• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks kesiapan masyarakat dalam beradaptasi

Determinant Factors in community Readiness Related Adaptive capacity to climate change in Water Sector

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks kesiapan masyarakat dalam beradaptasi

menghadapi perubahan ketersediaan

sumber air minum di perkotaan a. Kesiapan Individu

Berikut adalah bagan yang memperlihatkan hubungan antara variabel yang dapat mempengarui

indeks kesiapan individu dalam beradaptasi menhadapi perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan.

Tabel 4. Hubungan Indeks Pendidikan dengan Indeks Kesiapan Pengetahuan Individu tentang Perubahan Ketersediaan Sumber Air Minum Di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul 0,177 0,031 Pengetahuan: 52,968+2,640* Pendidikan 0,034 Palembang 0,100 0,100 Pengetahuan: 61,582 + 1,22* Pendidikan 0,228

Kupang 0.176 0,031 Pengetahuan: 55.431 + 2.227* Pendidikan 0.031

Keterangan:

r = Derajat/keeratan hubungan dan arah hubungan dua variabel dinyatakan Cukup-Sangat Kuat R2 =Tingginya kemampuan variabel sebab dapat memprediksi variabel akibat

P-Value =Hubungan variabel sebab dan akibat dinyatakan signifikan untuk medapatkan prediksi nilai suatu variabel akibat

Secara statistik pada tabel 4, di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Kupang memperlihatkan bahwa indeks pendidikan berhubungan dengan indeks kesiapan pengetahuan individu (P-Value < 0,05), artinya semakin tinggi pendidikan individu, maka semakin baik indeks pengetahuan mereka tentang perubahan ketersediaan sumber air minum (Pola Hubungan Positif). Meskipun dari nilai koefisien determinasi memperlihatkan bahwa pendidikan bukanlah faktor yang cukup besar dalam mempengaruhi indeks pengetahuan individu. Sebaliknya di Kota Palembang memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan indeks pengetahuan individu (P-Value > 0,05). Menurut YB Mantra yang dikutip Notoadmojo (2003), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku pola hidup terutama dalam

Hubungan indeks pendidikan dengan indeks kesiapan pengetahuan individu tentang perubahan •

ketersediaan sumber air minum di perkotaan

memotivasi untuk sikap berperanserta dalam pembangunan. Menurut Nursalam 2003 pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi. Namun, menurut Arikunto (1994), perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula karena peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek, yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut.

Hubungan Pendapatan dengan Indeks Kesiapan Pengetahuan Individu tentang Perubahan Ketersediaan •

Sumber Air Minum Di Perkotaan

Tabel 5. Hubungan Pendapatan dengan Indeks Kesiapan Pengetahuan Individu tentang Peruba-han Ketersediaan Sumber Air Minum Di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul -0,032 0,001 Pengetahuan:61,879+(-4.0E-007)*Pendapatan 0,708

Palembang -0,056 0,003 Pengetahuan:64,680 + (2753E-7)* Pendapatan 0,513

Kupang -0.002 0,000 Pengetahuan:64.193+ (-8.81-9)* Pendapatan 0.975 Secara statistik pada tabel 5, di Kabupaten

Gunung Kidul, Kota Kupang, dan Kota Palembang memperlihatkan bahwa indeks pendapatan tidak berhubungan dengan indeks kesiapan pengetahuan

individu (P-Value > 0,05), artinya pendapatan masyarakat tidak mempengaruhi indeks pengetahuan tentang perubahan ketersediaan sumber air minum.

Hubungan Indeks Kesiapan Pengetahuan dengan Indeks Kesiapan Sikap Individu tentang Perubahan •

Ketersediaan Sumber Air Minum Di Perkotaan

Tabel 6. Hubungan Indeks Kesiapan Pengetahuan dengan Indeks Kesiapan Sikap Individu tentang Perubahan Ketersediaan Sumber Air Minum di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul 0,372 0,209 Sikap: 51,487 + 0,279* Pengetahuan 0,000

Palembang 0,324 0,105 Sikap: 47,613 + 0,214* Pengetahuan 0,000

Kupang 0.337 0.113 Sikap: 49.969 + 0.271* Pengetahuan 0.000

Secara statistik pada tabel 6, di Kabupaten Gunung Kidul, Kota Kupang, dan Kota Palembang memperlihatkan bahwa indeks pengetahuan berhubungan dengan indeks kesiapan sikap keluarga tentang perubahan ketersediaan sumber air minum di perkotaan (P-Value < 0,05), artinya semakin tinggi pengetahuan, maka akan semakin baik sikapnya. Menurut nilai koefisien determinasi diketahui bahwa pengetahuan merupakan variabel yang cukup berkontribusi untuk memprediksi kesiapan sikap individu tentang perubahan ketersediaan sumber air minum. Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat

langgeng, sebaliknya apabila tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). Persepsi sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, wawasan, pegalaman, dan proses belajar. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran keluarga di suatu wilayah tentang isu perubahan iklim sangat mempengaruhi kesiapan mereka dalam beradaptasi menghadapi perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena hanya segelinter elemen masyarakat yang mengenal isu tersebut, tidak banyak yang sadar akan potensi lokal, kurangnya pengembangan kegiatan yang melibatkan masyarakat, tidak banyak yang sadar dengan potensi local di wilayahnya masing-masing, sehingga akhirnya berakibat pada individu yang mulai untuk mengorganisir dirinya masing-masing (PU 2012).

Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu •

a) Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu dalam Menghadapi Perubahan iklim di Perkotaan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu dalam Menghadapi Perubahan iklim Di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul 0,470 0,298 Perilaku: -0,200 + 0,930* Sikap 0,000

Palembang 0,327 0,107 Perilaku: 18,217 + 0,533* Sikap 0,000

b) Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu dalam Penggunaan Air Sehari-hari di Perkotaan

Tabel 8. Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu dalam Penggunaan Air Sehari-hari di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul 0,185 0,019 Perilaku: 45,013 + 0,201* Sikap 0,025

Palembang 0,327 0,107 Perilaku: 18,217 + 0,533* Sikap 0,000

Kupang 0.720 0.519 Perilaku: 12.22 + 0.778* Sikap 0,000

Secara statistik pada tabel 8, di Kabupaten Gunung Kidul, Kota Palembang, dan Kota Kupang memperlihatkan bahwa indeks kesiapan sikap berhubungan dengan perilaku individu dalam menghadapi perubahan iklim dan dalam penggunaan air sehari-hari (P-Value < 0,05), artinya semakin baik sikap keluarga dalam mempersepsikan dampak perubahan iklim dalam peggunaan air sehari-hari, maka semakin baik perilaku mereka. Menurut nilai koefisien determinasi, diketahui bahwa sikap merupakan variabel yang cukup berkontribusi untuk memprediksi kesiapan perilkau individu dalam menghadapi perubahan iklim dan penggunaan air sehari-hari. Menurut Azwar, 1995 minat berperilaku merupakan fungsi dari sikap terhadap perilaku, persepi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut (norma subyektif) dan kontrol perilaku yang dihayati (Azwar 1995). Green dalam Ferdinand (1997) meyebutkan bahwa perilaku masyarakat dipengaruhi oleh berbagai paham diantaranya adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan yang merupakan respon atau reaksi individu terhadap rangsangan dari luar maupun dari dalam.

Adaptasi masyarakat menghadapi perubahan iklim dan penggunaan air sehari-hari sangat ditentukan secara rasional dalam upaya memenuhi kebetuhannya sehingga akan mencari dan memanfaatkan informasi yang ada dan mempertimbangkan akibat dari tindakan sebelum memutuskan untuk melibatkan diri dalam satu kegiatan. Selanjutnya seseorang akan berperilaku tertentu atau berminat, apabila memandang tindakan itu positif dan percaya bahwa orang lain ingin melakukan tindakan itu (Ajzen dan Fichbein dalam Azwar 1995). Minat seseorang dalam hal ini penggunaan dari sarana air bersih dianalogkan

dengan minat seseorang terhadap sesatu dimana minat sangat ditentukan oleh sikap dan persesi yang dimiliki. Persepsi yang sudah terbentuk akan melahirkan ide/konsep (cognitive). Ide/konsep yang sudah terbentuk akan melahirkan kecendrungan seseorang untuk bersikap dan kemudian berprilaku

Dari tabel 9 di bawah dapat diketahui bahwa Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Kupang sebagai wilayah yang sering mengalami musim langka angka, membuat masyakat harus memiliki kesiapan perilaku dalam menghadapi datangnya musim-musim tersebut. Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui bahwa variabel pengetahuan dan sikap berhubungan dengan perilaku setiap keluarga dalam menghadapi musim langka air (P-Value <0,05), artinya semakin baik pengetahuan dan sikap setiap keluarga tentang perubahan iklim, maka akan semakin baik perilaku mereka dalam menghadapi musim langka air. Sedangkan variabel pendapatan keluarga tidak berhubungan dengan kesiapan perilaku. Hal ini disebabkan karena air adalah kebutuhan primer untuk manusia, sehingga dengan pendapatan sekecil apapun akan berupaya semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan keluarga terhadap air. Meskipun harus menjual barang-barang berharga. Sedangkan banyak uang yang harus dikeluarkan oleh 1 RT di Kabupaten Gunung Kidul agar dapat memenuni kebutuhan air saat terjadi krisis air, mengakibatkan mereka terpaksa harus menjual sapi atau ternak lainnya. Hal ini juga terjadi di Kota Kupang dimana masyarakat menganggap air sebagai ladang emas yang sangat menguntungkan karena kebutuhan masyarakat tidak sesuai dengan tingkat kecukupannya. Kondisi ini berbeda dengan di Kota Palembang yang tidak merasakan adanya krisis air karena kemajuan inovasi penanganan air bersih dicatat PDAM Kota Palembang yang melakukan ekspansi pelayanan hampir mencakup seluruh kota PDAM di wilayah tersebut sehingga tahun 2009 telah melayani ± 80% dan sebagian masyarakat masih dapat mencukupi

Hubungan Pendapatan, Pengetahuan dan Indeks Kesiapan Sikap tentang perubahan iklim dengan •

Indeks Perilaku Individu dalam Menghadapi Musim Langka Air di Perkotaan pada tabel 9.

Tabel 9. Hubungan Indeks Kesiapan Sikap dengan Indeks Kesiapan Perilaku Individu dalam Musim Langka Air di Perkotaan

Wilayah Indikator r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul Pendapatan 0,170 0,029 Perilaku:45,985+2.31E-006* Pendapatan 0,195

Pengetahuan 0,278 0,077 Perilaku: 31,764+0,286* Pengetahuan 0,029

Sikap 0,187 0,035 Perilaku: 27,982+0,305: Sikap 0,147

Kupang Pendapatan -0,175 0,030 Perilaku: 53,298+2,616* Pendapatan 0.122

Sikap 0,337 0,112 Perilaku: 22,099+0,396* sikap 0.001

Pengetahuan 0,420 0,177 Perilaku: 16,111+0,493* Pengetauan 0,000

Wilayah Variabel Kategori Kejadian Sakit P-value CI RR

Sakit Tidak Sakit

Gunung Kidul n % n % Pengetahuan Belum Siap 19 15,4 3 12,5 0,842 - -Dukungan Kolektif 63 51,2 12 50,0 Proaktif 41 33,3 9 37,5 Sikap Belum Siap 35 28,3 8 33,3 0,894 - -Dukungan Kolektif 75 61,0 13 54,2 Proaktif 13 10,6 3 12,5 Musim Langka Air

Mengalami Musim Langka Air 61 49,6 1 4,2 0,000

1,18-1,54 1,35

Tidak Mengalami Musim Langka Air 62 50,4 23 95,8

Kupang Pengetahuan Belum Siap 26 23.85 9 21.95 0.024 - -Dukungan Kolektif 58 53.21 30 73.17 Proaktif 25 22.93 2 4.878 Sikap Belum Siap 15 13,8 6 14,6 0.954 - -Dukungan Kolektif 72 61,0 26 63,4 Proaktif 22 10,6 9 22 Musim Langka Air

Mengalami Musim Langka Air 83 76.1 4 9.8 0,000

1,72-3,11 2,31

Tidak Mengalami Musim Langka Air 26 23.9 37 90.2

Palembang Pengetahuan Belum Siap 19 15,4 3 12,5 0,842 - -Dukungan Kolektif 63 51,2 12 50,0 Proaktif 41 33,3 9 37,5 Sikap Belum Siap 35 28,3 8 33,3 0,894 - -Dukungan Kolektif 75 61,0 13 54,2 Proaktif 13 10,6 3 12,5

Hubungan Indeks Kesiapan Pengetahuan, Sikap dan Musim Langka Air dengan Indeks Perilaku •

Pemanfaatan Air dalam Sektor Usaha di Perkotaan

Tabel 10. Hubungan Indeks Kesiapan Pengetahuan, Sikap dan Musim Langka Air dengan Indeks Perilaku Pemanfaatan Air dalam Sektor Usaha di Perkotaan

Berdasarkan tabel 10 di atas, diketahui bahwa kejadian sakit yang dapat disebabkan karena kurannya penyediaan terhadap air bersih di Kota Kupang dan Kabupaten Gunung Kidul berhubungan dengan saat kedua wilayah tersebut mengalami musim langka air (P-Value<0,05). Nilai Risiko Relatif (RR) menjelaskan bahwa apabila terjadi musim langka air, maka akan berisiko menaikan prevalensi penyakit sebesar 1,35 kali di Kabupaten Gunung Kidul dan 2,31 kali di Kota Kupang. Selain

variabel tersebut, variabel pengetahuan merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian sakit di

Kota Kupang, artinya semakin rendah pengetahuan keluarga tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) maka semakin tinggi risiko kejadian sakitnya. WHO dalam rangka Intercountry Consultation on

Quality Assurance in Water Supply System telah

mencetuskan Deklarasi Bangkok mengenai air minum yang aman dan sehat, yang antara lain menyatakan bahwa air minum yang sehat dan

terjangkau dalam jumlah yang mencukupi adalah hak azasi setiap manusia sebagai syarat untuk mencapai kesehatan yang optimal, dalam rangka keadilan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan sosial, dan ekonomi. Ketersedianan air minum/air bersih dan sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan dan perilaku hidup bersih dan sehat, mempunyai dampak yang besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Maka sejalan dengan paradigma sehat, pembangunan kesehatan sekarang ini lebih ditekankan pada upaya preventif dan promotif, termasuk upaya penyediaan dan penyehatan air dan pengamanan limbah serta upaya penyehatan lingkungan dan upaya peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) kepada masyarakat yang mempunyai daya ungkit yang besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan tidak meninggalkan upaya pengobatan dan rehabilitasi (Ahmadi 2012).

Hubungan Indeks Kesiapan Pengetahuan, Kesiapan Sikap Dan Terjadinya Musim Langka Air dengan •

Kejadian Sakit karena Masalah Air di Perkotaan

Tabel 11. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Musim Langka Air dengan Indeks Perilaku Pemanfaa-tan Air dalam Sektor Usaha di Perkotaan

Wilayah Variabel Kategori Perilaku Pemanfaat Air P-value CI RR

Tidak Memanfaatkan Memanfaatkan

Gunung Kidul

n % n %

Pengetahuan Belum Siap 1 3,8 21 17,4 0,125 -

-Dukungan Kolektif 16 61,5 59 48,8

Proaktif 9 34,6 41 33,9

Sikap Belum Siap 2 7,7 41 33,9 0,019 -

-Dukungan Kolektif 19 73,1 69 57,0

Proaktif 5 19,2 11 9,1

Musim Langka Air

Mengalami Musim Langka Air 20 76,9 42 34,7 0,000

1,95-10,7 4,57 Tidak Mengalami Musim

Langka Air

6 23,1 79 65,3

Kupang Pengetahuan Belum Siap 20 58,8 18 34,0 0,043 -

-Dukungan Kolektif 12 35,3 13 24,5

Proaktif 2 5,9 22 41,5

Sikap Belum Siap 21 61,8 12 22,6 0,021 -

-Dukungan Kolektif 12 35,3 19 35,8

Proaktif 1 2.9 22 41,5

Musim Langka Air

Mengalami Musim Langka Air 28 82,4 16 30,2 0,000

2,10-9,90 4,56 Tidak Mengalami Musim

Langka Air

6 17,6 37 69,8

Palembang Pengetahuan Belum Siap 1 3,8 21 17,4 0,125 -

-Dukungan Kolektif 16 61,5 59 48,8

Proaktif 9 34,6 41 33,9

Sikap Belum Siap 2 7,7 41 33,9 0,019 -

-Dukungan Kolektif 19 73,1 69 57,0

Berdasarkan tabel 11 di atas, dapat diketahui bahwa perilaku mansyarakat dalam memanfaat air untuk menunjang ekonomi keluarga seperti usaha pencucian kendaraan, laundy, minuman, dan makanan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Kupang sangat dipengaruhi oleh sikap masyarakat tentang perubahan iklim dan saat terjadi musim langka air (P-Value,0,05), dimana musim langka air mengakibatkan rendahnya keinginan masyarakat untuk memanfaatkan air dalam kegiatan usaha sebesar 4,57 kali di Kabupaten Gunung Kidul dan 4,56 kali di Kota Kupang. Sedangkan di Kota Palembang, perilaku masyarakat untuk memanfaatkan air sangat dipengaruhi oleh sikap masyarakat tentang perubahan iklim. Manusia dihadapkan kepada inti masalah ekonomi, yaitu keinginan yang tidak terbatas dengan sumber daya atau barang dan jasa yang terbatas. Maka manusia harus mampu menggunakan sumber daya yang terbatas untuk menghasilkan barang atau jasa agar dapat mengimbangi keinginan yang tidak terbatas. Kelangkaan adalah suatu kondisi di mana kita tidak mempunyai cukup sumber daya untuk memuaskan kebutuhan kita atau alat pemuas kebutuhan yang tidak sebanding untuk memperolehnya diperlukan b. Kesiapan Komunitas

Hubungan Indeks Kearifan Lokal dan kepemimpinan dengan Indeks Kesiapan Pengelolaan dalam Musim •

Langka Air di Perkotaan

Tabel 12. Hubungan Indeks Kearifan Lokal dan kepemimpinan dengan Indeks Kesiapan Komunitas da-lam Pengelolaan Musim Langka Air di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul

Kearifan Lokal 0,235 0,055 Pengelolaan Air: 52,968+2,640* Kearifan Lokal 0,258

Kepemimpinan

-0,396

0,157 Pengelolaan Air: 0,397+0,192* Kepemimpinan 0,053

Kupang Kearifan Lokal 0,245 0,062 Pengelolaan Air: 53,427+2,935* Kearifan Lokal 0,245 Kepemimpinan 0,225 0,053 Pengelolaan Air: 52,273+ 2,652* Kepemimpinan 0,259

Palembang Kepemimpinan 0,218 0,048 Pengelolaan Air: 0,357+0,992* Kepemimpinan 0,724

Hubungan Indeks Kearifan Lokal dengan Indeks Kesiapan organisasi dalam Pengelolaan Air di •

Perkotaan

Tabel 13. Hubungan Indeks Kearifan Lokal dengan Indeks Kesiapan Ketersediaan organisasi dalam Pengelolaan Air di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul

Kearifan Lokal

-0,051 0,003 Ketersediaan Organisasi: -0,124 + 0,457* Kearifan Lokal

0,788

Kupang Kearifan

Lokal

-0,069 0,004 Ketersediaan Organisasi: -0,134+0,557* Kearifan Lokal

0,768

pengorbanan yang lebih besar (Waryadi, 2011). Kehidupan ekonomi penduduk dicerminkan oleh aktivitas dalam menggunakan lahan untuk memenuhi kebutuhannya. Kehidupan ekonomi penduduk juga bergantung pada potensi alam yang dimiliki wilayah tersebut. Wilayah yang mengalami musim langka air, membuat ada bagian dari masyarakat yang tidak berminat untuk menggunakan air sebagai bahan utama dalam kegiatan ekonomi namun ada juga masyarakat yang memanfaatkan kondisi tersebut dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Air oleh masyarakat Kupang dianggap ladang emas karena semua masyarakat membutuhkannya, sehingga usaha tersebut akan banyak memberikan keuntungan dari sisi financial keluarga. Pada hakikatnya setiap manusia adalah konsumen, karena setiap manusia mempunyai kebutuhan dan hasrat memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, jumlah penduduk yang besar merupakan gambaran adanya sisi permintaan potensial terhadap barang dan jasa pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, di negara yang berpenduduk padat akan tumbuh dan berkembang berbagai bentuk kegiatan ekonomi, mulai produksi, distribusi sampai konsumsi (Kemdiknas 2010).

Hubungan ketersediaan organisasi dan Kempemimpinan dengan Indeks Kesiapan Keterlibatan •

Komunitas dalam Organisasi Pengelolaan Air Bersih di Perkotaan

Tabel 14. Hubungan ketersediaan organisasi dan Kempemimpinan dengan Indeks Kesiapan Keterliba-tan Komunitas dalam Organisasi Pengelolaan Air Bersih di Perkotaan

Wilayah r R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul

Kepemimpinan 0,056 0,001 Ketersediaan Organisasi: 1,355+7,416*Kepemimpinan 0,771 Ketersediaan Organisasi 0,929 0,863 Keterlibatan Komunitas: 0,897+0,068*Ketersediaan Organisasi 0,000 Kupang Kepemimpinan 0,061 0,007 Ketersediaan Organisasi: 1,277+6,514*Kepemimpinan 0,761 Ketersediaan Organisasi 0,933 0,878 Keterlibatan Komunitas: 0,923+0,077*Ketersediaan Organisasi 0,000 Palembang Kepemimpinan 0,237 0,056 Ketersediaan Organisasi: 0,007+0,005*Kepemimpinan 0,207

Berdasarkan tabel 12, 13 dan 14 di atas, dapat diketahui bahwa kearifan lokal dan kepemimpinan di Kota Kupang, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Palembang tidak lagi berhubungan dengan kesiapan sebuah komunitas menghadapi perubahan ketersediaan sumber air minum. Mulai menipisnya kearifan lokal dalam penyediaan air bersih di komunitas memang sangat disayangkan karena kompleksitas dinamika kehidupan manusia berkaitan dengan banyak aspek. Adanya perkembangan kehidupan manusia telah merubah nilai-nilai sosial-ekonomi budaya masyarakat terhadap sumberdaya alam termasuk air. Sejalan dengan itu, Sutawan (2003) berpendapat bahwa kegagalan pemerintah dalam melaksanakan tujuan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air disebabkan karena pemerintahdi masa lampau telah mengabaikan kearifan dan pengetahuan local (local wisdom dan local knowledge). Keberadaan air yang begitu mutlak dalam hidup dan kehidupan manusia telah menempatkan masalah pengelolaan sumberdaya air sebagai suatu hal penting dalam kebudayaan manusia dan dimulai sejak awal kehidupan manusia. Tata pengelolaan sumberdaya yang baik memerlukan unsur-unsur penopang berupa kelembagaan, actor dan tata nilai yang mengaturnya. Pada dasarnya hal ini telah dimiliki masyarakat sebagai pihak yang

telah lama mendiami kawasan dimana sumberdaya air tersebut berada. Masyarakat memiliki local

wisdom dan local knowledge yang terbukti secara

empiris mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam. Untuk itu dalam mewujudkan keberlanjutan sumberdaya, semua pihak perlu menghargai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.

Peran serta masyarakat memberikan kontribusi yang paling mempengaruhi terbentuknya kesiapan komunitas dalam organisasi pengelolaan air bersih di suatu wilayah tertutama di Kota Kupang dan Palembang. Peran serta adalah ketelibatan yang bersifat substansif. Cohen dan Uphoff dalam Ridwan (1991) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat menjadi jelas apabila ada keterlibatan pengambilan keputusan, implementasi/pelaksanaan program, memperoleh manfaat dan keterlibatan dalam evaluasi. Davis (1998) melakukan studi tentang peran serta masyarakat terhadap proyek penyediaan sarana air bersih dan pelayanan sanitasi bahwa peranserta masyarakat dimulai dari informasi tentang manfaat proyek, partisipasi dalam penyusunan perencanaan, dilibatkan dalam implementasi dan evaluasi, dan mau membayar terhadap output proyek (willing to pay).

Hubungan Indeks Kesiapan kelembagaan (Kepemilikkan Jaringan) dengan Indeks Kesiapan •

Membuat Kesepakatan Program

Wilayah Indikator r R2 Persamaan Regresi P-Value Gunung Kidul Jaringan 0,165 0,027 Kesepakatan Program: 0,110+0,125* Jaringan 0,384

Palembang Jaringan 0,183 0,033 Kesepakatan Program: 0,091+0,092* Jaringan 0,334

Kupang Jaringan 0,134 0,015 Kesepakatan Program: 0,090 + 0,097* Jaringan 0,456 Tabel 15. Hubungan Indeks Kesiapan kelembagaan (Kepemilikkan Jaringan) dengan Indeks

Kesiapan Membuat Kesepakatan Program

Hubungan Indeks Kesiapan kelembagaan (Ketersediaan Informasi) dengan Indeks Kesiapan Membuat •

Kesepakatan Program

Tabel 16. Hubungan Indeks Kesiapan kelembagaan (Ketersediaan Informasi) dengan Indeks Kesiapan Membuat Kesepakatan Program

Wilayah Indikator R R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul Ketersediaan Informasi 0,225 0,051 Kesepakatan Program: 0,140+0,121* Ketersediaan Informasi 0,259 Palembang Ketersediaan Informasi 0,178 0,032 Kesepakatan Program: 0,116+0,147* Ketersediaan Informasi 0,440 Kupang Ketersediaan Informasi 0,268 0,077 Kesepakatan Program: 0,155+0,134* Ketersediaan Informasi 0,321

Hubungan Indeks Kesiapan Kelembagaan (Ketersediaan

Channel Komunikasi) dengan Indeks Kesiapan

Membuat Kesepakatan Program

Tabel 17. Hubungan Indeks Kesiapan Kelembagaan (Ketersediaan Channel Komunikasi) dengan Indeks Kesiapan Membuat Kesepakatan Program

Wilayah Indikator R R2 Persamaan Regresi P-Value

Gunung Kidul Channel Komunikasi 0,579 0,335 Kesepakatan Program: 0,487+0,166* Channel Komunikasi 0,009

Palembang Channel Komunikasi 0,337 0,114 Kesepakatan Program: 0,232+0,180* Channel Komunikasi 0,219

Kupang Channel Komunikasi 0,668 0,452 Kesepakatan Program: 0,552+0,071* Channel Komunikasi 0,006 Berdasarkan tabel 15, 16 dan 17 di atas, dapat

diketahui bahwa kesiapan kelembagaan terkait dengan membuat kesepakatan program di Kota Kupang dan Kabupaten Gunung Kidul sangat dipengaruhi oleh ketersediaan channel komunikasi karena nilai P-Value < 0,05, artinya semakin baik jalinan komunikasi antara pengurus maka akan semakin baik kesepakatan program yang dihasilkan. Namun, hasil ini dari 2 wilayah tersebut berbeda dengan di Kota Palembang, dimana hasil statistik menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

channel komunikasi dengan kesepakatan program

yang akan dibuat dalam sebuah organisasi, hal ini disebabkan karena sebagian besar kebutuhan air bersih bagi warga Kota Palembang telah mampu dicukupi oleh PDAM Tirta Musi dan sebagian masih dapat memanfaatkan air permukaan seperti air sungai, dan kolam/rawa. Sehingga masyarakat mengaggap tidak begitu memerlukan keberadaan sebuah orgasisasi/lembaga di tingkat komunitas untuk mengatur kebutuhan air mereka. Keadaan

di Palembang sangat berbeda dengan Kota Kupang dan Kabupaten Gunung Kidul, dimana persentase rumah tangga di Kota Kupang pada tahun 2010 yang memiliki fasilitas air minum sendiri hanya sebesar 49,98 persen, selebihnya adalah milik bersama dan milik umum. Kualitas air di Kupang yang tercampur kapur dan berkurangnya ketersediaan air di Gunungkidul, serta kenaikan suhu dan perubahan pola presipitasi mempengaruhi pengolahan dan distribusi air, misalnya air melalui pipa di Kupang dan tidak mengalir air selama musim sulit air di Kabupaten Gunung Kidul. Oleh karena itu, kebutuhan akan organisasi yang sehat dalam pengelolaan, pengaturan dan penyediaan air di masyarakat sangat diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut penelitian Lubis (2002) menyatakan bahwa komunikasi dalam organisasi menjadi sangat penting karena sebuah organisasi akan bubar karena ketiadaan komunikasi. Para anggota tidak akan tahu apa yang akan dilakukannya dan apa yang dikerjakan sesama anggota. Pemimpin tidak

Melalui komunikasi yang baik maka akan terbentuk jaringan yang baik, karena menurut De Vito (1997), jaringan komunikasi adalah saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain dalam organisasi. Jaringan organisasi ini berbeda-beda tergantung besar dan strukturnya pada masing-masing organisasi, dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan, dan tujuan organisasi tersebut. Komunikasi juga dapat memberikan informasi yang diperlukan setiap individu dan kelompok untuk membuat/mengambil