• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal. Volume 5 Nomor 3 November 2013 ISSN : X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal. Volume 5 Nomor 3 November 2013 ISSN : X"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Jurnal

SoSial Ekonomi PEkErJaan umum

Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah wadah informasi bidang sosial dan ekonomi bidang pekerjaan umum dan permukiman berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman. Jurnal ini terbit sejak tahun 2009 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli, dan November.

Penanggung Jawab

Ir. Lolly Martina Martief, MT Dewan Editor

Ketua : Dr. Ir. R. Pamekas, M.Eng. Anggota : Dr. Ir. Achmad Helmi, M.Sc, M.Si

Prof. (R).Dr.-Ing. Andreas Wibowo, ST,MT Ir. Joyce Martha Widjaya, M.Sc

Drs. FX Hermawan K, M.Si Mitra Bestari

Prof. Dr. Ir. Effendi Pasandaran Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA Dr. Dody Prayogo, MPSt Redaksi Pelaksana

Ketua : Ir. Yusniewati, M.Sc Anggota : Enfy Diana Dewi, ST, MUP

Ir. Ridwan Marpaung, MT Rahaju Sutjipta, S.Sos. Aldina Rani Lestari, SIP Masmian Mahida, S. Kom Dwi Rini Hartati, ST Tomi Hendratno, ST

Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum.

Alamat Redaksi/Penerbit:

Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum Gedung Heritage lantai 3, Wing Barat Jl. Patimura No. 20, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Telp. (021) 72784641 Fax. (021) 727844644, Email: sosekling@pu.go.id

(3)

Jurnal

SoSial Ekonomi PEkErJaan umum

Penentuan Variabel dan Indikator Outcome Jaringan Irigasi di Daerah Irigasi Batang Anai Sumatera Barat dengan Teknik Delphi

Wirawan Widiyanto dan Adji Krisbandono

Kemauan Membayar dan Surplus Konsumen untuk Kemudahan Layanan Air Bersih pada Masyarakat Kembangbahu Menggunakan Contingent Valuation Method (Studi Kasus Dampak Kekeringan Pada Ketersediaan Air Bersih)

Ridwan Marpaung

Hambatan Kesiapan Masyarakat Desa Sei Ahas dalam Pembangunan Canal Blocking pada Rawa Gambut

Ellias Wijaya dan Bangkit A Wiryawan

Model Revitalisasi Pengelolaan Pasar Tradisional

Dessy Febrianty

Penerapan Kelembagaan Operasi Pemeliharaan untuk Jaringan Irigasi pada Masyarakat Lokal

Retta Ida Lumongga

Faktor Determinan Kesiapan Masyarakat terkait Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Air Minum

Yudha Pracastino Heston dan Nur Alvira Pasa Wati DP INDEKS

DAFTAR ISI

141-148 149-161 163-174 175-186 187-195 187-215 216

(4)

PENGANTAR REDAKSI

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi izin dan sekaligus kekuatan untuk menerbitkan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 5 Nomor 3 November 2013. Jurnal ini adalah majalah ilmiah terakreditasi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum. Jurnal ini terbit secara berkala dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun, yaitu bulan April, Juli, dan November.

Jurnal ini merupakan corong para peneliti yang akan menyampaikan hasil hasil penelitian dan pemikiran ilmiahnya tentang sebuah fenomena alam dan kemasyarakatan tertentu yang berhasil ditemukan melalui proses penelitian maupun kajian. Jawaban atas suatu fenomena tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh para praktisi dan pengambil keputusan, karena keputusan yang salah akan berakibat fatal. Jurnal ini juga merupakan media komunikasi antar peneliti yang ingin mengetahui perkembangan terkini (state of the art) tentang ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya terkait dengan aspek sosial ekonomi dan lingkungan dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur Pekerjaan Umum dan Permukiman. Kesenjangan pengetahunan (gap of the body of knowledge) inilah yang perlu diisi oleh para peneliti.

Jurnal edisi ini mengangkat isu isu yang berhubungan dengan kinerja hasil (outcome) penyelenggaraan infrastruktur bidang sumber daya air, kesiapan masyarakat menerima produk teknologi infrastruktur, kemauan masyarakat berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan pelayanan infrastruktur, kreasi menyediakan jurupungut retribusi dalam sistem kelembagaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi , kinerja dan kualitas pelayanan infrastruktur kepada para penggunannya dan kemampuan masyarakat beradaptasi menghadapi dampak perubahan iklim global yang mulai dirasakan akibatnya.

Isu pertama tentang kinerja hasil (outcome) bagi para penyelenggara pembangunan bukan hal baru karena sudah menjadi bagian utama mata kuliah diklat kepemimpinan. Ilmu reinventing goverment menjelaskan makna dan kiat-kiat mewujudkan kinerja outcome. Oleh karena itu, permintaan melakukan penelitian dari pemangku kepentingan tentang outcome ini menandakan bahwa isu ini sudah memasuki stadium lanjut. Apabila gagal merespons isu ini, berarti gagal memenuhi target reformasi dalam penyelenggaraan infrastruktur. Isu kedua tentang kemauan membayar masyarakat juga banyak diabaikan dalam penyelenggaraan infrastruktur berbasis pendekatan top down. Padahal kemauan adalah kekayaan (asset) yang tidak ternilai harganya. Pengetahuan tentang kemauan membayar ini sangat bermanfaat untuk menentukan besarnya nilai investasi dan lokasi dimana sebaiknya infrastruktur dibangun. Kemauan masyarakat membayar tarif, pada dasarnya identik dengan penyertaan modal dalam membangun usaha. Isu ketiga tentang kesiapan masyarakat menerima teknologi baru sebenarnya juga bukan isu baru. Tetapi ketika dimana mana mulai bermunculan monumen infrastruktur, kita mulai sadar untuk memahami akar permasalahan dibalik munculnya monumen tersebut. Tiada kata terlambat dalam memahami fenomena yang terjadi.Pengetahuan yang diperoleh dari penelitian ini tentunya sangat membantu membuat rencana aksi untuk memfungsikan kembali monumen monumen infrastruktur sedemikian sehingga bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Isu keempat kinerja dan kualitas infrastruktur erat sekali kaitannya dengan isu operasi dan pemeliharaan infrastruktur dan kemauan masyarakat membayar tarif retribusi. Masyarakat yang sudah mau membayar ini harus diapresiasi, misalnya melalui sistem penjemputan tarif oleh jurupungut. Apabila mekanisme ini dapat dijalankan dengan baik maka nilai kinerja infrastruktur menjadi baik pula. Pengguna infrastruktur yang terpuaskan oleh pelayanan yang diberikan, tentunya akan semakin percaya dan semakin meningkat kemauan untuk bekerjasama dalam memeliharan dan meningkatkan kualitas pelayanan infrastruktur itu sendiri.

Isu kelima tentang perlunya juru pungut tarif retribusi dalam sistem kelembagaan operasi dan pemeliharaan irigasi tentunya perlu ditanggapi secara pisitif. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP) merupakan faktor kunci keberlanjutan pelayanan infrastruktur. Oleh karena itu , Biaya OP ini harus selalu tersedia pada saat yang diperlukan. Adanya gangguan aliran dana (cash flow) akan berakibat terganggunya pelayanan, bahkan bisa menghentikan sama sekali pelayanan yang diberikan. Akibat lebih lanjut dari berhentinya pelayanan adalah timbulnya kerusakan demi kerusakan terhadap infrastruktur yang pada akhirnya kita kehilangan sama sekali kekayaan infrastruktur yang pernah dimiliki. Isu keenam tentang kemampuan beradaptasi terhadap

(5)

dampak perubahan iklim global, juga sangat erat kaitannya dengan kualitas infrastruktur. Semakin tinggi kualitas infrastruktur yang dibangun, semakin kuat dan tangguh menghadapi dampak perubahan iklim global dan bila sebaliknya maka semakin rentan menghadapi dampak yang terjadi. Kualitas infrastruktur berpengaruh terhadap baban adaptasi yang harus dipikul masyarakat pengguna infrastruktur. Semakin tinggi kualitas infrastruktur, semakin berkurang beban masyarakat untuk beradaptasi menghadapi dampak perubahan iklim.

Keenam isu yang disajikan pada edisi kali ini, saling berhubungan antara isu yang satu dengan isu yang lainnya. Hubungan antar isu-isu tersebut apabila diteliti lebih lanjut akan membentuk ilmu pengetahuan baru. Adalah tugas peneliti untuk membuktikannya untuk menyiapkan menyiapkan jawaban terhadap kemungkinan timbulnya isu isu baru sejalan dengan perubahan di lapangan baik positip maupun negatif. Apabila yang timbul adalah isu negatif yang dapat merugikan masyarakat, maka perlu dicarikan solusi untuk mengurangi atau meniadakan dampak ikutannya. Apabila isu yang timbul bermanfaat maka perlu pula dicarikan upaya untuk memperkuatnya sedemikian sehingga manfaatnya dapat lebih ditingkatkan dan didistribusikan seluas luasnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Akhir kata, pengelola Jurnal Sosek PU mengucapkan selamat membaca semoga dapat menikmati ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Semoga ilmu pengetahuan tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan lahir maupun batin. Kepada para pihak yang telah memberi kontribusi baik dalam mengirim makalah, menilai, menata, mencetak, dan menerbitkan serta mendistribusikannya kepada pembaca, tidak lupa kami mengucapkan banyak banyak terima kasih semoga kontribusinya mendapatkan imbalan yang setimpal dari Tuhan YME. Amien.

Selamat membaca!

Jakarta, November 2013 Redaksi Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum

(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Redaksi Pelaksana Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum mengucapkan terimakasih kepada para mitra bestari (peer-reviewer) Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum Volume 5 Nomor 3 November 2013

Prof. Dr. Effendi Pasandaran Prof Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ir. Hastu Prabatmodjo, MS, Ph.D Prof. Dr. Sunyoto Usman, MA

(7)
(8)

DENGAN TEKNIK Delphi

Application of Delphi technique to Determine Variables and indicators

of Outcomes for irrigation System at Batang Anai, West Sumatera

Wirawan Widiyanto1, Adji Krisbandono2

1) Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum

Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta selatan 12110 Email: w1r4w4n@gmail.com

2) Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum

Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta selatan 12110 Email: adjidono@yahoo.com

Tanggal diterima: 17 September 2013 ; Tanggal disetujui: 24 Oktober 2013

ABStRAct

Bureaucratic reform urges ministries to increase the performance of their strategic plan to meet their targets. The outcomes must then be adopted. Irrigation system is one of the infrastuctures which should have significant outcomes. Batang Anai irrigation system in West Sumatera is the widest irrigation system which produces significant outcomes. The aim of the research was to determine variabels and indicators of outcomes using Delphi method for Batang Anai irigation system. Delphi method was carried out through Focus Group Discussion to obtain 5 variabels and 11 indicators of outcomes. The results showed that the most important variabels were the extent of water fulfillment for the farmers and coverage area of irrigation. The two variabels represent Batang Anai irrigation system performance.

Keywords: variabel, indicator, outcome, batang anai irrigation system infrastructure, delphi ABStRAK

Penerapan reformasi birokrasi menuntut seluruh Kementerian/Lembaga untuk meningkatkan kinerja dalam menentukan target yang harus dicapai pada Rencana Strategis. Hasil yang diharapkan tidak hanya pada tahapan output saja, akan tetapi harus mencapai outcome. Salah satu infrastruktur bidang pekerjaan umum yang penting untuk diukur outcome-nya adalah jaringan irigasi. Daerah irigasi Anai di Sumatera Barat merupakan daerah irigasi terluas sehingga outcome yang dapat dihasilkan juga besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan variabel dan indikator outcome infrastruktur irigasi dengan menggunakan teknik Delphi. Teknik Delphi dilakukan melalui Focus Goup Discussion (FGD) hingga menghasilkan 5 variabel dan 11 indikator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang paling penting dalam mengukur outcome dari pembangunan infrastruktur jaringan irigasi di Anai adalah variabel Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani dan Tingkat Luasan Layanan irigasi. Kedua variabel tersebut mewakili kinerja jaringan irigasi di daerah irigasi Anai di Sumatera Barat.

(9)

belum optimal. Dalam Renstra Kementerian PU 2010-2014 disebutkan bahwa kinerja pelayanan jaringan irigasi di Indonesia adalah sebanyak 7,2 juta ha yang sudah dibangun, tetapi diperkirakan terdapat sekitar 1,34 juta ha diantaranya belum dapat berfungsi secara optimal. Artinya, masih terdapat 18,61% jaringan irigasi yang belum memberikan outcome kepada masyarakat terutama petani.

Pembangunan infrastruktur irigasi masih terus mendapat perhatian serius dan prioritas terutama dalam rangka memperkuat ketahanan pangan nasional. Dukungan terhadap pengembangan jaringan irigasi tergambar dari upaya terus-menerus dalam meningkatkan target pembangunan waduk. Dalam Renstra Kementerian PU 2010-2014 disebutkan bahwa pada tahun 2010 target output pembangunan waduk sebanyak 7 (tujuh) buah dalam pelaksanaan pembangunan, sedangkan untuk periode tahun 2010-2014 target output mengalami peningkatan, yakni 52 waduk dalam pelaksanaan pembangunan dan 6 buah telah selesai pembangunannya.

Sebanyak 14 daerah irigasi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat. Daerah Irigasi Batang Anai, Padang Pariaman yang telah beroperasi sejak tahun 1997 termasuk ke dalam wewenang Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWS) V, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dengan luas 13.604 ha. Daerah Irigasi Batang Anai merupakan daerah irigasi yang terluas arealnya, sehingga outcome yang dapat dihasilkan juga luas dan besar. Saat ini perluasan pembangunan Daerah Irigasi Batang Anai (Anai Tahap II) meliputi luas areal layanan 6.840 ha, sehingga outcome jaringan irigasi juga diharapkan semakin luas dan besar. Manfaat Teknik Delphi dalam Mengukur

Outcome Irigasi

Sebenarnya, upaya untuk membangun instrumen

outcome dari suatu aktivitas sudah banyak dilakukan

oleh berbagai pihak. Trembely, et al (2010) melakukan studi tentang outcome di Kanada. Mereka berusaha mengembangkan pengukuran outcome terhadap berbagai kegiatan untuk memperkuat penelitian-penelitian yang bersifat evaluatif. Secara metodologi, salah satu kelebihan dari studi ini adalah mampu menggunakan pendekatan secara kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif terutama dalam menyeleksi kategori dan indikator. Demikian pula dalam metode analisisnya, mereka menggunakan teknik expert panel untuk melakukan validasi.

O.O. Ugwu dan T.C. Haupt (2007) melakukan

PENDAHULUAN

Urgensi Pengukuran Kinerja Outcome

Penerapan reformasi birokrasi dalam

penyelenggaraan kepemerintahan di Indonesia

menuntut Kementerian/Lembaga untuk

meningkatkan kinerja dalam menentukan target yang harus dicapai pada rencana strategisnya. Hasil yang diharapkan saat ini tidak hanya pada tahapan

output saja, akan tetapi juga harus menginjak pada outcome.

Outcome didefinisikan secara beragam.

Sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri PU No. 9 Tahun 2012, outcome adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran (output) dari kegiatan-kegiatan suatu program mengacu pada sasaran strategis dan tujuan yang ditetapkan. Selain itu, outcome juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran/

output dari kegiatan-kegiatan suatu program

(PP No. 39 tahun 2006). Lebih lanjut, (Bappenas 2009) menegaskan bahwa hasil (outcome) adalah pernyataan manfaat yang ingin dicapai, atau hasil

tangible bagi masyarakat (targeted group). Outcome

juga dipandang sebagai cara untuk menentukan dan mengendalikan sukses-tidaknya suatu fokus prioritas/program, serta berfungsinya sarana, barang, dan jasa (output) sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat (Permen PAN No. PER/20/M.PAN/11/ 2008).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Zwikael dan Smyrk (2011), yaitu jika output dapat dipandang sebagai hasil dari suatu proyek, maka

outcome adalah konsekuensi dari implementasi dari output. Outcome suatu program diperlukan dalam

penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK), sistem perencanaan dan pengganggaran maupun pada evaluasi kinerja program berlandaskan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).

Rencana strategis merupakan acuan operasional dalam penyusunan dokumen Rencana Kerja Kementerian Lembaga, Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-K/L), serta dokumen SAKIP. Rencana strategis berisikan rincian output per kegiatan dan keterkaitannya dengan ke-seluruhan komponen dimulai dari tujuan kementerian, sasaran strategis dan outcome, program, indikator kinerja outcome seperti tertuang pada Renstra Kementerian PU 2010-2014. Salah satu infrastruktur bidang PU yang penting untuk diukur outcome-nya adalah jaringan irigasi.

Peran dan Tantangan Infrastruktur Irigasi Infrastruktur irigasi merupakan tulang punggung sektor sumber daya air, namun sebagian kinerjanya

(10)

penelitian di Afrika Selatan tentang key performance

indicators dalam proses delivery infrastruktur.

Indikator keberlanjutan infrastruktur ini digunakan ketika menilai proposal proyek/program. Dalam melakukan penelitiannya, mereka menggunakan metode kuantitatif dengan teknik MCDA (Multi

Criteria Decision making Analysis) dan AHP

(Analytic Hierarchy Process) dengan kerangka model matematis. Yang penting dicermati dari hasil penelitian ini adalah mekanisme penyusunan indikator.

Delphi merupakan salah satu dari sekian banyak decision making tools yang kerap digunakan

untuk menjawab berbagai isu dan permasalahan kompleks dengan bantuan pendapat para ahli (experts opinion). Beberapa ahli/pakar dan peneliti yang sepakat dengan argumen dan mendalami riset ini antara lain Dalkey (1969) dan Reshcer (1969) sebagai pioneer yang mengembangkan teknik ini di RAND Corporation, hingga Powell (2002), Linstone & Turoff (2002), Yousuf (2007), dan Grisham (2009).

Teknik delphi memang sangat cocok untuk merumuskan konsensus dalam rangka penyelesaian isu/masalah. Beberapa keunggulannya telah diakui oleh Linston & Turoff (2002), antara lain: (1) Menghimpun data dan informasi, (2) Menginvestigasi tingkat signifikansi suatu kejadian terhadap kejadian lain, (3) Mengevaluasi alokasi anggaran,(4) Menganalisis pro dan kontra atas implikasi suatu kebijakan, (5) Mengembangkan hubungan kausal antara fenomena sosial dan ekonomi yang terjadi, dan keunggulan-keunggulan lainnya. Selain itu, teknik delphi juga dikenal sebagai tools yang demokratis dan terstruktur dalam mendapatkan pemikiran dari peserta. Namun, dibalik keunggulan yang disebutkan, mereka juga menyebutkan jika dilihat dalam konteks proses komunikasi, maka ada beberapa kalangan yang sepakat bahwa teknik

delphi kurang cocok untuk diaplikasikan pada

beberapa kasus.

Dalam konteks pengukuran kinerja jaringan irigasi, beberapa tools telah banyak dikembangkan oleh para peneliti dan ahli/pakar, diantaranya adalah Baoy (2011) yang menggunakan teknik Rapid

Irrigation Project Performance Assessment (RIPPA)

untuk mengevaluasi hasil capaian 6 (enam) proyek pengembangan jaringan irigasi di Filipina, Svendsen, et al (2009) yang menawarkan 6 (enam) kategori indikator untuk meningkatkan produktivitas pertanian, yaitu tatanan kelembagaan, penggunaan air irigasi, luas areal irigasi, teknologi irigasi, produktivitas pertanian, serta ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Kemudian Rachman & Kariyasa (2003) yang menekankan pada pentingnya

pengembangan kapasitas petani untuk berasosiasi, peran lembaga pengelola air di tingkat jaringan dan sungai, serta keterpaduan aspek teknis dan sistem kelembagaan yang akan berpengaruh terhadap hasil (outcomes).

Dari uraian di atas, maka dalam rangka meningkatkan kinerja outcome jaringan irigasi, dipandang penting untuk merumuskan variabel dan indikator outcome infrastruktur jaringan irigasi. Dengan mengambil studi kasus pada daerah irigasi Batang Anai sebagai salah satu infrastruktur PU yang strategis, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional, proses penentuan variabel dan indikator menggunakan teknik delphi. Teknik ini dipilih selain karena alasan praktis, melalui proses

delphi ini pula akan dapat di-assess hal-hal lain yang

hendak digali dari para ahli/pakar tersebut.

METODE PENELITIAN

Lingkup penelitian

Penelitian mengambil studi kasus di Daerah Irigasi Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian yang dilakukan selama bulan April hingga Juli tahun 2013 ini melibatkan pengguna, unit perencana program, unit pelaksana proyek, dan unit penanggung jawab kegiatan serta satuan unit program (proyek) pembangunan jaringan irigasi Batang Anai.

Penentuan Variabel dan Indikator Outcome Variabel dan indikator yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari literatur, laporan hasil studi, serta Undang-undang dan Peraturan terkait pengelolaan Jaringan Irigasi di Indonesia, khususnya yang menjadi wewenang pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal SDA, Kementerian PU. Draft variabel dan indikator outcome yang telah didapatkan dikonsensuskan pada FGD dengan narasumber ahli/pakar untuk mendapatkan variabel dan indikator outcome yang valid untuk infrastruktur jaringan irigasi.

Penentuan variabel dan indikator outcome dilakukan dengan teknik delphi. Teknik delphi dilakukan melalui sebuah FGD yang dihadiri oleh 7 orang ahli/pakar yang berkompeten dan berpengalaman dalam bidang/unit kerja perencanaan, pembangunan, serta pengelolaan infrastruktur irigasi dan pertanian, terdiri dari 2 (dua) orang dari Sub Direktorat Kebijakan dan Strategi, Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PU. Dua orang dari Sub Direktorat Evaluasi Kinerja, Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PU. Satu orang dari

(11)

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Satu orang dari Balai Wilayah Sungai V Sumatera, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PU, dan 1 (satu) orang dari kalangan akademisi (Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas).

Penentuan Variabel dan Indikator Outcome pada FGD

Pada FGD diberikan kuesioner yang harus diisi oleh narasumber peserta dalam beberapa putaran, kemudian didiskusikan hingga tercapai konsensus dari peserta FGD. Untuk mendapatkan konsensus dari variabel outcome pemberian kuesioner dilakukan dalam 3 (tiga) putaran dan untuk indikator outcome dalam 2 (dua) putaran. Konsensus dari bobot untuk masing-masing variabel dan indikator outcome yang telah dihasilkan dari putaran-putaran sebelumnya didiskusikan kembali pada 2 (dua) putaran FGD.

Pada putaran pertama FGD dilakukan modifikasi terhadap teknik delphi dengan memberikan kuesioner yang sudah berisikan pilihan variabel dan indikator dengan tetap memberikan kesempatan pada para peserta FGD untuk menambahkan variabel dan indikator yang lain. Kuesioner berisikan pilihan jawaban “ya” atau “tidak” terkait variabel dan indikator outcome yang terdapat pada lembar kuesioner. Jawaban “ya” mendapat nilai/skor 1 (satu) dan jawaban “tidak” mendapat skor 0 (nol). Skor untuk masing-masing variabel dan indikator

outcome dalam setiap putaran merupakan rata-rata

dari skor yang didapatkan dari 7 (tujuh) peserta FGD. Variabel dan indikator outcome dinyatakan sebagai hasil konsensus jika skor yang didapatkan dalam 1 (satu) putaran lebih besar dari 0,7.

Konsensus Penentuan Variabel Outcome

Variabel outcome dalam FGD diperoleh melalui konsensus peserta FGD dalam 3 (tiga) putaran kuesioner. Pada putaran pertama disampaikan kepada peserta FGD variabel outcome sehingga menghasilkan variabel outcome baru. Pada putaran kedua disampaikan kembali kepada peserta FGD variabel outcome yang telah dihasilkan pada putaran pertama dalam kuesioner baru. Putaran ketiga dilakukan untuk mengkonfirmasikan hasil variabel

outcome pada putaran kedua. Hasil putaran ketiga

kemudian disampaikan kembali kepada peserta FGD sehingga terjadi kesepakatan terkait variabel

outcome pembangunan infrastruktur jaringan

irigasi. Pada masing-masing putaran FGD diperoleh skoring untuk setiap variabel outcome.

Konsensus Penentuan Indikator Outcome Indikator outcome diperoleh dengan 2 (dua) putaran kuesioner. Pada putaran pertama

disampaikan kepada peserta FGD indikator outcome yang sudah dihasilkan sehingga didapatkan pertambahan dan pengurangan indikator outcome dari indikator outcome awal yang telah disampaikan. Pada putaran kedua Indikator outcome hasil putaran pertama disampaikan kembali kepada peserta FGD untuk mengambil konsensus peserta terhadap hasil putaran pertama. Peserta FGD kemudian menyepakati hasil putaran kedua sehingga didapatkan konsensus indikator outcome pembangunan infrastruktur jaringan irigasi. Pada masing-masing putaran FGD diperoleh skoring untuk setiap indikator outcome.

Pembobotan Variabel dan Indikator Outcome Setelah diperoleh kesepakatan tentang indikator

outcome, selanjutnya dilakukan pembobotan

terhadap variabel dan indikator outcome yang dihasilkan untuk mengetahui variabel dan indikator mana yang lebih berpengaruh. Pembobotan dilakukan dengan 2 (dua) putaran FGD. Satu putaran untuk pembobotan terhadap variabel dan satu putaran lagi untuk pembobotan terhadap indikator.

Variabel dan indikator yang telah dihasilkan dituangkan pada kuesioner dengan menambahkan kolom isian untuk memberi bobot dari masing-masing variabel dan indikator outcome. Total bobot untuk variabel outcome adalah 100%.

Pada putaran pertama peserta FGD memberi nilai bobot untuk masing-masing variabel outcome. Hasil dari pembobotan variabel outcome dirata-ratakan dan disampaikan kepada peserta sehingga diperoleh bobot masing-masing variabel outcome. Pada putaran kedua bobot variabel yang sudah disepakati disampaikan kembali kepada peserta FGD untuk mengisi bobot dari indikator outcome. Jumlah bobot dari indikator merupakan breakdown dari bobot variabel di atasnya. Pembobotan indikator outcome yang dihasilkan kemudian disampaikan kembali ke peserta sehingga didapatkan pembobotan indikator

outcome pembangunan infrastruktur jaringan

irigasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Variabel dan Indikator Outcome Sebanyak 5 variabel terdiri dari 16 indikator

outcome didapatkan dari telaah literatur, laporan

hasil studi, serta Undang-undang dan Peraturan terkait pengelolaan jaringan irigasi di Indonesia khususnya yang menjadi wewenang pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal SDA, Kementerian PU seperti terlihat pada Tabel 1. Lima variabel dan 16 indikator outcome pembangunan infrastruktur jaringan irigasi terdiri dari variabel

(12)

tingkat luasan layanan irigasi sebanyak 2 indikator, variabel tingkat pemenuhankebutuhan air petani sebanyak 3 indikator, variabel tingkat kapasitas SDM Petani sebanyak 5 indikator, variabel tingkat aktivitas kelembagaan petani sebanyak 4 indikator dan variabel tingkat produksi hasil pertanian sebanyak 2 indikator. Variabel dan indikator yang telah dihasilkan dituangkan pada kuesioner dengan menambahkan kolom isian untuk memberi bobot dari masing-masing variabel dan indikator outcome. Total bobot untuk variabel outcome adalah 100%.

Pada putaran pertama peserta FGD memberi nilai bobot untuk masing-masing variabel outcome. Hasil dari pembobotan variabel outcome dirata-ratakan dan disampaikan kepada peserta sehingga diperoleh bobot masing-masing variabel outcome. Pada putaran kedua bobot variabel yang sudah disepakati disampaikan kembali kepada peserta FGD untuk mengisi bobot dari indikator outcome. Jumlah bobot dari indikator merupakan breakdown

dari bobot variabel diatasnya. Pembobotan indikator

outcome yang dihasilkan kemudian disampaikan

kembali ke peserta sehingga didapatkan pembobotan indikator outcome pembangunan infrastruktur jaringan irigasi.

Konsensus Penentuan Variabel Outcome

Pada FGD putaran pertama diperoleh 2 (dua) variabel dengan skor 1 (jawaban ‘ya’) yaitu variabel tingkat luasan layanan irigasi dan variabel tingkat aktivitas kelembagaan petani. Pada putaran pertama juga diperoleh masukan 3 (tiga) variabel baru, yaitu tingkat kapasitas SDM pengelola, dana operasional, dan koordinasi antar instansi terkait (Tabel 2).

Pada FGD putaran kedua diperoleh 5 (lima) variabel outcome awal tetap mendapatkan skor tinggi (0,85 dan 1) dan 3 (tiga) variabel outcome baru mendapat skor masing-masing 0,57. Pada putaran ketiga didapatkan hasil skor yang sama dengan hasil putaran kedua (Tabel 2). Tiga variabel

No Variabel Indikator

1 Tingkat Luasan Layanan irigasi Meningkatnya luasan layanan irigasiMeningkatnya areal dari non-sawah menjadi sawah

2 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan debit minimal sesuai desain (aspek kuantitas)

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan kualitas yang baik (aspek kualitas) Tercukupinya kebutuhan air bagi petani secara kontinyu (aspek kontinuitas)

3 Tingkat Kapasitas SDM Petani

Meningkatnya jumlah KK yang berprofesi sebagai petani Meningkatnya pengetahuan petani dalam memanfaatkan air irigasi Meningkatnya keterampilan petani dalam operasi dan pemeliharaan irigasi Meningkatnya tanggung jawab sosial petani terhadap infrastruktur irigasi Meningkatknya kemampuan petani dalam menghemat air irigasi

4 Tingkat Aktivitas Kelembagaan Petani

Jumlah organisasi petani yang aktif Jumlah anggota organisasi petani yang aktif Tingkat partisipasi petani dalam organisasi

Tingkat partisipasi organisasi petan terhadap infrastruktur irigasi

5 Tingkat Produksi Hasil Pertanian Jumlah produksi hasil pertanian Jumlah kali panen

Sumber: Hasil olah data (2013)

Tabel 1. Variabel dan Indikator Outcome

No Variabel Skor

Putaran 1 Putaran 2 Putaran 3

1 Tingkat Luasan Layanan irigasi 1,00 1,00 1,00

2 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani 0,85 0,85 0,85

3 Tingkat Kapasitas SDM Petani 0,85 0,85 0,85

4 Tingkat Aktivitas Kelembagaan Petani 1,00 1,00 1,00

5 Tingkat Produksi Hasil Pertanian 0,85 0,85 0,85

6 Tingkat kapasitas SDM pengelola 0,57 0,57

7 Dana Operasional 0,57 0,57

8 Koordinasi antar instansi terkait 0,57 0,57

Tabel 2. Hasil Konsensus Penentuan dan Skoring Variabel Outcome

(13)

outcome baru yang didapatkan memiliki nilai 0,57

lebih kecil dari batas nilai yang telah disepakati. Dengan demikian dari putaran ketiga diperoleh konsensus bahwa 5 (lima) variabel dipergunakan untuk menghitung outcome infrastruktur jaringan irigasi, yaitu tingkat luasan layanan irigasi, tingkat pemenuhan kebutuhan air petani, tingkat kapasitas SDM petani, tingkat aktivitas kelembagaan petani, dan tingkat produksi hasil pertanian.

Konsensus Penentuan Indikator Outcome Pada FGD putaran pertama diperoleh beberapa indikator baru, yaitu 2 (dua) indikator baru untuk variabel tingkat luasan layanan irigasi dengan mengamankan areal sawah dan tingkat kerusakan jaringan (Tabel 3). Satu indikator baru untuk variabel tingkat pemenuhan kebutuhan air petani yaitu cara pemakaian / penggunaan. Dua indikator baru untuk variabel tingkat kapasitas SDM petani yaitu tingkat partisipasi OP dan meningkatkan kemampuan OP petani. Dua indikator baru untuk variabel tingkat aktivitas kelembagaan petani, yaitu tingkat dukungan oleh pengelola/

pemerintah dan tahun dibentuk. Pada variabel kelima tidak mengalami penambahan jumlah indikator. Selain terjadi penambahan, terdapat beberapa indikator yang memiliki nilai di bawah 0,7 yaitu meningkatnya jumlah KK yang berprofesi sebagai petani, meningkatnya pengetahuan petani dalam memanfaatkan air irigasi, meningkatnya kemampuan petani dalam menghemat air irigasi, tingkat partisipasi petani dalam organisasi, dan jumlah kali panen.

Pada FGD putaran kedua diperoleh 2 (dua) indikator baru untuk variabel tingkat luasan layanan irigasi tidak mendapat skor lebih besar dari 0,7, sedangkan indikator meningkatnya areal dari non-sawah menjadi non-sawah mengalami peningkatan skor. Satu indikator baru pada variabel tingkat pemenuhan kebutuhan air petani tidak mendapatkan skor lebih besar dari 0,7. Tiga indikator pada variabel tingkat kapasitas SDM petani tidak mencapai skor 0,7 begitu juga dengan 2 (dua) indikator barunya. Tiga indikator pada variabel tingkat aktivitas kelembagaan petani tidak mencapai skor 0,7 dan 1 (satu) indikator pada

No Variabel Indikator Putaran 1SkorPutaran 2

1 Tingkat Luasan Layanan irigasi

Meningkatnya luasan layanan irigasi 1,00 1,00

Meningkatnya areal dari non-sawah menjadi sawah 0,57 0,71

Mengamankan areal sawah 0,28

Tingkat kerusakan jaringan 0,42

2 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan debit minimal sesuai desain (aspek

kuantitas) 1,00 1,00

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan kualitas yang baik (aspek kualitas) 0,71 0,71 Tercukupinya kebutuhan air bagi petani secara kontinyu (aspek kontinuitas) 0,85 0,85

Cara pemakaian / penggunaan 0,28

3 Tingkat Kapasitas SDM Petani

Meningkatnya jumlah KK yang berprofesi sebagai petani 0,42 0,42 Meningkatnya pengetahuan petani dalam memanfaatkan air irigasi 0,57 0,42 Meningkatnya keterampilan petani dalam operasi dan pemeliharaan irigasi 0,85 0,85 Meningkatnya tanggung jawab sosial petani terhadap infrastruktur irigasi 1,00 1,00 Meningkatnya kemampuan petani dalam menghemat air irigasi 0,57 0,57

Tingkat partisipasi OP 0,28

Meningkatkan kemampuan OP petani 0,14

4 Tingkat Aktivitas Kelembagaan Petani

Jumlah organisasi petani yang aktif 1,00 1,00

Jumlah anggota organisasi petani yang aktif 0,85 0,85

Tingkat partisipasi petani dalam organisasi 0,57 0,57

Tingkat partisipasi organisasi petani terhadap infrastruktur irigasi 0,71 0,71

Tingkat dukungan oleh pengelola / pemerintah 0,42

Tahun dibentuk 0,14

5 Tingkat Produksi Hasil Pertanian

Jumlah produksi hasil pertanian 0,71 0,71

Jumlah kali panen 0,57 0,57

Tabel 3. Hasil Konsensus Penentuan dan Skoring Indikator Outcome

(14)

variabel tingkat produksi hasil pertanian juga tidak mendapatkan skor lebih dari 0,7.

Dari FGD putaran kedua diperoleh konsensus untuk indikator outcome, yaitu sebanyak 11 indikator outcome terdiri dari 2 indikator pada variabel 1, 3 indikator pada variabel 2, 2 indikator pada pada variabel 3, 3 indikator pada variabel 4 dan 1 indikator pada variabel 5 (Tabel 3).

Pembobotan Variabel dan Indikator Outcome Pada FGD putaran pertama didapatkan bobot tertinggi yaitu variabel tingkat pemenuhan kebutuhan air petani diikuti oleh variabel tingkat luasan layanan irigasi, tingkat aktivitas kelembagaan petani, tingkat kapasitas SDM petani, dan tingkat produksi hasil pertanian. Pada FGD putaran kedua dihasilkan indikator dengan bobot tertinggi yaitu meningkatnya luasan layanan irigasi dan indikator dengan bobot terendah yakni jumlah organisasi petani yang aktif dan jumlah anggota organisasi petani yang aktif (Tabel 4).

Indikator meningkatnya luasan layanan irigasi memiliki bobot tertinggi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi di lapangan, yaitu terjadi peningkatan cukup signifikan terhadap luasan layanan irigasi dari 656 ha pada tahun 1996 menjadi 1.106 ha pada tahun 2000 atau mengalami kenaikan sebesar 81,53%. Indikator tingkat luasan layanan irigasi memiliki bobot yang tinggi hal ini senada dengan fakta di lapangan bahwa terjadi peningkatan luasan areal sawah pada periode 1996 sampai 2000 dari 1144 ha menjadi 1229 ha atau sekitar 1,48%.

KESIMPULAN

Dengan menggunakan teknik delphi didapatkan bahwa variabel yang paling penting dalam mengukur

outcome dari pembangunan infrastruktur jaringan

irigasi di Anai adalah variabel tingkat pemenuhan kebutuhan air petani dan tingkat luasan layanan irigasi. Kedua variabel tersebut cukup untuk mewakili kinerja jaringan irigasi khususnya di daerah irigasi Anai di Sumatera Barat. Kedua variabel tersebut juga didukung oleh indikator-indikator yang memiliki tingkat prioritas yang tinggi yaitu meningkatnya luasan layanan irigasi, tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan debit minimal sesuai desain (aspek kuantitas), meningkatnya areal dari non-sawah menjadi non-sawah, tercukupinya kebutuhan air bagi petani secara kontinyu (aspek kontinuitas), dan tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan kualitas yang baik (aspek kualitas). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian penyusunan instrumen pengukuran outcome pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum. Indikator yang dihasilkan dalam penelitian ini kemudian ditentukan parameter-parameternya sehingga menjadi sebuah instrumen untuk mengukur

outcome dari pembangunan infrastruktur. Instrumen

pengukuran outcome pembangunan infrastruktur tersebut bisa digunakan sebagai alat bantu dalam mengambil keputusan bagi Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Pekerjaan umum.

No Variabel Bobot Indikator Bobot

1 Tingkat Luasan Layanan irigasi 27% Meningkatnya luasan layanan irigasiMeningkatnya areal dari non-sawah menjadi sawah 17%10%

2 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Air Petani 28%

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan debit minimal sesuai

desain (aspek kuantitas) 13%

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani dengan kualitas yang baik

(aspek kualitas) 6%

Tercukupinya kebutuhan air bagi petani secara kontinyu (aspek

kontinuitas) 9%

3 Tingkat Kapasitas SDM Petani 15%

Meningkatnya keterampilan petani dalam operasi dan pemeliharaan

irigasi 8%

Meningkatnya tanggung jawab sosial petani terhadap infrastruktur

irigasi 7%

4 Tingkat Aktivitas Kelembagaan Petani 18%

Jumlah organisasi petani yang aktif 5%

Jumlah anggota organisasi petani yang aktif 5%

Tingkat partisipasi organisasi petani terhadap infrastruktur irigasi 8% 5 Tingkat Produksi Hasil

Pertanian 12% Jumlah produksi hasil pertanian 12%

Tabel 4. Hasil Konsensus Pembobotan Variabel dan Indikator

(15)

DAFTAR PUSTAKA

[Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2009. Pedoman Penyusunan RPJMN

2010-2014. Jakarta.

Baoy, N. 2011. Measuring Results of Irrigation

Development: the Evaluation of Completed Irrigation Projects In the Philippines, paper presented in INTRAC/PSO/PRIA Monitoring & Evaluation Conference Soesterberg, The

Netherlands, 15 June 2011.

Delkey, N.C. 1969. The Delphi Method: An Experimental

Study of Group Opinion. California: Rand

Corporation.

[Direktorat Jenderal Sumber Daya Air]. 2008. Profil

Balai Wilayah Sungai Sumatera V. Jakarta.

Grisham, T. 2009. The Delphi technique: a method for testing complex and multifaceted topics,

International Journal of Managing Projects in Business, Vol. 2 Iss: 1, pp.112 – 130.

Linstone, H. A., & Turoff, M. (Eds.), 1975. The Delphi

method: Techniques and applications. Boston

MA: Addison-Wesley.

Menteri PU tinjau pembangunan irigasi anai tahap II, 2012. (http://sda.pu.go.id/index.php/ berita-sda/pu-net/item/156-menteri-pu-tinjau-pembangunanirigasi-anai-tahap-ii, diakses 1 April 2013)

Permen PAN No. PER/20/Menpan/11/2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama. Jakarta.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 9 tahun

2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 23 tahun

2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2010-2014. Jakarta. Powell, Catherine. 2002. The Delphi technique:

myths and realities. Journal of Advanced

Nursing, Volume 41, Issue 4, pages 376–382.

Rachman, B. & Kariyasa, K. 2003. Dinamika

Kelembagaan Pengelolaan Air Irigasi. SOCA (Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness) 3.1.

Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Jakarta. Reshcer, N. 1969. Delphi and Values. California: Rand

Corporation.

Svendsen, Mark. 2009. Measuring Irrigation

Performance in Africa. IFPRI Discusion Paper.

2009.

Tremblay, Ghislaine, et. al. 2010. The Canada Foundation for Innovation’s Outcome Measurement Study: A Pioneering Approach to Research Evaluation, Research Evaluation 19 (5), pages 333-345.

Ugwu, O.O. dan T.C. Haupt. 2007. Key Performance

indicators and assessment methods for infrastructure sustainability— a South African construction industry perspective.

Yousuf, M.I. 2007. The Delphi Technique, Essays in

Education Vol. 20, pages 80 – 89.

Zwikael, O dan J. Smyrk. 2011. Project Management

for the Creation of Organisational Value.

(16)

MENGGUNAKAN cOntingent VAluAtiOn methOD

(Studi KaSuS dampaK KeKeringan

pada KeterSediaan air BerSih)

Willingness to pay and consumer Surplus for convenience of clean

Water Service in Kembangbahu communities using contingent

Valuation method

(case Study of Dryness impact on clean Water Supply)

Ridwan Marpaung

Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Patimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta selatan 12110

Email: ridwan_mpg@yahoo.com

Tanggal diterima: 2 September 2013, Tanggal disetujui: 31 Oktober 2013

ABStRAct

Dryness occurred every year in Kembangbahu district brings impacts to water scarcity because Kembangbahu communities rely to rainfall to satisfy their water demand. To overcome this condition , they build some small lakes or reservoirs to attempt to collect rain water during dry season, but either way making water and also the water does not met health requirements. Therefore Kembangbahu societies need convenience clean water service. This study aims to analysis the Willingness to Pay and its consumers surplus for convinience of clean water service. Sample collected using simple random method of 49 respondents by interview and questioners. Analysis using Contingent Valuation Method (CVM) showed that, the predictor variabels like Bidding, and Income are influence significantly to Willingness to Pay for convinience of clean water service, with α=0,05, otherwise Education, Distance to Water Resource, Age, Water Consumption are not significantly influence to Willingness to Pay. By using regresion logistic to a household respondents showed that the mean Willingness to Pay is Rp.9.123 per jerigen (35 litre),and consumer surplus is Rp 7.123. Consumer surplus for all Kembangbahu communities with 2.617 population is Rp. 7.241.292. By known the variabels that influence to Willingness to Pay, and amount of consumer surplus, the expectation is that decision makers may improve for convinience of clean water service in Kembangbahu communities.

Keywords: dryness, willingness to pay, consumer surplus, CVM, convinience of clean water service ABStRAK

Kekeringan yang terjadi pada Kecamatan Kembangbahu setiap tahun memberikan dampak kelangkaan air bersih karena Masyarakat Kembangbahu mengandalkan air hujan untuk memenuhi permintan air. Untuk mengatasi hal ini, mereka membangun beberapa telaga atau embung dalam upaya mengumpulkan air hujan selama musim kering terjadi, namun baik cara pengambilan air dan juga air tersebut tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. Oleh karena itu, Masyarakat Kembangbahu sangat membutuhkan suatu kemudahan sistem pelayanan air bersih. Tujuan studi ini untuk menentukan besar kemauan membayar dan surplus konsumen untuk kemudahan layanan air bersih. Sample dikumpulkan menggunakan metode acak sederhana sebanyak 49 responden dengan melakukan interview dan kuesioner. Analisis menggunakan CVM menunjukkan bahwa harga penawaran bid, dan pendapatan berpengaruh secara signifikan terhadap kemauan membayar dengan

(17)

taraf α=0,05, sedangkan tingkat pendidikan, jarak ke sumber air, umur, dan besarnya konsumsi air tidak berpengaruh secara signifikan. Hasil analisis regresi logit menunjukkan bahwa kemauan membayar satu jirigen air (35 liter) adalah sebesar Rp.9.123), dan surplus konsumen untuk layanan kemudahan memperoleh air bersih sebesar Rp 7.123. Surplus konsumen total untuk masyarakat dengan populasi 2.617 kepala keluarga adalah sebesar Rp.7.241.292. Dengan diketahuinya variabel yang mempengaruhi kemauan membayar, dan surplus konsumen, diharapkan pengambil keputusan dapat meningkatkan pelayanan kemudahan memperoleh air bersih dengan mempertimbangkan membangun instalasi sistem pelayanan air bersih yang terjangkau masyarakat.

Kata Kunci : kekeringan, keinginan membayar, surplus konsumen, CVM, kemudahan layanan air bersih

PENDAHULUAN

Kecamatan Kembangbahu terdiri dari 18 desa dan terletak di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Karena alasan geografis yang tidak menguntungkan dan adanya perubahan iklim, masyarakat Kecamatan Kembangbahu mengalami krisis air terutama pada saat terjadi musim kemarau. Berdasarkan studi (Fery & Adjie 2013), kekeringan pada Kecamatan Kembangbahu yang merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan terjadi sepanjang tahun dan tingkat kekeringannya berfluktuasi baik secara geografis dan waktu. Studi ini juga mencatat bahwa sejak tahun 2006 sampai 2010 Standarize

Precipitation Index (SPI) di Kabupaten Lamongan

berkisar antara -0,4 yaitu tingkat kekeringan ringan, sampai dengan -2,0 dengan tingkat kekeringan sangat tinggi dan kecenderungan meningkat sepanjang tahun.

Sumber-sumber air pada Kecamatan

Kembangbahu sangat terbatas, sehingga untuk memperoleh air pada musim kering, masyarakat Kembangbahu menampung air hujan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari dan menjadikan air hujan sebagai sumber air utama. Masyarakat Kembangbahu membangun tempat– tempat penampungan air buatan seperti: telaga, embung, jublangan dan tandom-tandon air dari ukuran tandon yang kecil sampai telaga ukuran besar, yang dapat menampung air sebanyak 4.000 m3. Musim kemarau pada umunya terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, dimana hujan turun sangat sedikit. Berdasarkan catatan (BPS Kembangbahu 2012) bulan Juli, Agustus hingga September adalah titik tertinggi terjadi kekeringan. Tercatat bahwa sejak tahun 2005 sampai tahun 2008, bulan Juli tidak turun hujan demikian juga dengan bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan terjadi hal yang serupa dari tahun-ketahun yang mengindikasikan adanya pengaruh kekeringan. Krisis air terparah di alami oleh tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Puter dan Pelang. Air

hujan dimanfaatkan penuh di tiga desa ini karena sumber-sumber air lainnya tidak ditemukan. Upaya untuk mendapatkan air sudah pernah dilakukan dengan cara pengeboran sumur hingga kedalaman mencapai 130 m di Desa Kaliwates dan bahkan di Desa Pelang kedalaman pengeboran sudah mencapai 160 meter, namun tidak terdapat air yang keluar dari pengeboran tersebut (Puslitbang Sosekling 2012).

Pada saat musim kemarau, berkurangnya persediaan air sangat dirasakan oleh penduduk di tiga desa tersebut. Tempat tampungan air seperti telaga yang airnya dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti: minum, masak dan untuk keperluan rumah tangga lainnya, menjadi kurang higienis karena diambil secara langsung oleh penduduk dengan cara masuk ke dalam telaga, sementara air telaga tidak mengalir. Cara seperti ini menyebabkan kebersihan air telaga tidak terjamin untuk dikonsumsi terbebas dari bibit penyakit. Upaya masyarakat untuk membersihkan air adalah dengan cara membiarkan air dalam ember atau tempayan selama satu hari agar kotoran yang terikut dapat diendapakan pada bagian bawah ember atau tempayan sementara air pada bagian atas untuk dikonsumsi. Cara ini juga tidak menjamin kebersihan air untuk bebas dari bibit penyakit. Demikian juga halnya dengan air embung yang digunakan oleh masyarakat untuk mandi. Masyarakat umumnya mandi dengan cara masuk dan mencelupkan diri kedalam embung dan membersihkan badan di embung tersebut. Warna air embung terlihat tidak jernih tetapi menjadi berubah kehijauan, yang menandakan air embung sudah mengalami kontaminasi. Krisis air bersih yang dialami penduduk desa ini menyebabkan timbulnya beberapa kasus penyakit diare, muntaber dan sakit kulit pertahun.

Disamping kebersihan air yang tidak terjamin, masyarakat Kecamatan Kembangbahu, terutama di Desa Kaliwates, Pelang dan Puter, dalam

(18)

memperoleh air tetap mengalami kesulitan karena pada musim kemarau tandon-tandon mereka mengalami kekeringan. Masyarakat mengambil air yang ada di telaga melalui dirijen dan ember yang dipikul dengan berjalan kaki, gerobak sepeda maupun motor. Jarak tempuh masyarakat untuk mengambil air ada yang dekat kurang dari 1 km dan beberapa cukup jauh hingga mencapai 15 km, sehingga memakan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit.

Kesulitan memperoleh air bersih pada musim kemarau sangat dirasakan penduduk yang tinggal di Kecamatan Kembangbahu. Dampak yang timbul dari krisis air ini adalah kelangkaan air bersih, sehingga air tidak lagi diperoleh dengan gratis melainkan menjadi barang ekonomi dengan harga yang cukup mahal. Untuk mendapatkan air bersih, biasanya masyarakat di tiga desa tersebut membeli air dengan harga berkisar antara Rp.1.000 sampai Rp.3.000 per jerigen (35 liter). Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, memasak, mandi, dan cuci rata-rata setiap keluarga memerlukan 3-6 jerigen air bersih, sehingga untuk satu keluarga perhari mengeluarkan uang rata-rata Rp.9.000, dan jika dihitung perbulan dapat mencapai Rp.270.000. Keadaan demikian memberatkan masyarakat Kembangbahu dengan tingkat penghasilan dominan berkisar antara Rp.500.000 sampai Rp.1.000.000 (Puslitbang Sosekling 2012).

Adanya kekeringan yang menyebabkan terganggunya suplai air berdampak luas baik terhadap kesehatan, dan soial-ekonomi penduduk Kecamatan Kembangbahu. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu suatu upaya membuat kemudahan layanan bersih yang dapat dimanfaat-kan penduduk. Fasilitas untuk layanan air bersih perlu diupayakan oleh pihak pemerintah agar kebutuhan air baik dari segi kualitas maupun jumlah dapat terpenuhi sehingga kesehatan dan aktivitas sosial-ekonomi di Kecamatan Kembangbahu dapat berjalan seperti biasa. Agar upaya ini dapat terwujud diperlukan data dari masyarakat kecamatan Kembangbahu mengenai berapa besar penduduk dapat menghargai kemudahan layanan air bersih tersebut , yang dalam istilah formalnya disebut kemauan membayar (Willingness to Pay, WTP). Metode ini dipilih dengan alasan bahwa suatu kemudahan sistem layanan air bersih adalah suatu jasa layanan untuk memperoleh air yang tidak dapat ditentukan harga pasarnya. Metode ini sangat tergantung (kontijen) pada skenario pasar hipotetis yang dibangun, dimana masyarakat menawar harga sesuai dengan pasar hipotetis tersebut, beserta manfaat dari kemudahan memperoleh air bersih seperti yang diinginkan masyarakat Kembangbahu.

Permasalahannya adalah apakah air sudah menjadi barang ekonomi, yang tidak bebas dikonsumsi? Berapa harga layanan air bersih yang mau masyarakat bayar? Variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi dan yang tidak berpengaruh pada kemauan membayar masyarakat untuk kemudahan layanan air bersih tersebut? jika dibandingkan dengan negara berkembang lain? Berapa besar nilai rata-rata kemauan membayar untuk kemudahan memperoleh air bersih dan berapa nilai totalnya untuk ke tiga desa tersebut?. Berapa besarnya keuntungan (surplus konsumen) atau manfaat perkeluarga penduduk Kembangbahu jika fasilitasi kemudahan layanan air bersih dibangun? Berapa besar keuntungan total yang diperoleh? Apakah juga di negara berkembang lain mengalami surplus yang sama? Hal apakah yang perlu dipertimbangkan dalam membangun sistem pelayanan air bersih untuk kemudahan memperoleh layanan air bersih

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa besar potensi masyarakat Kembangbahu mampu membayar tarif air bersih bila kualitas layanan ditingkatkan, mengidentifikasi faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi kemauan mambayar, dan besar manfaat yang diperoleh masyarakat Kembangbahu jika pembangunan sistem layanan air bersih terbangun. Hasil ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang bertanggungjawab dan mempunyai perhatian dalam penyediaan air bersih di Kecamatan Kembangbahu

KAJIAN PUSTAKA

Kekeringan adalah suatu periode waktu dimana selisih antara hujan yang sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata menggunakan skala waktu tertentu, dibagi dengan simpangan bakunya, menghasilkan nilai negatif secara terus- menerus sampai nilai positif terjadi lagi (Fery dan Adjie 2013). Kekeringan merupakan bencana lingkungan yang menyebabakan kelangkaan air. Air bersih adalah kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Air mempunyai nilai ekonomi ketika penawaran (supply) air terbatas dibandingkan dengan permintaan (demand), sedangkan ketika air tersedia dalam jumlah suplai yang tidak terbatas, pada kondisi ini, air menjadi barang bebas (tidak mempunyai nilai ekonomi), (Frank and Michelsen 2002). Dalam sistem pasar, nilai ekonomi air ditentukan dengan harganya, layanan yang diterima untuk mendapatkan sejumlah air, dan sumber-sumber pendukung yang digunakan untuk berbagai keperluan yang mana hasilnya mempunyai manfaat ekonomi. Sayang, untuk kemudahan layanan air bersih ini sulit dinilai harganya, karena harga pasarnya tidak tersedia atau disebut dengan barang

(19)

atau layanan non-market. Usaha untuk mengukur harga pasar barang dan jasa non-market seperti kemudahan layanan air bersih dapat diperkirakan dengan mengembangkan suatu pasar hipotetik, sehingga harga suatu kemudahan layanan air bersih akan mendekati harga pasarnya. Nilai layanan Barang dan jasa seperti ini didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa tersebut (Fauzy 2010: 209), yang secara formal, konsep ini disebut dengan kemauan membayar (Willingness to Pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan (Fauzy 2010:209).

Untuk menentukan kemauan membayar atas barang dan jasa non-market ini dapat digunakan model kemauan membayar secara terungkap (State

Preference) dan model kemauan membayar yang

diperoleh langsung dari responden (Expressed

Preference). Metode CVM adalah termasuk dalam

model yang terakhir. Pendekatan Kemauan Membayar dengan menggunakan metode CVM mempunyai berbagai kelebihan. Salah satu kelebih-an metode CVM ini dibkelebih-andingkkelebih-an metode ykelebih-ang lain adalah dapat mengestimasi manfaat suatu layanan barang dan jasa dalam konteks kebijakan misalnya kemudahan layanan air bersih melalui fasilitasi pembangunan sarana air bersih, baik penggunan langsung ataupun tidak langsung (Ratri 2008:17; Sylvia 2009:13).

Estimasi Kemauan membayar untuk suatu barang dan jasa non-market menggunakan metode CVM dengan model dicotomous adalah alternatif terbaik untuk menghindari bias (Fauzy 2010:223-224). Selanjutnya kemauan membayar dapat diekpresikan dengan rumus berikut:

...(1) Dimana WTP adalah kemauan membayar untuk barang atau jasa, a dan b adalah koefisien parameter yang didapat dari pendugaan dengan regresi, dan adalah variabel acak. Apabila variabel acak ini terdistribusi secara logistik maka peluang untuk menjawab “ya” = Pr(ya) adalah sebagai berikut :

...(2)

Dimana adalah fungsi linier dari variabel sosial-ekonomi yang menentukan jawaban “ya”. Atau tidak. Kemungkinan untuk menjawab “tidak” adalah 1-Pr(ya) sehingga persamaan menjadi :

...(3) Kalau diyatakan dengan perbandingan antara kemungkinan menyatakan “ya” dengan tidak disebur dengan istilah “odds”

...(4) Persamaan 4 disebut persmaan mengandung variabel dicotomous artinya variabel dependen terdiri dari dua macam kategori, dimana regresi logistik tidak dapat secara langsung memodelkan variabel respon atau variabel dependen dengan variabel independen atau variabel penjelas, tetapi melalui suatu transformasi variabel dependen ke dalam bentuk logit atau logaritma natural (Sylvia 2008:31-32). Dengan mengambil bilangan logaritma natural persamaan (4) menjadi :

...(5) ....(6) Jika persamaan 5 ditransformasikan kedalam bentuk logit maka formulasi persamaan regresi menjadi:

...(7) Dimana adalah konstanta, dan adalah masing-masing koefisien terkait variabel sosio-ekonomi (Fauzy 2010: 43) yaitu, , dan

1 2 k

adalah galat atau kesalahan. Variabel sosio-ekonomi , dan dapat menyangkut umur, tingkat pendidikan, pendapatan (income), jumlah tanggungjawab keluarga, jarak kelokasi, dan konsumsi. Untuk menentukan nilai mean WTP secara pendekatan dapat diambil rumus berikut (Cameron 1992; Hanemann 1989, dalam Gamini 2004).

...(8)

Dengan mengalikan wtp dengan jumlah populasi akan didapat kemauan membayar total adalah :

...(9)

1

(20)

Manfaat ekonomi juga disebut surplus ekonomi yaitu, selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh atau mengekstraksi sumber daya dan lingkungan. Dalam beberapa penggunaan praktis, surplus konsumen adalah selisih kemauan membayar (Willingness to Pay) untuk suatu barang dan jasa dengan yang dibayar secara aktual (Fauzy 2010). Surplus konsumen diukur sebagai jumlah maksimum harga yang akan dibayar orang-orang untuk suatu barang dan jasa, dikurangi dengan jumlah yang mereka benar-benar bayar (Djajadiningrat et al 2008). Konsumen akan mendapatkan surplus jika preferensi harga yang diperkirakannya lebih tinggi dari harga keseimbangan pasar atau harga yang terjadi di pasar (Iskandar 2007). Besarnya manfaat yang diterima pengguna untuk suatu konsumsi barang atau jasa dapat ditentukan dengan rumus berikut:

...(10)

Persamaan diatas tidak lain adalah luas dibawah kurva permintaan misalkan x adalah komoditas misalnya layanan air bersih dan p (x) adalah permintaan pada barang x dan U(x) adalah fungsi kesejahteraan sosial atau manfaat yang diukur dalam uang. Jika dimisalkan biaya yang digunakan untuk memproduksi adalah C(x), maka surplus konsumen adalah:

...(11)

Persamaan 10 dapat artikan sebagai jumlah maksimum harga yang akan dibayar oleh oleh konsumen untuk suatu komoditas misalnya kemudahan layanan air bersih dikurangi dengan jumlah harga air bersih yang benar–benar konsumen bayar, atau atau selisih antara preferensi harga (harga pilihan) yang diperkirakan dengan harga pasar. Persamaan 10 dapat digambar dalam gambar 1 berikut: Jumlah komuditas Harga (Rp) C(x) P2 Q2 Q1 P 1 A E U(x)

Gambar 1. Surplus Konsumen

Kurva diatas menggambarkan jika terjadi harga keseimbangan di pasar P2, dan banyaknya barang yang dibeli oleh konsumen sebesar Q2, sedangkan konsumen mampu mampu membeli dengan harga P1, maka surplus konsumen mendapat selisih harga sebesar (P2-P1), sehingga surplus konsumen adalah CS=U(x)-C(x) = luas (OP1AEQ2)-luas (OP2EQ2) atau luas bagian yang diarsir (P1AEP2).

Telah banyak tulisan untuk menilai barang atau jasa

non-market ini , khususnya untuk air bersih, baik

untuk pertanian maupun rumah tangga. Misalnya untuk menentukan nilai ekonomi air taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dengan metode kontingensi, mendapatkan nilai manfaat ekonomi air sebesar Rp.280 juta per hektar per tahun dengan biaya yang sangat rendah sehingga surplus ekonomi dari pemanfaatan air tersebut adalah 98% dari nilai manfaatnya (Darusman 1999). Selanjutnya, (Ogujiuba et al 2013) dengan menerapkan metode CVM dalam mengestimasi kemauan membayar untuk layanan air pada wilayah Nsukka di bagian tenggara negara Nigeria yang kekurangan air bersih, menemukan bahwa kemauan membayar adalah tergantung pada tingkat pendidikan, pekerjaan kepala keluarga, besar tarif yang dikenakan oleh vendor air, pengeluaran untuk membeli air, dan pendapatan rata-rata per kepala keluarga.

Studi kemauan membayar lainnya untuk air minum keluarga di wilayah Larestan negara Iran yang menderita kekurangan air, dimana sebelumnya mereka membangun kolam untuk memperoleh air yang tidak terjamin kebersihannya. Dari hasil studi evaluasi layanan sambungan air ledeng untuk keluarga dengan menggunakan metode CVM, hasilnya masyarakat mau membayar rata-rata 2,362 RLS =0,24$ lebih dari yang dikutif sekarang. Variabel yang mempengaruhi kemauan membayar adalah pendapatan tingkat konsumsi air minum, jarak ketempat pengambilan, tingkat melek huruf, dan tingkat kesulitan perbekalan (Meibodi et al 2011).

Studi kemauan membayar untuk peningkatan laya-nan air domestik di negara bagian Selangor Malaysia dengan menggunakan metode CVM menunjukkan bahwa kemauan membayar responden untuk air minum lebih tinggi dibandingkan dengan tarif yang ada sekarang. Kemauan membayar ini disebabkan adanya perbaikan mutu, mengurangi frekuensi terputusnya suplai air dan menambah kepercayaan konsumen pada manajemen kantor pemerintah (Yakob et al 2011).

Pada literatur yang tertera diatas umumnya masyarakat mau membayar lebih dari apa yang mereka bayar sekarang atau yang akan

(21)

diterapkan. Ini menandakan perbaikan layanan air membuat surplus konsumen, yang artinya masyarakat mendapat manfaat ekonomi. Kemauan membayar masyarakat sangat tergantung pada besarnya bid penawaran dan variabel endogenous atau sosial-ekonomi terutama pada pendapatan keluarga (household income). Namun demikian, untuk masyarakat diberbagai negara dengan tingkat pendapatan yang berbeda dan kondisi sosial-ekonomi yang berbeda tentu faktor-faktor pendorong yang signifikan yang mempengaruhi kemauaan mambayar juga berbeda. Demikan juga, manfaat ekonomi walaupun telah dinyatakan tetapi belum dihitung seberapa besar manfaat atau surplus konsumen tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini disamping untuk memperkirakan kemauan membayar untuk layanan air bersih dan juga menentukan surplus konsumen dalam memperoleh air bersih.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada Kecamatan Kembang Bahu, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Studi ini dilakukan pada tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Pelang dan Puter yang paling tinggi mengalami kekeringan sepanjang tahun pada musim kemarau. Waktu Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012 yang dimulai pada bulai Februari 2012 sampai Oktober 2012. Survei pengambilan data primer dilakukan pada bulan Mei tahun 2012 di tiga desa yaitu Desa Kaliwates, Pelang dan Puter. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan wawancara mendalam. Responden dipilih secara acak sederhana dengan dibantu oleh kepala desa. Hal ini dilakukan mengingat kepala desa adalah orang yang paling mengetahui nama-nama kepala keluarga di desanya yang memenuhi kriteria contoh. Populasi adalah semua rumah tangga yang mengalami krisis air bersih di musim kering, tinggal menetap dan sudah lama mengalami serta merasakan kesulitan-kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Responden yang terkumpul sebanyak 49 orang. Sebanyak 10 orang responden tidak dapat hadir karena berbagai alasan. Namun jumlah responden lebih dari jumlah minimal. Wibisono Yusuf 2009:332) menjelaskan paling sedikit jumlah contoh >30 buah agar kriteria distribusi normal terpenuhi dengan asumsi ragam diketahui.

Besarnya kemauan membayar untuk peningkatan kualitas air ini lebih tepat menggunakan metode CVM karena adanya penambahan manfaat kualitas yang ada dari yang diperoleh masyarakat sekarang (Portney 1994; Hanemann 1994 dalam Meibodi et al. 2011). Besarnya kemauan membayar

masyarakat untuk layanan air bersih bersih pada tulisan ini digunakan metode Contingent

Valuation Method (CVM) dengan model parametrik dicotomous. Model parametrik dikotomous terkait

dengan rasio kemungkinan penduduk menyatakan ya atau tidak dengan suatu harga untuk kemdahan layanan air bersih yang ditawarkan. Data kemauan membayar (Willingness to Pay) diperoleh melalui wawancara, dan pengisian kuesioner. Metode

closed ended digunakan untuk mengambil data

kemauan membayar. Metode closed ended dengan model dicotomous adalah metode yang paling tepat untuk menghindari bias. Pada metode ini dibangun pasar hipotetis dimana ditawarkan “kemudahan layanan air bersih”. Pada 49 responden diberi 4 nilai bid yang berbeda. Setiap 12 orang respoden mengisi masing masing satu nilai WTP yang ditawarkan melaui wawancara. Nilai WTP tersebut masing-masing adalah Rp.2.500,00; Rp.5.000,00; Rp.7.500,00; dan Rp.10.000,00 untuk 35 liter air atau 1 dirijen. Ukuran satu dirijen adalah ukuran yang biasa digunakan oleh penduduk setempat untuk membeli air. Keputusan untuk membayar atau tidak ditentukan oleh nilai bid dan variabel sosio-ekonomi.

Berikut ini adalah tahapan menerapkan metode CVM dalam menentukan kemauan membayar untuk layanan air bersih sampai perhitungan manfaat ekonomi atau surplus konsumen untuk layanan tersebut.

1. Membuat instrumen survei melalui skenario pasar hipotetik yaitu kemudahan layanan air bersih .

Tahap ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada responden sebagai berikut “apakah anda bersedia membayar lebih untuk mendapatkan air bersih lebih mudah?, jawaban disediakan “ya” atau “tidak”. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan berikut “berapakah anda bersedia membayar agar mudah mendapatkan air Rp/galon atau Rp./ liter atau Rp jirigen. Cara untuk menanyakan

kesediaan membayar sebagai berikut:

responden ditawarkan 4 nilai bid masing-masing Rp. 2.500, Rp.5.000, Rp.7.500 dan Rp.10.000. Pengajuan penawaran ini diajukan dimulai dari nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi yang mau mereka bayar persatuan volume air seperti: jerigen, galon atau liter. Rincian skenario untuk kemudahan memperoleh air bersih dengan menciptakan latar belakang atau alasan sehingga menimbulkan kemauan membayar. Skenario ini lebih detail dijelasakan kepada responden dengan menyebutkan adanya pasokan air langsung kerumah penduduk

Gambar

Tabel 2. Hasil Konsensus Penentuan dan Skoring Variabel Outcome
Tabel 4. Hasil Konsensus Pembobotan Variabel dan Indikator
Tabel 1. Variabel untuk menentukan keinginan membayar
Tabel  6    menunjukkan  nilai  statistik  -2  Log  likehood  =  40,674.  Dan  nilai  R  2  >0,15
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penjelasan yang telah dijelaskan didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suyanto, (2019) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi yang terjadi di organisasi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk

Pada variabel kepuasan pelanggan memiliki bahwa indikator yang paling dominan adalah pelanggan merasa puas terhadap penanganan keluhan yang dilakukan oleh petugas

Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa kelompok dengan penghasilan yang lebih rendah cenderung mengalami kesepian.. Hal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan adsorpsi atau disebutnya sebagai excess sorption terhadap gas metana (CH 4 ) akan naik seiring dengan kenaikan

Tahapan ini mulai dari pembelajaran mengenai teori dasar dari permasalahan yang terjadi, User Requirement analisa dari kebutuhan dari para pengguna applikasi dan

Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor,

Inhu, kemudian jadwal pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat oleh Dosen ditentukan yang disesuaikan dengan jadwal kegiatan pembahasan laporan akhir Jasa Konsultansi