• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Pengelolaan Sumberdaya Laut

3.2. Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut 1. Pengetahuan Tentang Terumbu Karang

3.2.3. Pengetahuan Tentang Peraturan Berkaitan Dengan Sumber Daya Laut

Sejalan dengan pengetahuan responden mengenai alat tangkap yang merusak terumbu karang di atas, responden juga memiliki pengetahuan yang signifikan terhadap peraturan pelarangan penggunaan bom, sianida/akar bore dan pukat harimau. Hampir semua responden (94 persen) mengetahui adanya larangan penggunaan bom dan 83 persen mengatakan mengetahui larangan penggunaan sianida/akar bore. Sedangkan responden yang mengetahui adanya larangan menggunakan pukat harimau lebih sedikit (57 persen). Pengetahuan responden mengenai larangan penggunaan bom sejalan dengan pengetahuan mereka mengenai adanya sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut. Semua responden yang mengetahui adanya larangan penggunaan bom mengaku mengetahui adanya sanksi pelanggaran peraturan tersebut. Sedangkan mereka yang mengetahui adanya larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat harimau, 69 persen dan 50 persen (berturut-turut) mengetahui sanksi terhadap pelanggaran penggunaan alat tangkap tersebut.

Pada dasarnya, penduduk Kampung Meosbekwan mempunyai kesadaran yang cukup baik terhadap perlunya melestarikan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Hal ini tercermin dari pendapat mereka yang umumnya menyetujui adanya larangan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan. Semua responden setuju terhadap larangan penggunaan bom dan yang setuju terhadap larangan penggunaan sianida/akar bore dan pukat harimau berturut-turut adalah 97 persen dan 90 persen dari jumlah mereka yang mengetahui adanya peraturan yang melarang penggunanan alat tangkap tersebut.

35 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 3.3. Wilayah Pengelolaan

Pada masa lalu, ketika batas-batas wilayah laut secara ketat dipraktekkan oleh masyarakat Kepulauan Ayau, wilayah pengelolaan laut ditentukan berdasarkan keret, bukan atas wilayah administratif. Tampaknya pembatasan semacam itu umum berlaku pada masyarakat pesisir yang memiliki pranata pengelolaan wilayah laut, seperti masyarakat Irian lainnya (Tobati, Depapre dan Demta), Masyarakat Maluku (Nolloth) ataupun masyarakat Sangir.

Peta Pulau Meosbekwan menggambarkan wilayah laut yang utuh; tidak terbagi-bagi menurut keret seperti halnya di Pulau Dorekhar. Hal itu sangat dimungkinkan, sebab masyarakat Meosbekwan adalah masyarakat dengan keret tunggal, yaitu keret Burdam. Oleh karena itu keret Burdam yang tinggal di Desa Dorekhar fishing ground-nya ada di wilayah laut Meosbekwan.

Seperti lazimnya pengelolaan wilayah secara tradisional di beberapa tempat di Indonesia, batas-batas wilayah pengelolaan senantiasa dikaitkan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengeksploitasi sumberdaya yang ada di dalamnya. Dengan teknologi yang sederhana (perahu dayung), daerah operasi nelayan paling jauh hanya dua mil ke tengah. Biasanya, batas dua mil berkaitan erat dengan kondisi fisik lingkungan laut, yaitu merupakan batas antara laut dangkal dengan laut dalam. Khusus untuk kawasan Kepulauan Ayau, laut dangkal merupakan hamparan terumbu karang. Di tempat yang “dangkal” inilah mereka melakukan aktifitas “mencari”, seperti tergambar dalam peta, yaitu yang disebut dengan: “fishing ground keret atau hak atas karang keret” (Lihat Peta 2)

Dalam pengelolaan sumberdaya laut, Masyarakat Meosbekwan atau masyarakat di kawasan Kepulauan Ayau mengenal istilah “kabus” atau dalam bahasa yang lebih umum disebut “sasi”. Kabus atau sasi didefinisikan sebagai suatu upaya masyarakat untuk memberi “kesempatan” kepada sumberdaya tertentu berkembang menjadi lebih besar dan lebih banyak di wilayah tertentu dengan cara menerapkan larangan untuk mengeksploitasi dalam kurun waktu tertentu pula, karena adanya kepentingan bersama.

9 10 11 12 P. Abidon P. Ros P. Tukan P. Meosbekwan

Hak atas karang (Fishing ground)

Keret Burdam

Hak atas Karang

Keret Imbir

Keterangan Gambar:

Fishsing spot Keret Burdam:

9 : Batu besar (Abor Karubeba) 10 : Batu-batu besar yg terkumpul (Abor Mamor Iba)

: Batas fishing ground : Terumbu karang

Rumput laut

Peta 2 Gambaran Pemahaman

Masyarakat Desa Meosbekwan Dalam Penguasaan Wilayah Terumbu Karang

37 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Keputusan untuk melaksanakan kabus (tanam kabus), pertama-tama didasarkan atas aspirasi masyarakat untuk melakukan kegiatan bersama yang membutuhkan barang atau dana yang relatif besar. Artinya dana tersebut tidak mungkin diperoleh hanya dengan mengumpulkan iuran dari warga masyarakat, seperti membangun gereja atau kepentingan umum lainnya (upacara adat). Jika kemudian masyarakat telah bersepakat bahwa ada kepentingan bersama, maka dengan musyawarah masyarakat memutuskan tanam kabus. Dalam musyawarah tersebut ada empat hal pokok yang harus diputuskan, yaitu:

1. Kapan tanam kabus dimulai?

2. Di wilayah mana tanam kabus tersebut dilakukan? 3. Berapa lama tanam kabus itu dilaksanakan? 4. Sumberdaya apa yang akan di-kabus?

Setelah dicapai kesepakatan empat hal pokok di atas, maka yang pertama-tama dilakukan adalah memasang batas-batas wilayah tanam kabus dengan batang daun kelapa yang ditancapkan. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah memberitahukan kepada warga desa tetangga. Hal ini dimaksudkan agar tetangga mereka tahu bahwa di wilayahnya sedang tanam kabus. Jadi jika terjadi pelanggaran, misalnya mengambil sumberdaya di dalam wilayah kabus, si pelanggar tidak dapat mengelak dengan alasan tidak tahu.

Wilayah yang dijadikan tempat tanam kabus adalah wilayah yang dekat pemukiman mereka, sebagai upaya untuk mempermudah pengawasan terhadap pelanggaran wilayah tangkap dan habitat yang cocok dengan sumberdaya yang akan di-kabus. Lamanya waktu yang diperlukan untuk tanam kabus sangat tergantung pada tujuan dari tanam kabus tersebut dilaksanakan. Artinya jika diperhitungkan jumlah dana yang dibutuhkan relatif besar, maka akan berlangsung lebih lama. Akan tetapi menurut kelaziman di Kepulauan Ayau, sekitar enam bulan sampai dengan satu tahun.

Sumberdaya yang di-kabus umumnya adalah bia lola (trochus). Sumberdaya ini relatif banyak hidup di kawasan ini, terutama di bagian timur Pulau Meosbekwan. Secara teoritis, sebenarnya sumberdaya yang di-kabus tidak hanya bia lola, namun juga udang karang (lobster) dan ikan. Akan tetapi dalam praktiknya karena ikan mempunyai mobilitas tinggi, maka kemungkinan besar akan ke luar dari wilayah tanam kabus, maka tidak dijadikan sumberdaya yang di-kabus.

Beberapa hari sebelum tanam kabus dinyatakan selesai, masyarakat kembali mengadakan musyawarah untuk menentukan saat yang tepat mengambil sumberdaya yang di-kabus. Pada saat itu juga dibicarakan pembagian kerja dari masing-masing keluarga dan lamanya waktu (umumnya satu minggu) untuk mengambil sumberdaya. Waktu pengambilan sumberdaya penting ditentukan lamanya, karena di luar waktu yang telah ditentukan, sumberdaya dapat dieksploitasi dengan bebas, artinya tidak lagi untuk keperluan kepentingan umum, namun telah berubah menjadi hak yang mengeksploitasi. Sumberdaya dari hasil tanam kabus, jika berupa bia lola, dagingnya dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang menangkap, sedangkan cangkangnya dikumpulkan dan kemudian dijual. Pada saat penelitian ini dilakukan, harga cangkang bia lola dibeli oleh pedagang seharga Rp 60.000,00/kg.

Agar pelaksanaan tanam kabus dapat berlangsung secara optimal, maka sanksi terhadap pelanggaran menjadi bagian penting dari pranata ini. Sebelum ajaran agama Kristen mempengaruhi kepercayaan masyarakat di kawasan kepulauan ini, mereka menerapkan kabus sesuai dengan tradisi adat mereka, sehingga disebut dengan “kabus

adat”. Dengan demikian penerapan sanksi pun berupa adat, yaitu dengan membayar denda berupa barang-barang berharga (manik-manik, piring gantung) atau kemudian berubah menjadi denda uang sesuai dengan tingkat kesalahannya dan ditambah lagi menyerahkan semua hasil tangkapannya.

Dengan masuknya agama Kristen, pranata pengelolaan sumberdaya laut sedikit demi sedikit berubah, yang pada akhirnya eksistensi “kabus adat” berhenti, dan menjelma menjadi “kabus Gereja”. Dalam pelaksanaannya perubahan tersebut paling nyata terlihat dari pembacaan mantera yang merupakan tradisi nenek moyang mereka menjadi pembacaan doa-doa Kristen pada saat hendak tanam kabus dan sesaat sebelum kabus dinyatakan selesai. Tergantikannya sanksi adat berupa pembayaran denda serta perampasan hasil tangkapan menjadi sanksi gereja yang bersifat magis. Dengan kata lain, masyarakat telah menyepelekan pelaksanaan sanksi adat, karena kurangnya pengawasan, sehingga menjadi tidak efektif untuk memberikan efek jera kepada pelanggar. Sebaliknya sanksi gereja sangat ditakuti oleh masyarakat, karena dapat berakibat sakit yang tidak tersembuhkan dan bahkan meninggal bagi si pelanggar. Seorang informan menuturkan, bahwa pada tahun 1998 telah terjadi kecelakaan fatal, yaitu meninggalnya seorang yang berasal dari Maluku setelah dia melakukan penangkapan ikan dengan cara molo (menyelam) di wilayah kabus Gereja.

Dalam perkembangannya sekarang, masyarakat di kawasan Kepulauan Ayau tidak lagi disiplin dalam menerapkan bagian-bagian dari aturan adat menyangkut wilayah laut. Artinya hampir semua wilayah dapat dieksploitasi sumberdayanya oleh masyarakat yang berada di sekitarnya, asalkan menggunakan alat tangkap yang serupa dengan masyarakat pada umumnya, kecuali wilayah yang tertutup bagi semua, karena diterapkannya sasi. Sebab lainnya adalah fishing ground ataupun fishing spot yang mereka kuasai tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menyediakan sumber daya tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi (ikan Napoleon, Kerapu dan Lobster) yang sejak sekitar tahun 1995 menjadi komoditas primadona di kawasan ini.