• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG

6.1 Faktor Internal

Sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di daerah kepulauan, sumber pendapatan sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PENDAPATAN DAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

Sumber daya laut memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pendapatan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan kepulauan. Kesalahan dalam pengelolaan sumber daya laut akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang tinggal disekitarnya. Fokus kajian pada bagian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pendapatan rumah tangga dan pengelolaan sumber daya laut di Kabupaten Raja Ampat. Faktor-faktor tersebut di kelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor struktural. Faktor internal adalah hal-hal yang terkait dengan kapasitas nelayan dan masyarakat di lokasi penelitian, seperti sumber pendapatan, teknologi alat tangkap/produksi dan wilayah tangkap, biaya produksi dan kualitas SDM. Faktor eksternal adalah faktor yang tidak terkait dengan kondisi nelayan namun dapat mempengaruhi pendapatan. Faktor eksternal meliputi pemasaran termasuk harga, permintaan terhadap hasil tangkap/produksi, kondisi musim/iklim degradasi sumber daya pesisir dan laut. Sedangkan faktor struktural adalah kebijakan, program atau aturan yang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Informasi yang digunakan pada bagian ini diperoleh dari survei, wawancara terbuka dan FGD yang dilakukan pada waktu penelitian.

6.1 Faktor Internal

6.1.1 Sumber Pendapatan

Sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di daerah kepulauan, sumber pendapatan sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian

sekitar wilayah desa ada perusahaan kayu yang banyak mempekerjakan penduduk desa.

Melihat keragaman sumber pendapatan di wilayah penelitian, dapat dikatakan bahwa tekanan terhadap sumber daya laut dari masyarakat lokal tidak terlalu tinggi. Sebagian besar masyarakat mempunyai pendapatan tambahan, sehingga tidak tergantung pada satu sumber pendapatan. Meskipun demikian hampir semua sumber pendapatan, baik yang utama maupun yang tambahan, belum sepenuhnya dioptimalkan. Oleh karena itu pendapatan masyarakat secara umum masih relative kecil.

6.1.2 Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah

Tangkap

Dilihat dari tehnologi alat tangkapnya, hampir semua rumah tangga nelayan di keempat lokasi penelitian adalah nelayan tradisional. Alat tangkap yang digunakan umumnya adalah pancing dan jaring. Selain itu, alat tangkap sero juga banyak ditemui di perairan di Desa Wamega. Sero merupakan alat tangkap tradisional yang cara kerjanya seperti perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Pada musim angin teduh, beberapa nelayan di Desa Wamega juga menggunakan kelong untuk menangkap ikan bilis. Namun kelong hanya digunakan pada musim angin teduh, sedangkan pada musim angin kencang biasanya kelong tidak digunakan karena tidak dapat bertahan dari hempasan angin dan ombak.

berasal dari sektor perikanan tangkap, khususnya di kedua desa yang berada di Pulau Salawati yaitu

Desa Wamega dan Desa Kapatlap. Dikedua desa ini lebih dari dua pertiga (73 persen di Kapatlap dan 67 persen di Wamega) kepala rumah tangga memiliki sumber penghasilan utama dari perikanan tangkap. Namun, -meskipun pemilihan lokasi penelitian secara sengaja (purposive) dipilih wilayah yang sebagian besar penduduknya nelayan-, proporsi rumah tangga yang sumber pendapatan utama kepala keluarganya berasal dari perikanan tangkap di kedua desa yang berada di Pulau Batanta relatif kecil. Di Desa Yenanas hanya 22 persen kepala keluarga yang sumber pendapatannya dari sektor perikanan sedangkan di Desa Amdui hanya sekitar 40 persen.

Bagi penduduk yang berada di Desa Yenanas dan Desa Amdui, melaut hanya dijadikan pekerjaan sampingan dan umumnya hanya untuk dimakan sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dikedua wilayah ini memiliki daratan yang cukup luas sehingga sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang menggiurkan menjadi pilihan sebagian penduduk. Komoditas pertanian yang banyak dimiliki penduduk adalah pinang, lemon dan coklat. Meskipun memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan, belum ada usaha penanaman pinang yang dilakukan penduduk. Pohon yang ada sekarang adalah pohon yang tumbuh sendiri dan tidak ada perawatan khusus. Hasil panen biasanya dijual di Kota Sorong atau Kota Waisai dengan menggunakan speed penduduk yang disewa secara khusus.

Sektor lain yang juga cukup menonjol adalah industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang banyak dilakukan dan berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan penduduk adalah membuat kapur sirih dan membuat papan. Kapur sirih biasanya dikerjakan oleh perempuan sedangkan membuat papan dilakukan oleh laki-laki. Industri membuat papan banyak dilakukan oleh masyarakat di Desa Amdui. Kayu yang digunakan biasanya diambil dari hutan yang terdapat disekitar desa. Menurut salah seorang informan di Desa Amdui, pada masa lalu di

sekitar wilayah desa ada perusahaan kayu yang banyak mempekerjakan penduduk desa.

Melihat keragaman sumber pendapatan di wilayah penelitian, dapat dikatakan bahwa tekanan terhadap sumber daya laut dari masyarakat lokal tidak terlalu tinggi. Sebagian besar masyarakat mempunyai pendapatan tambahan, sehingga tidak tergantung pada satu sumber pendapatan. Meskipun demikian hampir semua sumber pendapatan, baik yang utama maupun yang tambahan, belum sepenuhnya dioptimalkan. Oleh karena itu pendapatan masyarakat secara umum masih relative kecil.

6.1.2 Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah

Tangkap

Dilihat dari tehnologi alat tangkapnya, hampir semua rumah tangga nelayan di keempat lokasi penelitian adalah nelayan tradisional. Alat tangkap yang digunakan umumnya adalah pancing dan jaring. Selain itu, alat tangkap sero juga banyak ditemui di perairan di Desa Wamega. Sero merupakan alat tangkap tradisional yang cara kerjanya seperti perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Pada musim angin teduh, beberapa nelayan di Desa Wamega juga menggunakan kelong untuk menangkap ikan bilis. Namun kelong hanya digunakan pada musim angin teduh, sedangkan pada musim angin kencang biasanya kelong tidak digunakan karena tidak dapat bertahan dari hempasan angin dan ombak.

berasal dari sektor perikanan tangkap, khususnya di kedua desa yang berada di Pulau Salawati yaitu

Desa Wamega dan Desa Kapatlap. Dikedua desa ini lebih dari dua pertiga (73 persen di Kapatlap dan 67 persen di Wamega) kepala rumah tangga memiliki sumber penghasilan utama dari perikanan tangkap. Namun, -meskipun pemilihan lokasi penelitian secara sengaja (purposive) dipilih wilayah yang sebagian besar penduduknya nelayan-, proporsi rumah tangga yang sumber pendapatan utama kepala keluarganya berasal dari perikanan tangkap di kedua desa yang berada di Pulau Batanta relatif kecil. Di Desa Yenanas hanya 22 persen kepala keluarga yang sumber pendapatannya dari sektor perikanan sedangkan di Desa Amdui hanya sekitar 40 persen.

Bagi penduduk yang berada di Desa Yenanas dan Desa Amdui, melaut hanya dijadikan pekerjaan sampingan dan umumnya hanya untuk dimakan sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dikedua wilayah ini memiliki daratan yang cukup luas sehingga sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang menggiurkan menjadi pilihan sebagian penduduk. Komoditas pertanian yang banyak dimiliki penduduk adalah pinang, lemon dan coklat. Meskipun memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan, belum ada usaha penanaman pinang yang dilakukan penduduk. Pohon yang ada sekarang adalah pohon yang tumbuh sendiri dan tidak ada perawatan khusus. Hasil panen biasanya dijual di Kota Sorong atau Kota Waisai dengan menggunakan speed penduduk yang disewa secara khusus.

Sektor lain yang juga cukup menonjol adalah industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang banyak dilakukan dan berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan penduduk adalah membuat kapur sirih dan membuat papan. Kapur sirih biasanya dikerjakan oleh perempuan sedangkan membuat papan dilakukan oleh laki-laki. Industri membuat papan banyak dilakukan oleh masyarakat di Desa Amdui. Kayu yang digunakan biasanya diambil dari hutan yang terdapat disekitar desa. Menurut salah seorang informan di Desa Amdui, pada masa lalu di

di Raja Ampat adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel berkekuatan 5-15 GT.

Untuk nelayan yang menggunakan perahu motor, biaya produksi yang paling besar adalah untuk membeli BBM. Sebagaimana umumnya wilayah kepulaun di Indonesia Timur, harga BBM sangat tinggi. Untuk 1 liter BBM campur (premium+olie) seharga Rp. 15.000, sedangkan untuk sekali melaut rata-rata diperlukan 5 liter minyak. Biaya produksi nelayan dengan perahu dayung relatif kecil.

Biaya sehari-hari yang digunakan untuk alat tangkap relatif kecil. Hal ini karena umumnya nelayan di lokasi penelitian menggunakan pancing biasa sebagai alat tangkap. Selain pancing, alat tangkap yang juga banyak digunakan adalah jaring. Harga jaring siap pakai yang banyak digunakan masyarakat bervariasi antara Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000. Umumnya jaring dapat digunakan selama 1-3 tahun, tergantung perawatannya.

Alat tangkap yang cukup mahal adalah serro dan kelong. Namun kedua alat tangkap ini hanya ditemukan di Desa Wamega. Harga sebuah serro berkisar antara Rp. 10.000.000-Rp.20.000.000. tergantung besarnya. Sedangkan harga untuk membuat kelong lebih mahal lagi antara Rp. 20.000.000 – Rp. 40.000.000. Namun kedua alat tangkap ini rata-rata dapat bertahan selama 10 tahun. Seorang nelayan serro mengatakan alat tangkap ini sangat ramah lingkungan karena pemasangannya tidak merusak karang dan tidak membunuh bibit ikan. Sedangkan alat tangkap yang menggunakan bagan atau kelong diperlukan jangkar/pemberat yang biasanya waktu pemasangannya dapat merusak karang.

Khusus untuk nelayan pancing dan jarring biaya produksi yang dikeluarkan ditambah dengan es balok untuk menjaga ikan supaya tidak rusak selama melaut. Es yang diperlukan sekitar 1-2 balok dengan harga Rp. 1.500 per buah. Sedangkan nelayan serro dan kelong tidak memerlukan es karena alat tangkap ini mirip dengan Gambar 6.1.1 Alat Tangkap Sero

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Gambar 6.1.2 Alat tangkap bagan/kelong

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

6.1.3 Biaya Produksi

Biaya produksi yang dikaji dalam bagian ini difokuskan pada biaya produksi sumber pendapatan yang berasal dari sektor perikanan tangkap. Biaya produksi nelayan sangat dipengaruhi oleh armada dan alat tangkap. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, armada tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan

di Raja Ampat adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel berkekuatan 5-15 GT.

Untuk nelayan yang menggunakan perahu motor, biaya produksi yang paling besar adalah untuk membeli BBM. Sebagaimana umumnya wilayah kepulaun di Indonesia Timur, harga BBM sangat tinggi. Untuk 1 liter BBM campur (premium+olie) seharga Rp. 15.000, sedangkan untuk sekali melaut rata-rata diperlukan 5 liter minyak. Biaya produksi nelayan dengan perahu dayung relatif kecil.

Biaya sehari-hari yang digunakan untuk alat tangkap relatif kecil. Hal ini karena umumnya nelayan di lokasi penelitian menggunakan pancing biasa sebagai alat tangkap. Selain pancing, alat tangkap yang juga banyak digunakan adalah jaring. Harga jaring siap pakai yang banyak digunakan masyarakat bervariasi antara Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000. Umumnya jaring dapat digunakan selama 1-3 tahun, tergantung perawatannya.

Alat tangkap yang cukup mahal adalah serro dan kelong. Namun kedua alat tangkap ini hanya ditemukan di Desa Wamega. Harga sebuah serro berkisar antara Rp. 10.000.000-Rp.20.000.000. tergantung besarnya. Sedangkan harga untuk membuat kelong lebih mahal lagi antara Rp. 20.000.000 – Rp. 40.000.000. Namun kedua alat tangkap ini rata-rata dapat bertahan selama 10 tahun. Seorang nelayan serro mengatakan alat tangkap ini sangat ramah lingkungan karena pemasangannya tidak merusak karang dan tidak membunuh bibit ikan. Sedangkan alat tangkap yang menggunakan bagan atau kelong diperlukan jangkar/pemberat yang biasanya waktu pemasangannya dapat merusak karang.

Khusus untuk nelayan pancing dan jarring biaya produksi yang dikeluarkan ditambah dengan es balok untuk menjaga ikan supaya tidak rusak selama melaut. Es yang diperlukan sekitar 1-2 balok dengan harga Rp. 1.500 per buah. Sedangkan nelayan serro dan kelong tidak memerlukan es karena alat tangkap ini mirip dengan Gambar 6.1.1 Alat Tangkap Sero

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

Gambar 6.1.2 Alat tangkap bagan/kelong

Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015

6.1.3 Biaya Produksi

Biaya produksi yang dikaji dalam bagian ini difokuskan pada biaya produksi sumber pendapatan yang berasal dari sektor perikanan tangkap. Biaya produksi nelayan sangat dipengaruhi oleh armada dan alat tangkap. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, armada tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan

Lapangan pekerjaan yang relatif terbatas membuat penduduk dengan pendidikan tinggi cenderung untuk mencari pekerjaan di luar desa. Sumber daya manusia yang relatif rendah tersebut, berakibat kepada sulitnya pelaksanaan suatu program bila tidak ada pendampingan. Ketidakpahaman masyarakat terhadap pengelolaan keuangan juga berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap pengelola keuangan program yang berbasis masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang narasumber ketika menjadi konsultan keuangan dalam COREMAP II, dia sering harus menyelesaikan konflik diantara masyarakat yang dipicu oleh ketidapahaman mereka terhadap sistem simpan pinjam. Kondisi ini diperburuk karena orang yang ditunjukkan sebagai pengelola keuangan juga tidak dapat memberi penjelasan ke anggotanya, karena kurang paham.

Terkait dengan rendahnya kualitas SDM di lokasi COREMAP Raja Ampat, pendampingan yang dilakukan secara intensif masih sangat diperlukan masyarakat. Hal ini juga diungkapkan oleh hampir semua masyarakat yang diwawancarai baik melalui wawancara terbuka maupun melalui FGD. Hampir semua narasumber mengatakan bahwa COREMAP masih sangat diperlukan di wilayah mereka, namun diharapkan disertai pendampingan seperti COREMAP yang lalu. Salah seorang motivator desa mengatakan umumnya masyarakat desa kurang mau mendengar informasi yang disampaikan oleh orang yang sama-sama berasal dari desa mereka.

Dokumen terkait