• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Subang dan Masalah yang Dihadapi dan Masalah yang Dihadapi

5.5 Desain Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang

5.5.1 Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Subang dan Masalah yang Dihadapi dan Masalah yang Dihadapi

Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Subang dapat dikemukakan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan usaha sapi perah di Kabupaten Subang, yaitu: (1) penyediaan kebun HMT (hijauan makanan ternak); (2) perbaikan manajemen budidaya; (3) peningkatan serta penguatan kelembagaan; (4) peningkatan nilai tambah usaha ternak; (5) peningkatan permodalan dan kelembagaan; (6) peningkatan kerjasama kemitraan stakeholder

di bidang peternakan. Dasar hukum dari kebijakan-kebijakan tersebut ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 751/Kpts/Um/10/1982 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Susu Dalam Negeri; Surat Keputusan Menteri Pertanian No.404/Kpts/OT.210/ 6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 Tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani; Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 776/ Kpts/DJP/Deptan/1982 Tentang Syarat-Syarat Teknis Perusahaan Peternakan Sapi Perah; Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan Nomor 17/Kpts/DJP/ Deptan/83, Tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengawasan dan Pemeriksaan Kwalitas Susu Produksi Dalam Negeri. Sebagian besar surat keputusan ini adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1967 masih dinyatakan berlaku hingga diadakan penggantinya sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dasar hukum di tingkat Kabupaten Subang di antaranya ialah Peraturan Daerah Kabupaten (Perdakab.) Subang Nomor 14 Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan; Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang

Pola Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Subang; Peraturan Bupati Subang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang; dan Keputusan Bupati Subang Nomor 460.05 / KEP. 280-BAPPEDA / 2010 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) di Kabupaten Subang.

Adapun kegiatan-kegiatan pokok untuk mengimplementasikan kebijakan pengembangan usaha sapi perah di Kabupaten Subang ialah: (a) mendistribusikan bantuan alat, sarana yang berasal dinas dan instansi pusat dan provinsi kepada masyarakat peternak; (b) mengusulkan penambahan dana, tenaga, dan sarana berkaitan dengan pengembangan usaha sapi perah baik kepada pusat, provinsi, maupun kabupaten; (c) membantu peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat peternak melalui penyuluhan dengan tatap muka perorangan dan kelompok, media elektronik dan cetak; (d) mendorong kelancaran pertemuan-pertemuan dinas dan instansi tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa untuk pengembangan usaha sapi perah; (e) melakukan pengawasan dan memberi bantuan upaya peningkatan kesehatan sapi perah dan peternak berserta keluarganya; (f) melakukan pembinaan rutin kepada para peternak dalam hal pengembangan pembibitan sapi perah, termasuk recording; (g) melakukan pembinaan rutin kepada peternak dan keluarganya dalam rangka peningkatan pemeliharaan kebersihan dan kesehatan lingkungan; (h) memberi bantuan kepada para peternak dalam hal pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi perah untuk bahan baku biogas dan pupuk organik; (i) mendorong upaya penyediaan dan pengembangan pakan ternak sapi perah (hijauan dan konsentrat); (j) meningkatkan pembinaan terhadap GAPOKTAN (gabungan kelompok tani), khususnya peternak sapi perah; (k) mendorong upaya peningkatan jumlah dan mutu produksi susu segar sapi perah sesuai dengan standar baku; (l) membantu masyarakat peternak dalam hal penambahan modal usaha melalui kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan lainnya; (m) memfasilitasi atau memberi dukungan bantuan lainnya dalam rangka pengembangan usaha sapi perah di daerah atau desa-desa yang memungkinkan.

Dari seluruh kegiatan yang dicanangkan tersebut, berdasarkan kenyataan di lapangan, sebagian besar belum mencapai hasil yang optimal karena menghadapi

berbagai hambatan, berkaitan dengan kurangnya dana, sarana, tenaga dari pihak pemerintah dan berkaitan pula dengan tingkat kesiapan masyarakat peternak.

Dalam rangka penyediaan kebun HMT (hijauan makanan ternak) yang bertujuan agar produktivitas ternak sapi perah di Kabupaten Subang semakin meningkat, maka sejak tahun 2009 dikembangkan strategi penanaman rumput gajah di kawasan hutan di kampung Conto, desa Wanareja, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang. Alokasi luas hutan yang telah diizinkan oleh PERHUTANI untuk ditanami adalah 100 hektar, namun hingga saat ini yang dikelola dan berproduksi baru 50 hektar karena prasarana jalan masuk keluar kendaraan angkutan hasil produksi untuk mencapai kawasan 50 hektar lainnya belum memadai. Hasil produksi rumput gajah per hektar per tahun rata-rata 240 ton, atau dari keseluruhannya (50 hektar) rata-rata 33 ton per hari, dengan harga jual sebesar Rp. 150,- hingga Rp.200,-- per kilogram. Instansi yang menginisiasi atau terkait langsung dalam kegiatan ini ialah: (a) Dinas Peternakan sebagai pembina atau koordinator; (b) Dinas Kehutanan dan PERHUTANI sebagai pembina dan penyedia lahan tanam; (c) Koperasi Peternakan Susu Bandung Utara (KPSBU) sebagai pembina dan penyalur penggunaan HMT; (d) Dinas Perdagangan sebagai pembina pemsasaran; (e) Dinas Pekerjaan Umum sebagai pembina prasarana jalan wilayah. Jumlah personil pengelola rumput gajah tersebut adalah 150 orang. Mereka adalah gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) atau petani rumput yang berdomisili di sekitar hutan tersebut. Hasil penjualan rumput sebesar Rp. 150,-- per kilogram diterima oleh GAPOKTAN sebagai pendapatan usaha setelah dikurangi biaya sewa lahan untuk pihak penyedia lahan. Manfaat dari adanya usaha ini cukup banyak, di antaranya yaitu dapat menekan terjadinya kerusakan hutan yang sebelumnya cukup tinggi dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani rumput di sekitar kawasan hutan; namun demikian ada pula masalah yang dihadapi, di antaranya ialah bahwa lokasi kebun HMT tersebut relatif jauh dari USP Ciater dan Sagalaherang sehingga biaya untuk pengangkutan per hari relatif besar dan tidak terjangkau oleh para peternak skala mikro. Jika harga per kilogram HMT rata-rata Rp.200,-- maka biaya per ekor sapi untuk mencukupi 40 kilogram per hari adalah rata-rata Rp.8.000,--. Penyediaan lahan untuk lokasi tanam tumbuhan hijau yang memadai sebagaimana telah

dikemukakan di atas sejalan dengan pendapat Hermanto (2009) bahwa untuk mengembangkan sistem pertanian berwawasan lingkungan diperlukan kebijakan pertanian daerah yang holistik, yaitu: (1) pengelolaan lahan secara terpadu, (2) peningkatan akses petani terhadap sarana produksi pertanian yang ramah lingkungan, (3) pengelolaan lingkungan yang lestari, (4) konservasi dan diversifikasi pertanian, dan (5) penegakan hukum lingkungan.

Untuk perbaikan manajemen budi daya, yang bertujuan untuk efisiensi usaha dengan pengelolaan pasca panen agar ternaknya terpelihara dengan baik, maka dikembangkan strategi penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat peternak. Untuk ini sesuai dengan Peraturan Bupati Subang Nomor 11 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas atau Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Subang telah dibentuk Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan yang membawahkan Unit Pelaksana Teknis Balai Penyuluh Pertanian dan Ketahanan Pangan di Kecamatan, termasuk Kecamatan Ciater dan Sagalaherang. Badan ini seyogyanya aktif mengkoordinasikan seluruh dinas dan instansi dalam rangka pengembangan penyuluhan usaha sapi perah, namun hingga saat ini hasil yang dicapai belum mencapai tahap yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya pertemuan rutin dan rencana kerja tingkat kabupaten dan kecamatan tentang pengembangan USPSMWL di wilayah Kabupaten Subang. Dengan demikian secara umum kegiatan kunjungan pembinaan ke daerah masih bersifat sektoral atau belum terintegrasi secara keseluruhan baik dari sisi perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak sapi perah di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater selama ini masih dominan dilakukan oleh KPSBU dan petugas kesehatan hewan dari Dinas Peternakan Kabupaten Subang dengan frekuensi yang kurang memadai serta belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan (needs) di masyarakat; akibatnya tujuan meningkatkan produktivitas peternak dalam mengelola USP belum seluruhnya tercapai seperti yang diharapkan.

Hal serupa terjadi dalam rangka penguatan kelembagaan yang ditujukan untuk meningkatkan penguatan kelembagaan kelompok peternak; peningkatan nilai tambah usaha ternak yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan

peternak; peningkatan permodalan dan kelembagaan yang ditujukan untuk mengembangkan jumlah piaraan hingga mencapai jenis dan kategori lengkap; peningkatan kerjasama kemitraan stakeholder dalam bidang peternakan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dengan target piaraan lebih dari 7 ekor; semua belum terkelola secara optimal karena wadah koordinasi penyuluhan dan pembinaan tingkat kabupaten, kecamatan, hingga desa belum berkembang.

Dalam rangka pengembangan pemanfaatan atau pengelolaan limbah sapi perah oleh masyarakat peternak upaya yang dilakukan oleh dinas peternakan kabupaten ialah memfasilitasi pengadaan instalasi pengolahan biogas dengan cara mengajukan usulan tambahan ke tingkat pusat, provinsi, dan kemitraan dengan pihak swasta. Jumlah pengguna instalasi pengolah biogas ditargetkan sebanyak 200 peternak, namun hingga saat ini jumlah peternak yang serius menggunakan baru mencapai 90 peternak (45%). Masalah yang dihadapi ialah rendahnya gairah masyarakat mengembangkan produksi biogas berkenaan dengan sulitnya pemasaran hasil yang dapat memberi nilai tambah pendapatan keluarga. Demikian pula halnya dengan pengembangan “rumah kompos” berupa pengelolaan limbah biogas dan limbah sapi perah yang sudah dikeringkan yang ditujukan untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat juga masih belum menunjukkan hasil yang optimal.

Masalah berkaitan dengan penyuluhan, bahwa anggaran penyuluhan dan bimbingan teknis pengembangan sapi perah yang tersedia di pusat dan provinsi tidak sampai ke kabupaten; hal ini mempengaruhi terhadap kurangnya frekuensi kegiatan. Selain itu tenaga penyuluh peternakan di kecamatan dan desa relatif masih kurang; sehingga harus dirangkap oleh kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), KPSBU, dan tenaga kesehatan hewan. Peranan tokoh masyarakat (TOMA) dalam pengembangan USPSMWL masih belum optimal; terutama dalam pembentukan kelompok di daerah.

Bantuan pemeliharaan kesehatan ternak sapi perah, selama ini ditangani oleh Dinas Peternakan bekerjasama dengan KPSBU berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan berkala (rata-rata 3 bulan sekali, kecuali dalam hal khusus). Frekuensi pembinaan tentang kesehatan perorangan dan lingkungan kepada masyarakat

peternak hingga kini juga masih belum optimal; hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena keterbatasan jumlah tenaga kesehatan sebagai pelaksana penyuluhan dan bimbingan teknis.

Kondisi lain di lapangan menunjukkan belum semua USP memiliki sarana

milk-can. Jumlah bantuan atau hibah dari dinas peternakan selama ini masih kurang karena tergantung pada jumlah permintaan para peternak menurut kesanggupan membayar sebagian harga yang ditentukan (sebesar 40% dari harga total).

Masalah mengenai kredit pinjaman ke bank untuk memulai dan mengembangkan USPSMWL terutama tentang prosedur dan persyaratan, bunga, jangka waktu pinjaman, dirasakan sebagai suatu hal yang perlu diselesaikan, namun demikian pertemuan antara pihak pemerintah, perbankan, dan masyarakat atau peternak masih kurang optimal.

Dukungan pemerintah terhadap pengembangan pembibitan sapi perah, terutama dengan cara inseminasi buatan pada dasarnya telah berjalan dengan baik walaupun belum semua peternak dapat melakukan recording dengan baik karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan.

Dari uraian di atas tergambar bahwa kebijakan Pemerintah Kabupaten Subang dalam rangka pengembangan usaha sapi perah di daerahnya masih belum terimplementasi secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya kurangnya kerjasama lintas program dan sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; kurangnya jumlah dana, sarana, dan tenaga untuk pembinaan ke masyarakat di daerah. Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi belum optimalnya kesiapan masyarakat untuk menumbuh- kembangkan usaha sapi perah di daerahnya. Masalah ini perlu diselesaikan secara menyeluruh dengan tahapan teratur. Pada sisi pemerintah selaku penyelenggara program perlu diciptakan prakondisi yang memadai berupa kesiapan kerjasama harmonis antar sektor tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa dalam mendukung tumbuh kembangnya usaha sapi perah di daerah. Untuk itu perlu dirumuskan

“prosedur kerja baku” kerjasama berdasarkan hasil kesepakatan bersama, mencakup visi, misi, tujuan, kegiatan, dana, sarana, tenaga dan pembagian tugasnya, mekanisme perencanaan, mekanisme pembinaan, mekanisme evaluasi

dan penyelesaian masalah, serta aspek penting lainnya. Pada sisi masyarakat atau peternak perlu diciptakan prakondisi yang memadai berupa pengembangan

“faktor-faktor predisposisi” mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat peternak terhadap peternakan yang berwawasan lingkungan, keamanan lingkungan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lainnya. Pengkondisian faktor-faktor ini diiringi dengan pengkondisian “faktor

-faktor pemungkin” mencakup penyediaan dana, sarana dan prasarana produksi, fasilitas konsultasi peternakan, sarana pemanfaatan atau pengelolaan limbah sapi perah termasuk pemasarannya, penyiapan lahan pakan sapi perah. Hasil pengkondisian keseluruhan faktor-faktor tersebut kemudian dipadukan dengan

hasil pengkondisian “faktor-faktor penguat” berupa contoh yang edukatif, tauladan dari petugas pemerintah dan tokoh masyarakat, peraturan untuk memperkuat perilaku masyarakat peternak yang telah baik.

5.5.2 Kebijakan Alternatif Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala

Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang

Dari hasil penelitian diperoleh gambaran: (a) keadaan umum dan masalah USP skala mikro di Kabupaten Subang; (b) faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan pengembangan USPSMWL Kabupaten Subang; (c) kebutuhan

stakeholder dalam pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang (tertera dalam Tabel 18); (d) tingkat prioritas setiap elemen pengembangan USPSMWL lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan AHP (tertera dalam Gambar 14); (e) faktor-faktor kunci pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang menurut para pakar berdasarkan ISM (tertera dalam Gambar 17); dan (f) gambaran kondisi pada masa yang akan datang berdasarkan hasil simulasi skenario-skenario dari model yang telah dibangun.

Hasil simulasi model yang dibangun dapat menunjukkan arah kebijakan yang perlu diambil dalam rangka pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Gambaran utama yang tampak adalah bahwa, dalam kurun waktu simulasi yang sama selama 20 tahun (dari tahun 2011 sampai 2030), hasil simulasi skenario kondisi optimistik memiliki dampak positif lebih besar dibandingkan dengan hasil simulasi skenario kondisi moderat, kondisi eksisting, maupun kondisi pesimistik, baik ditinjau dari segi ekonomi, sosial, maupun

ekologi (seperti tertera dalam Tabel 28). Dalam sub sistem ekologi, hasil simulasi skenario optimistik yang paling menonjol ialah berkurangnya CH4 yang lepas ke atmosfir 16,4 kali dari hasil skenario eksisting; atau 8,63 kali hasil skenario moderat; atau 20 kali hasil skenario pesimistik. Dampak positif besar yang kedua dari skenario optimistik ialah berkurangnya limbah sapi perah yang tidak terkelola sebesar 11,18 kali dari hasil skenario eksisting; atau 7,08 kali hasil skenario moderat; atau 12,29 kali hasil skenario pesimistik. Dalam sub sistem ekonomi, hasil simulasi skenario optimistik menunjukkan bertambahnya pengelola biogas menjadi 2,06 kali hasil skenario eksisting atau 1,29 kali hasil skenario moderat, atau 2,51 kali hasil skenario pesimistik. Dalam sub sistem sosial, hasil simulasi skenario optimistik menunjukkan peningkatan perilaku positif peternak dalam berusaha sapi perah sebesar 1,45 kali dari hasil skenario eksisting; atau 1,16 kali dari hasil skenario moderat; atau 1,65 kali dari hasil skenario pesimistik.

Gambaran keunggulan skenario optimistik dibandingkan dengan skenario kondisi eksisting (dengan nilai skenario seperti tertera dalam Tabel 27) dapat diuraikan berikut ini :

(a) Jumlah sapi perah dan non perah selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah 1.012 ekor, atau rata-rata 51 ekor per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 429 ekor atau rata-rata 22 ekor per tahun;

(b) Jumlah sapi perah selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah 789 ekor, atau rata-rata 40 ekor per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 340 ekor atau rata-rata 17 ekor per tahun;

(c) Jumlah sapi non perah selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah 223 ekor atau rata-rata 12 ekor per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 88 ekor atau rata-rata 5 ekor per tahun;

(d) Jumlah limbah sapi yang tidak terkelola untuk biogas, pupuk organik, dan lainnya selama 20 tahun (2011 sampai 2030) menurun sejumlah 765.740 kg atau rata-rata 38.287 kg per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting justru bertambah sebanyak 428.409 kg atau rata-rata 21.421 kg per tahun; (e) Pelaku USP atau peternak sapi perah selama 20 tahun (2011 sampai 2030)

skenario kondisi eksisting bertambah hanya 136 orang atau rata-rata 17 orang per tahun;

(f) Pelaku USP dengan mengolah biogas selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah 280 orang atau rata-rata 14 orang per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 110 orang atau rata-rata 5 orang per tahun;

(g) Pelaku USP dengan mengolah pupuk organik selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah 165 orang atau rata-rata 9 orang per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 47 orang atau rata-rata 3 orang per tahun;

(h) Kontribusi pendapatan USP terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga peternak selama 20 tahun (2011 sampai 2030) bertambah sebesar 130% atau rata-rata 6,5% per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 59% atau rata-rata 3% per tahun;

(i) Perilaku berusaha sapi perah para peternak selama 20 tahun (2011 sampai 2030) meningkat 4,19% atau rata-rata 0,21% per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting bertambah hanya 1,19% atau rata-rata 0,06% per tahun;

(j) Jumlah emisi CH4 ke atmosfir selama 20 tahun (2011 sampai 2030) berkurang atau turun sebanyak 46.175.625 liter atau rata-rata 2.308.782 liter per tahun; sedangkan hasil skenario kondisi eksisting justru sebaliknya emisi CH4

bertambah sebesar 26.633.433 liter atau rata-rata 1.231.672 liter per tahun. Dari gambaran hasil simulasi skenario yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya hasil atau dampak positif yang diperoleh sangat bergantung pada skenario yang dipilih; atau bergantung pada seberapa tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan kelima faktor kunci yang menjadi prediktor atau determinan dalam model tersebut, yaitu (1) Peningkatan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah; (2) Penyediaan tenaga pembimbing teknis usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan; (3) Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; (4) Penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan usaha sapi perah skala mikro berwawasan

lingkungan sesuai kebutuhan; (5) Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam hal pemeliharaan kesehatan peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan usaha sapi perah. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa keberhasilan mengelola kelima faktor tersebut secara optimal akan memberi dampak positif terhadap kelancaran pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

Berdasarkan gambaran-gambaran di atas maka kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang yang disusun atau dirumuskan mengacu pada skenario optimis dari model yang dibangun dalam penelitian ini, disinergikan dengan kebijakan yang ada; dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip otonomi daerah serta visi Kabupaten Subang yaitu: “terwujudnya Kabupaten Subang sebagai daerah agribisnis, pariwisata dan industri yang berwawasan lingkungan dan religius serta

berbudaya melalui pembangunan berbasis gotong royong pada tahun 2024”;

dan juga memperhatikan misi Kabupaten Subang tentang lingkungan hidup yaitu: (1) peningkatan kemampuan dan pengetahuan aparat; (2) peningkatan sarana dan prasarana kelancaran pelaksanaan tugas; (3) menyusun dan menetapkan peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup; (4) memasyarakatkan dan mensosialisasikan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup; (5) mengkoordinasikan seluruh kegiatan mengenai pengelolaan lingkungan hidup; (6) melaksanakan pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan penegakan supremasi hukum; (7) meningkatkan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan teknologi ramah lingkungan; (8) pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup; dan (9) meningkatkan pelayanan prima dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup (Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Subang 2009). Dengan demikian kebijakan yang disusun dan dirumuskan tidak hanya mencakup dimensi kependudukan dan kelembagaan, tetapi juga dimensi sumberdaya alam dan lingkungan. Ketiga aspek tersebut mutlak dikelola secara terpadu agar senantiasa terpelihara seimbang seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.