• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Pengelolaan Sumberdaya Laut

3.4. Teknologi Pengelolaan

Teknologi pengelolaan diartikan sebagai alat-alat yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya laut. Alat-alat yang dimaksud adalah: (1) alat tangkap, yang secara langsung dipakai untuk menangkap sumberdaya; (2) alat bantu tangkap; yang digunakan untuk membantu mengoptimalkan alat tangkap.

Data survai menunjukkan bahwa alat tangkap yang dimiliki oleh semua responden adalah aria (penangkap cacing laut) dan arsyam (penangkap gurita). Kedua alat ini dapat dikatakan sebagai alat yang spesial digunakan oleh kaum perempuan, terutama para ibu, karena kedua jenis sumberdaya itu relatif mudah untuk ditangkap. Cacing laut ditangkap pada saat air laut surut, yaitu pada wilayah gosong pasir, sedangkan gurita juga pada waktu air surut namun pasir masih terendam air.

Aria terbuat dari batang kayu yang pada ujungnya dibentuk semacam celah

untuk menjepit, sedangkan arsyam terbuat dari kawat berjumlah tiga sampai empat dan pada ujungnya dibuat semacam kait. Aria digunakan dengan cara menekan ke dalam pasir, sampai kemudian cacing terjepit oleh jepitan yang ada pada bagian ujung alat, sementara arsyam digunakan persis seperti tombak, yaitu dengan cara menancapkan ujung alat pada bagian tubuh gurita. Selanjutnya rincian pemilikan teknologi pengelolaan yang dimiliki oleh masyarakat Meosbekwan dapat dilihat seperti tabel di bawah ini.

39 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Tabel 3.6.

Pemilikan Teknologi Pengelolaan Masyarakat Meosbekwan (N=35) No

.

Nama Alat Jenis Alat Jenis SDL yg

ditangkap/penggunaan

Jml Pemilikan(%)

1 Akar bore Alat tangkap Napoleon -

2 Pancing Alat tangkap Kerapu dan berbagai

jenis ikan

91,4

3 Kalawai Alat tangkap Lobster 34,3

4 Jaring Alat tangkap Berbagai jenis ikan

permukaan

5,8

5 Arsyam dan

arial

Alat tangkap Ikan gurita dan cacing

laut

31,4

6 Senapan

molo

Alat tangkap Berbagai jenis SDL

demersal

77,8

7 Kaca molo Alat bantu

tangkap

Penyelaman sewaktu me-nangkap ikan Napoleon dan Lobster dan SDL lainnya

17,1

8 Bubu Alat tangkap Berbagai jenis ikan 2,9

Sumber: Penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001

Jika para ibu di Meosbekwan memiliki alat tangkap utama arsyam dan aria, maka para Bapak memiliki akar bore, pancing dan jerat. Ketiga alat itu berturut-turut digunakan untuk menangkap sumberdaya laut ikan Napoleon, Kerapu dan udang Batu/Lobster. Uraian selanjutnya akan difokuskan pada alat tangkap akar bore dan jerat, sementara alat tangkap pancing hanya disinggung selintas, sebab alat ini tidak spesifik daerah, melainkan sangat umum digunakan oleh nelayan di berbagai tempat.

Bagi nelayan ketiga jenis sumberdaya tersebut yang menjadi perhatian mereka sehari-hari dalam “mencari”. Ini didasarkan pada pada tingginya nilai jual tiga jenis sumber daya laut tersebut. Jika dalam sekali melaut seorang nelayan memperoleh tiga ekor Napoleon, maka sudah dapat dipastikan paling sedikit akan memperoleh penghasilan sebesar Rp 100.000,00. Oleh karena itu pula dari ketiga sumberdaya tadi, Napoleon merupakan sumber penghasilan yang paling utama masyarakat Meosbekwan dan Kepulauan Ayau. Jenis ikan ini tidak mengenal musim, jadi setiap saat dapat ditangkap, harganya paling tinggi dan yang paling pokok mudah memasarkannya, karena pembeli ada di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Satu hal lagi keunggulan Napoleon adalah, memiliki daya tahan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan ikan Kerapu maupun Lobster.

Dari tabel di atas tidak tampak adanya pemilikan akar bore, sebab akar tuba ini memang “tidak milik siapa-siapa”, dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga, tersedia banyak dan hidup di berbagai tempat di luar Pulau Meosbekwan (Pulau Runi yaitu di Kam pung Dorekhar dan Yenkawir). Dari hasil survai tidak terekam adanya penggunaan akar bore untuk menangkap Napoleon. Tampak ada keengganan dari masyarakat untuk mengaku menggunakan, sebab mereka tahu bahwa penggunaan akar bore menyalahi peraturan. Akan tetap i, dari wawancara dengan berbagai informan diperoleh pengetahuan bahwa, akar bore merupakan alat tangkap pertama yang mereka kenal dan sudah dipakai sejak nenek moyang mereka. Dalam perkembangannya, ternyata akar bore sangat cocok digunakan untuk menangkap Napoleon. Dengan ukuran yang tepat, akar bore hanya menjadikan Napoleon pingsan, dan beberapa saat kemudian akan segar kembali. Itulah sebabnya keramba/apolo menjadi sangat penting, karena di sinilah Napoleon disegarkan dulu sebelum dijual hidup kepada pedagang.

Persoalannya adalah kenapa harus menggunakan akar bore, padahal dengan pancing pun bisa dan akar bore dikategorikan oleh pemerintah sebagai alat tangkap yang diduga dapat merusak kelestarian terumbu karang? Jawaban yang mereka kemukakan adalah: bila Napoleon ditangkap dengan pancing, maka akan terluka dan Napoleon sangat rentan terhadap luka, sehingga kemungkinan dapat bertahan hidup menjadi kecil. Di samping itu, menangkap dengan pancing membutuhkan waktu yang lebih lama, sebab Napoleon bukanlah jenis ikan yang rakus untuk memangsa umpan. Jawaban mereka sangat rasional dan didasari oleh pemikiran ekonomi, yaitu: “dengan waktu singkat memperoleh hasil maksimal”.

Jika di kemudian hari, akar bore dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; yakni dapat merusak terumbu karang, maka sebuah tantangan besar bagi teknisi alat tangkap untuk merancang alat tangkap Napoleon yang ramah lingkungan, paling tidak memenuhi unsur-unsur efektifitas, mudah dan murah, seperti halnya akar bore.

Proses pembuatan akar bore sangat sederhana dan murah. Akar bore diperoleh dengan cuma-cuma, yakni dengan cara mencabut pohon bore yang tumbuh di kebun-kebun mereka, kemudian ditumbuk dengan batu atau benda keras lainnya sampai hancur. Langkah selanjutnya adalah mencampur tumbukan tadi dengan air, lalu diaduk atau diremas-remas. Campuran inilah yang digunakan untuk menangkap ikan Napoleon, setelah disaring dan dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik.

Dengan cara menyelam (membutuhkan alat bantu kaca molo), cairan akar bore tersebut ditaburkan pada muka lubang karang tempat ikan Napoleon berlindung. Namun perlu memperoleh catatan khusus, bahwa tidak setiap karang ditaburi, berdasarkan dugaan di dalamnya ada ikan Napoleon, melainkan karang yang sungguh-sungguh diketahui ada ikan Napoleon yang berlindung.

Hanya dibutuhkan sepuluh menit dari saat penaburan sampai ikan Napoleon tidak berdaya. Pada saat inilah waktu yang tepat bagi nelayan untuk segera mengangkatnya dan menempatkan pada tempat yang telah disediakan. Setelah mereka merasa cukup “mencari” hasil tangkapan segera dipindahkan ke dalam keramba/apolo. Tempat ini berfungsi sebagai karantina, yaitu untuk memulihkan kesegaran ikan bersangkutan. Waktu yang digunakan untuk menyegarkan kembali ikan Napoloen paling lama satu minggu. Setelah satu minggu ikan Napoleon sudah siap ditransaksikan dengan pembeli.

Alat tangkap lain yang spesifik adalah jerat. Alat tangkap ini khusus digunakan untuk menangkap udang Batu/Lobster. Oleh karena jerat dioperasikan pada malam hari, maka dibutuhkan alat bantu tangkap berupa kaca molo dan lampu senter dengan daya 7 volt (enam baterai). Penjeratnya sendiri dibuat dari tali yang kuat namun lentur. Kedua ujung tali dibuat lingkaran yang masing-masing ujungnya diikat pada batang kayu sepanjang satu meter. Tali penjerat direkayasa agar dapat diulur dan dikerutkan, sehingga lingkaran yang dibentuk dapat mengecil dan membesar sesuai dengan ukuran lobster yang hendak ditangkap. Tali jerat yang dapat bergerak secara fleksibel itu dimaksudkan juga berfungsi mengikat/menjerat badan lobster pada saat batang penjerat ditarik.

Cara pengoperasiannya sederhana saja. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh nelayan adalah menyelam sambil melihat-lihat keberadaan Lobster dengan bantuan cahaya lampu senter. Andaikata Lobster telah diketemukan, maka dengan sangat hati-hati tali jerat diseret pada tempat lobster berada dari arah kepala ke ekor. Ketika setengah dari badan lobster masuk ke tali penjerat, batang penjerat ditarik dengan cepat. Kini Lobster telah terikat kuat, dan siap diangkat dan ditaruh dalam kotak.

41 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Hasil tangkapan berupa lobster tidak dapat dengan segera dipasarkan, karena pembeli hanya ada di Sorong. Dengan demikian harus menunggu waktu yang tidak tentu, sampai tiba saatnya ada anggota masyarakat pergi ke Sorong.

Sumberdaya ikan Kerapu paling banyak ditangkap oleh masyarakat, karena populasinya masih cukup tinggi di perairan Kepulauan Ayau. Di samping itu Kerapu relatif mudah ditangkap dengan pancing. Akan tetapi, kelemahan utama ikan jenis ini adalah mudah mati, karena rentan terhadap luka dan memiliki ambang stress yang tinggi, sehingga perubahan tempat jadi masalah bagi ikan ini.