• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VI Degradasi Sumber Daya Laut dan

6.3. Faktor Eksternal

Permintaan pasar yang cukup tinggi terhadap ikan napoleon dan kerapu.

Penurunan kondisi terumbu karang juga dapat disebabkan oleh pemanfaatan ikan penghuni terumbu karang dan biota lain sebagai ikan hias akuarium laut. Bisnis yang sangat menguntungkan ini, apabila tidak dilakukan dengan hati-hati dan dipantau secara terus-menerus akan menimbulkan ketidakseimbangan biologis. Hal ini karena semua makhluk yang mendiami suatu ekosistem, masing-masing mempunyai peranan yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain.

Di wilayah Kepulauan Ayau peningkatan pemanfaatan ikan karang khususnya ikan kerapu dan napoleon dimulai sejak tahun 1995, yaitu sejak beroperasinya pengusaha yang bertindak sebagai pedagang pengumpul. Semula penduduk lokal menangkap jenis ikan ini hanya untuk keperluan konsumsi sendiri bersama dengan jenis-jenis ikan yang lain. Karena penangkapan hanya untuk konsumsi keluarga, maka pemanfaatan jenis ikan karang seperti Napoleon dan Kerapu tidak mencapai jumlah besar. Sejak ada pedagang pengumpul dan para nelayan mengetahui bahwa dua jenis ikan tersebut bernilai ekonomi tinggi, maka hampir semua nelayan memprioritaskan diri untuk secara khusus menangkap ke dua jenis ikan ini. Penduduk juga mulai tidak mengkonsumsi ikan ini karena nilai jualnya tinggi, sehingga sayang kalau hanya

dimakan. Penduduk masih menangkap jenis ikan lainnya, tetapi hanya sebatas untuk konsumsi sehingga jumlahnya juga tidak begitu besar.

Permintaan pasar yang cukup tinggi dan keuntungan yang besar mengakibatkan jumlah pedagang pengumpul yang merupakan kepanjangan tangan perusahaan ini bertambah. Sampai dengan tahun 2001 terdapat tiga kelompok pedagang pengumpul yang masing-masing mempunyai induk perusahaan di Sorong. Salah satu pedagang pengumpul yang mulai beroperasi di Kampung Meos Bekwan pada tahun 1998, juga mempunyai ‘base camp’ lain di desa Rutum. Sementara itu, pedagang pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar juga mempunyai ‘base camp’ lain lagi di Kampung Reni. Ikan-ikan ini dikirim oleh eksportir ke Hongkong untuk memenuhi permintaan restoran-restoran bertaraf internasional. Setiap bulannya rata-rata sekitar 3 ton ikan napoleon dan kerapu dikirim ke Hongkong dari wilayah Kepulauan Ayau.

Dilihat dari segi ekonomi, permintaan yang cukup tinggi akan jenis ikan kerapu dan napoleon ini cukup menguntungkan bagi nelayan setempat. Sejak ada permintaan dan beroperasinya para pedagang pengumpul pendapatan nelayan meningkat cukup drastis dibandingkan sebelumnya. Pendapatan yang meningkat ini tentunya mempunyai implikasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Sebelum ada pedagang pengumpul, pendapatan para nelayan hanya tergantung pada eksploitasi segala macam jenis ikan yang dijadikan ikan asin atau ikan kering, ditambah lagi dengan berbagai komoditi sumber daya laut lain seperti kima dan gurita.

Walaupun secara ekonomi permintaan pasar yang tinggi ini memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan setempat, akan tetapi keuntungan ini tidak akan berlangsung lama kalau eksploitasi dilakukan secara besar-besaran dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah tehnik penangkapan yang tidak merusak lingkungan. Eksploitasi secara intensif dengan menggunakan tehnik penangkapan yang merusak lingkungan akan mengakibatkan ekosistem terumbu karang menjadi terganggu. Karena ekosistemnya terganggu maka ikan-ikan penghuni karang juga tidak dapat berkembang biak secara baik. Sudah terlihat tanda-tanda bahwa populasi kedua jenis ikan ini mulai menurun. Indikasinya adalah adanya keluhan dari para nelayan mengenai sulitnya mendapatkan kedua jenis ikan Kerapu dan Napoleon pada akhir-akhir ini.

Untuk kompensasi terhadap sumber daya laut, khususnya napoloen dan kerapu yang dieksploitasi dari wilayah Kepulauan Ayau, masyarakat lokal yang diwakili oleh ketua adat dan perangkat desa telah menentukan adanya retribusi terhadap pengumpulan dua jenis ikan ini. Retribusi ini dibebankan kepada pengusaha pengumpul yang diwajibkan untuk membayar sebesar Rp 5.000 per kg ikan yang telah dikumpulkan pada saat ‘loading’ ikan. Uang retribusi ini diserahkan kepada majelis gereja dengan sepengetahuan kepala desa. Penggunaan uang tersebut dilakukan secara musyawarah, diantaranya adalah dipakai untuk perbaikan sarana ibadah, sarana sosial lain, atau dapat dipinjam oleh warga yang memerlukan tanpa membayar bunga.

Konflik kepentingan antar stakeholders

Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa nelayan lokal telah mempunyai kesadaran yang relatif tinggi untuk mengelola dan memelihara sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Mereka umumnya sangat menyadari bahwa pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang perlu dilakukan untuk menjaga dari kepunahan. Bagi nelayan lokal termbu karang adalah sebagai sumber kehidupan,

76

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

karenanya mereka sadar jika terumbu karang sampai rusak maka masa depan kehidupannya akan tidak terjamin.

Menyadari bahwa kondisi terumbu karang harus dijaga kelestariannya supaya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan maka dalam memanfaatkan sumber daya laut nelayan lokal umumnya tidak menggunakan teknologi yang sifatnya merusak lingkungan, seperti potas dan bom. Sampai saat ini para nelayan hanya menggunakan perahu tanpa motor dan alat tangkap sederhana seperti pancing, panah dan tombak.

Meskipun nelayan lokal tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan dan berusaha menjaga terumbu karang dan ekosistemnya dari kepunahan, tetapi ada pihak-pihak luar yang justru memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau sebagai ‘fishing ground’ dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah teknologi penangkapan yang tidak merusak lingkungan. Pihak-pihak luar tersebut diantaranya adalah sekelompok nelayan yang berasal dari luar daerah (bahkan luar propinsi). Mereka melakukan operasi secara berkelompok dengan ‘juragan’ yang bertindak sebagai pemberi modal. Satu kelompok terdiri dari sekitar 8-10 orang nelayan. Tidak seperti nelayan lokal yang umumnya hanya menggunakan kapal tanpa motor dan alat tangkap sederhana, kelompok nelayan dari luar tersebut dalam beroperasi menggunakan kapal motor yang relatif besar (rata-rata di atas 60 PK) dan peralatan tangkap yang ‘modern’ seperti kompresor dan alat selam lainnya. Mereka juga menggunakan bom dan sianida untuk menangkap ikan. Selain kelompok nelayan tersebut, pihak luar yang memanfaatkan perairan Kepulauan Ayau dengan menggunakan kapal besar dan peralatan tangkap yang modern, seperti jaring yang menyerupai pukat harimau adalah para nelayan dengan berbagai armada kapal milik perusahaan penangkap ikan yang umumnya mempunyai ‘base camp’ di Sorong. Armada dari berbagai perusahaan besar ini umumnya mencari ikan-ikan permukaan (pelagis) seperti cakalang dan tuna.

Daerah operasi kelompok nelayan dan armada kapal milik perusahaan penangkapan ikan ini pada umumnya terletak di perbatasan antara sebaran terumbu karang yang merupakan wilayah yang hanya boleh dimanfaatkan nelayan Kampung Meosbekwan dan sebaran terumbu karang yang ada di laut bebas. Perselisihan dengan nelayan lokal sering terjadi karena kelompok nelayan ini sering masuk ke wilayah penangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan potas dan bom. Tidak jarang terjadi nelayan lokal beramai-ramai mengejar dan mengusir kapal milik kelompok nelayan tersebut supaya ke luar dari wilayah tangkapannya. Namun apabila para nelayan pulang kembali ke desa, kelompok nelayan tersebut kembali lagi ke wilayah tangkapan nelayan lokal dan menangkap ikan dengan menggunakan bom dan potas. Diantara kelompok nelayan luar tersebut ada beberapa kelompok yang dalam beroperasi melengkapi diri dengan senjata api. Ketika nelayan lokal berusaha mengusir mereka langsung mengeluarkan senjata apinya untuk menakut-nakuti nelayan lokal. Untuk melawan kelompok nelayan luar ini nelayan lokal hanya melempari mereka memakai batu hingga kapal ke luar dari wilayah tangkapan nelayan lokal. Pernah terjadi kasus di mana nelayan lokal secara ramai-ramai bisa menangkap kapal para nelayan luar tersebut dan melaporkannya ke pemerintah Kecamatan Waigeo Utara. Namun, karena belum ada aturan dan kewenangan yang jelas untuk mengusut lebih lanjut, akhirnya para nelayan yang telah dianggap melanggar peraturan dilepas lagi oleh pemerintah kecamatan dan sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.

Dalam jangka panjang konflik antara nelayan lokal dan pendatang yang sudah lama terjadi ini apabila tidak ada penyelesaiannya akan mempunyai dampak pula pada kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan wilayah perairan yang menjadi wilayah tangkapan nelayan Kampung Meosbekwan,

pada khususnya. Hal itu terjadi apabila nelayan lokal yang sekarang ini telah mempunyai kesadaran untuk tetap menjaga kondisi terumbu karang dengan mengelolanya secara baik melalui penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan menjadi kesal dan marah. Mereka akan berpikir untuk apa mereka bekerja keras menjaga terumbu karang dan ekosistemnya tersebut apabila nelayan luar terus -menerus merusaknya. Rasa kesal dan marah nelayan lokal ini lama kelamaan akan mempengaruhi perilakunya. Mereka akan berpikir dengan tetap konsisten menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan supaya terumbu karang tidak rusak mereka tidak mendapat apa-apa. Sementara itu, kerusakan terumbu karang terus terjadi karena tetap beroperasinya nelayan luar dengan menggunakan bom dan potas. Dengan kondisi sedemikian, bukan tidak mungkin nelayan lokal lama-kelamaan akan ikut menggunakan bom dan potas supaya hasil tangkapan mereka bisa banyak dan memberikan keuntungan yang besar. Perubahan perilaku nelayan lokal ini dimungkinkan terjadi apabila nelayan lokal mulai bisa mengusahakan kapal motor dan kompresor. Hal tersebut dikarenakan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal motor yang dilengkapi kompresor umumnya pasti memakai potas/sianida untuk membuat ikan mabuk sehingga dengan mudah ditangkap. Penyelaman dengan menggunakan kompresor bisa mencapai kedalaman lebih dari 25 meter di mana populasi ikan lebih banyak. Dengan hanya menggunakan akar bore untuk membuat ikan mabuk dianggap tidak efisien karena efek racun dari akar bore untuk membuat ikan mabuk tidak secepat racun sianida/potas.

Peraturan dan penegakan hukum

Sumber hukum utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang yang berlaku di tingkat pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten adalah Undang-undang perikanan (UU No 9/1985), Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumber daya hayati dan undang-undang no 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam undang-undang perikanan No 9/1985 secara jelas disebutkan dalam pasal 6 ayat 1 bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan-ikan dengan menggunakan bahan-bahan dan alat atau alat yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Selanjutnya dalam pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya. Sanksi hukum akibat pelanggaran undang-undang adalah penjara selama-lamanya 10 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,. Berkaitan dengan penangkapan ikan Kerapu, Ikan Karang, Lobster izin diterbitkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten berdasarkan SK Mentri Pertanian No 509/KPTS/IK/120/J/95 jo SK Dirjen Perikanan no 1251/KPTS/KL 420/II/98. Dalam izin tersebut disebutkan tentang larangan penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk menangkap ikan. Peralatan tangkap yang diperbolehkan adalah peralatan tradisional seperti pancing, bubu dan Gill net. Di samping itu, dalam operasi penangkapan tersebut dilakukan dengan cara kerjasama kemitraan antara nelayan tradisional (plasma) dan perusahaan (inti) yang mengacu pada Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Dalam hal ini penangkapan ikan hanya boleh dilakukan oleh nelayan tradisional dan tidak dibenarkan oleh perusahaan.

78

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

Peraturan mengenai izin penangkapan ikan napoleon mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: HK.330/DJ.8259/95 jo nomor; HK.330/DJ.663/96 tentang ukuran lokasi dan tata cara penangkapan ikan napoleon. Izin penangkapan ini dikeluarkan dengan persyaratan bahwa dalam pelaksanaannya harus dilakukan kerjasama pola kemitraan (pola PIR) antara perusahaan (Inti) dan kelompok nelayan (Plasma), dimana perusahaan diberikan izin pengumpulan lokal dan kelompok nelayan tradisional diberikan izin penangkapan. Lebih lanjut dalam izin tersebut juga disebutkan bahwa perusahaan diwajibkan melakukan pembudidayaan ikan napoleon di lokasi pengumpulan.

Pada tingkat kecamatan larangan tentang penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya dalam menangkap ikan ditindaklanjuti dengan dibuatnya surat edaran camat. Dalam surat edaran camat No 300/329/98 tertanggal 18 Nopember 1998 secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang menangkap ikan dengan menggunakan potasium, akar tuba dan bahan peledak lainnya. Surat edaran tersebut disebarkan ke desa-desa melalui perangkat desa.

Di Kampung Meosbekwan perusahaan pengumpul (inti) mulai beroperasi pada tahun 1998. Sebelumnya tahun 1998, para nelayan (plasma) menjual ikan-ikan hasil tangkapannya ke perusahaan pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar. Sampai sejauh ini belum terlihat adanya pelanggaran penggunaan izin. Perusahaan hanya melakukan pengumpulan saja (tidak mempunyai armada tangkap serta tidak melakukan penangkapan) dan penangkapan tetap dilakukan sepenuhnya oleh nelayan tradisional setempat. Mengenai penggunaan peralatan tangkap dijelaskan secara tegas dalam surat ijin bahwa penggunaan racun dilarang namun dalam prakteknya para nelayan tradisional melakukan penangkapan ikan Napoleon dengan menggunakan akar bore (sejenis racun) dari tumbuh-tumbuhan.

Hasil survai mengenai penggunaan alat tangkap menunjukkan bahwa seratus persen responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah menggunakan racun atau sejenis racun (termasuk akar tuba) untuk menangkap ikan. Namun dalam wawancara mendalam terungkap bahwa pada umumnya para nelayan tetap menggunakan akar

bore untuk menangkap ikan Napoleon. Walaupun mereka menyadari bahwa akar bore

mempunyai efek yang kurang lebih sama dengan racun dan seharusnya tidak dipakai dalam menangkap ikan akan tetapi karena mereka tidak mempunyai alternatif cara menangkap dengan alat lain maka pelanggaran itu tetap dilakukan.

Penegakan hukum yang masih lemah

Meskipun berbagai peraturan telah dikeluarkan tetapi dalam implementasi penegakan hukum menemui banyak kendala. Salah satu kendala tersebut adalah adanya tumpang tindih mengenai kewenangan melakukan penyidikan apakah polisi ataukah pegawai negeri sipil dan angkatan laut. Hal tersebut dikarenakan dalam peraturan undang-undang perikanan disebutkan bahwa yang mempunyai kewenangan menyidik adalah pegawai negeri sipil atau angkatan laut. Sementara itu kalau disidik oleh pegawai negeri sipil atau angkatan laut, jaksa tidak dapat menindaklanjuti karena kewenangan penyidikan di sistim hukum Indonesia adalah polisi.

Selain kendala tumpang tindihnya peraturan yang bersifat umum, terdapat kendala tehnis di lapangan seperti luasnya sebaran terumbu karang yang harus diawasi. Wilayah sebaran terumbu karang di Kepulauan Ayau sangat luas dan letaknya terpencil (cukup jauh dari kota kecamatan dan kabupaten). Sarana transportasi untuk ke daerah

ini sangat minim ditambah lagi kondisi alam yang kadang-kadang tidak bersahabat, misalnya ombak besar pada musim-musim tertentu mengakibatkan sulitnya melakukan pengawasan.

Mencermati permasalahan dan kendala yang ada dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak berwajib maka salah satu sistem pengawasan yang cukup efektif dan efisien adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal Kampung Meosbekwan pada khususnya dan Kepulauan Ayau pada umumnya, saat ini relatif telah mempunyai kesadaran untuk melakukan pengawasan terhadap pelanggaran penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak lingkungan. Masyarakat sering melawan dan mengusir nelayan luar yang melakukan penangkapan dengan menggunakan bom dan potas untuk menangkap ikan. Namun, banyak kendala yang dihadapi oleh masyarakat lokal dalam melakukan pengawasan tersebut. Salah satu kendalanya adalah sarana dan peralatan yang dimiliki oleh masyarakat lokal masih sangat tradisional, umumnya hanya menggunakan perahu tanpa motor atau perahu motor berkekuatan kecil. Sementara para nelayan luar yang melakukan pelanggaran tersebut menggunakan kapal motor berkekuatan besar dan para nelayan tersebut kadang-kadang juga melengkapi diri dengan senjata api. Ketimpangan teknologi yang dimiliki antara nelayan tradisional dan para nelayan luar yang melakukan pelanggaran ini saat ini menjadi kendala besar. Masyarakat lokal menjadi tidak berdaya untuk mengejar dan mengusir nelayan luar yang melakukan pelanggaran tersebut.

81 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Bab VII