukkan perbaikan tekanan onkotik intravaskular.

Perbaikan tekanan intravaskular ini menyebabkan cairan intravaskular tidak pindah ke intertisial sehingga volume cairan intravaskular dapat

dipertahankan. Volume cairan intravasular yang adekuat meningkatkan tekanan darah sehingga dari hasil pengukuran tekanan darah didapatkan nilai tekanan darah normal 110/70 mmHg. Asites dan edema tungkai masih ada. Pasien juga mengatakan keluhan haus berkurang dan sudah dapat membatasi asupan cairan. Diagnosa keperawatan ini teratasi sebagian karena pasien menunjukkan perbaikan volume cairan tubuh adekuat akan tetapi masih mengalami kelebihan volume cairan tubuh.

4.2.4 Hiperte rmia a. Analisis data

Pasien dengan kerusakan sel hati biasanya mengalami sakit kepala, pusing, dan hipertermia dengan keluhan menggigil. Berat atau ringannya keluhan hipertermia tergantung pada luas kerusakan hati. Hipertermia dapat terjadi akibat reaksi viremia virus hepatitis. Hipertermia pada sirosis hati biasanya

Pasien dengan kerusakan sel hati biasanya mengalami sakit kepala, pusing, dan hipertermia dengan keluhan menggigil. Berat atau ringannya keluhan hipertermia tergantung pada luas kerusakan hati. Hipertermia dapat terjadi akibat reaksi viremia virus hepatitis. Hipertermia pada sirosis hati biasanya

Dokumen terkait