• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Lokasi Penelitian

4.3.1 Kepemilikan Sapi Perah

Jumlah sapi perah yang dipelihara responden adalah rata-rata dua sampai empat ekor dengan komposisi jumlah sapi laktasi atau kering kandang atau pedet yang bervariasi. Sapi perah ini adalah milik pribadi para responden peternak dan keluarganya. Gambaran ini hampir sama dengan hasil penelitian Erwidodo dan Sayaka (1998) menyatakan bahwa komposisi peternak sapi perah di Indonesia diperkirakan terdiri dari 80% peternak kecil kurang dari empat ekor, 17% memiliki 4 sampai 7 ekor, dan 3% memiliki ternak lebih dari 7 ekor (Erwidodo et al. 1998, diacu dalam Martindah et al. 2006). Sebagai bahan perbandingan pula hasil penelitian Siregar (1983) bahwa peternakan sapi perah di Pangalengan tergolong ke dalam kelompok peternak skala usaha kecil dengan jumlah sapi perah yang dipelihara pada tiap peternak rata-rata 3,45 ekor. Adapun distribusi responden menurut kepemilikan sapi laktasi yaitu: 23,5% memiliki satu ekor; 76,5% memiliki dua sampai empat ekor. Belum optimalnya kepemilikan sapi laktasi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya faktor keterbatasan dana untuk tambahan bibit, pakan ternak, dan sarana kelengkapan USP lainnya.

4.3.2 Sumber Dana USP

Sumber dana untuk pengembangan USP di daerah ini ialah dari modal sendiri dan kredit bank. Proporsi responden yang menggunakan modal sendiri adalah 40%; atau proporsi responden yang menggunakan kredit bank adalah 60%. Kredit bank diperoleh responden pada periode tahun 2007-2008; dengan

demikian setelah empat atau lima tahun berjalan maka pada tahun 2011 dan 2012 banyak peternak yang telah menyelesaikan atau melunasi pembayaran kreditnya.

4.3.3 Tenaga Kerja USP

Tenaga kerja yang mengurus USP di daerah ini pada umumnya ialah kepala keluarga dan anggota keluarga (laki-laki dan perempuan) yang telah dewasa atau dalam usia produktif. Jumlah jam kerja mengurus sapi perah per hari sangat bervariasi tergantung pada jumlah sapi yang dipelihara; dan juga tergantung kepedulian terhadap USP masing-masing. Dari hasil wawancara dan observasi diperoleh gambaran alokasi waktu pengurusan per ekor sapi per hari seperti tertera dalam Tabel 10.

Tabel 10 Distribusi responden menurut jumlah waktu pengurusan per ekor sapi per hari

Jumlah waktu mengurus (jam) Jumlah peternak (orang) Persentase 2 jam 6 5,2 3 jam 68 59,1 4 jam 41 35,7 Jumlah 115 100,0

Sebagian besar peternak menggunakan waktu 3 jam per hari untuk mengurus satu ekor sapi dengan perincian: mencari pakan, memandikan, memberi pakan, membersihkan kandang, memerah susu, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya. Responden dengan USP kategori “berkembang cukup

memadai” pada umumnya menghabiskan waktu pengurusan lebih dari 3 jam per ekor sapi per hari. Mereka pada umumnya lebih kreatif, teliti, serius dalam mengurus hal-hal berkaitan dengan kesehatan sapi dan kandangnya.

4.3.4 Pemakanan Sapi

Berdasarkan keterangan dari sebagian besar (97,4%) responden bahwa sapi piaraan mereka diberi makan tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore yaitu tumbuhan hijau dan konsentrat. Sumber pakan tumbuhan hijau

semuanya dari hasil aritan responden di areal perkebunan atau hutan sekitar kampung; sedangkan sumber konsentrat semua responden membeli dari Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU). Di lokasi ini kerjasama para pelaku USP dengan KPSBU dalam banyak hal, termasuk pengadaan konsentrat untuk pakan sapi perah. Usaha kedua belah pihak saling menguntungkan atau saling tergantung satu sama lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Aviliani (2008) yang menyatakan bahwa tingkat ketergantungan peternak terhadap koperasi masih sangat tinggi. Pernyataan senada dikemukakan oleh Purwantini (2001) bahwa pengembangan usaha ternak sapi perah rakyat tidak dapat dilepaskan dari peran koperasi susu sebagai lembaga mitra peternak sapi perah.

4.3.5 Pembibitan dan Pemeliharaan Sapi Perah

Dalam rangka pembibitan dan pemeliharaan kesehatan sapi, semua responden telah menerapkan inseminasi buatan, pemberian vaksin, pemberian vitamin, dan pemberian obat anti cacing kepada sapi secara rutin mengikuti jadwal sebagaimana mestinya di bawah bimbingan Dinas Peternakan dan KPSBU setempat.

4.3.6 Perkembangan USP

Distribusi responden menurut tingkat kemajuan atau perkembangan USP yang dikelolanya, yaitu: 36 orang (44,3%) dalam kategori “berkembang cukup memadai; dan 64 orang (55,7%) dalam kategori “berkembang kurang memadai”. Kriteria penilaian didasarkan pada bobot atau nilai kumulatif dari: (a) manajemen ketersediaan pakan hijauan ternak; (b) manajemen ketersediaan pakan konsentrat; (c) kondisi kesehatan sapi; (d) jumlah susu segar yang dihasilkan; (e) mutu susu segar yang dihasilkan; (f) biogas hasil olahan limbah sapi sendiri; (g) pupuk organik hasil pengelolaan limbah sapi sendiri; (h) keadaan fisik konstruksi kandang sapi; (i) lokasi kandang sapi; (j) kebersihan dan kesehatan ruang kandang; (k) sanitasi lingkungan kandang sapi; (l) pertambahan populasi sapi per tahun; (m) postur tubuh sapi perah; (n) jumlah dan mutu sumberdaya manusia; dan (o) jumlah sapi piaraan (laktasi, kering kandang, dan dara). Faktor sanitasi atau kesehatan lingkungan dijadikan salah satu kriteria khusus dalam menentukan mutu USP dengan

alasan bahwa USP yang dikehendaki ialah USP yang berwawasan lingkungan. Sejumlah eksternalitas atau dampak, baik positif maupun negatif, yang timbul dari kondisi sanitasi atau kesehatan lingkungan USP penting dimonitor atau dievaluasi sebagai bahan masukan untuk perencanaan dan pengendalian lebih lanjut.

4.3.7 Kontribusi USP Terhadap Pendapatan Peternak

Penerimaan dari USP di antaranya hasil penjualan susu, penjualan pedet. Jumlah perolehan susu per sapi laktasi per hari rata-rata 9 liter dengan harga jual per liter dalam kisaran Rp.2.900,-- dan Rp.3.300,--. Susu segar dan pedet dipasarkan melalui KPSBU. Susu segar dikumpulkan dan diangkut oleh KPSBU untuk dijual ke IPS. Pengumpulan dan pengangkutan susu segar dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Kerjasama para pelaku USP dengan KPSBU dan IPS selama ini berjalan dengan baik; dan dirasakan oleh para pelaku USP sangat mendukung terhadap usaha mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwantini (2001) bahwa kerjasama peternak, koperasi, dan IPS sesuai dengan peranan masing-masing dalam suatu sistem yang berwawasan agribisnis akan sangat membantu dalam pengembangan usaha ternak sapi perah rakyat.

Adapun gambaran distribusi responden menurut hasil perolehan susu segar per hari seperti tertera dalam Tabel 11.

Tabel 11 Distribusi responden menurut hasil perolehan susu segar per hari Perolehan susu per hari

(liter) Jumlah responden (orang) Persentase 13 liter 27 23,50 25 liter 45 39,10 38 liter 32 27,83 50 liter 7 6,09 63 liter 4 3,48 Jumlah 115 100,00

Dari keseluruhannya pendapatan bruto responden dari USP per bulan yaitu dalam kisaran Rp. 968.534,-- dan Rp. 6.923.736,--. Hasil pendapatan

USP ini dirasakan responden telah memberi kontribusi terhadap upaya pemenuhan jumlah kebutuhan konsumsi rumah tangga mereka dengan variasi seperti tertera dalam Lampiran 4 dan Tabel 12.

Tabel 12 Distribusi responden menurut kontribusi pendapatan USP terhadap upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarganya

Besarnya kontribusi pendapatan USP terhadap pemenuhan kebutuhan

konsumsi keluarga responden

Jumlah peternak (orang) Persentase < 25% 0 0,00 25% sampai 49% 6 5,22 50% sampai 74% 12 10,44 75% sampai 99% 26 22,60  100% 71 61,74 Jumlah 115 100,00

Gambaran ini hampir sama dengan hasil penelitian Siregar et al. (1993) bahwa kontribusi usaha tani sapi perah terhadap kebutuhan hidup petani di Bogor 86,5%, Lembang 84,4%, dan Garut 94,8%. Begitu pula pendapat Hanifah et al. (2008) bahwa kontribusi USP dalam pendapatan keluarga sangat dominan, walaupun sebagian besar peternak belum menerapkan good farming practice. Gambaran ini berbeda dengan hasil penelitian Juarini et al. (2007) yang menyatakan bahwa pada skala usaha dengan kategori skala kecil dan menengah, mata pencaharian pokok peternak masih sebagai petani maupun lainnya dengan usaha peternakan sebagai usaha sambilan atau cabang usaha. Namun pada skala besar hampir semua peternak menyatakan bahwa usaha peternakan sudah dijadikan usaha pokok.

4.3.8 Pengeluaran Dana Untuk Pengelolaan USP

Sebagian besar (94,8%) responden mengeluarkan dana pengelolaan USP per bulan sebesar Rp. 635.000,-- ke bawah; selebihnya responden mengeluarkan dana lebih dari Rp.635.000,--. Jika diperinci jumlah pengeluaran dana untuk satu ekor sapi per bulan berada dalam kisaran Rp.320.333,--dan Rp.340.667,-- atau rata-rata Rp.324.822,77. Adapun biaya

untuk pengadaan pakan tumbuhan hijau per hari rata-rata Rp. 4.000,-- per ekor sapi, yaitu khusus untuk biaya transportasi; sedangkan biaya pembelian tumbuhan hijau tidak dihitung karena mereka mengambil di sembarang tempat di kawasan perkebunan atau hutan sekitar permukiman penduduk. Waktu yang diperlukan satu kali perjalanan untuk mengambil pakan tumbuhan hijau sekitar 4 jam. Mengenai biaya pengadaan pakan konsentrat per hari yang dikeluarkan peternak selama ini paling tidak sebesar Rp. 5.100,-- per ekor sapi; atau rata-rata Rp.12,89,--per kilogram sapi. Berdasarkan perkiraan berat sapi rata-rata 395 kilogram per ekor maka pengeluaran biaya untuk konsentrat per bulan adalah Rp. 153.000,--. Jumlah pemberian asupan konsentrat ini dapat saja menaik atau menurun; tergantung pada harga konsentrat atau kemampuan daya beli para peternak.

4.4 Gambaran Keadaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Subang

Berikut ini dikemukakan gambaran keadaan dan pengelolaan beberapa aspek sumberdaya alam dan lingkungan yang berkaitan input, proses, dan output

USP di antaranya yaitu sumberdaya air, lahan tanaman tumbuhan hijau untuk