• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan Faktor-Faktor yang Berhubungan Faktor-Faktor yang Berhubungan

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

2.2.2 Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan Faktor-Faktor yang Berhubungan Faktor-Faktor yang Berhubungan

Menurut Baga (2003) perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu, (2) masih rendahnya skala usaha pemilik sapi oleh peternak, di mana rata-rata hanya 2 sampai 4 ekor, (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang terendah, (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah, (5) kesulitan bahan pakan ternak berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijau di Jawa sudah semakin sempit, (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat, (7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan, (8) kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. Salah satu masalah yang menyebabkan tidak berkembangnya peternakan sapi perah adalah harga susu yang tidak menarik dan bersaing dengan susu impor yang relatif lebih murah.

Pengembangan peternakan sapi perah merupakan suatu sistem usaha yang tidak sederhana tetapi kompleks; dan keberhasilannya ditentukan oleh banyak faktor yang saling berkaitan atau saling mempengaruhi, di antaranya ialah faktor kesiapan masyarakat dan peternak; faktor kebijakan pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa; faktor kebijakan perbankan, selaku pendukung dana; dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.

Kesiapan masyarakat mencakup berbagai aspek: kesehatan jasmani dan rohani, pendidikan, pengetahuan, sikap, kemampuan teknis, kemampuan pendanaan, dan perilaku yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat. Baga (2003) mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang masih rendah. Selain itu sikap masyarakat peternak sapi perah kurang positif terhadap situasi harga susu segar yang tidak menarik dan bersaing dengan harga susu impor yang relatif lebih

murah. Sudono (2000) mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar (1993) mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. (1999) mengemukakan hal serupa, bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun cara beternak.

Kebijakan pemerintah mencakup jumlah dan kualitas tenaga pembimbing peternak sapi perah, pendanaan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis, sarana dan prasarana bantuan peningkatan produksi, dan metode kerja aparatur pemerintah di daerah, termasuk teknologi dan peraturan perundangan. Peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing atau pendukung teknik peternakan sapi perah, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan usaha ternak sapi perah di daerah. Suhartini (2001) mengemukakan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat (Baga 2003). Rendahnya produktivitas susu di Indonesia disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit, dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu di atas 210C (Sudono 2000). Hal serupa dikemukakan oleh Napitupulu (1987) bahwa pengembangan susu sapi perah dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, induk, bibit, dan obat-obatan; demikian pula Soewardi et al.

(1990) mengemukakan bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor.

peternakan sapi perah turut menentukan pula. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi UKMK. Prawiradiputra et al.

(2008) mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini (2008) juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Jika kedua kendala ini dapat diatasi maka kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan usaha kecil menengah dan koperasi, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Masalah lainnya ialah keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur atau persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Prasetyo (2008) mengemukakan bahwa peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan kredit program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak.

Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan mencakup suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, letak geografis, ketersediaan atau kesuburan lahan, sumberdaya air dan lainnya. Collier et al. (2006) mengemukakan bahwa musim tahunan memiliki dampak besar terhadap kinerja sapi perah, meliputi pertumbuhan, reproduksi, dan menyusui (laktasi). Dari sisi iklim dan cuaca, Setiawati (2008) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah, antara lain musim, indeks suhu dan kelembaban, serta ketersediaan pakan dan air. Rata-rata sentra produksi di dataran tinggi Pulau Jawa memiliki agroklimat yang mendukung perkembangan sapi perah, yaitu suhu yang sejuk, supply konsentrat yang cukup (kualitas dan jumlahnya), serta air yang berlimpah. Hanya saja penyediaan pakan hijauan sudah perlu diperhatikan, mengingat luas lahan yang semakin sempit dengan

meningkatnya pertumbuhan fisik (perumahan, industri, dan sebagainya). Pakan dapat mempengaruhi penampilan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan serta tingkat produksi dan kualitas ternak. Pakan merupakan biaya terbesar dalam usaha budidaya sapi perah, yaitu sebesar 60 sampai 80%. Baga (2003) mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat karena iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu. Sarwanto (2004) menyatakan bahwa dataran tinggi lebih berpotensi untuk mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah jika ditinjau dari ketersediaan limbah ternak, produksi susu, ketersediaan air dan ketersediaan hijauan pakan. Demikian pula kesimpulan hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, yang menetapkan area pengembangan peternakan sapi perah dalam 3 area: area yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (MDPL) dijadikan sebagai pusat produksi susu, dan di tempat ini dikembangkan sapi perah Fries Holland murni sebagai bibit utama (grand parent stock–GPS atau parent stock-PS); antara 300 dan 700 MDPL dikembangkan sapi perah hasil budidaya baik yang berasal dari PS yaitu final stock (FS); sedangkan yang berada di bawah 300 MDPL dikembangkan sapi perah persilangan dengan lokal. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah ketersediaan modal usaha atau lahan hijauan pakan ternak (Harpini 2008). Kendala dalam penyediaan hijauan pakan sepanjang tahun yang dihadapi peternak sapi perah sangat beragam, mulai dari kurang modal, sempitnya lahan, kurangnya tenaga kerja, musim yang tidak mendukung sampai ke rendahnya penguasaan teknologi (Prawiradiputra 2008).

2.2.3 Hasil Penelitian Berkaitan dengan Usaha Peternakan Sapi Perah

Studi berkenaan dengan peranan perbankan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada sektor UMK telah dilakukan di banyak negara, termasuk oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (The World Bank) dan Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization of The United Nations). Kusmuljono (2007) melakukan penelitian tentang sistem pengembangan usaha pertanian berbasis lingkungan didukung

lembaga keuangan mikro. Marsuki (2006) menerbitkan buku berupa hasil kajian atau evaluasi tentang efektifitas peran perbankan dalam memberdayakan sektor ekonomi unggulan di Sulawesi Selatan.

Reddy et al. (2002) mengemukakan hasil penelitiannya tentang tingkat kinerja usaha dari tiga kategori usaha ternak di India. Mayoritas peternak sapi perah kategori kecil memiliki kinerja usaha yang rendah; peternak sapi perah kategori menengah memiliki kinerja usaha sedang; dan peternak sapi perah kategori besar memiliki kinerja usaha baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas peternak sapi perah skala kecil memiliki pengalaman, prestasi, motivasi, inovasi, pengetahuan, rasional, kemampuan pengambilan keputusan dan orientasi manajemen yang rendah.

Bardhan et al. (2005) mengemukakan hasil penelitian mereka di India bahwa kegiatan peternakan sapi perah mencakup bidang: pemakanan, manajemen, pembibitan, dan perawatan kesehatan. Para peternak sapi perah sadar terhadap kegiatan atau praktek peternakan secara umum, seperti inseminasi buatan, pentingnya perlindungan hewan ternak terhadap penyakit ektoparasit dan vaksinasi ternak, pentingnya pemberian kolostrum untuk anak sapi dan konsentrat untuk ternak yang sedang bunting, dan pengeringan sapi pada waktunya. Namun demikian para peternak tidak menyadari beberapa praktek peternakan, seperti keunggulan benih pakan ternak, pemakanan jerami yang diolah dengan urea, dan praktek penyapihan anak sapi. Mereka tidak memelihara rekam jejak (record)

proses perkembangan usaha sapi perah mereka; dan juga tidak mengasuransikan sapi perahnya.

Reddy et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di India bahwa kinerja peternak sapi perah kategori kecil berhubungan secara positif dan signifikan dengan pengalaman menjalankan usaha sapi perah, inovasi, percaya diri, orientasi ekonomi, pengetahuan pengelolaan usaha sapi perah, partisipasi masyarakat, wawasan luas, dan orientasi manajemen. Tentang peternak sapi perah kategori sedang dan besar, semua faktor manajemen, kecuali pengalaman dalam menjalankan usaha sapi perah, yaitu motivasi pencapaian tujuan, berprestasi, inovasi, percaya diri, kemampuan mengambil keputusan rasional, orientasi ekonomi, pengetahuan tentang manajemen usaha sapi perah, partisipasi

masyarakat, wawasan luas dan orientasi manajemen berhubungan secara positif dan signifikan dengan kinerja beternak sapi perah. Peternak sapi perah yang lebih berpengalaman, berpikir inovatif, dan yang berkeinginan untuk mendapatkan untung lebih banyak, lebih mudah mengadopsi inovasi teknologi. Faktor-faktor lain seperti tingginya partisipasi sosial, wawasan luas, dan manajemen usaha sapi perah yang ilmiah mengarah kepada kinerja usaha yang lebih baik.

Bordoloi et al. (2005) mengemukakan kesimpulan penelitan mereka di India bahwa ukuran keluarga dan status pendidikan peternak sapi perah meningkat seiring dengan meningkatnya kepemilikan tanah. Ketiga kategori peternak (peternak tak bertanah, peternak marjinal, dan peternak kecil) menginvestasikan sejumlah uang yang sama dalam unit usaha mereka masing-masing, tapi peternak tak bertanah secara komparatif bisa memperoleh pendapatan lebih banyak daripada para peternak marjinal dan kecil.

Subrahmanyeswari et al. (2005) mengemukakan meskipun sejumlah teknologi inovatif telah dikembangkan dan diperkenalkan untuk meningkatkan produksi susu, namun sangat sedikit peternak yang bisa memperoleh manfaat dari mereka. Penerimaan atau penolakan teknologi tertentu oleh peternak tergantung pada karakteristik teknologi, kualitas dan jumlah personil penyuluhan. Sebelum mengadopsi suatu inovasi, peternak biasanya membandingkan inovasi baru dengan inovasi tradisional atau inovasi yang sudah ada dalam hal keuntungan relatif, kompatibilitas, dan biaya awal.

Bragg et al. (2004) mengemukakan bahwa ada empat variabel yang secara signifikan mempengaruhi keputusan untuk keluar atau berhenti dari usaha sapi perah, yaitu umur produsen yang semakin tua, pendapatan di luar usaha peternakan lebih tinggi, perolehan pendapatan yang semakin rendah, dan diversifikasi pendapatan yang lebih besar.

Olesen et al. (2006), mengemukakan bahwa pertanian merupakan kontributor penting bagi emisi global gas rumah kaca (GRK), khususnya metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O). Sumber utama CH4 di bidang pertanian adalah fermentasi enterik dari hewan ruminansia dan hasil anaerob padi sawah, sedangkan fermentasi anaerob dari pupuk kandang adalah sebesar 8% dari emisi CH4 pertanian.

Rosati et al. (2004) mengemukakan bahwa faktor ekonomi merupakan kekuatan pendorong bagi petani Eropa untuk berubah dari sistem konvensional ke sistem manajemen organik. Keamanan pangan, kualitas produk, dan hal penting relatif lainnya merupakan isu terpenting bagi pertanian Eropa untuk berubah dari sistem konvensional ke sistem peternakan organik. Pasar organik juga akan melindungi para petani Eropa dari persaingan global. Sistem peternakan organik lebih "ramah lingkungan" dibandingkan dengan sistem manajemen konvensional. Cheng’ole et al. (2003) mengemukakan hasil penelitiannya di Kenya bahwa ukuran tanah yang luas tidak krusial untuk meningkatkan produktivitas sapi perah. Peternakan intensif adalah opsi terbaik, dan karena itu berkurangnya kepemilikan lahan akibat pertambahan jumlah penduduk bukan merupakan alasan yang cukup bagi rendahnya produktivitas di Kenya.

Eastridge et al. (2006) mengemukakan bahwa berbagai studi telah memberikan kemajuan penting untuk meningkatkan efisiensi pakan dan kesehatan hewan dengan memperbaiki kualitas pakan, menambah bahan pakan, mendefinisikan interaksi antar bahan pakan, mengidentifikasi bahan pakan alternatif, mendefinisikan kebutuhan gizi, dan meningkatkan efisiensi fermentasi rumen. Pakan ternak mencakup pakan rumput (forage), tanaman biji-bijian

(cereal grains), hasil sampingan (by-products), dan zat aditif (feed additives). Sistem pemakanan dilakukan dengan sistem penyediaan kawasan lahan dan tanaman hijauan untuk sapi perah, pemakanan tumbuhan dan tanaman biji-bijian secara terpisah. Pemberian pakan pada waktu dan jumlah yang tepat, dan mutu kolostrum merupakan hal penting bagi pertumbuhan dan kesehatan anak sapi.

Barnouin et al. (2006) mengemukakan hasil penelitian di Perancis bahwa kawanan ternak yang memikili angka kejadian penyakit mastitis yang rendah memiliki karakteristik: (1) pemisahan atau penyingkiran sapi yang mengalami lebih dari tiga kali kasus mastitis dalam satu masa laktasi; (2) pengalaman mengurus usaha sapi perah lebih dari dua tahun; (3) keseimbangan konsentrat dalam pemberian makanan dasar.

Hall et al. (2004) mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa para peternak sapi perah di Thailand memiliki insentif untuk mengadopsi program manajemen kesehatan kawanan ternak. Dengan mengadopsi program tersebut,

inefisiensi sosial (tidak produktif karena sakit) dapat dikurangi, sebagai hasil dari kebijakan publik tentang sapi perah. Pemerintah Thailand memberikan dukungan program kepada usaha peternakan sapi perah: menetapkan harga susu, menetapkan kuota impor susu tiap tahun, mewajibkan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam program pemberian susu bagi sekolah-sekolah untuk membeli susu produk lokal dalam jumlah tertentu, dan memberikan subsidi bagi jasa pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan.

Suzuki et al. (2006) mengemukakan hasil penelitiannya di Vietnam bahwa praktek beternak antara satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya seperti dalam hal pemanfaatan produk sampingan pertanian untuk upaya pemakanan dan kesehatan hewan. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan geografis akibat faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kegiatan pertanian seperti kendala penggunaan lahan dan akses terhadap sumberdaya air. Bentuk dukungan pemerintah seperti pelayanan penyuluhan pertanian dan lembaga keuangan juga berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Reddy et al. (2005) mengemukakan hasil studi mereka di India bahwa karena mayoritas peternak lokal memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang praktek beternak sapi perah, maka pemerintah dan petugas penyuluh harus memberi perhatian yang lebih untuk mengedukasi peternak lokal melalui pendidikan untuk menghapuskan buta huruf, kunjungan ke rumah dan ke lokasi usaha peternakan, dan program-program media massa. Penguatan edukasi dapat dilakukan melalui studi banding, kunjungan lapang dan program-program pelatihan yang menghasilkan akuisisi pengetahuan, peningkatan keterampilan dan akhirnya meningkatkan produksi.

Chase et al. (2006) menyatakan bahwa peserta penyuluhan di bidang peternakan saat ini membutuhkan informasi yang lebih spesifik dan informasi yang berbasis riset, dan program penyuluhan dengan tipe workshop. Informasi yang bersifat umum tidak diminati lagi oleh peserta penyuluhan.

Nuareni et al. (2006) mengemukakan hasil penelitannya bahwa potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan sarana penunjang dapat mendukung usaha peternakan sapi perah. Keuntungan peternak adalah sebesar Rp.2.005.000,- per masa laktasi.

Hidayatullah et al. (2005) mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa ada nilai tambah dari pengelolaan limbah sapi perah; bahwa produksi bersih dapat memberikan keuntungan yang cukup signifikan yaitu B/C lebih besar dari satu.

Mandaka et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa usaha peternakan sapi perah skala kecil relatif kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha peternakan sapi perah skala menengah dan besar. Sekitar 90,32% peternak menjadikan usaha ternaknya sebagai mata pencaharian utama. Sistem pemerahan susu sapi mereka masih bersifat manual menggunakan tangan. Nilai pinjaman yang diperoleh peternak ialah Rp.6.000.000,-- sampai Rp.12.000.000,-- dengan agunan yang dipakai ialah sapi; masa pengembalian kredit 7 tahun dengan suku bungan 0-1% per bulan.

Ridwan (2006) melakukan penelitian mengenai model agribisnis peternakan sapi perah berkelanjutan pada kawasan pariwisata di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tersebut antara lain menyebutkan bahwa dengan adanya pengolahan limbah (feses dan sisa pakan) menjadi kompos, maka seluruh skala usaha peternakan sapi perah memenuhi kriteria finansial, IRR (internal rate of return) dan BCR (benefit cost ratio) pada tingkat discount factor 20%. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengembangan kebijakan harus memperhatikan atribut keberlanjutan, antara lain memelihara harga susu segar di tingkat peternak, mengembangkan teknologi pengolahan limbah, dan mendorong petani budidaya tanaman untuk menggunakan pupuk kandang.

Sofyar (2004) melakukan penelitian tentang pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih bahwa terdapat lima dimensi dalam atribut keberlanjutan. Dimensi tersebut terdiri atas dimensi ekonomi, ekologi, hukum dan kelembagaan, teknologi dan sosial budaya. Sarwanto (2004) menyatakan bahwa ditinjau dari ketersediaan limbah ternak, produksi susu, air dan hijauan pakan dataran tinggi lebih berpotensi mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah.

Jayaraman dan Lanjouw (2004) melaporkan hasil studi kasus di Brazil tentang keterkaitan antara industri skala kecil, peraturan lingkungan hidup dan kemiskinan. Centner (2002) melakukan studi tentang pengembangan kebijakan atau aturan-aturan yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak pencemaran air

akibat dari usaha peternakan di Amerika Serikat.

Billiot dan Daughtery (2001) melakukan studi untuk mengevaluasi beban kewajiban yang timbul akibat kerusakan lingkungan (environmental liability) dengan mengenakan premi risiko terhadap fasilitas pinjaman yang diperoleh para pelaku usaha sektor agribisnis. Dasgupta, Lucas dan Wheeler (1998) melakukan penelitian di Brazil dan Meksiko tentang hubungan antara industri manufaktur kecil, polusi dan kemiskinan. Salah satu hasil penelitian bahwa industri kecil lebih polutif dibandingkan dengan pabrik besar; dan industri kecil tersebut umumnya di daerah-daerah dengan pendapatan lebih rendah (miskin).

Pargal dan Wheeler (1995) melakukan studi tentang peraturan informal yang berkaitan pencemaran industri di Indonesia, yang antara lain menyatakan bahwa tingkat pencemaran pada kawasan masyarakat yang lebih miskin dan kurang berpendidikan lebih tinggi. Gudger dan Barker (1993) menerbitkan buku yang mengkaji tentang pentingnya peranan perbankan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

2.2.4 Kebijakan Pemerintah untuk Pengembangan Usaha Peternakan

Sapi Perah Skala Mikro

Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2008 usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria: (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut BPS suatu usaha dikategorikan sebagai usaha (industri) mikro jika tenaga yang dipekerjakan berjumlah antara 1 dan 4 orang. Usaha mikro adalah usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati ciri miskin yang mempunyai ciri-ciri: dimiliki oleh keluarga, mempergunakan teknologi sederhana, memanfaatkan sumberdaya lokal, serta lapangan usahanya mudah dimasuki dan ditinggalkan. Kelompok pengusaha mikro (KPM) adalah sekelompok pengusaha yang masing-masing atau secara bersama memiliki usaha mikro dan beranggotakan minimal 8 orang dan maksimal 10 orang.

Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau bukan perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria: (1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Konsepsi pengembangan kebijakan usaha kecil yang berbasis produksi bersih dirumuskan dengan memenuhi alasan (1) landasan komponen faktor lingkungan kritis yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan pengusaha kecil; (2) mencakup berbagai faktor yang berpengaruh pada kinerja usaha kecil bersangkutan (baik internal maupun eksternal); (3) menerapkan alternatif konsep produksi bersih dalam mewujudkan kegiatan kelompok usaha kecil yang berwawasan lingkungan; (4) mengoptimalkan aplikasi konsep produksi bersih, melalui pengembangan kemampuan inovatif yang selaras dengan terjaganya kelestarian lingkungan. Alur pikir perumusan kebijakan usaha kecil dimulai dengan penetapan kondisi nyata yang meliputi (1) usaha kecil memiliki kemampuan memenuhi permitaan pasar, dan (2) secara bersama para pengusaha kecil mampu survive dan tumbuh berkembang secara konsisten serta selaras