• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah dan Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro

5.1.1.2 Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan “Perkembangan

atau Kemajuan Usaha Sapi Perah”

Dari analisis jawaban responden masyarakat peternak diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan secara statistik (dalam Alpha

0,05) dengan “perkembangan atau kemajuan USP” yaitu (1) intensitas keikutsertaan peternak atau pelaku USP dalam penyuluhan dan bimbingan teknis USP (p-Value: 0,001); (2) pengetahuan peternak tentang USP (p-Value: 0,000); (3) praktek atau perilaku peternak dalam mengelola USP (p-Value: 0,000); (4) lamanya USP berjalan (p-Value: 0,001); (5) alokasi waktu pengurusan USP per hari (p-Value: 0,000). Sementara itu faktor yang berhubungan tidak signifikan secara statistik (dalam Alpha 0,05) dengan “perkembangan atau kemajuan USP”

yaitu modal USP (kredit bank atau modal sendiri). Hasil ini sejalan dengan hasil

penelitian Cheng’ole et al. (2003) di Kenya, bahwa akses terhadap fasilitas kredit tidak mempengaruhi produktivitas. Adapun faktor pembibitan sapi dan prasarana wilayah penunjang USP tidak dapat diuji secara statistik karena semua responden menggunakan cara pembibitan sapi dengan inseminasi buatan, dan berada dalam kondisi prasarana wilayah yang sama.

Dari hasil analisis selanjutnya dapat dikemukakan bahwa:

(1) Proporsi pelaku USP yang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis ”lebih dari 6 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”, sedangkan proporsi pelaku USP ikut penyuluhan dan

bimbingan teknis ”1 sampai 5 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam

USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP dengan responden pelaku USP yang jarang ikut penyuluhan atau

bimbingan teknis USP terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP”

responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP adalah lebih baik dibandingkan dengan responden yang jarang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis USP. Informasi ini penting sebagai bahan masukan perencanaan agar semua pelaku USP memperoleh penyuluhan dan bimbingan teknis lebih intensif dan proporsional dari petugas pemerintah

atau stakeholder lainnya. Penyelesaian dari pemerintah terhadap masalah ini akan dapat memperlancar peningkatan kinerja USP pada masa depan dan pada gilirannya akan memberi dampak positif bagi masyarakat umum; hal ini sejalan dengan pendapat Reddy et al. (2002) dan Sudono (2000) tentang pentingnya peningkatan pengetahuan para peternak sapi perah. Demikian pula peningkatan pendidikan pelaku USP perlu terus dilanjutkan karena dengan kondisi pendidikan yang rendah akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan USP. Tingkat pendidikan pelaku USP sapi perah yang rendah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan juga rendahnya daya serap peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru (Siregar 1993; Suprapto et al. 1999).

(2) Proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”; sedangkan proporsi pelaku USP yang

berpengetahuan “kurang” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP

yang berpengetahuan “sedang” dengan responden pelaku USP yang

berpengetahuan “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” adalah lebih baik

dibandingkan dengan responden pelaku USP yang berpengetahuan “kurang”;

bahwa semakin tinggi pengetahuan pelaku tentang USP maka semakin besar peluang USP mereka berkembang atau maju. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Reddy et al. (2005) di India bahwa mayoritas peternak sapi perah suku asli memiliki tingkat pengetahuan praktek peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya pengetahuan pelaku USP besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya perkembangan atau kemajuan USP yang dikelolanya. Informasi ini menunjukkan bahwa pembinaan pengetahuan pelaku USP perlu senantiasa digiatkan secara optimal hingga berdampak positif terhadap kemajuan USP. Notoatmodjo (1993) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia terhadap obyek di luarnya melalui indera-indera yang dimilikinya (pendengaran, penglihatan, penciuman, dan sebagainya). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru,

ia harus “tahu” terlebih dahulu arti dan manfaat perilaku baru tersebut bagi

diri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pelaku USP di antaranya tentang: (1) cara meningkatkan produksi susu sapi di daerahnya; (2) manfaat USP; (3) modal pengembangan USP; (4) dampak positif bagi anak yang cukup asupan susu sapi; (5) dampak negatif jika anak kekurangan asupan susu sapi; (6) dampak negatif dari limbah sapi perah dibiarkan sembarangan; (7) dampak negatif jika jarak kandang sapi dengan rumah hunian atau sumber air bersih terlalu dekat (<10 meter); (8) cara mengelola limbah sapi berwawasan lingkungan; (9) pemanfaatan limbah sapi untuk menambah pendapatan keluarga; (10) peran Pemerintah dalam pengembangan USP; (11) peran perbankan dalam pengembangan USP; (12) tanda-tanda sapi sehat; (13) tanda-tanda sapi sakit; (14) penyebab sapi sakit; (15) jenis-jenis penyakit sapi; (16) gejala penyakit anthrax dan cara pencegahannya; (17) cara pencegahan agar sapi terhindar dari penyakit; (18) penerapan USP berwawasan lingkungan; (19) alasan vaksinasi sapi; (20) jumlah pemberian vaksinasi selama kebuntingan sapi; (21) alasan pemberian vitamin kepada sapi; (22) jumlah pemberian vitamin kepada sapi; (23) alasan bahwa sapi harus bebas dari kecacingan; (24) jumlah pemberian obat anti kecacingan kepada sapi; (25) syarat kandang sapi yang baik: konstruksi (bahan, ukuran, atap, dinding, lantai, selokan); lokasi (jarak minimal dari rumah hunian dan sumber air minum); kebersihan, cahaya, kelembaban dan suhu udara; keamanan (dari pencurian, kebakaran, longsor dan sebagainya); ketersediaan air bersih; (26) tanda-tanda susu sapi yang bermutu baik; (27) manfaat limbah sapi perah; (28) inseminasi buatan dan pemeriksaan kesehatan sapi selama bunting; (29) akibat jika sapi tidak diperiksa kesehatannya secara rutin; (30) syarat pakan sapi perah yang baik; (31) cara meningkatkan produksi susu sapi; (32) alasan bahwa pemerah susu harus sehat; (33) tanda-tanda susu sapi yang rusak; (34) kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar kandang sapi; (35) cara pengolahan limbah sapi menjadi biogas dan pupuk organik.

masih kurang tepat atau kurang lengkap, di antaranya yaitu jawaban tentang: (1) syarat-syarat kandang sapi perah yang baik; (2) cara mengelola limbah sapi secara berwawasan lingkungan; dan (3) penerapan USP berwawasan lingkungan. Proporsi responden atas jawaban syarat kandang sapi yang baik, adalah 47,82% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 5,21% responden pelaku USP “cukup

berkembang”; dan 42,61% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Proporsi responden atas jawaban pengelolaan limbah berwawasan lingkungan adalah 46,96% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 5,22% responden pelaku USP “cukup

berkembang”; dan 41,74% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Proporsi responden, atas jawaban penerapan USP berwawasan lingkungan adalah 98,26% dalam kategori “nilai kurang” (< median skor dalam skala 1 sampai 4); terdiri atas 42,60% responden pelaku USP “cukup

berkembang; dan 55,66% responden pelaku USP “kurang berkembang”. Walaupun jawaban mereka belum seluruhnya memuaskan namun beberapa jawaban di antaranya dinilai baik; sebagai contoh pengetahuan tentang pengolahan biogas; pada umumnya pelaku USP dapat menjelaskan atau memahami secara umum tentang limbah sapi dan biogas.

(3) Proporsi pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang” sedangkan proporsi pelaku USP

dengan praktek kategori “kurang” tampak dominan dalam USP “kurang berkembang”. Tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” dengan responden pelaku USP dengan praktek kategori “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak

kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden

pelaku USP dengan praktek kategori “sedang” adalah lebih baik

dibandingkan dengan responden pelaku USP dengan kategori “kurang”. (4) Proporsi USP yang telah berjalan “lebih dari 3 tahun” tampak dominan

dalam USP kategori “cukup berkembang” sedangkan proporsi USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun” tampak dominan dalam USP kategori

3 tahun” dengan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa

“perkembangan atau kemajuan USP” yang telah berjalan “lebih dari 3 tahun” adalah lebih baik dibandingkan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun;

bahwa semakin lama USP berjalan semakin besar peluangnya berkembang atau maju. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Reddy et al. 2005 bahwa peternak sapi perah yang lebih berpengalaman, berpikir cenderung inovatif, berkeinginan lebih beruntung untuk lebih mengadopsi inovasi teknologi. (5) Proporsi waktu pengurusan rata-rata “3 jam per ekor sapi per hari” tampak

dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”. Waktu 3 jam per ekor sapi per hari ialah hasil penghitungan rata-rata dari jumlah piaraan 3 sampai 4 ekor sapi yaitu: memberi pakan 3 kali 5 menit, memandikan sapi 2 kali 10 menit, membersihkan kandang 2 kali 10 menit, memerah sapi dan penyetoran susu 2 kali 35 menit, cari pakan hijauan 1 kali 60 sampai 80 menit (hasil dari pembagian 240 menit kepada 3 atau 4 ekor sapi). Waktu mencari pakan hijau diperhitungkan selama 4 jam per kali operasi berdasarkan jarak dan lokasi tanaman pakan.

Mengenai sumber modal USP, walaupun secara statistik (dalam Alpha 0,05)

berhubungan tidak signifikan dengan “perkembangan atau kemajuan USP”

namun secara empiris dalam kenyataan faktor ini penting diperhatikan. Selama ini sumber modal pelaku USP di Kabupaten Subang sebagian besar (60%) dari bank dan sebagian kecil (40%) dari modal sendiri. Kondisi ini perlu ditindaklanjuti dan dikendalikan oleh pemerintah beserta stakeholder lainnya agar persentase bantuan permodalan dari perbankan semakin lama semakin kecil dan persentase permodalan dari masyarakat semakin lama semakin besar.

Faktor pembibitan sapi perah merupakan hal yang penting dan turut menentukan kualitas atau perkembangan USP. Dalam hal pembibitan sapi perah, seluruh responden telah menerapkan inseminasi buatan dengan bantuan teknis petugas peternakan setempat. Sebagian besar responden mampu menjelaskan tujuan dan waktu pelaksanaan inseminasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bardhan et al. 2005 di India bahwa para peternak menyadari pentingnya inseminasi buatan. Pemahaman mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan

prinsip-prinsip atau hakekat inseminasi buatan yaitu harus mampu menghasilkan selang beranak yang tidak kurang dan tidak lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal yakni sekitar 10 bulan (Cheng’ole et al. 2003; Barret dan Larkin 1974, diacu dalam Sugiarti et al. 1998). Panjang laktasi yang melampaui 10 bulan akan menjadi tidak ekonomis karena nilai dari pertambahan produksi susu tidak seimbang dengan biaya produksinya. Deteksi birahi yang tepat dan akurat dan inseminasi yang tepat waktu yakni sekitar 9 sampai 24 jam setelah tanda birahi terlihat. Dengan demikian perlu diusahakan agar mengawinkan sapi tepat waktu sehingga 85 hari setelah beranak bunting lagi. Dengan pengetahuan dan aplikasi yang memadai maka langsung atau tidak langsung akan berdampak positif bagi perkembangan atau kemajuan USP.

5.1.2 Pendapat Responden Dinas dan Instansi dalam Pengembangan

Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di

Kabupaten Subang

Dari hasil analisis jawaban responden dinas dan instansi diperoleh gambaran umum pendapat dan kebutuhan pengembangan usaha skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang. Informasi ini penting dan diperlukan sebagai bahan masukan dalam rangka perumusan model kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Adapun gambaran jawaban responden yang perlu dianalisis diuraikan berikut ini.

(1) Sebagian besar responden (43,7%) berpendapat bahwa perkembangan jumlah dan kualitas USP di Kabupaten Subang hingga saat ini belum optimal atau belum sampai pada taraf yang diharapkan. Pendapat tersebut didasarkan pada kenyataan keadaan dan masalah yang dihadapi pada saat ini yaitu mengenai: jumlah USP dan populasi sapi perah, ketersediaan pakan sapi, produksi susu sapi, kesehatan lingkungan USP, dan pengelolaan limbah sapi dan lainnya. (a) Jumlah USP dan populasi sapi perah

Pada awal tahun 2011 jumlah USP adalah 212 unit dengan populasi sapi perah 883 ekor atau rata-rata 4-5 ekor per USP. Dalam keadaan jumlah seperti ini para pelaku USP sulit mencapai tindakan efisiensi; dalam arti jumlah pendapatan penjualan susu tidak mampu menanggung beban biaya sapi perah total (laktasi dan non laktasi) per tahun. Siregar (1994)

mengemukakan bahwa USP baru akan mencapai tingkat efisien dan ekonomis apabila jumlah sapi perah induk yang dipelihara 8 ekor dengan proporsi laktasi rata-rata 70-80% dan kemampuan berproduksi susu lebih dari 8,2 liter per ekor per hari.

(b) Pakan sapi

Pengelolaan pakan sapi, baik pakan hijauan maupun konsentrat, di sebagian besar USP masih belum optimal. Sumber pakan hijauan sebagian besar responden selama ini belum tetap, tetapi berpindah-pindah di areal perkebunan dan hutan sekitar kampung (bukan milik peternak); sumber pakan konsentrat adalah beli eceran dari KPSBU.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden dapat dikemukakan bahwa jumlah pemberian pakan per sapi per hari rata-rata masih belum sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good Breeding Practice) yaitu pemberian pakan hijauan per hari sebanyak 10% dari berat badan dan pemberian konsentrat sebanyak 1,5 – 3% dari berat badan. Menurut Basri et al. (2008) pada umumnya pakan berupa hijau diberikan sebesar 60% dari berat kering dan 40% konsentrat. Apabila berat sapi 450 kg, maka pakan yang diberikan rumput alam 21 kg, rumput gajah (pennisetum purpureum) 7,5 kg dan konsentrat 6 kg.

Kurangnya ketersediaan pakan hijauan ini pada dasarnya terkait dengan sistem pengelolaan lahan tanaman pakan yang belum optimal, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Pakan hijauan selama ini diperoleh pelaku USP dari hasil pengaritan sendiri secara acak di ladang atau perkebunan sekitar permukiman penduduk yang jaraknya rata-rata 3 hingga 4 km dari USP. Kondisi ini menyita waktu yang tidak sedikit dan menghambat kelancaran pelaksanaan tugas-tugas lain berkaitan dengan USP. Kondisi ini hampir sama dengan gambaran yang dikemukakan oleh Sobahi et al. (2008) bahwa jauhnya lokasi hijauan pakan ternak (HPT) dari kandang membutuhkan biaya transportasi yang mahal dan korbanan waktu yang tinggi yang harus ditanggung mereka.

Pengaruh langsung adalah penanganan ternak di kandang oleh petani menjadi terbengkalai, seperti waktu birahi tidak terdeteksi, kurang terjaganya kebersihan kandang dan sapi serta program replacement stock

(sapi pengganti) tidak tertangani dengan baik. Selain itu Sobahi et al.

(2008) mengemukakan pula lahan yang dimiliki peternak hanya untuk rumah tinggal dan kandang sapi kapasitas 2 ekor; hal ini menjadi penyebab utama peternakan sapi perah tersebar dan sulit untuk dilakukan pembinaan. Sobahi et al. (2008) berpendapat bahwa peternakan harus

berada di satu hamparan dengan formula “100 hektar lahan - 100 peternak - 1.000 ekor sapi - menghasilkan 10.000 liter susu per hari”;

artinya lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi pakan satu ekor sapi paling sedikit 1.000 m2. Peternak yang menanam pakan di lahan sendiri masih terbatas, bervariasi, dan belum memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan seharusnya. Sutarno (2008) menyatakan bahwa satu ekor induk atau satu satuan ternak membutuhkan 833,33 sampai 1.000 m2 (Sutarno 2003, diacu dalam Nurtini et al. 2008). Kebutuhan per ekor sapi per hari yaitu 10% berat badan sapi (Permentan No. 55/Permentan/ OT.140/ 10/2006, Martindah 2006). Dalam rangka penyelesaian masalah kekurangan tumbuhan hijau pakan sapi tersebut pihak Pemerintah Kabupaten Subang dan Perum Perhutani serta KPSBU setempat bekerjasama dengan masyarakat tani telah menanam rumput pakan sapi di lahan khusus sekitar hutan di perbatasan kabupaten. Program ini belum dapat mendukung USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater karena lokasi penanaman relatif jauh dan untuk menjangkaunya perlu biaya angkutan yang relatif besar dan tidak terjangkau oleh para pelaku USP. Karena itu perlu dikembangkan penelitian untuk menemukan alternatif strategi penanaman tumbuhan pakan lainnya yang hasilnya terjangkau oleh pengelola USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater.

Selain pakan hijauan, juga pemberian pakan konsentrat masih belum optimal, dalam arti belum sepenuhnya sesuai dengan dosis yang ditentukan. Hal ini berkaitan dengan harga konsentrat yang relatif belum terjangkau oleh sebagian besar pelaku USP. Biaya pengadaan pakan

konsentrat per sapi yang dikeluarkan pelaku USP selama ini paling tidak sebesar Rp. 5.100,-- per hari; atau rata-rata Rp.12,89,--per kilogram sapi. Berdasarkan perkiraan berat sapi rata-rata 395 kilogram per ekor maka pengeluaran biaya untuk konsentrat per bulan adalah Rp. 153.000,--. Jumlah pemberian asupan konsentrat ini dapat saja menaik atau menurun; tergantung pada harga konsentrat atau kemampuan daya beli para pelaku USP. Dari data ini diperoleh gambaran bahwa proporsi biaya konsentrat dalam USP relatif besar atau hampir separuh dari seluruh biaya produksi; sejalan dengan hasil penelitian Daryono et al.

(1989) di Jawa Barat bahwa biaya konsentrat adalah 54,56% dari seluruh biaya produksi (Daryono et al. 1989, diacu dalam Siregar 2008). Akibat harga konsentrat mahal maka jumlah dan jenis yang dibeli sebagian besar peternak di bawah standar kebutuhan mereka untuk meningkatkan kesehatan dan produksi susu per hari relatif banyak.

(c) Produksi susu sapi

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lokasi USP diperoleh data dan informasi bahwa jumlah produksi susu rata-rata per ekor sapi laktasi per hari adalah 9 liter; padahal ukuran produksi nasional optimal yaitu sebesar 15 sampai 20 liter per ekor per hari (Martindah 2006). Menurut Sembiring (2008), produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari; bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari. Hal senada dikemukakan Sudono (2000) bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia umumnya berkisar antara 10 dan 11 liter per ekor per hari, sedangkan di Amerika sudah lebih dari 18 sampai 21 liter per hari.

Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat (Baqa 2003). Menurut pendapat Basri et al. (2008) rendahnya produksi susu dipengaruhi oleh (a) faktor kurangnya

ketersediaan pakan konsentrat sehingga pakan sapi perah hanya terdiri dari pakan hijauan dari rumput; (b) faktor sikap dan perilaku peternak yang belum mengarah pada good farming practice, dan (c) faktor tanggung jawab peternak terhadap USP belum optimal. Hal yang sama dikemukakan oleh Hanifah (2008) bahwa produksi susu rendah disebabkan oleh pakan yang berkualitas serta kuantitas yang tidak berimbang dalam pemberiannya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Baga (2003) bahwa produksi susu berjalan lambat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu, (2) masih rendahnya skala usaha kepemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2 sampai 4 ekor, (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang terrendah, (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah, (5) kesulitan bahan pakan ternak berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijau di Jawa sudah semakin sempit, (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat, (7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan, (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor.

Sehubungan dengan pentingnya peningkatan produksi susu sapi, maka pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan tentang program bantuan penyediaan pakan sapi perah yang berkualitas. Pakan sapi perah yang terpenuhi sesuai standar dan terjangkau oleh pelaku USP akan meningkatkan produksi susu ke arah yang diharapkan. Kondisi yang baik tersebut akan mendukung percepatan peningkatan pendapatan pelaku USP dan keluarganya dan pada gilirannya akan memberi dampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan penduduk secara keseluruhan. (d) Kesehatan lingkungan USP

di lokasi USP dapat dikemukakan bahwa kondisi kesehatan lingkungan USP pada umumnya belum optimal. Sebagian besar (92,2%) lokasi kandang sapi berada < 5 meter dari rumah hunian; bahkan beberapa di antaranya menempel di dinding rumah pemilik. Alasan mereka menempatkan kandang dekat dengan rumah ialah untuk keamanan dan kemudahan pengurusan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hall et al. (2004) bahwa para peternak sapi Thailand Tengah memiliki dorongan mengadopsi program manajemen kesehatan kawanan ternak untuk mencegah inefisiensi sosial.

Syarat penempatan kandang sapi perah menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik (Good Breeding Practice) ialah tidak menganggu lingkungan hidup, memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi, dan drainase atau saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan. Begitu pula menurut Anonymous (2008) bahwa jarak kandang dengan rumah hunian seharusnya lebih dari 10 meter (Anonimous 2008, diacu dalam Basri et al. 2008). Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan masyarakat dan sapi. Penempatan kandang seperti ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Harlia (2008) di Pangalengan bahwa rata-rata jarak kandang dengan rumah adalah 3,2 meter dengan variasi 2 sampai 7 meter. Selain lokasi yang tidak memenuhi syarat, juga keadaan kebersihan dan kesehatan ruang dan bangunan serta lingkungannya masih kurang optimal. Banyak feses, urin, dan sisa pakan sapi atau sampah yang belum tertangani dengan baik termasuk saluran air limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan.

Hasil penelitian para pakar menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang timbul jika limbah sapi dibuang sembarangan atau tidak dimanfaatkan atau diolah secara baik. Harlia (1990) mengemukakan bahwa eksternalitas negatif atau ekternalitas disekonomi (Randal 1987, diacu dalam Harlia 1990) yang timbul dari pemeliharaan sapi perah yaitu polusi pada udara, polusi pada tanah, polusi pada perairan, kesehatan,

kebisingan, dan bau limbah. Kerugian dalam bentuk matinya satwa yang dapat dimanfaatkan manusia, meningkatnya gangguan kesehatan atau penyakit pada masyarakat sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan. Menurut Basri et al. (2008) bahwa rendahnya produksi susu dan kurang berkembangnya agribisnis sapi perah disebabkan oleh antara lain sikap dan perilaku peternak yang belum