• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VI Degradasi Sumber Daya Laut dan

6.2. Faktor Internal

6.2.1. Faktor yang langsung menyebabkan kerusakan sumber daya laut

Eksploitasi yang berlebihan (over fishing)

Penangkapan berlebihan bisa timbul karena sifat manusia yang tidak pernah puas dan ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Keserakahan untuk mendapatkan keuntungan besar telah memotivasi terjadinya penangkapan secara berlebih ini lebih ditunjang lagi dengan adanya permintaan akan berbagai jenis sumber daya laut dengan harga yang menggiurkan. Denga n bertambah dan berkembangnya berbagai restoran yang menyediakan makanan laut (sea food) mengakibatkan eksploitasi sejumlah biota laut sepertin ikan, udang dan tripang semakin gencar. Di samping itu, tumbuhnya berbagai industri cindera mata dan obat-obatan yang memakai bahan baku berbagai biota laut, seperti akar bahar dan berbagai jenis moluska juga

68

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

mengakibatkan beberapa jenis biota laut yang ada di perairan terumbu karang mulai terancam keberadaannya.

Jenis biota laut di Kampung Meosbekwan yang telah dieksploitasi dalam jumlah banyak dan jangka waktu yang lama adalah lola, teripang dan pia. Pengambilan ketiga sumber daya laut secara berlebih ini dirangsang oleh keberadaan sebuah perusahaan (PT Multi Argo Maluku) yang melakukan pengumpulan lola, teripang dan pia sejak tahun 1985an. Sampai pada tahun 1990 perusahaan ini masih beroperasi dan menerima pasokan berbagai jenis sumber daya laut, khususnya lola, teripang dan pia dari para nelayan di Kepulauan Ayau, termasuk Kampung Meosbekwan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi ketiga jenis biota ini pada tahun 1990 sudah mulai berkurang (Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut, 1990). Menurut para nelayan setempat pada tahun 1990 ketiga jenis biota laut tersebut masih banyak di tempat-tempat penyebarannya. Namun pengusaha pengumpul hasil tangkapan para nelayan, mengatakan bahwa volume pembelian lola, teripang dan pia sudah menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.

Pada saat ini pengambilan ketiga jenis sumber daya laut tersebut sudah diatur dengan diterapkannya sasi atau dalam bahasa lokal ‘kabus’. Pengambilan lola, teripang dan pia hanya dibolehkan untuk kepentingan umum. Pembukaan ‘kabus’ dalam tiga tahun terakhir ini dimanfaatkan untuk pembangunan gereja. Sampai penelitian ini dilakukan ‘kabus’ masih ditutup dan direncanakan tahun 2002 dibuka lagi untuk keperluan menutup biaya pembangunan gereja yang masih belum selesai.

Penggunaan potas

Secara umum penggunaan potas atau sianida untuk menangkap ikan belum banyak dikenal oleh para nelayan Kampung Meosbekwan. Selama ini para nelayan selalu menggunakan akar bore untuk menangkap ikan. Namun beberapa nelayan luar desa dengan secara sembunyi-sembunyi telah mulai menggunakan potas. Dalam operasinya, umumnya selalu memakai perahu motor dan kompresor sebagai alat bantu selam. Daerah tangkapan sering berada di daerah terumbu karang yang berlokasi di laut lepas.

Penggunaan potas dikhawatirkan akan semakin meluas karena para nelayan (dari luar desa) yang mempunyai perahu motor dan mengusahakan kompresor cenderung menggunakan potas untuk menangkap ikan. Salah seorang informan menyebutkan bahwa apabila nelayan menggunakan kompresor untuk menyelam, maka bisa dipastikan yang dipakai untuk menangkap ikan dan udang adalah potas bukan akar

bore, sebagaimana ungkapan berikut ini:

Ada beberapa nelayan yang telah memakai kompresor dalam ‘mencari’, bisa dipastikan mereka pakai potas. Tidak mungkin mereka tidak memakai potas, karena kalau hanya pakai akar bore, mereka rugi.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa per ahu semang merupakan alat yang sering dipakai nelayan Kampung Meosbekwan dalam mencari. Nelayan yang mempunyai perahu motor hanya sebanyak dua orang. Perahu tersebut tidak pernah digunakan untuk ‘mencari’. Namun, di masa datang apabila mereka bisa mengusahakan kompresor memungkinkan para nelayan Kampung Meosbekwan juga akan menggunakan potas untuk menangkap ikan, seperti halnya yang sudah dilakukan oleh beberapa nelayan dari luar desa. Gejala meluasnya penggunaan potas oleh nelayan

luar desa sudah mulai terlihat, seperti yang diungkapkan oleh seorang informan yang kebetulan pemuka masyarakat:

Banyak sudah orang luar desa yang mulai menggunakan potas untuk menangkap ikan. Kita orang susah untuk lawan mereka. Saya khawatir di masa depan ada nelayan kita yang ikut-ikut menggunakan potas.

Penggunaan bom

Meskipun sudah dilarang dan dianggap melanggar hukum penggunaan bom untuk menangkap ikan masih tetap dilakukan oleh banyak orang. Menangkap ikan memakai bom dianggap praktis karena tiga alasan utama, yaitu: (1) waktu yang dibutuhkan tidak terlalu lama dibandingkan dengan memakai pancing, (2) tidak memerlukan banyak tenaga dan (3) perolehan hasil tangkapan lebih banyak. Dalam satu kali lempar bom, beribu-ribu ikan tangkapan berhasil diperoleh. Biasanya cara penangkapan ikan memakai bom ini terjadi di lokasi-lokasi perairan yang banyak terdapat terumbu karang. Dengan demikian tidak hanya mematikan ikan, tetapi juga merusak ekosistem terumbu karang sebagai tempat ikan hidup.

Sampai saat ini masyarakat nelayan di Kepulauan Ayau tidak/belum mengenal teknologi membuat bom dan cara menggunakan bom untuk menangkap ikan. Alat tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan hanyalah alat tangkap sederhana seperti perahu semang, pancing, tombak dan panah. Alat bantu lain yang dipakai adalah apa yang ada di alam sekitarnya seperti akar bore.

Meskipun sampai saat ini masyarakat setempat tidak pernah menggunakan bom untuk menangkap ikan, tetapi perairan di wilayah Kepulauan Ayau telah rusak akibat penggunaan bom yang dilakukan oleh nelayan dari luar daerah (Lihat Peta 3). Nelayan dari luar daerah tersebut diantaranya nelayan Buton dan dari Ternate yang biasanya memakai kapal motor berukuran sedang. Dalam satu motor terdapat beberapa nelayan (sekitar 4-8 orang) yang dalam operasinya tersebut dibiayai oleh juragan dari daerah yang sama.

70

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

ÐÐÐ 9 10 11 12 P. Abidon P. Ros P. Tukan P. Meosbekwan Peta 3 Lokasi Pengeboman di sekitar P. Meosbekwan Menurut pemahaman masyarakat setempat

Hak atas karang (Fishing ground)

Keret Burdam

Hak atas Karang

Keret Imbir 9,10,11,12 :Fishing spot Keret Burdam

: Batas fishing ground Terumbu karang Ð : Lokasi pengeboman ÐÐÐ ÐÐ ÐÐÐ ÐÐÐ ÐÐÐ ÐÐ ÐÐÐ : Rumput laut U

Penggunaan akar bore dalam mencari ikan napoleon (maming) dan lobster

Masyarakat kepulauan Ayau berasal dari Biak yang telah bermigrasi ke wilayah ini kira-kira pertengahan abad 19. Suku Biak telah dikenal mempunyai tradisi suka melakukan perjalanan laut dan mengarungi samudera luas yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi kehidupan mereka. Karena kehidupan yang sangat dekat dengan ekosistem laut, maka mereka telah mempunyai keahlian mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut secara turun-temurun. Berbagai keahlian tersebut diantaranya adalah menangkap ikan dengan panah dan tombak serta penggunaan tanaman yang dinamakan bore untuk menangkap ikan, terutama ikan-ikan karang. Cara menggunakan akar bore untuk menangkap ikan adalah dengan mengambil akarnya kemudian ditumbuk dan diperas untuk diambil getahnya. Getah tersebut digunakan untuk menangkap ikan dengan cara menuangkan cairan akar bore tersebut ke sekitar lubang karang dimana ikan-ikan bersembunyi. Dengan adanya cairan akar bore maka perairan di sekitar lubang karang tersebut terkontaminasi dengan racun dari akar bore dan ikan-ikan menjadi pingsan sehingga dapat dengan mudah di tangkap. Peralatan yang dipakai untuk menangkap ikan dengan menggunakan akar bore adalah kaca molo yang dipakai untuk melindungi mata pada waktu menyelam. Penyelaman dilakukan ketika akan menuang cairan bore dan ketika akan menangkap ikan yang sudah pingsan. Untuk menangkap ikan napoleon umumnya penduduk desa Meosbekwan tidak menggunakan pancing, tetapi menggunakan akar bore. Dengan menggunakan akar bore ikan yang ditangkap tidak luka, hanya pingsan sebentar dan setelah ditempatkan di air yang bersih (tidak ada racunnya) maka ikan akan kembali segar, sehingga tidak mengurangi harga jual. Penggunaan pancing dapat melukai ikan napoleon bhkan mematikan jika pancing ditarik terlalu keras.

Penggunaan akar bore untuk menangkap ikan napoleon ini semakin intensif setelah ada pedagang pengumpul yang menampung hasil tangkapan nelayan. Setelah ada pedagang pengumpul yang beroperasi di desa, ikan maming menjadi prioritas utama untuk ditangkap oleh para nelayan desa Meosbekwan. Penangkapan ikan ini tidak tergantung musim. Sepanjang tahun bisa dilakukan, kecuali pada musim ombak besar. Pada musim ombak besar perairan di sekitar terumbu karang menjadi keruh sehingga sulit untuk melakukan penyelaman untuk menangkap ikan. Pada musim ombak, terutama yang terjadi pada bulan Desember dan Januari intensitas penangkapan ikan napoleon dengan menggunakan akar bore menjadi berkurang.

Selain untuk menangkap ikan maming, akar bore juga digunakan oleh nelayan setempat untuk menangkap udang batu (lobster). Penangkapan lobster, terutama dilakukan pada malam hari, di perairan sekitar terumbu karang. Cara penggunaan akar bore untuk menangkap udang sama dengan penggunaannya untuk ikan napoleon.

Belum diketahui secara pasti sampai seberapa jauh akibat dari penggunaan akar

bore dalam penangkapan ikan terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya.

Penelitian yang pernah dilakukan masih terbatas pada akibat dari penggunaan racun sianida (potas) terhadap terumbu karang. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun penggunaan racun untuk menangkap ikan tidak mengakibatkan kehancuran dan kematian terumbu karang secara langsung seperti halnya penggunaan bom, akan tetapi mempunyai pengaruh menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta metabolisme dari sel-sel biota laut menjadi kering dan akhirnya mati. Meskipun kerusakan yang ditimbulkan tidak terlihat nyata, kondisi ini sangat berbahaya karena berlangsung lama dan terjadi akumulasi racun pada hewan-hewan invertabrata,

72

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

termasuk karang sehingga kerusakan yang ditimbulkan sulit dipulihkan kembali (Ikawati dkk., 2001).

Di samping kerusakan karang yang terjadi secara perlahan-lahan, penggunaan sianida dalam penangkapan ikan juga mengakibatkan kerusakan fisik karang. Kondisi ini terjadi karena ikan, udang (yang menjadi target tangkapan) yang terkena racun menjadi mabuk dan adakalanya tidak keluar dari lubang melainkan masuk ke dalam ekosistem, sehingga untuk mengambil hasil tangkapan tersebut para nelayan akan membongkar dan menghancurkan terumbu karang yang ada.

Sampai seberapa jauh akibat yang ditimbulkan karena penggunaan cairan akar bore ini terhadap kerusakan karang? Telah dikemukakan, sampai saat ini belum ada penelitian yang secara serius mengamati akibat penggunaan akar bore terhadap kerusakan terumbu karang dan ekosistemnya. Diduga kerusakan akibat penggunaan

akar bore ini tetap ada meskipun tidak sebesar kerusakan yang ditimbulkan oleh

penggunaan sianida. Dugaan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ikan dan udang yang menjadi sasaran penangkapan dengan akar bore menjadi mabuk.