• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab V Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat

5.1. Pendapatan dan Pengeluaran

Analisis tentang pendapatan dan perilaku masyarakat dalam membelanjakan pendapatannya bermanfaat bagi perumusan kebijakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendapatan dan pengeluaran dapat dipakai sebagai tolok ukur kesejahteraan masyarakat, dimana antara dua variabel ini saling terkait satu dengan yang lain. Pada umumnya pola pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga, proporsi pengeluaran rumah tangga menjadi semakin tinggi dan beragam. Sebaliknya, rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah, pendapatan banyak dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan tingkat pengeluaran rendah. Kajian ini berfokus pada diskusi tentang pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di Kampung Meosbekwan yang masyarakatnya relatif homogen, yaitu sebagai nelayan.

Pendapatan

Ketergantungan masyarakat Kampung Meosbekwan pada hasil sumberdaya laut yang hanya menggunakan teknologi penangkapan sederhana, berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan (ekonomi) mereka yang umumnya masih rendah. Pendapatan rumah tangga dalam kajian ini mencakup semua pendapatan dari pekerjaan utama dan tambahan yang diperoleh dari semua anggota rumah tangga bekerja. Hasil survei memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga dalam sebulan terakhir adalah Rp 568.827,-. Pendapatan rumah tangga terendah sebesar Rp 200.000,-, sedang pendapatan tertinggi mencapai Rp 1.755.800 per bulan. Persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan diatas pendapatan rata-rata hanya sebesar 31,4 persen, tidak ada separuhnya dari persentase rumah tangga yang berpendapatan sama dengan dan kurang dari pendapatan secara rata-rata (Tabel 5.1).

Rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi antara lain karena adanya kontribusi dari beberapa anggota rumah tangga bekerja. Tampak pada Tabel 5.1 bahwa ada hubungan positif antara jumlah anggota rumah tangga yang bekerja dan besar pendapatan rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga yang bekerja, maka persentase rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas pendapatan rata-rata) semakin meningkat. Data menunjukkan, persentase rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga bekerja sebanyak 3-4 orang dan berpendapatan tinggi

54 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

adalah lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya memiliki 1-2 anggota rumah tangga bekerja. Selanjutnya, meskipun kasusnya sangat kecil, terlihat bahwa persentase rumah tangga yang mempunyai pendapatan tinggi dan mempunyai ART bekerja antara 5-6 orang adalah sekitar dua kali lebih besar dibandingkan rumah tangga yang hanya memiliki 3-4 ART bekerja pada kategori pendapatan sama. Peran yang cukup besar dari anggota rumah tangga bekerja dalam mempengaruhi tingginya pendapatan rumah tangga tersebut mungkin terkait erat dengan kegiatan budidaya rumput laut yang bisa dilakukan oleh semua anggota rumah tangga dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Pengamatan dan wawancara dengan beberapa sumber memperlihatkan bahwa pekerjaan budidaya rumput laut dilakukan sepanjang tahun dan melibatkan banyak anggota rumah tangga, sehingga memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga.

Tabel 5.1

Rumah Tangga Berdasarkan Besar Pendapatan dan Anggota Rumah Tangga Bekerja, Kampung Meosbekwan, 2001.

ART Bekerja Besar Pendapatan 1-2 3-4 5-6 Jumlah < 568.827 (rendah) 72,7 70,0 33,3 68,6 > 568.827 (tinggi) 27,3 30,0 66,7 31,4 Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 N 22 10 3 35

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP-LIPI,

2001

Pendapatan rumah tangga di Kampung Meosbekwan termasuk rendah bila dibandingkan dengan kampung-kampung kajian lainnya1. Hal ini terlihat dari kecenderungan pengelompokan persentase responden pada pendapatan antara Rp 200-599 ribu (lampiran Tabel 5.1). Hanya terdapat sekitar sepertujuh rumah tangga yang memiliki pendapatan diatas Rp 1 juta pada periode sebulan terakhir (14,3 persen). Termasuk pada kelompok ini adalah guru dan mantri kesehatan, meskipun juga ada 2 orang yang berstatus nelayan.

Menurut masyarakat, sumber pendapatan utama diperoleh dari hasil penangkapan ikan in maming (napoleon), garopa (kerapu) dan lobster. Diantara tiga sumberdaya laut bernilai tinggi ini, ikan napoleon tersedia sepanjang tahun, sehingga memberikan kontribusi pendapatan yang tidak sedikit bagi nelayan, meskipun pada saat musim ombak besar (Bulan April s/d Juni dan Oktober s/d Maret) nelayan tidak bisa menangkap ikan napoleon. Sementara sumber pendapatan dari ikan kerapu dan lobster tidak selalu diperoleh sepanjang tahun. Ikan kerapu tersedia cukup banyak pada Bulan September s/d Pebruari. Lobster tersedia sepanjang tahun, tetapi karena pemasaran sulit, yaitu harus dijual dalam keadaan segar di Kota Sorong yang berjarak tempuh sekitar 9 jam, nelayan sering lebih senang mengambil ikan. Ikan napoleon dan kerapu

1 Pengelompokan/kategorisasi rumah tangga berdasarkan besar pendapatan didasarkan pada hasil survei pendapatan dari semua kampung kajian (4 di Propinsi Papua/Irian Jaya dan 4 di Propinsi Sulawesi Tenggara), sehingga data yang terkumpul dapat dibandingkan antar kampung kajian. Namun, konsekuensi dari penentuan kategori pendapatan seperti ini adalah adanya nilai nol (0) pada beberapa kategori. Untuk kasus Kampung Meosbekwan, nilai nol (0) terkonsentrasi di kategori rumah tangga dengan pendapatan tinggi (di atas Rp 1,8 juta)(lihat lampiran Tabel 5.1).

bisa dijual di dalam kampung, karena sudah tersedia penampungan milik pengusaha luar kampung, sehingga memudahkan nelayan untuk memasarkannya.

Pendapatan yang diperoleh dari ikan napoleon untuk sekali melaut (yang tidak selalu dilakukan setiap hari) adalah berkisar antara 2-3 ekor dengan harga jual yang bervariasi tergantung pada besar-kecilnya ukuran ikan napoleon2. Pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dalam sekali melaut dan mendapatkan ikan napoleon berkisar antara Rp 100.000 sampai dengan Rp 300.000.

Untuk ikan kerapu, pendapatan sekali melaut berkisar antara Rp 50.000 sampai dengan Rp 75.000 yang berasal dari hasil tangkapan kurang lebih 5 kg. Sebagaimana dengan ikan napoleon, harga ikan kerapu tergantung pada jenis dan ukurannya3. Pendapatan tersebut sudah bersih karena secara nyata tidak ada ongkos produksi yang berarti karena dalam melaut nelayan cukup berbekal satu bungkus nasi dan lauknya serta sebotol minuman. Pendapatan dari hasil tangkapan lobster tidak menentu, tetapi biasanya mendapat 3-5 kg dalam sekali melaut dengan harga Rp 130 ribu per kg.

Disamping itu, masyarakat di Kampung Meosbekwan juga memiliki sumber pendapatan dari budidaya rumput laut. Pada umumnya, setiap rumah tangga memiliki sebanyak 40 tali yang dapat menghasilkan antara 20-30 kg per bulan (satu kali panen per bulan). Dengan harga antara Rp 2.500 - Rp3.500,- per kg, maka pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 50.000 s/d Rp 105.000,-. Meskipun tidak dalam jumlah besar, budidaya rumput laut dapat memberikan pendapatan kepada rumah tangga nelayan secara berkesinambungan. Keadaan ini tampaknya perlu mendapat perhatian untuk pengembangannya dalam upaya peningkatan pendapatan penduduk. Pemberian fasilitas pemasaran di dalam kampung melalui penyediaan tempat penampungan/pengumpul hasil rumput laut di kampung tampaknya lebih memudahkan nelayan dalam menjual hasil panen. Pada saat sekarang, nelayan harus menjual hasil panen rumput laut ke Sorong.

Sumber pendapatan lain adalah berbagai jenis ikan, seperti kakap, baronang dan gurita. Jenis ikan ini pada umumnya untuk konsumsi sendiri dan sebagian lagi dijadikan ikan olahan. Gurita dan cacing yang tersedia sepanjang waktu pada saat air laut surut, pada umumnya dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk dikeringkan dan kemudian dijual bersama-sama dengan hasil laut lainnya ke Kota Sorong.

Temuan penelitian dengan pendekatan kualitatif menemukan bahwa pendapatan yang diperoleh bervariasi menurut musim. Pada musim banyak ikan, terutama ikan Kerapu yang terjadi pada bulan September sampai dengan April dalam sekali melaut nelayan bisa mendapatkan antara 5kg sampai dengan 10 kg atau sekitar 10 ekor ikan dengan harga jual antara Rp 75.000 sampai dengan Rp 200.000. Sementara itu pada saat tidak musim, setiap kali melaut mendapat sekitar 3 sampai dengan 4 ekor ikan dengan harga jual sekitar Rp 50.000.

Pada saat ombak besar yang terjadi pada bulan sekitar bulan April sampai Juni, para nelayan tidak mencari ikan napoleon atau kerapu. Pada saat ombak besar dasar laut di sekitar karang menjadi keruh sehingga sulit untuk menangkap ikan napoleon dan kerapu. Di samping itu, para nelayan umumnya tidak mempunyai perahu motor sehingga tidak bisa melaut dalam kondisi ombak besar. Pada saat ombak besar

2 Harga ikan napoleon per kg untuk ukuran 0-6-1,2 kg adalah Rp 120 ribu, 1,3-3kg = Rp 130 ribu, dan ukuran 3,1-5 kg dihargai Rp 160 ribu. Harga untuk ukuran besar (lebih besar dari 5 kg) tidak dihitung per kg, tetapi dihitung per satuan, yaitu Rp 30 ribu/ekor.

3

Terdapat 3 jenis ikan kerapu: geha, tongseng dan siseng. Jenis geha memiliki nilai harga tinggi, yaitu Rp 6 ribu per kg untuk ukuran kecil (baby) dan Rp15 ribu untuk ukuran sedang (super), sedang untuk ukuran besar (up) adalah Rp 15 ribu per ekor.

56 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

tersebut para nelayan mencari ikan baronang, ikan kakak tua dan berbagai jenis ikan pelagis lain yang terdapat di sekitar perairan dekat pantai. Ikan-ikan tersebut tidak dijual, hanya untuk dikonsumsi sendiri dan sisanya biasanya dibuat ikan asin atau dikeringkan.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendapatan rumah tangga di Kampung Meosbekwan yang rendah terutama dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama berkaitan dengan penggunaan alat tangkap sederhana, yaitu pancing untuk menangkap ikan kerapu, akar bore (sebagai racun) untuk menangkap ikan napoleon, sedang kaca dan senapan molo untuk menangkap lobster. Dengan alat-alat tangkap sederhana semacam ini menyebabkan hasil tangkapan ikan tidak banyak, sehingga berpengaruh terhadap rendahnya pendapatan rumah tangga. Kedua, faktor alam, terutama ombak besar sangat berpengaruh terhadap kegiatan kenelayanan. Pada saat ombak besar, aktivitas laut berhenti total, sehingga penduduk Kampung Meosbekwan yang mayoritas sebagai nelayan hanya mengandalkan sumber penghasilan dari hasil laut.

Selama lima tahun terakhir ini pendapatan cenderung menurun. Informasi dari beberapa informan menunjukkan bahwa dibanding lima tahun yang lalu pendapatan nelayan sekarang ini jauh lebih kecil. Disebutkan bahwa sekitar lima tahun yang lalu dalam sekali melaut umumnya para nelayan bisa mendapatkan sekitar 5 ekor ikan napoleon. Pada saat ini dalam sekali melaut untuk mendapatkan dua ekor ikan napoleon sudah sangat sulit. Justeru sering terjadi nelayan sudah berniat dari rumah untuk mencari napoleon, ternyata sampai sore tidak mendapatkan apa-apa. Hari berikutnya mereka beralih untuk mencari kerapu yang sekarang ini masih relatif mudah didapat.

Pengeluaran

Telah disebutkan di atas bahwa pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yang bersifat positif. Artinya, semakin sejahtera suatu masyarakat semakin besar pengeluaran untuk berbagai kebutuhan pokok dan bukan kebutuhan pokok. Sebaliknya, masyarakat yang kurang sejahtera pada umumnya memiliki pola pengeluaran yang terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Kasus seperti ini ditemui pula di daerah penelitian.

Rendahnya tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan berpengaruh terhadap pengeluaran yang rendah pula. Pengeluaran rumah tangga di Kampung Meosbekwan berkisar antara Rp 65.000,- sampai dengan Rp 950.000,-. Besarnya pengeluaran rata-rata rumah tangga dalam satu bulan terakhir adalah Rp 309.897,-. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata pada periode satu bulan terakhir. Pengeluaran untuk makanan meliputi bahan makanan pokok (beras dan sagu), gula, kopi, teh dan rokok. Pembelian makanan biasanya dilakukan sebulan sekali, bahkan terkadang tiga bulan sekali jika sedang musim ombak besar. Pembelian konsumsi makanan dilakukan di Kota Sorong atau di kecamatan, karena di kampung tidak tersedia warung. Pada saat sangat membutuhkan dan tidak bisa pergi ke luar kampung, pemenuhan kebutuhan makanan bisa dipinjam dulu kepada tetangga atau menukar barang (biasanya piring gantung/mangkok) dengan bahan pangan.

Sebagaimana dengan pendapatan, pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan terakhir juga terkonsentrasi pada kelompok terendah (lampiran Tabel 5.2). Berdasarkan sensus rumah tangga, mayoritas rumah tangga membelanjakan uangnya kurang dari Rp 400.000,- per bulan (82,9 persen). Dengan kata lain, hanya sedikit rumah tangga yang

memiliki pengeluaran rumah tangga diatas pengeluaran rata-rata. Proporsi terbesar adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran antara Rp 200.000 – Rp 299.000,-, yaitu mencapai 51,4 persen. Pengeluaran rumah tangga tersebut, kebanyakan dipergunakan untuk mengkonsumsi antara 3-6 anggota rumah tangga, yang mencapai 61,7 persen (Tabel 5.2).

Tabel 5.2.

Rumah Tangga Berdasarkan Pengeluaran Dalam Periode Satu Bulan Terakhir, Kampung Meosbekwan

Besar anggota rumah tangga Besar pengeluaran 1-2 3-4 5-6 7-8 Jumlah < 309.897 100,0 92,3 62,5 45,5 70,6 >309.879 0,0 7,7 37,5 54,5 29,4 Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 N 2 13 8 11 34

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia, COREMAP -LIPI, 2001

Pola pengeluaran antara lain dipengaruhi oleh banyaknya anggota keluarga. Tabulasi silang antara besar pengeluaran rumah tangga dan jumlah ART memperlihatkan bahwa besarnya pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga. Semakin besar anggota rumah tangga, semakin besar pula pengeluaran rumah tangga. Data memperlihatkan, persentase rumah tangga dengan pengeluaran diatas pengeluaran rata-rata semakin membesar dengan meningkatnya jumlah anggota rumah tangga. Sebaliknya, persentase rumah tangga dengan pengeluaran dibawah atau sama besar dengan pengeluaran rata-rata semakin mengecil sejalan dengan meningkatnya anggota rumah tangga. Keadaan ini mudah dipahami karena anggota rumah tangga yang besar juga memerlukan kebutuhan yang besar dan beragam.

Apabila diperhatikan pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan, rata-rata pengeluaran sebulan terakhir untuk keperluan makanan lebih besar (Rp 203.129,-) dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata untuk bukan makanan (Rp 106.676,-). Dikaitkan dengan jumlah pengeluaran rata-rata seluruhnya, maka sebanyak 65,5 persen dari pengeluaran rumah tangga dipergunakan untuk membeli kebutuhan makanan. Dalam perspektif ekonomi, keadaan ini dapat menggambarkan bahwa kebanyakan rumah tangga di Kampung Meosbekwan masih termasuk dalam keluarga miskin.

Pengeluaran yang cukup besar untuk makanan tampaknya juga dipengaruhi oleh harga makanan yang tinggi. Harga beras dengan kualitas biasa mencapai Rp 3.000 per kg, sedang harga sagu sebesar Rp 30.000 - Rp 40.000 per tumang. Dalam satu bulan, satu rumah tangga dengan 2-4 anggota rumah tangga dapat menghabiskan kira-kira 50 kg beras dan 2 tumang sagu. Dengan demikian pengeluaran untuk makanan pokok dalam satu rumah tangga dengan 3-4 ART mencapai diatas Rp 200.000,-. Sebaliknya pengeluaran untuk bukan makanan yang bernilai rendah adalah karena sebagian besar hanya untuk biaya pendidikan yang terbatas pada SPP dan pembelian buku. Tampaknya dalam satu bulan terakhir tidak ada pengeluaran untuk keperluan sosial, seperti kebiasaan pesta adat yang memakan biaya cukup tinggi dan menjadi tanggung jawab seluruh penduduk. Bahkan, apabila ada hubungan keluarga, sumbangan untuk pembiayaan pesta juga diberikan pada keluarga yang tinggal di luar kampung.

58 Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

Dari kelompok konsumsi makanan, persentase terbesar berada pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran antara Rp 100.000 - Rp 199.000,- (lampiran Tabel 5.3). Kemudian sebanyak 22,9 persen rumah tangga mengkonsumsi makanan dengan nilai antara Rp 200.000–Rp 299.000,-. Hanya ada 5,7 persen rumah tangga yang memiliki pengeluaran diatas Rp 500.000,-. Kelompok rumah tangga dengan konsumsi tinggi untuk pembelian bahan makanan adalah mereka yang baru saja belanja kebutuhan makanan pokok, misalnya beras dan kebutuhan hidup lainnya. Informasi yang diperoleh dari pendekatan kualitatif memperlihatkan bahwa konsumsi makanan pada umumnya dipakai untuk membeli kebutuhan makanan pokok, yaitu beras dan sagu. Selebihnya dipakai untuk membeli gula, kopi dan rokok.

Memperhatikan kelompok pengeluaran bukan makanan, lebih separuh dari jumlah rumah tangga memiliki pengeluaran bukan makanan antara Rp100.000 - Rp199.000,- (lampiran Tabel 5.4). Sebanyak 29,4 persen membelanjakan pendapatannya untuk bukan makanan dengan nilai kurang dari Rp 100.000,-. Pengeluaran terbesar dari konsumsi bukan makanan adalah untuk konsumsi bahan bakar, pendidikan anak dan aneka barang lainnya serta keperluan adat, misalnya upacara perkawinan baik keluarga maupun tetangga.

Dalam membelanjakan uang untuk konsumsi rumah tangga pada umumnya dilakukan secara bersama-sama. Baik isteri maupun suami mempunyai peran yang seimbang dalam memikirkan dan menentukan barang yang akan dikonsumsi. Meskipun yang pergi berbelanja ke luar pulau (di ibukota kecamatan atau Kota Sorong) hanya bisa dilakukan suami saja, misalnya, isteri sudah menitipkan pesanan barang-barang apa saja yang akan dibeli. Perempuan mempunyai peran cukup besar dalam kehidupan berumah tangga, terutama menyangkut pengelolaan uang. Disamping memiliki peran dalam pengeluaran rumah tangga, isteri juga memiliki wewenang dalam memegang uang. Keadaan ini menggambarkan bahwa kesetaraan jender dalam kehidupan berumah tangga sudah berlangsung dengan baik yang akan berpengaruh pada kehidupan yang lebih luas, yaitu di tingkat masyarakat.